Antara Cinta dan Takdir
Antara Cinta dan Takdir
Subuh itu, suara adzan dari menara masjid Pondok Pesantren Nurul Huda memecah kesunyian malam. Ahmad Fauzan bergegas mengambil air wudu di sumur belakang asrama putra. Matanya yang masih sembab karena begadang belajar nahwu semalaman kini mulai segar terkena percikan air dingin.
"Zan, kowe kok koyok wong lagi jatuh cinta wae. Senyum-senyum dewe," goda Mas Hakim, santri senior yang sudah seperti kakak baginya.
Fauzan hanya tersenyum tipis. Bagaimana dia bisa berkata bahwa memang benar dia sedang jatuh cinta? Pada seorang santri putri bernama Khadijah yang sering dia lihat di perpustakaan pesantren. Gadis yang selalu khusyuk membaca kitab kuning itu telah mencuri perhatiannya sejak semester lalu.
"Ora apa-apa, Mas. Cuma seneng wae soale besok ujian fiqh," elak Fauzan sambil mempercepat langkahnya menuju masjid.
Setelah salat subuh berjamaah, Fauzan sempat melihat Khadijah yang sedang berjalan menuju asrama putri bersama teman-temannya. Rambutnya yang tergerai di bawah kerudung putih, caranya berjalan yang tenang, dan senyumnya yang tulus kepada teman-temannya—semuanya membuat hati Fauzan berdebar.
"Mas Ahmad, aku mau curhat," bisik Fauzan kepada Mas Hakim ketika mereka sedang duduk di teras asrama setelah salat maghrib.
"Apa, Zan? Kelihatannya serius banget."
Fauzan menghela napas panjang. "Aku... aku suka sama Mbak Khadijah. Yang sering di perpustakaan itu."
Mas Hakim mengangguk-angguk. "Oalah, pantesan kowe sering bolak-balik perpustakaan. Tapi Zan, kowe kudu ati-ati. Perasaan koyok ngono iku wajar, tapi jangan sampai ganggu ibadah lan sinau."
"Aku tahu, Mas. Makanya aku mau minta saran. Kira-kira, kapan ya aku bisa ngomong sama Bapak tentang ini?"
"Lha, kowe wis kenal baik sama keluargane Mbak Khadijah?"
"Belum, Mas. Tapi... aku serius sama dia. Aku pengen lamar dia setelah lulus nanti."
Mas Hakim tersenyum. "Wah, wis mantep berarti. Ya udah, coba kowe ngomong sama Bapakmu. Tapi kudu hati-hati caranya."
Tiga bulan kemudian, ketika Fauzan pulang kampung untuk liburan semester, dia memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya. Pak Mahmud, seorang pedagang batik di Pasar Klewer, sedang duduk di teras rumah sambil menyeruput teh hangat.
"Pak, Fauzan ada yang mau dibicarakan," kata Fauzan dengan suara bergetar.
"Apa, Zan? Duduk sini," sahut ayahnya sambil menepuk kursi di sampingnya.
"Begini, Pak. Fauzan sudah punya pilihan untuk... untuk calon istri. Dia santri putri di pesantren yang sama dengan Fauzan."
Pak Mahmud mengernyitkan dahi. "Calon istri? Kowe masih sekolah, Zan. Belum waktunya mikir pernikahan."
"Iya, Pak. Fauzan tidak mau menikah sekarang. Tapi... Fauzan ingin Bapak merestui perasaan Fauzan. Nanti setelah lulus, Fauzan akan melamarnya."
"Hmm..." Pak Mahmud terdiam sejenak. "Keluarganya gimana?"
"Dia anak Kyai Subhan dari Madiun, Pak. Keluarga baik-baik."
"Lha, Mas Ahmad gimana?"
Pertanyaan itu membuat Fauzan terdiam. Mas Ahmad adalah kakak sulungnya yang sudah berusia 28 tahun tapi belum juga menikah. Sejak lulus dari pesantren lima tahun lalu, Mas Ahmad memilih untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk mengajar di pesantren dan melanjutkan studi Islam di berbagai tempat.
"Mas Ahmad... masih fokus sama studinya, Pak."
"Nah, itu masalahnya, Zan. Dalam adat kita, adik tidak boleh menikah dulu sebelum kakaknya. Kowe ngerti kan?"
Jantung Fauzan berdegup kencang. "Tapi Pak, Mas Ahmad sendiri yang bilang belum siap menikah. Dia masih mau berkelana untuk mendalami ilmu."
"Ya makanya. Kowe harus sabar sampai Mas Ahmad siap."
"Tapi Pak..." Fauzan berusaha menahan emosinya. "Kalau Fauzan harus menunggu sampai Mas Ahmad menikah, entah kapan itu terjadi. Sementara Mbak Khadijah... pasti ada yang melamar dia."
Pak Mahmud menatap anaknya dengan tatapan tegas. "Zan, aturan tetep aturan. Bapak tidak bisa melanggar adat yang sudah turun-temurun. Kalau kowe bener-bener sayang sama Mas Ahmad, kowe kudu ngerti posisinya."
"Tapi Pak, ini soal jodoh Fauzan. Kenapa harus tergantung sama keputusan Mas Ahmad?"
"Karena Mas Ahmad itu kakakmu! Dalam keluarga kita, urutan itu penting. Nanti orang-orang akan bicara kalau adik menikah dulu sebelum kakaknya."
Fauzan bangkit dari kursinya dengan mata berkaca-kaca. "Baik, Pak. Fauzan paham."
Malam itu, Fauzan mengurung diri di kamar. Hatinya hancur mendengar penolakan ayahnya. Dia memang paham adat Jawa yang mengatakan bahwa adik tidak boleh menikah sebelum kakaknya, tapi dia tidak menyangka aturan itu akan menghalangi kebahagiaannya.
Keesokan harinya, Mas Ahmad pulang dari pesantren tempat dia mengajar. Melihat wajah sedih adiknya, dia langsung tahu ada yang tidak beres.
"Zan, kowe kenapa? Kok kelihatan sedih banget?"
Fauzan menceritakan percakapannya dengan ayah mereka. Mas Ahmad mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk-angguk.
"Zan, aku minta maaf. Aku tahu kowe pasti kecewa," kata Mas Ahmad setelah Fauzan selesai bercerita.
"Mas Ahmad tidak salah, Mas. Ini memang sudah aturannya."
"Tapi aku juga merasa bersalah. Aku tahu aku sudah terlalu lama menunda pernikahan. Tapi aku benar-benar belum siap, Zan. Aku masih ingin belajar lebih banyak lagi."
Fauzan menatap kakaknya dengan pandangan sendu. "Mas Ahmad, aku tidak memaksa Mas untuk menikah sekarang. Tapi... aku mohon, kalau memang Mas belum siap dalam waktu dekat, bolehkah aku menikah dulu? Aku takut kehilangan Mbak Khadijah."
Mas Ahmad terdiam lama. Dia memahami perasaan adiknya, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan adat yang sudah mengakar dalam keluarga mereka.
"Zan, gimana kalau kita bicara sama Bapak bareng-bareng?"
Sore itu, kedua bersaudara itu duduk bersama ayah mereka di ruang tamu.
"Pak, aku sudah dengar dari Fauzan tentang keinginannya," kata Mas Ahmad membuka pembicaraan.
"Terus gimana, Mad?"
"Aku minta maaf, Pak. Aku sadar bahwa karena aku belum menikah, Fauzan jadi terhambat. Tapi aku juga belum siap untuk menikah sekarang."
Pak Mahmud menghela napas. "Lha, terus gimana dong?"
"Pak, bolehkah aku minta dispensasi? Aku ridho kalau Fauzan menikah dulu. Aku akan mengikhlaskan," kata Mas Ahmad dengan suara bergetar.
Fauzan menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. "Mas Ahmad..."
"Tidak bisa, Mad. Aturan tetap aturan. Kalau Bapak memberi dispensasi, nanti bisa jadi preseden yang buruk. Keluarga kita sudah menjaga adat ini turun-temurun."
"Tapi Pak, ini soal kebahagiaan Fauzan. Masa iya harus dikorbankan demi adat?"
"Adat itu ada untuk menjaga keharmonisan keluarga, Mad. Kalau kita langgar sekali, nanti akan ada masalah di kemudian hari."
Mas Ahmad bangkit dari kursinya. "Baik, Pak. Kalau begitu, aku akan menikah."
"Apa?" Fauzan dan ayahnya terkejut bersamaan.
"Aku akan cari istri dan menikah dalam waktu dekat. Supaya Fauzan bisa menikah juga."
"Mas Ahmad, jangan memaksakan diri demi aku," kata Fauzan dengan suara bergetar.
"Bukan memaksa, Zan. Mungkin ini sudah waktunya aku menikah. Selama ini aku terlalu sibuk dengan studi sampai melupakan kewajiban sebagai seorang muslim."
Pak Mahmud tersenyum puas. "Nah, itu baru anak Bapak. Kalian berdua harus saling mendukung."
Tiga bulan kemudian, Mas Ahmad benar-benar menikah dengan Siti Mariam, seorang guru madrasah yang dikenalkannya oleh kyai tempat dia mengajar. Pernikahan itu sederhana tapi penuh berkah.
Setelah pernikahan Mas Ahmad, giliran Fauzan yang diizinkan untuk melamar Khadijah. Dengan perasaan bercampur aduk—senang tapi juga merasa bersalah—Fauzan bersama ayahnya datang ke rumah Kyai Subhan di Madiun.
"Alhamdulillah, lamaran ini kami terima dengan senang hati," kata Kyai Subhan setelah mendengar maksud kedatangan mereka.
Khadijah yang duduk di samping ibunya hanya menunduk malu, tapi senyumnya yang tipis menandakan bahwa dia juga senang.
"Tapi kami mohon, pernikahannya setelah Khadijah lulus dari pesantren. Masih satu tahun lagi," tambah Kyai Subhan.
"Tentu saja, Kyai. Kami juga mengharapkan yang terbaik untuk pendidikan Khadijah," jawab Pak Mahmud.
Malam itu, di kamar asramanya, Fauzan menulis surat untuk Mas Ahmad.
"Mas Ahmad, terima kasih sudah mengorbankan keinginanmu demi kebahagiaan adikmu. Aku berjanji akan menjadi suami yang baik untuk Mbak Khadijah, seperti Mas Ahmad yang menjadi suami baik untuk Mbak Mariam. Semoga Allah membalas kebaikan Mas Ahmad dengan kebahagiaan yang berlimpah."
Setahun kemudian, pernikahan Fauzan dan Khadijah dilangsungkan dengan sederhana di pesantren. Mas Ahmad dan Mbak Mariam datang sebagai saksi, dengan wajah bahagia melihat kebahagiaan adiknya.
"Zan, aku senang melihatmu bahagia," bisik Mas Ahmad sambil memeluk adiknya setelah akad nikah.
"Mas Ahmad, terima kasih sudah memberikan kesempatan ini padaku. Aku tidak akan melupakannya."
"Ora apa-apa, Zan. Ternyata keputusan untuk menikah dulu juga membawa kebahagiaan untukku. Mbak Mariam itu istri yang baik."
Di pengajian malam setelah resepsi, Kyai Abdullah—pengasuh pesantren—memberikan nasihat kepada pengantin baru.
"Ingatlah, anak-anakku, bahwa cinta sejati bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang pengorbanan. Kadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang lain, dan kadang orang lain harus berkorban demi kebahagiaan kita. Yang penting adalah selalu bersyukur dan tidak melupakan mereka yang telah berjasa dalam hidup kita."
Fauzan dan Khadijah mengangguk, memahami betul makna nasihat itu. Mereka tahu bahwa kebahagiaan mereka tidak lepas dari pengorbanan Mas Ahmad yang rela menikah lebih dulu.
Lima tahun kemudian, ketika Fauzan dan Khadijah sudah dikaruniai dua orang anak, mereka sering berkunjung ke rumah Mas Ahmad dan Mbak Mariam yang juga sudah memiliki tiga orang anak.
"Mas Ahmad, aku masih merasa bersalah sampai sekarang," kata Fauzan suatu sore ketika mereka sedang ngobrol di teras rumah.
"Kenapa, Zan?"
"Karena Mas Ahmad harus menikah dulu demi aku. Padahal Mas Ahmad masih ingin fokus belajar."
Mas Ahmad tersenyum. "Zan, kowe ngerti ora? Ternyata pernikahan itu tidak menghalangi aku untuk belajar. Justru dengan adanya Mbak Mariam, aku jadi lebih semangat. Dia selalu mendukung cita-citaku."
"Bener, Mas?"
"Bener. Bahkan sekarang aku sudah hampir selesai menulis kitab tentang fiqh kontemporer. Semuanya berkat dukungan istri dan keluarga."
Fauzan tersenyum lega. "Alhamdulillah, berarti keputusan kita dulu memang yang terbaik."
"Iya, Zan. Allah punya cara-Nya sendiri untuk mengatur hidup kita. Yang penting, kita selalu bersyukur dan saling mendukung sebagai keluarga."
Sore itu, sambil melihat anak-anak mereka bermain di halaman, Fauzan dan Mas Ahmad tersenyum. Mereka sadar bahwa adat yang awalnya terasa mengekang, ternyata mengajarkan mereka tentang arti kebersamaan dan pengorbanan dalam keluarga.
Dan ketika Fauzan melihat Khadijah yang sedang mengajari anak-anak mengaji, hatinya dipenuhi rasa syukur. Cinta yang dulu terasa mustahil karena terhalang adat, kini telah berbuah kebahagiaan yang berlimpah—tidak hanya untuknya, tapi juga untuk seluruh keluarga.
Comments