Kekuatan Hati yang Diam

 


Kekuatan Hati yang Diam

Mu’izzatin Nufus Bidzikrillah

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)


 

Matahari belum sepenuhnya terbit ketika bel sahur berbunyi di Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Para santri putri bergegas bangun untuk menjalankan puasa Senin-Kamis yang dianjurkan oleh Kyai Ihsanuddin. Di antara kerumunan santri putri yang mengantri untuk mengambil sahur di kantin, seorang gadis berkerudung biru muda berdiri sendirian di ujung barisan.

"Itu dia si pendiam," bisik Ulfa cukup keras pada Rizka yang berdiri di sampingnya. "Anak ustadz yang sok suci."

Iza, gadis berkerudung biru muda itu, pura-pura tidak mendengar. Ia hanya menundukkan kepala, menggenggam nampan makannya sedikit lebih erat. Di usianya yang baru lima belas tahun, ia sudah terbiasa menjadi bahan gunjingan dan ejekan selama enam bulan tinggal di pesantren.

"Eh, Iza!" panggil Rizka dengan nada dibuat-buat. "Nanti coba tanya Ustadz Nusa ya, kenapa nilai bahasa Arab kita jelek? Kan bapakmu dekat sama beliau, pasti bisa bantu."

Lagi-lagi, Iza hanya tersenyum tipis dan mengangguk sopan, meski dalam hati ia merasa tertusuk. Ayahnya, Ustadz Nusa, memang mengajar di madrasah pesantren bagian putra, tapi Iza tidak pernah sekalipun minta bantuan khusus darinya.

"Dasar tidak punya pendirian," gumam Ulfa, cukup keras untuk didengar Iza. "Dibilangin apa saja nurut."

Kantin putri pagi itu ramai seperti biasa. Mbak Qia, kepala kantin putri yang terkenal dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, sedang membagikan menu sahur: bubur sumsum dan teh hangat.

"Good morning, Iza," sapa Mbak Qia ramah. "Puasa again today?"

"Yes, Miss," jawab Iza sopan sambil menerima semangkuk bubur.

"Don't mind them," bisik Mbak Qia sambil melirik ke arah Rizka dan Ulfa yang masih berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah Iza. "They're just jealous because your father is a respected teacher here."

Iza hanya tersenyum lemah. Ia tahu bukan hanya itu alasannya. Ada banyak hal yang membuat Rizka, Ulfa, dan beberapa santri putri lainnya tidak menyukainya: nilainya yang selalu bagus, kepatuhannya pada peraturan pesantren, dan sikapnya yang pendiam. Kombinasi sempurna untuk menjadi target bully.


"Assalamualaikum, anak-anak."

"Waalaikumsalam, Ustadz," jawab para santri putri serempak.

Ustadz Nusa memasuki kelas madrasah diniyah dengan langkah tenang namun berwibawa. Sebagai pengajar bahasa Arab dan olahraga, ia sangat dihormati di Pesantren Maulana Malik Ibrahim. Dengan tubuh tegap dan janggut rapi, tidak ada yang menduga bahwa pria berusia empat puluh lima tahun ini adalah seorang yang sangat lembut terhadap keluarganya, terutama putri semata wayangnya, Iza.

Dari bangku paling belakang, Iza memperhatikan ayahnya dengan diam. Mereka memang berjanji untuk bersikap profesional di lingkungan pesantren—Ustadz Nusa sebagai guru, dan Iza sebagai santri biasa. Tidak ada perlakuan istimewa, tidak ada komunikasi khusus selain yang diperlukan. Iza bahkan jarang berkomunikasi dengan ayahnya di pesantren, kecuali untuk hal-hal penting atau ketika pulang ke rumah yang terletak tak jauh dari kompleks pesantren setiap dua minggu sekali.

"Hari ini kita akan membahas bab mubtada' dan khabar," Ustadz Nusa memulai pelajaran. "Buka kitab Jurumiyah halaman 34."

Suara lembar-lembar kitab yang dibuka memenuhi ruangan. Iza meraih kitabnya, namun tidak menemukannya di dalam tas. Jantungnya berdetak cepat. Ia yakin sekali tadi pagi sudah menyiapkan kitab itu.

"Iza, mana kitabmu?" tanya Ustadz Nusa, menyadari putrinya tampak kebingungan.

"Maaf, Ustadz. Sepertinya tertinggal," jawab Iza pelan.

"Pinjam dengan temanmu untuk hari ini," ujar Ustadz Nusa, berusaha tidak menunjukkan keheranan. Iza tidak pernah lupa membawa kitab sebelumnya.

Iza menoleh ke samping, ke arah Khalila. "Boleh pinjam kitabnya bersama?"

"Tentu," jawab Khalila sambil menggeser kitabnya ke tengah bangku.

Dari sudut matanya, Iza melihat Rizka dan Ulfa terkikik. Saat itu ia menyadari—kitabnya pasti 'disembunyikan' lagi. Ini bukan pertama kalinya barang-barangnya menghilang secara misterius.


Sore itu, setelah jamaah Ashar dan musyawarah kelas, Iza kembali ke asrama putri untuk mengambil Al-Quran. Saat membuka lokernya, ia menemukan kitab Jurumiyah yang 'hilang' tadi, dengan beberapa halaman yang sudah dicoret-coret dengan spidol merah. Di halaman yang seharusnya dipelajari hari ini, ada tulisan besar: "ANAK USTADZ SOK PINTAR."

Iza menghela napas panjang. Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap kitab yang rusak itu dengan mata berkaca-kaca. Tapi tidak ada air mata yang jatuh. Ia sudah terlatih untuk menahan tangis, untuk tidak menunjukkan kelemahan.

"Iza, kamu tidak ke mushola?" tanya Bu Hawa, kepala asrama putri yang baru saja masuk untuk memeriksa santri yang belum bergegas ke mushola.

Dengan cepat, Iza menyembunyikan kitab itu di bawah bantal. "Iya, Bu. Saya segera ke sana."

Bu Hawa, wanita paruh baya yang tegas namun berwibawa itu, menyadari ada yang tidak beres dengan raut wajah Iza. "Ada masalah, Nak?"

"Tidak ada, Bu. Saya hanya sedikit lelah," jawab Iza, memaksakan senyum.

Bu Hawa tampak tidak puas dengan jawaban itu, tapi memutuskan untuk tidak mendesak. "Baiklah. Tapi ingat, pesantren ini adalah rumah kedua kita. Jika ada masalah, jangan disimpan sendiri."

Iza mengangguk sopan. Setelah Bu Hawa pergi, ia mengeluarkan kitabnya, mencoba membersihkan coretan-coretan di sana sebisa mungkin. Beberapa halaman sudah terlanjur rusak, tapi setidaknya masih bisa dibaca.

"Kenapa disembunyikan?" suara lembut Khalila mengejutkan Iza. "Bukankah lebih baik bilang ke Bu Hawa atau ayahmu?"

Iza mendongak, melihat Khalila berdiri di ambang pintu kamar. "Tidak apa-apa, Lila. Nanti juga berhenti sendiri."

Khalila, santri yang dikenal jenius itu, duduk di samping Iza. "Sudah berapa lama ini terjadi?"

"Hampir sejak aku masuk," jawab Iza pelan. "Tapi sungguh, tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya."

"Dengan diam saja?" Khalila menggeleng tidak setuju. "Iza, bullying itu tidak akan berhenti jika kamu terus diam."

"Aku tidak ingin membuat masalah," Iza menutup kitabnya. "Ayah sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya. Dan lagi, aku tidak ingin orang-orang berpikir aku mendapat perlakuan istimewa karena aku anak ustadz."

Khalila menghela napas. "Keras kepala sekali. Tapi baiklah, aku akan menemanimu. Ayo, kita ke mushola sebelum Bu Fika mulai mencari."


Malam itu, setelah kegiatan madrasah diniyah, semua santri kembali ke asrama untuk istirahat. Iza baru saja selesai mencuci mukena di kamar mandi ketika ia mendengar suara-suara dari balik bilik kamar mandi.

"...anak ustadz itu benar-benar menyebalkan," terdengar suara Rizka. "Selalu sok baik di depan para ustadz dan pengurus."

"Iya, dan nilai-nilainya selalu tinggi," sambung Ulfa. "Pasti karena ayahnya."

"Besok kita apakan lagi dia?" tanya suara ketiga yang Iza kenali sebagai suara Husna.

"Bagaimana kalau kita sembunyikan semua seragam madrasahnya?" usul Ulfa. "Biar dia telat dan kena hukum Bu Fika."

Tawa kecil mengiringi usul itu. Iza menggigit bibir bawahnya, mencoba mengabaikan rasa sakit di dadanya. Dengan tenang, ia mengambil ember cuciannya dan keluar dari kamar mandi, berpura-pura tidak mendengar apa-apa.

Saat berjalan kembali ke kamarnya, Iza berpapasan dengan Bu Fika, kepala keamanan putri yang terkenal pendiam namun jeli dalam memecahkan masalah.

"Mencuci malam-malam, Iza?" tanya Bu Fika.

"Iya, Bu. Tadi sore belum sempat," jawab Iza sopan.

Bu Fika memperhatikan wajah Iza dengan seksama. "Kamu tampak lelah. Ada masalah?"

"Tidak ada, Bu. Hanya tugas yang menumpuk," jawab Iza dengan senyum yang dipaksakan.

Bu Fika mengangguk pelan, meski matanya menyiratkan ketidakpercayaan. "Istirahat yang cukup. Besok masih ada setoran hafalan pada Bunyai Fifi, kan?"

"Iya, Bu. Terima kasih sudah mengingatkan."

Setelah Bu Fika berlalu, Iza menghela napas lega. Namun kelegaan itu tidak bertahan lama. Ketika sampai di kamar, ia menemukan kasurnya basah kuyup. Sebuah ember kecil tergeletak di dekat kasur, menandakan air sengaja ditumpahkan di sana.

Khalila yang sedang membaca buku di kasurnya sendiri langsung berdiri melihat kondisi kasur Iza. "Ya Allah! Siapa yang melakukan ini?"

Iza hanya menggeleng lemah. "Tidak apa-apa, Lila. Aku bisa tidur di lantai malam ini."

"Tidak!" bantah Khalila tegas. "Kamu tidur di kasurku. Aku akan melaporkan ini pada Bu Hawa."

"Jangan!" Iza menahan tangan Khalila. "Tolonglah, biarkan saja."

"Tapi Iza—"

"Kumohon," pinta Iza dengan tatapan memelas. "Aku tidak ingin keadaan semakin buruk."

Khalila akhirnya mengangguk dengan enggan. "Baiklah. Tapi kamu tidur di kasurku, dan aku akan tidur di kasur Husna yang sedang pulang ke rumah."

Iza mengangguk lemah, terlalu lelah untuk berdebat lebih jauh.


Pagi berikutnya, sesuai dugaan Iza, semua seragam madrasahnya menghilang dari loker. Ia hanya bisa mengenakan seragam bekas yang sudah agak kusam, yang sengaja ia simpan di bawah kasur sebagai cadangan—pelajaran dari pengalaman masa lalu.

"Kamu yakin tidak mau melapor?" tanya Khalila lagi ketika mereka berjalan menuju gedung madrasah. "Ini sudah keterlaluan, Iza."

"Tidak apa-apa," jawab Iza lirih. "Hanya dua bulan lagi sampai ujian akhir semester. Setelah itu, mungkin mereka akan bosan sendiri."

Khalila menggeleng frustrasi. "Aku tidak mengerti kenapa kamu begitu keras kepala. Ayahmu seorang ustadz di sini, kamu bisa langsung mengadu padanya."

"Justru karena itu, Lila," Iza menatap gedung madrasah di kejauhan. "Ayah sudah cukup stres dengan pekerjaannya. Beliau juga sedang mempersiapkan tim voli pesantren untuk turnamen antar-pesantren bulan depan. Aku tidak ingin menambah bebannya."

Khalila terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi menghadapi keteguhan Iza.

Hari itu berlangsung seperti biasa. Iza menjalani rutinitas dengan tenang, berusaha mengabaikan bisikan-bisikan dan lirikan-lirikan yang ditujukan padanya. Pada jam istirahat siang, ia memilih untuk pergi ke perpustakaan daripada ke kantin, menghindari kemungkinan gangguan dari Rizka dan kawan-kawannya.

Di perpustakaan yang sepi, Iza bisa bernapas lega untuk sementara. Ia mengambil sebuah kitab tafsir dan mulai membacanya dengan tenang. Begitu khusyuknya ia membaca hingga tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya.

"Masyaallah, rajinnya putriku ini," sebuah suara lembut mengejutkan Iza.

"Bunyai!" Iza berdiri dengan hormat melihat istri Kyai Ihsan, Bunyai Fifi, berdiri di sampingnya.

"Duduk, Nak," Bunyai Fifi tersenyum hangat. "Tidak ke kantin?"

"Saya... saya sudah makan sedikit tadi, Nyai," bohong Iza. Sebenarnya, ia belum makan apa-apa sejak pagi karena takut ke kantin.

Bunyai Fifi, wanita anggun asal Surakarta itu, memiliki mata yang tajam. "Benarkah? Wajahmu pucat, Nak."

"Saya baik-baik saja, Nyai," Iza memaksakan senyum.

Bunyai Fifi duduk di samping Iza. "Mbak Ita memberitahu saya bahwa kamu sering sendirian belakangan ini. Ada masalah dengan teman-temanmu?"

Iza tersentak. Mbak Ita, khodam Bunyai Fifi yang modis itu, ternyata memperhatikannya. "Tidak ada masalah, Nyai. Saya hanya lebih suka ketenangan perpustakaan."

Bunyai Fifi mengangguk pelan, meski matanya menyiratkan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya. "Kamu tahu, Nak, pesantren ini bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tapi juga tempat belajar hidup bermasyarakat. Berteman dan berbagi adalah bagian dari pendidikan di sini."

"Saya mengerti, Nyai," jawab Iza sopan.

"Baiklah kalau begitu," Bunyai Fifi bangkit berdiri. "Jangan lupa setoran hafalan surat Al-Waqiah besok pagi, ya."

"Insya Allah, Nyai."

Setelah Bunyai Fifi pergi, Iza menghela napas panjang. Semakin banyak orang yang mulai memperhatikan situasinya. Ia tidak yakin bisa terus menyembunyikan masalah ini lebih lama lagi.


Sore itu, setelah shalat Ashar, Iza mendapat pesan dari Bu Hawa bahwa ayahnya menunggu di ruang tamu asrama putri. Dengan jantung berdebar, ia bergegas ke sana. Tidak biasanya ayahnya memanggilnya di pesantren, kecuali ada hal penting.

"Assalamualaikum, Ayah," salam Iza saat melihat Ustadz Nusa duduk di sofa ruang tamu.

"Waalaikumsalam, Nak," balas Ustadz Nusa dengan senyum hangat. "Duduklah."

Iza duduk di hadapan ayahnya dengan gelisah. "Ada apa, Yah?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Ustadz Nusa tenang. "Ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Sudah hampir dua minggu kita tidak bertemu."

Iza mengangguk. "Saya baik-baik saja, Yah."

"Benarkah?" Ustadz Nusa menatap putrinya dengan dalam. "Mata ini sudah melihatmu selama lima belas tahun, Iza. Ayah tahu kapan kamu berbohong."

Iza menunduk, tidak berani menatap mata ayahnya. "Sungguh, saya baik-baik saja."

Ustadz Nusa menghela napas. "Ayah bertemu dengan Khalila tadi."

Jantung Iza seolah berhenti berdetak. "Khalila?"

"Ya. Dia sangat mengkhawatirkanmu." Ustadz Nusa mengeluarkan sebuah kitab dari tasnya—kitab Jurumiyah milik Iza yang penuh coretan. "Dan dia memberikan ini pada Ayah."

Iza terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti tertangkap basah menyembunyikan sesuatu yang besar.

"Kenapa tidak pernah cerita, Nak?" tanya Ustadz Nusa dengan suara lembut namun penuh keprihatinan.

"Saya... tidak ingin membebani Ayah," jawab Iza pelan. "Ayah sudah cukup sibuk dengan pekerjaan di madrasah dan tim voli."

"Tidak ada kesibukan yang lebih penting daripada kebahagiaan putriku," ujar Ustadz Nusa tegas. "Sejak kapan ini terjadi?"

Iza menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab.

"Sejak kapan, Iza?" desak Ustadz Nusa lembut.

"Hampir sejak awal masuk pesantren," akhirnya Iza mengaku.

Ustadz Nusa terlihat terkejut. "Enam bulan? Dan kamu menyimpannya sendirian selama itu?"

Air mata yang selama ini ditahan Iza akhirnya jatuh juga. "Maafkan saya, Ayah. Saya pikir saya bisa mengatasinya sendiri. Saya tidak ingin mereka berpikir saya mendapat perlakuan istimewa karena saya anak Ustadz Nusa."

Ustadz Nusa berpindah duduk ke samping putrinya, merangkul pundaknya dengan lembut. "Nak, meminta pertolongan saat disakiti bukanlah kelemahan. Itu adalah hak setiap santri di sini, termasuk kamu."

"Tapi Ayah, mereka—"

"Tindakan bullying tidak pernah dibenarkan dalam agama kita," potong Ustadz Nusa tegas. "Islam mengajarkan kita untuk saling menyayangi, bukan saling menyakiti."

Iza terisak pelan dalam pelukan ayahnya. Semua beban yang selama ini ia tanggung sendiri seolah tumpah keluar. "Saya takut masalah ini akan membuat Ayah kecewa."

"Kecewa? Kenapa Ayah harus kecewa?" Ustadz Nusa mengusap air mata putrinya. "Ayah justru bangga dengan ketabahanmu. Tapi kadang, ketabahan perlu diimbangi dengan ketegasan, Nak."

"Jadi... apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanya Iza.

"Biar Ayah yang bicara dengan Kyai Ihsan dan Bu Hawa," jawab Ustadz Nusa. "Mereka perlu tahu apa yang terjadi di pesantren ini. Kita akan menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik."

Iza mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak enam bulan terakhir, ia merasa bebannya terangkat. Meski masih ada kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, setidaknya ia tidak lagi menghadapinya sendirian.


Keesokan harinya, Iza dikejutkan dengan suasana yang berbeda di kelasnya. Bu Fika, kepala keamanan putri, sedang berbicara serius dengan Rizka, Ulfa, dan Husna di sudut kelas. Wajah ketiganya terlihat pucat.

"Apa yang terjadi?" tanya Iza pada Khalila yang duduk di sampingnya.

"Bu Fika menemukan seragam-seragammu di lemari Rizka tadi pagi," bisik Khalila. "Dan sepertinya mereka juga ketahuan melakukan bullying pada santri-santri lain."

Iza terkesiap. "Bagaimana Bu Fika bisa tahu?"

"Dia kan memang ahli memecahkan kasus," jawab Khalila. "Dan... maafkan aku, Iza. Aku tidak tahan melihatmu terus disakiti. Jadi aku memberikan kitabmu pada ayahmu kemarin."

Alih-alih marah, Iza justru tersenyum dan meremas tangan sahabatnya itu. "Terima kasih, Lila. Seharusnya aku mendengarkanmu sejak awal."

Pagi itu, setelah pengajian Al-Quran, semua santri putri dikumpulkan di aula. Kyai Ihsan, Bunyai Fifi, Bu Hawa, dan Bu Fika berdiri di depan dengan wajah serius.

"Anak-anakku sekalian," Kyai Ihsan memulai dengan suaranya yang berwibawa. "Pagi ini, saya ingin mengingatkan kembali tentang hakikat pesantren. Tempat ini bukan hanya untuk menimba ilmu agama, tapi juga untuk membentuk akhlak yang mulia."

Kyai Ihsan menjeda, tatapannya menyapu seluruh ruangan. "Telah sampai kabar pada saya bahwa ada praktik bullying di kalangan santri putri. Sebagai muslim, kita diajarkan untuk saling menyayangi, bukan saling menyakiti."

Suasana aula menjadi hening. Beberapa santri menunduk, yang lain saling melirik gelisah.

"Bu Fika telah melakukan investigasi dan menemukan bukti-bukti yang cukup," lanjut Kyai Ihsan. "Kepada yang terlibat, kalian akan mendapat konsekuensi dari tindakan kalian. Bukan hukuman semata, tapi sebagai bentuk pembelajaran."

Dari tempatnya duduk, Iza bisa melihat Rizka, Ulfa, dan Husna duduk di barisan depan dengan wajah tertunduk. Entah bagaimana, alih-alih merasa puas, ia justru merasa kasihan.

"Dan kepada santri yang pernah menjadi korban," Kyai Ihsan melanjutkan, tatapannya kini tertuju pada Iza, "ketahuilah bahwa diam bukan selalu emas. Ada kalanya kita perlu bersuara demi kebaikan bersama."

Setelah pertemuan itu, Bu Hawa mengumumkan bahwa Rizka, Ulfa, dan Husna akan menjalani masa pengawasan khusus selama sebulan. Mereka akan membantu di dapur umum dan perpustakaan, serta wajib mengikuti bimbingan khusus dengan Bunyai Fifi.


Sore itu, setelah kegiatan pesantren selesai, Iza dikejutkan dengan kehadiran Rizka di depan kamarnya.

"Bisa bicara sebentar?" tanya Rizka dengan suara pelan, tidak seperti biasanya yang lantang dan penuh percaya diri.

Iza mengangguk, mengikuti Rizka ke taman kecil di belakang asrama.

"Aku... ingin minta maaf," ucap Rizka setelah mereka duduk di bangku taman. "Untuk semua yang kulakukan padamu selama ini."

Iza menatap Rizka, mencari tanda-tanda ketidaktulusan, tapi yang ia temukan hanyalah penyesalan yang tulus.

"Aku tahu mungkin kamu sulit memaafkanku," lanjut Rizka. "Tapi aku benar-benar menyesal."

"Kenapa?" tanya Iza lembut. "Kenapa kamu melakukan semua itu padaku?"

Rizka terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian. "Aku... iri padamu. Kamu selalu mendapat nilai bagus, disayangi para ustadz dan bunyai, dan... kamu punya ayah yang peduli padamu. Ayahku meninggalkanku dan ibuku ketika aku masih kecil."

Air mata menetes di pipi Rizka. "Ketika melihatmu dengan Ustadz Nusa, rasanya sakit. Aku selalu bertanya-tanya, kenapa ayahku tidak bisa seperti itu?"

Iza tertegun. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik sikap keras Rizka terhadapnya, tersimpan luka yang dalam.

"Bunyai Fifi bilang, alih-alih iri, seharusnya aku belajar darimu," lanjut Rizka. "Tentang kesabaran dan ketulusanmu."

Tanpa diduga, Iza mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Rizka. "Aku memaafkanmu."

Rizka menatap Iza dengan tidak percaya. "Semudah itu? Setelah semua yang kulakukan?"

"Bukankah Islam mengajarkan kita untuk memaafkan?" Iza tersenyum lembut. "Dan lagi, kita semua sedang belajar di sini—belajar ilmu agama, juga belajar menjadi manusia yang lebih baik."

Air mata Rizka kembali jatuh, kali ini lebih deras. "Terima kasih," bisiknya.

"Mulai sekarang, mari berteman," ajak Iza. "Kita masih punya waktu panjang di pesantren ini."

Rizka mengangguk, untuk pertama kalinya memberikan senyum tulus pada Iza.


Dua minggu kemudian, suasana di asrama putri sudah jauh berbeda. Rizka, Ulfa, dan Husna yang masih dalam masa pengawasan terlihat lebih tenang dan bersahabat. Mereka bahkan mulai mengajak Iza belajar bersama.

"Iza, bisa ajari aku soal mubtada' dan khabar?" tanya Ulfa suatu sore di perpustakaan. "Aku masih belum paham benar."

"Tentu," jawab Iza ramah. "Khalila juga akan bergabung nanti. Dia lebih jago nahwu daripada aku."

Sementara itu, Husna yang duduk di samping mereka, tersenyum canggung. "Kalau sudah selesai, mau dengar aku menabuh rebana? Bu Hawa memberiku izin berlatih di gudang belakang."

"Aku mau!" sahut Iza bersemangat.

Dari kejauhan, Ustadz Nusa memperhatikan interaksi putrinya dengan teman-temannya yang baru. Senyum puas terukir di wajahnya.

"Putrimu itu memiliki hati yang luar biasa," komentar Kyai Ihsan yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. "Memaafkan tidak semudah yang dibayangkan banyak orang."

Ustadz Nusa mengangguk. "Dia mewarisi kelemah-lembutan ibunya. Meski kadang, sifat itu membuatnya rela menderita dalam diam."

"Tapi sekarang dia tahu, bahwa ada kalanya kita perlu bersuara," tambah Kyai Ihsan bijak. "Pesantren ini bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tapi juga tempat belajar menjalani hidup dengan seimbang—tegar namun tidak keras, lembut namun tidak lemah."

"Alhamdulillah," ucap Ustadz Nusa penuh syukur. "Semoga semua santri di sini bisa menjadi cahaya bagi sekitarnya."

"Aamiin," sahut Kyai Ihsan.

Di perpustakaan, Iza tertawa bersama teman-teman barunya. Untuk pertama kalinya sejak masuk pesantren, ia merasa benar-benar menjadi bagian dari keluarga besar Pesantren Maulana Malik Ibrahim. Tidak ada lagi beban di pundaknya.

Tamat.

 

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi