Antara Hati dan Kewajiban


 

Antara Hati dan Kewajiban

Gus Fahmi menutup kitab Fathul Qarib yang baru saja selesai ia ajarkan kepada para santri putri. Matanya tak sengaja tertumbuk pada sosok Zahra yang sedang membereskan catatan-catatannya dengan teliti. Gadis berusia dua puluh tahun itu selalu duduk di barisan depan, selalu memperhatikan dengan seksama setiap penjelasan yang diberikan.

"Zahra," panggil Gus Fahmi pelan.

"Iya, Gus?" Zahra mendongak, menampakkan wajah yang teduh dengan mata yang jernih.

"Tadi kamu tanya tentang hukum wudhu dengan air yang tercampur parfum, kan? Nanti sore ketemu di perpustakaan ya, saya jelaskan lebih detail."

Zahra mengangguk sambil tersenyum. "Baik, Gus. Terima kasih."

Ketika Zahra keluar dari ruangan bersama santri putri lainnya, Gus Fahmi masih terdiam di tempatnya. Sudah tiga bulan ini perasaan aneh mengganjal di dadanya. Perasaan yang tak seharusnya ada, tapi terus tumbuh setiap kali ia melihat antusiasme Zahra dalam belajar agama.

Astighfirullah, batinnya. Apa yang sedang terjadi dengan diriku?

Sore hari, tepat setelah sholat ashar, Zahra datang ke perpustakaan seperti yang dijanjikan. Gus Fahmi sudah menunggu dengan beberapa kitab referensi terbuka di atas meja.

"Silakan duduk, Zahra. Jadi, tadi pagi kamu bertanya tentang..."

Gus Fahmi mulai menjelaskan dengan detail, sesekali membuka kitab untuk menunjukkan dalil-dalil yang relevan. Zahra mendengarkan dengan seksama, sesekali bertanya dengan pertanyaan yang cerdas dan mendalam.

"Subhanallah, Gus. Penjelasan sampean sangat jelas. Terima kasih banyak."

"Sama-sama. Kamu memang santri yang rajin, Zahra. Jarang ada yang seantusias kamu dalam belajar fiqih."

Zahra tersenyum malu. "Saya memang senang belajar agama, Gus. Apalagi dengan penjelasan yang mudah dipahami seperti yang Gus berikan."

Di saat itulah, tanpa Gus Fahmi sadari, Ustadz Hakim masuk ke perpustakaan. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu adalah ustadz senior di pesantren yang juga mengajar santri putri.

"Assalamu'alaikum," sapa Ustadz Hakim.

"Wa'alaikumussalam," jawab Gus Fahmi dan Zahra bersamaan.

"Lagi belajar tambahan ya? Zahra memang santri yang rajin," kata Ustadz Hakim sambil tersenyum kepada Zahra.

"Iya, Ustadz. Gus Fahmi sedang menjelaskan tentang hukum wudhu dengan air parfum."

"Oh, topik yang menarik. Kalau boleh, saya tambahkan sedikit penjelasan."

Ustadz Hakim kemudian duduk dan mulai memberikan penjelasan tambahan dengan gaya yang berbeda dari Gus Fahmi. Lebih santai, diselingi humor, dan terkesan lebih dekat dengan santri.

Gus Fahmi memperhatikan bagaimana Zahra merespons penjelasan Ustadz Hakim. Gadis itu tertawa kecil ketika Ustadz Hakim menceritakan pengalaman lucu saat mengajar di pesantren lain.

Setelah selesai, Ustadz Hakim berkata, "Zahra, kalau ada pertanyaan lain, jangan sungkan datang ke saya ya. Saya biasanya ada di kantor setelah maghrib."

"Baik, Ustadz. Terima kasih."

Ketika Zahra sudah pergi, Ustadz Hakim masih tinggal di perpustakaan. Ia menatap Gus Fahmi dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Gus Fahmi, boleh saya ngobrol sebentar?"

"Tentu, Ustadz."

"Saya lihat kamu sering memberikan bimbingan khusus kepada Zahra. Apa ada alasan tertentu?"

Gus Fahmi terdiam sejenak. "Dia santri yang rajin dan banyak bertanya. Saya rasa wajar jika memberikan penjelasan lebih."

"Hmm, begitu ya." Ustadz Hakim tersenyum tipis. "Tapi hati-hati, Gus. Jangan sampai ada yang salah paham."

Malam itu, Gus Fahmi tidak bisa tidur dengan tenang. Kata-kata Ustadz Hakim terus berputar di kepalanya. Apa maksud pria itu? Apakah ia menyadari perasaan yang berkembang di hati Gus Fahmi?

Keesokan harinya, saat mengajar, Gus Fahmi mencoba bersikap biasa saja. Tapi matanya tetap saja sering tertuju pada Zahra. Gadis itu hari ini tampak lebih ceria dari biasanya.

Setelah kelas berakhir, Zahra menghampiri Gus Fahmi.

"Gus, tadi malam saya diskusi dengan Ustadz Hakim tentang materi yang Gus ajarkan kemarin. Beliau memberikan perspektif yang menarik juga."

Gus Fahmi merasakan seperti ada yang menusuk dadanya. "Oh, begitu. Syukurlah kalau kamu bisa memahami lebih dalam."

"Iya, Gus. Ustadz Hakim mengajak saya untuk ikut kajian khusus yang ia buat untuk santri senior. Kata beliau, saya sudah cukup mampu untuk mengikuti."

"Itu... bagus. Semoga bermanfaat untukmu."

Dalam hati, Gus Fahmi merasa seperti kalah sebelum bertanding. Ustadz Hakim memang lebih senior, lebih berpengalaman, dan sepertinya lebih pandai mendekati santri.

Minggu-minggu berikutnya, Gus Fahmi melihat bagaimana Zahra semakin dekat dengan Ustadz Hakim. Gadis itu sering terlihat berbincang dengan ustadz tersebut setelah kajian, bahkan sesekali tertawa bersama.

Suatu sore, ketika Gus Fahmi sedang sendirian di taman pesantren, Zahra tiba-tiba menghampirinya.

"Gus, boleh saya duduk sebentar?"

"Tentu."

Mereka duduk dalam keheningan sejenak. Zahra tampak ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu.

"Gus, saya mau curhat boleh?"

"Silakan."

"Sebenarnya... saya bingung dengan perasaan saya sendiri." Zahra menundukkan kepalanya. "Saya merasa... tertarik dengan ilmu agama yang Gus ajarkan. Cara Gus menjelaskan selalu membuat saya semangat belajar. Tapi..."

"Tapi?"

"Ustadz Hakim juga baik sekali. Beliau perhatian dan selalu menyemangati saya. Saya merasa nyaman berbicara dengan beliau."

Gus Fahmi merasakan dadanya sesak. "Lalu... apa yang kamu rasakan?"

Zahra diam lama. "Saya tidak tahu, Gus. Mungkin... mungkin saya harus fokus pada studi saja dulu. Perasaan-perasaan seperti ini membuat saya bingung."

Malam itu, Gus Fahmi melakukan sholat istikharah. Ia memohon petunjuk Allah tentang perasaan yang berkecamuk di dadanya. Setelah sholat, ia duduk terdiam dalam gelap, merenungkan situasi yang dihadapinya.

Ya Allah, jika memang ini takdir-Mu, berikanlah jalan yang terbaik. Jika bukan, jauhkanlah perasaan ini dari hatiku.

Keesokan harinya, ketika hendak mengajar, Gus Fahmi melihat Ustadz Hakim sedang berbincang serius dengan Kyai, pengasuh pesantren. Dari raut wajah mereka, sepertinya sedang membicarakan hal penting.

Setelah mengajar, Kyai memanggil Gus Fahmi ke ruangannya.

"Fahmi, ada yang ingin saya bicarakan denganmu."

"Iya, Kyai."

"Ustadz Hakim tadi datang ke saya. Beliau menyampaikan keinginannya untuk meminang Zahra."

Gus Fahmi merasa dunia seperti runtuh. "Oh..."

"Menurutmu bagaimana? Kamu kan yang paling sering berinteraksi dengan Zahra dalam hal akademik."

Gus Fahmi terdiam lama. Hatinya berteriak untuk mengatakan perasaannya, tapi akalnya berkata lain.

"Ustadz Hakim adalah orang yang baik, Kyai. Beliau ustadz senior yang sudah berpengalaman. Mungkin... mungkin itu pilihan yang tepat untuk Zahra."

"Kamu yakin? Aku lihat kamu juga dekat dengan Zahra."

"Kedekatan kami hanya sebatas guru dan murid, Kyai. Tidak lebih."

Tiga hari kemudian, kabar pinangan Ustadz Hakim tersebar di pesantren. Zahra tampak terkejut tapi tidak menolak. Orang tuanya yang dipanggil ke pesantren juga menyetujui pinangan tersebut.

Gus Fahmi memilih menghindar dari keramaian yang membicarakan rencana pernikahan itu. Ia menghabiskan waktu di perpustakaan, tenggelam dalam kitab-kitab klasik yang biasanya ia baca.

Suatu malam, ketika sedang sendirian di taman, Zahra tiba-tiba datang menghampirinya.

"Gus, saya mau pamit."

"Pamit?"

"Setelah menikah nanti, saya akan pindah ke pesantren yang Ustadz Hakim asuh. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas semua ilmu yang telah Gus berikan."

Gus Fahmi menatap wajah Zahra yang tampak teduh di bawah sinar bulan. "Semoga Allah memberikan kebahagiaan untukmu, Zahra."

"Aamiin. Gus, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Silakan."

"Kenapa Gus tidak ikut melamar saya?"

Pertanyaan itu membuat Gus Fahmi terdiam. Zahra melanjutkan, "Saya merasakan... ada sesuatu yang berbeda dalam cara Gus memperlakukan saya. Tapi kenapa Gus membiarkan Ustadz Hakim melamar saya tanpa perlawanan?"

Gus Fahmi tersenyum pahit. "Karena saya tahu, Ustadz Hakim lebih layak untukmu. Beliau lebih dewasa, lebih berpengalaman, dan bisa memberikan kehidupan yang lebih baik."

"Tapi bagaimana dengan perasaan, Gus?"

"Perasaan... kadang harus dikesampingkan demi kemaslahatan yang lebih besar."

Zahra diam lama. "Barangkali... barangkali ini memang takdir Allah."

Sebulan kemudian, pernikahan Zahra dan Ustadz Hakim dilangsungkan dengan sederhana di pesantren. Gus Fahmi hadir sebagai salah satu saksi, tersenyum meskipun hatinya terasa remuk.

Ketika pengantin berpamitan dengan para ustadz dan santri, Zahra sempat menatap Gus Fahmi dengan pandangan yang sulit diartikan. Seolah ada kata-kata yang tak terucap di antara mereka.

Malam itu, setelah keramaian pernikahan usai, Gus Fahmi duduk sendirian di taman tempat ia sering berbincang dengan Zahra. Ia menatap langit penuh bintang sambil berbisik:

"Ya Allah, jika memang ini yang terbaik untuknya, berikanlah kekuatan untukku untuk merelakannya. Dan jika ada hikmah di balik semua ini, buatlah aku bisa memahaminya."

Angin malam bertiup pelan, membawa aroma melati yang menguar dari taman pesantren. Gus Fahmi tersenyum kecil, meskipun ada air mata yang menggenang di matanya.

Cinta memang tidak selalu harus dimiliki. Kadang, merelakan adalah bentuk cinta yang paling mulia.


Wallahu a'lam bishawab.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi