Tekad Seorang Santri

 



Tekad Seorang Santri

Syauqi Muhammad

 

Langit masih gelap ketika Syauqi membuka mata. Suara adzan subuh mengalun lembut dari menara masjid pondok pesantren Al-Hidayah. Di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, Syauqi sudah memiliki tekad yang bulat: suatu hari nanti, ia akan menjadi kyai dan membangun pesantrennya sendiri.

"Syauqi, mengapa engkau selalu meminta jadwal piket membersihkan kamar Kyai Rifa'i?" tanya Fahmi, teman sekamarnya, suatu hari.

Syauqi tersenyum. "Karena setiap kali membersihkan kamar beliau, aku bisa melihat koleksi kitab-kitabnya. Aku juga sering mendengar beliau mengajar santri senior. Rasanya seperti mendapat ilmu tambahan."

Tahun-tahun berlalu. Syauqi menyelesaikan pendidikan dasarnya di pondok dengan nilai terbaik. Kyai Rifa'i, yang telah lama memperhatikan kesungguhan Syauqi, memanggilnya ke kantor.

"Anakku, aku lihat tekadmu untuk menuntut ilmu sangat kuat. Bagaimana jika kau melanjutkan studimu di Al-Azhar, Mesir?"

Mata Syauqi berbinar. Tawaran itu bagaikan jawaban atas doa-doanya selama ini. Meski keluarganya tidak kaya, dengan bantuan Kyai Rifa'i dan beberapa donatur, akhirnya Syauqi bisa berangkat ke Mesir.

Delapan tahun di Mesir menggembleng Syauqi menjadi sosok yang matang. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga fasih berbahasa Arab dan memahami berbagai mazhab pemikiran Islam. Setelah menyelesaikan studinya dengan predikat mumtaz (cumlaude), ia kembali ke Indonesia.

"Ustadz Syauqi, mengapa tidak mengajar di kota besar saja? Di sana lebih menjanjikan," tanya seorang teman saat ia memutuskan untuk kembali ke desa kelahirannya.

"Justru desa-desa inilah yang lebih membutuhkan pendidikan Islam," jawabnya mantap.

Dengan modal sepetak tanah warisan orang tua dan tabungan selama mengajar, Syauqi memulai mimpinya. Awalnya hanya sebuah mushola kecil dengan lima santri yang tinggal di rumahnya yang sederhana. Ia mengajar dengan sabar dan ikhlas, bahkan sering memberikan makan gratis kepada santri-santri yang kurang mampu.

"Yang penting niat kita lillahi ta'ala," begitu ia selalu mengingatkan dirinya sendiri ketika menghadapi kesulitan.

Perlahan tapi pasti, reputasi Syauqi sebagai ustadz yang alim dan rendah hati mulai tersebar. Jumlah santrinya bertambah. Beberapa dermawan mulai mewakafkan tanah mereka. Lima tahun kemudian, mushola kecilnya telah berkembang menjadi pesantren yang layak, lengkap dengan asrama dan fasilitas belajar.

"Pesantren Darul Qolam," begitu ia menamakan pesantrennya, yang berarti rumah pena – melambangkan harapannya agar santri-santrinya tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga mampu menulis dan menyebarkan ilmu.

Di usianya yang menginjak empat puluh tahun, masyarakat mulai memanggilnya Kyai Syauqi. Namun, gelar itu tidak membuatnya berbangga diri. Ia tetap seperti dulu – bangun sebelum subuh, mengajar dengan tekun, dan selalu menyempatkan diri berbincang dengan santri-santrinya.

"Menjadi kyai bukan tentang gelar atau hormat yang kita terima," katanya dalam suatu pengajian. "Tapi tentang seberapa banyak manfaat yang bisa kita berikan kepada umat."

Kini, dua puluh lima tahun sejak ia pertama kali bermimpi menjadi kyai, Pesantren Darul Qolam telah menjadi cahaya bagi masyarakat sekitar. Ribuan santri telah ia didik, banyak di antaranya telah menjadi tokoh agama di daerah masing-masing.

Setiap kali memandang pesantrennya dari beranda rumahnya yang sederhana, Syauqi selalu teringat kata-kata Kyai Rifa'i dulu: "Ilmu yang bermanfaat dan niat yang ikhlas adalah modal terbesar untuk menjadi pendidik yang sejati."

Dan kini, Syauqi memahami sepenuhnya makna kata-kata itu. Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Sang Jenderal telah Menikah

Ketika Mentari Terakhir Terbit

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren