Senyap di Antara Dzikir

 


Senyap di Antara Dzikir

Subuh belum juga tiba ketika Kang Rifqi sudah terbangun. Ia duduk terdiam di tepi kasur tipis yang sudah bertahun-tahun menemaninya di kamar berisi delapan santri ini. Suara dengkuran kawan-kawannya bersahut-sahutan, menciptakan simfoni malam yang sudah akrab di telinganya.

Rifqi menarik nafas dalam-dalam. Sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang, dan ia harus bersiap menghadapi hari yang sama seperti kemarin dan lusa—hari-hari yang terasa seperti ujian berkepanjangan.

"Allahu Akbar... Allahu Akbar..."

Suara muadzin memecah keheningan. Satu per satu santri mulai bergerak, bangkit dari tidur mereka. Rifqi sudah siap duluan, seperti biasa. Ia mengambil sajadah dan tasbih, lalu berjalan menuju masjid dengan langkah yang hening.

Di masjid, ia memilih shaf paling belakang, pojok kanan. Tempat yang sama setiap hari. Tempat di mana ia bisa sholat dengan khusyuk tanpa merasa diperhatikan. Namun, beberapa mata tetap saja tertuju padanya. Bisikan-bisikan halus mulai terdengar.

"Lah, si Rifqi kok malih ning pojok terus?"

"Iya, aneh banget. Gak pernah mau gabung karo kita-kita."

"Jangan-jangan dia itu..."

Bisikan itu terpotong ketika imam mulai takbir. Rifqi mencoba fokus pada bacaan Al-Fatihah, tapi hatinya terasa sesak. Ya Allah, kenapa mereka selalu begitu?

Selesai sholat subuh, para santri biasanya berkumpul di halaman untuk mengaji bersama sebelum sarapan. Rifqi, seperti biasa, memilih tempat di bawah pohon mangga tua yang agak jauh dari kerumunan. Ia membuka Al-Qur'an dan mulai mengaji dengan suara pelan.

"Rifqi!"

Suara Gus Wahid, pengurus pesantren yang bertugas mengawasi santri junior, membuatnya tersentak. Rifqi mendongak, melihat wajah Gus Wahid yang tampak serius.

"Iya, Gus?"

"Kamu kok gak pernah gabung sama santri lain? Tiap hari ning pojok terus. Apa ada masalah?"

Rifqi menggeleng pelan. "Tidak ada masalah, Gus. Saya cuma lebih suka... sendiri."

"Lha ya itu masalahnya!" Gus Wahid duduk di samping Rifqi. "Pesantren itu tempat belajar bersosialisasi juga, Qi. Kamu gak bisa terus-terusan ningali. Nanti dikira aneh sama santri lain."

Terlambat, Gus. Mereka sudah menganggapku aneh, batin Rifqi. Tapi ia hanya mengangguk dan berkata, "Iya, Gus. Nanti saya coba."

Siang hari, saat jam istirahat setelah mengaji kitab kuning, Rifqi duduk sendirian di perpustakaan kecil pesantren. Ia sedang membaca kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali ketika sekelompok santri masuk dengan suara gaduh.

"Lho, ada Rifqi," kata Santri bernama Fahmi. "Qi, kok kamu selalu sendiri sih? Ayo gabung sama kita main catur."

"Ah, gak usah diajak," sahut Hakim, santri lain yang suaranya agak keras. "Dia kan emang suka menyendiri. Siapa tau lagi ngelakoni hal-hal yang aneh-aneh."

Rifqi mendongak, menatap Hakim dengan tatapan terluka. "Maksudnya apa?"

"Ya tau sendiri lah. Orang yang selalu sendirian, gak mau bergaul, biasanya ada apa-apanya. Jangan-jangan kamu lagi ngelakoni ilmu-ilmu sesat gitu."

"Hakim!" tegur Fahmi. "Jangan ngomong sembarangan."

"Lah iya kan? Masa sih orang normal gak mau punya teman? Pasti ada yang disembunyikan."

Rifqi merasa dadanya sesak. Ia menutup kitab yang sedang dibacanya dan beranjak pergi tanpa sepatah kata pun. Suara tawa mengejek terdengar dari belakang.

Di kamarnya, Rifqi berbaring sambil menatap langit-langit. Air mata mulai menggenang di matanya. Ya Allah, kenapa susah sekali memahami diriku sendiri? Kenapa aku harus dipaksa menjadi seperti yang mereka inginkan?

Malam hari, setelah sholat isya, biasanya para santri berkumpul untuk kajian malam atau sekadar ngobrol santai. Rifqi, seperti biasa, memilih pergi ke taman belakang pesantren. Di sana ada gazebo kecil yang jarang digunakan. Tempat itu menjadi pelarian setiap kali ia merasa tercekik oleh situasi.

Ia duduk terdiam, mendengarkan suara jangkrik dan angin malam yang bertiup pelan. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Rifqi menoleh dan melihat Kyai Hasan, pengasuh pesantren, berjalan ke arahnya.

"Assalamu'alaikum, Qi."

"Wa'alaikumussalam, Kyai," Rifqi berdiri dengan hormat.

"Duduk, duduk. Kyai mau ngobrol sebentar sama kamu."

Mereka duduk berdampingan dalam keheningan sejenak. Kyai Hasan memandang langit malam yang bertabur bintang.

"Kamu tau, Qi, setiap orang itu dicipta Allah dengan keunikannya masing-masing. Ada yang ekstrovert, suka bergaul, ramai. Ada juga yang introvert, lebih suka keheningan, kontemplasi."

Rifqi menoleh, menatap wajah bijak Kyai Hasan.

"Yang penting bukan gimana cara kita bersosialisasi, tapi gimana kita berkontribusi. Imam Al-Ghazali, yang kitabnya sering kamu baca itu, juga seorang yang lebih suka menyendiri untuk berkontemplasi. Tapi lihat, karya-karyanya menggetarkan dunia."

"Tapi, Kyai... santri-santri lain pada bilang saya aneh. Bahkan ada yang menuduh saya menjalankan ilmu sesat."

Kyai Hasan tersenyum lembut. "Orang yang tidak memahami kedalaman akan selalu menganggap keheningan sebagai keanehan. Tapi ingat, Qi, Allah melihat hati, bukan penampilan luar."

"Lalu bagaimana, Kyai? Saya lelah dengan semua ini."

"Sabar, nak. Tunjukkan siapa dirimu melalui perbuatan, bukan kata-kata. Kalau kamu memang mencintai Allah dan ilmu-Nya, biarkan cinta itu berbicara melalui akhlakmu."

Keesokan harinya, saat kajian kitab Tafsir Al-Azhar, Kyai Hasan memberikan pertanyaan yang cukup rumit tentang tafsir ayat mengenai sifat-sifat orang beriman. Para santri terdiam, tak ada yang berani menjawab.

"Rifqi, coba kamu jawab," kata Kyai Hasan.

Rifqi terdiam sejenak, lalu mulai menjawab dengan detail dan mendalam. Ia mengutip berbagai pendapat ulama, menjelaskan konteks historis, dan memberikan analisis yang membuat semua santri terpukau. Suaranya memang pelan, tapi setiap kata yang keluar penuh makna.

"Subhanallah," gumam Fahmi. "Rifqi, kamu kok bisa tau sebanyak itu?"

"Saya suka membaca, mas. Saat kalian istirahat atau ngobrol, saya biasanya di perpustakaan."

Sejak hari itu, persepsi santri-santri mulai berubah. Mereka mulai menyadari bahwa keheningan Rifqi bukan karena kesombongan atau keanehan, tapi karena ia memang tipe orang yang lebih suka mendalami ilmu dalam kesunyian.

Hakim, yang dulunya paling keras menuduh, suatu hari mendekati Rifqi.

"Qi, maaf ya dulu aku ngomong yang gak-gak. Aku gak tau kalau kamu sebenernya pinter banget."

Rifqi tersenyum. "Gak papa, mas. Mungkin dulu saya juga kurang terbuka."

"Tapi bener lho, kamu gak perlu maksain diri buat jadi seperti kita. Yang penting kan kita semua sama-sama belajar jadi orang yang lebih baik."

Malam itu, Rifqi kembali ke gazebo favoritnya. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Fahmi dan beberapa santri lain datang membawa teh hangat.

"Qi, boleh gabung gak? Kita mau diskusi tentang kajian tadi siang."

Rifqi mengangguk dengan senyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa keheningannya tidak lagi dipandang sebagai keanehan, tapi sebagai kedalaman. Ia tidak perlu mengubah dirinya untuk diterima. Yang ia butuhkan hanya waktu untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Di bawah langit malam yang sama, dengan aroma melati yang menguar dari taman pesantren, Rifqi akhirnya merasakan kedamaian. Ia tetap introvert, tetap lebih suka keheningan, tapi kini ia tahu bahwa ada tempat untuknya di antara keramaian pesantren.

"Alhamdulillahi rabbil alamiin," gumamnya pelan, sambil menatap bintang-bintang yang berkilau di langit.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, suara tawa Rifqi ikut berbaur dengan tawa santri-santri lainnya, menciptakan harmoni baru di pesantren yang akan selalu ia kenang.


Wallahu a'lam bishawab.

Comments

Popular posts from this blog

Sang Jenderal telah Menikah

Ketika Mentari Terakhir Terbit

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren