Wasiat Sang Eyang


Wasiat Sang Eyang

Hujan deras mengguyur kota Yogyakarta malam itu ketika Aryo Wicaksono menerima telepon yang mengubah hidupnya. Suara bibinya terdengar parau di ujung telepon, membawa kabar yang sudah lama ditunggu sekaligus ditakuti.

"Aryo, eyang mu sakit keras. Mungkin ini terakhir kalinya. Ayo pulang."

Aryo menutup laptop yang sedang menampilkan spreadsheet perusahaan tempatnya bekerja. Sudah tiga tahun dia merantau ke Jakarta, membangun karier sebagai analis keuangan. Hubungannya dengan keluarga, terutama kakeknya, sempat renggang karena perbedaan pandangan hidup. Eyang Sastrowardoyo selalu ingin cucunya menjadi orang alim, sementara Aryo lebih tertarik pada dunia modern.

"Sabar, Yang. Aryo segera pulang," gumamnya sambil bergegas mengemas barang.


Rumah limasan tua di kampung Kotagede tampak suram ketika Aryo tiba pada subuh hari. Beberapa tetangga sudah berkumpul di pendopo, berbisik-bisik dengan wajah cemas. Bibi Lastri menyambutnya dengan mata sembab.

"Aryo, eyang mu masih sadar. Dia terus manggil-manggil namamu dari tadi malam."

Aryo melangkah pelan memasuki kamar kakeknya. Eyang Sastrowardoyo terbaring lemah di dipan bambu, tubuh kurusnya tampak semakin mengecil di balik sarung batik. Mata tuanya yang dulu tajam kini sayu, tapi masih berkilat ketika melihat cucu kesayangannya.

"Aryo... kene, mlebu," suara eyang terdengar serak.

Aryo duduk di tepi dipan, menahan air mata yang mulai menggenang. "Nggih, Yang. Aryo sudah pulang."

Eyang Sastrowardoyo meraih tangan cucunya dengan genggaman yang mengejutkan masih kuat. "Cah, aku arep mati. Tapi sadurunge iku, ana sing kudu dakkandhakake."

"Eyang jangan bicang begitu. Eyang pasti sembuh."

"Ora, le. Wektuku wis tekan." Eyang menggeleng pelan. "Rungokna apik-apik. Bapakmu biyen durung sempat dakwulangake babagan leluhur kita. Saiki giliran kowe."

Aryo mengerutkan kening. Ayahnya meninggal ketika dia masih kecil, dan kakeknya jarang bercerita tentang silsilah keluarga.

"Leluhur kita, Aryo, dudu wong sembarangan. Buyut mu, Mbah Surowijoyo, iku ulama besar sing duwe pesantren gedhe ing tengah alas. Pesantren Suci Mandala jenenge."

"Pesantren di tengah hutan, Yang?"

"Iya. Ing jaman biyen, akeh santri sing sinau nang kono. Tapi sawise Belanda teka, pesantren iku ilang. Ora ana sing ngerti ning endi dalane."

Eyang Sastrowardoyo terbatuk-batuk, darah segar membasahi ujung bibirnya. Bibi Lastri yang mendengar dari luar hendak masuk, tapi eyang mengisyaratkan agar mereka dibiarkan sendirian.

"Yang, istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan ceritanya."

"Ora ana wektu, le." Eyang meraih sesuatu dari bawah bantalnya—sebuah surat tua yang sudah menguning, ditulis dengan tinta hitam pekat. "Iki... peta kanggo golek pesantren iku."

Aryo menerima surat itu dengan tangan gemetar. Tulisan Jawa kuno terukir rapi di atas kertas daluang, disertai sketsa yang tampak seperti peta.

"Aku pengin kowe lunga nang pesantren iku, Aryo. Sinau agama kaya leluhur kita. Kowe wis kesusu dadi wong modern, tapi ati mu kosong."

"Tapi Yang, zaman sekarang beda. Saya harus kerja, harus hidup..."

"Hidup tanpa ngerti diri dhewe iku apa gunane?" Mata eyang menatap Aryo dengan penuh makna. "Ing pesantren iku, kowe bakal nemokake apa sing sejatine kowe goleki."

Hembusan napas eyang semakin terengah-engah. "Janji karo aku, Aryo. Goleka pesantren iku."

Aryo tidak sempat menjawab. Eyang Sastrowardoyo tersenyum tipis, memejamkan mata, dan menghembuskan napas terakhirnya dengan damai.


Pemakaman eyang berlangsung khidmat. Seluruh kampung berdatangan untuk mengantarkan ulama tua yang disegani itu. Selama tiga hari, Aryo hanya terdiam, memikirkan wasiat terakhir kakeknya.

"Yo, aku ngerti kowe bingung," kata Bibi Lastri sambil menyodorkan secangkir teh hangat. "Tapi eyang mu iku ora tau ngomong sembarangan. Nek eyang bilang pesantren iku penting kanggo kowe, ya penting."

Aryo membuka surat tua itu untuk kesekian kalinya. Peta yang tertera menunjukkan sebuah jalur dari Kotagede menuju hutan di wilayah Gunung Kidul. Ada beberapa landmark yang digambar—sungai, gua, pohon besar, dan akhirnya sebuah bangunan kecil yang sepertinya adalah pesantren.

"Bibi yakin pesantren ini masih ada?"

"Wallahu a'lam, Yo. Tapi nek eyang mu percaya, ya mungkin emang ana."

Malam itu, Aryo bermimpi aneh. Dia melihat seorang pria tua berjenggot putih yang sangat mirip dengan dirinya, berdiri di depan sebuah gerbang bambu. Pria itu tersenyum dan berkata, "Aryo, aku menunggu kedatanganmu."

Aryo terbangun dengan jantung berdebar. Mimpi itu terasa sangat nyata, seolah bukan hanya bunga tidur biasa.


Keesokan harinya, Aryo memutuskan untuk mencari pesantren yang dimaksud kakeknya. Dia menyewa motor trail dan mulai mengikuti petunjuk di peta tua itu.

Perjalanan dimulai dari jalan raya menuju pedesaan di Gunung Kidul. Semakin jauh, jalan semakin kecil dan sepi. Aryo melewati sawah-sawah yang mulai menguning, bukit-bukit kapur yang menjulang, hingga akhirnya masuk ke area hutan yang lebat.

Sesuai petunjuk peta, dia harus mencari sungai kecil yang alirannya berliku seperti ular. Setelah dua jam mencari, akhirnya dia menemukannya—sebuah sungai jernih yang mengalir di antara bebatuan kapur.

Aryo mengikuti aliran sungai hingga menemukan sebuah gua yang mulutnya hampir tertutup semak belukar. Di sinilah, menurut peta, dia harus belok ke kiri dan mencari pohon beringin besar.

Hutan semakin lebat. Aryo harus mendorong motornya melewati jalan setapak yang hampir tidak terlihat. Suara burung dan serangga bersahut-sahutan, menciptakan simfoni alam yang misterius.

Ketika matahari mulai condong ke barat, Aryo hampir putus asa. Dia sudah tersesat beberapa kali dan bahan bakar motor mulai menipis. Tiba-tiba, di balik rimbun pepohonan, dia melihat sosok pohon beringin yang sangat besar, persis seperti yang digambar di peta.

"Alhamdulillah," gumamnya lega.

Di bawah pohon beringin itu, ada sebuah batu nisan tua yang sudah ditumbuhi lumut. Aryo mendekat dan membaca tulisan Arab yang terukir di sana: "Mbah Surowijoyo - Pendiri Pesantren Suci Mandala."

Jantung Aryo berdebar keras. Ini berarti dia sudah dekat dengan tujuan.

Sesuai petunjuk terakhir di peta, dari makam buyutnya, dia harus berjalan lurus ke timur sejauh kira-kira satu kilometer. Aryo meninggalkan motornya di bawah pohon beringin dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.


Senja hampir tiba ketika Aryo melihat sesuatu yang membuatnya takjub. Di tengah hutan yang lebat, berdiri sebuah kompleks bangunan kayu dan bambu yang tampak kuno namun terawat. Gerbang utamanya terbuat dari bambu dengan ukiran kaligrafi yang indah.

"Pesantren Suci Mandala," Aryo membaca papan nama yang tergantung di atas gerbang.

Yang aneh, pesantren itu tampak hidup. Ada suara mengaji dari salah satu bangunan, lampu minyak menyala di beberapa jendela, dan aroma masakan tercium dari arah dapur.

"Assalamu'alaikum," Aryo bersuara lantang di depan gerbang.

"Wa'alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam.

Seorang santri muda keluar dari gerbang. Penampilannya sederhana—sarung, peci hitam, dan baju koko putih. Yang mengherankan, dia seperti sudah menunggu kedatangan Aryo.

"Mas Aryo, ya? Sudah ditunggu dari tadi."

Aryo terperangah. "Kok bisa tahu nama saya?"

"Kyai sudah memberitahu. Silakan masuk."

Aryo mengikuti santri itu memasuki kompleks pesantren. Di halaman tengah, beberapa santri sedang duduk melingkar mengaji Al-Qur'an dengan suara yang merdu. Mereka semua tampak muda, berusia sekitar 20-25 tahun.

"Ini pesantren apa ya? Kok saya tidak pernah dengar ada pesantren di tengah hutan seperti ini?"

Santri itu tersenyum. "Pesantren Suci Mandala memang tidak seperti pesantren pada umumnya, Mas. Di sini, santri yang datang sudah dipilih secara khusus."

Mereka berhenti di depan sebuah bangunan yang lebih besar dari yang lain. Papan di depannya bertuliskan "Kediaman Kyai."

"Kyai, Mas Aryo sudah datang," kata santri itu sambil mengetuk pintu pelan.

"Masuk," sahut suara dari dalam.

Aryo melangkah masuk dengan hati berdebar. Di dalam ruangan yang sederhana namun hangat, seorang kyai tua sedang duduk bersila di atas tikar pandan. Wajahnya... persis seperti pria dalam mimpi Aryo semalam.

"Assalamu'alaikum, Kyai," Aryo memberi salam dengan gugup.

"Wa'alaikumussalam, Aryo. Duduklah."

Kyai itu memandang Aryo dengan mata yang tajam namun penuh kasih. "Aku Kyai Wahidin, pengasuh pesantren ini. Kakekmu, Eyang Sastrowardoyo, sudah mengirim surat beberapa bulan lalu, memberitahu bahwa dia akan mengirim cucunya ke sini."

"Surat? Tapi eyang baru meninggal kemarin, Kyai."

Kyai Wahidin tersenyum misterius. "Di pesantren ini, waktu tidak berjalan seperti di luar sana, nak. Yang penting, kamu sudah sampai di tempat yang tepat."

Aryo merasa ada yang aneh, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Suasana pesantren ini memang berbeda—tenang, damai, seolah terpisah dari dunia luar.

"Kyai, eyang meninggalkan wasiat agar saya nyantri di sini. Tapi sejujurnya, saya bingung. Saya orang modern, kerja di perusahaan. Apa yang bisa saya pelajari di sini?"

"Aryo," Kyai Wahidin menatapnya dalam-dalam, "apa yang kamu cari selama ini di dunia luar?"

"Ya... sukses, uang, karier..."

"Dan apakah kamu sudah merasa bahagia?"

Pertanyaan sederhana itu membuat Aryo terdiam. Sejujurnya, meski kariernya cemerlang, ada kekosongan yang selalu dia rasakan. Seperti ada yang hilang dalam hidupnya.

"Tidak, Kyai. Saya merasa hampa."

"Nah, itulah yang akan kamu pelajari di sini. Bagaimana menemukan kebahagiaan sejati."


Hari-hari pertama Aryo di pesantren sangat berbeda dari yang dibayangkannya. Tidak ada pelajaran agama yang berat atau hafalan kitab yang melelahkan. Yang ada adalah kegiatan sederhana yang justru membuat hatinya tenang.

Subuh diawali dengan shalat berjamaah di musholla kayu yang kecil namun khidmat. Setelah itu, mereka mengaji Al-Qur'an bersama dengan irama yang menyentuh jiwa. Pagi hingga siang diisi dengan kegiatan berkebun, memasak bersama, dan diskusi ringan tentang kehidupan.

"Mas Aryo, dari Jakarta ya?" tanya Ahmad, salah satu santri yang sebaya dengannya.

"Iya. Kamu dari mana?"

"Saya dari Surabaya. Dulunya pengusaha. Tapi suatu hari merasa jenuh, terus mencari-cari sampai ketemu pesantren ini."

"Sudah berapa lama di sini?"

Ahmad tersenyum. "Entah. Di sini waktu rasanya berjalan beda. Yang penting, saya merasa damai."

Aryo memperhatikan santri-santri lain. Mereka semua tampak datang dari latar belakang yang berbeda—ada yang bekas dokter, guru, pedagang—tapi semuanya memiliki aura ketenangan yang sama.

Malam ketiga, Kyai Wahidin memanggil Aryo ke pendopo.

"Bagaimana perasaanmu selama di sini?"

"Aneh, Kyai. Saya merasa lebih tenang daripada bertahun-tahun tinggal di kota."

"Kamu tahu mengapa?"

Aryo menggeleng.

"Karena di sini, kamu belajar hidup sederhana. Tidak mengejar hal-hal yang fana. Kamu belajar mensyukuri apa yang ada, bukan mengeluh tentang apa yang tidak ada."

Kyai Wahidin bangkit dan mengambil sebuah cermin tua dari rak bambu. "Lihatlah cermin ini."

Aryo menerima cermin itu dengan ragu. Ketika melihat ke dalamnya, dia tidak melihat pantulan wajahnya, melainkan sosok Eyang Sastrowardoyo yang tersenyum penuh kasih.

"Eyang..." bisik Aryo dengan suara bergetar.

"Kakekmu ingin kamu menemukan jalan yang benar, Aryo. Jalan yang tidak hanya membuat hidup sukses, tapi juga bermakna."

Air mata mulai mengalir di pipi Aryo. Dia merasa ada beban berat yang terangkat dari dadanya.

"Tapi Kyai, bagaimana dengan pekerjaan saya? Tanggung jawab saya?"

"Siapa bilang mencari kebahagiaan berarti meninggalkan tanggung jawab? Yang berubah adalah cara pandangmu terhadap hidup."


Seminggu berlalu dengan cepat. Aryo mulai memahami pelajaran sederhana namun mendalam yang diajarkan di pesantren ini. Dia belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari pencapaian materi, tapi dari kedamaian hati. Dia belajar bersyukur, ikhlas, dan yang terpenting, mengenal dirinya sendiri.

Suatu pagi, Kyai Wahidin mendatanginya yang sedang menyiram tanaman di kebun pesantren.

"Aryo, waktunya kamu pulang."

"Pulang? Tapi saya baru seminggu di sini, Kyai."

"Seminggu di sini sudah cukup untuk mengubah cara pandangmu. Sekarang, waktunya kamu mengamalkan apa yang sudah dipelajari di dunia luar."

Aryo merasa tidak rela. Pesantren ini sudah seperti rumah keduanya. Tapi dia tahu, kyai tidak pernah salah dalam keputusan.

"Kyai, apakah saya bisa kembali lagi ke sini?"

"Tentu saja. Pintu pesantren ini selalu terbuka untuk orang-orang yang mencari kebenaran."


Perjalanan pulang terasa berbeda. Motor trail yang ditinggalkan di bawah pohon beringin masih dalam kondisi baik, seolah baru ditinggal sebentar. Yang aneh, ketika Aryo melihat ponselnya, ternyata dia baru hilang kontak selama dua hari, bukan seminggu.

"Mungkin memang benar, waktu berjalan beda di pesantren itu," gumamnya sambil menjalankan motor.

Setiba di rumah, Bibi Lastri menyambutnya dengan wajah cemas. "Aryo, kamu kemana aja? Dari kemarin kok hilang?"

"Saya ke pesantren yang dibilang eyang, Bi."

"Ketemu?"

"Ketemu. Dan saya menemukan apa yang dicari eyang."

Aryo menceritakan pengalamannya di Pesantren Suci Mandala. Bibi Lastri mendengarkan dengan takjub, sesekali mengangguk-angguk paham.

"Berarti eyang mu emang ora salah. Kowe wis nemokake dalan sing bener."


Kembali ke Jakarta, Aryo memutuskan tidak mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tapi cara kerjanya berubah total. Dia tidak lagi mengejar target dengan serakah, tidak lagi stress karena persaingan kantor. Yang dia lakukan adalah memberikan yang terbaik dengan ikhlas, tanpa berharap imbalan berlebihan.

Kolega-koleganya mulai memperhatikan perubahan pada Aryo. Dia tampak lebih tenang, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, dan anehnya, performa kerjanya justru meningkat.

"Yo, kamu habis ikut training apa? Kok beda banget," tanya Rina, rekan sekerjanya.

"Bukan training, Rin. Saya habis belajar tentang kehidupan."

Setiap akhir pekan, Aryo rutin pulang ke Yogyakarta untuk menziarahi makam kakeknya. Di sana, dia selalu bercerita tentang kemajuan hidupnya dan berterima kasih atas wasiat berharga yang diberikan.

"Yang, terima kasih sudah menunjukkan jalan yang benar. Aryo sekarang paham apa yang eyang maksud."

Angin sepoi-sepoi seolah menjawab doanya, membawa ketenangan yang sama seperti yang dia rasakan di Pesantren Suci Mandala.


Suatu hari, ketika Aryo sedang berkunjung ke makam eyang, dia bertemu dengan seorang pemuda yang tampak bingung dan gelisah.

"Mas, maaf mengganggu. Saya mencari pesantren bernama Suci Mandala. Katanya ada di hutan sekitar sini. Apa mas tahu?"

Aryo tersenyum. Dia mengeluarkan kertas dan menggambar petunjuk sederhana menuju pesantren itu.

"Ini petunjuknya. Tapi ingat, pesantren itu hanya bisa ditemukan oleh orang yang benar-benar membutuhkannya."

"Maksudnya?"

"Kalau hati kamu sudah terbuka untuk belajar, pasti akan ketemu. Kalau belum, mungkin kamu akan tersesat."

Pemuda itu mengangguk paham dan pamit. Aryo memandangi punggungnya yang menjauh sambil tersenyum. Rupanya, Pesantren Suci Mandala masih terus "memanggil" orang-orang yang membutuhkan pencerahan.

Malam itu, Aryo bermimpi bertemu kembali dengan Kyai Wahidin. Kyai itu tersenyum bangga dan berkata, "Aryo, kamu sudah menemukan misi hidupmu. Sekarang, bantulah orang lain menemukan jalan mereka."

Aryo terbangun dengan hati yang penuh. Dia tahu, wasiat eyang bukan hanya tentang mencari pesantren itu, tapi juga tentang menjadi jembatan bagi orang lain yang sedang mencari makna hidup.

Sejak hari itu, rumah limasan di Kotagede sering didatangi orang-orang yang mencari petunjuk menuju Pesantren Suci Mandala. Dan Aryo, dengan senang hati, selalu memberikan arahan kepada mereka yang benar-benar siap untuk berubah.

Karena dia paham, wasiat sang eyang bukan hanya warisan untuk dirinya sendiri, tapi amanah untuk disebarkan kepada sesama pencari kebenaran.


- Tamat -

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi