Piala untuk Ummi dan Abah

 


Piala untuk Ummi dan Abah

Ulfa Ulul Haslinda

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)


 

Ulfa Hidayati bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Ia selalu menjadi yang pertama terjaga di kamar asrama yang dihuni dua belas santri putri. Dengan gerakan cepat namun tenang agar tidak mengganggu teman-temannya, Ulfa mengambil wudhu dan kemudian duduk di sudut kamar, membuka mushaf Al-Quran dan mulai membaca dalam cahaya redup lampu meja.

Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, pikiran Ulfa dipenuhi bayangan kedua orangtuanya. Abah yang bekerja sebagai buruh tani dan Ummi yang menjahit baju untuk tetangga desa. Mereka telah mengorbankan banyak hal agar Ulfa bisa belajar di Pesantren Darul Hikmah, salah satu pesantren terbaik di kabupaten mereka.

"Aku harus membuat mereka bangga," bisik Ulfa pada dirinya sendiri saat menutup mushaf setelah membaca satu juz. "Harus."

***

"Eh, lihat! Ada pengumuman lomba baru!" seru Nabila, sahabat Ulfa, sambil menunjuk papan pengumuman setelah mereka selesai sarapan.

Ulfa segera mendekat dan membaca pengumuman tersebut. Lomba debat bahasa Arab tingkat pesantren se-provinsi. Matanya berbinar. Ini kesempatan baru.

"Kamu mau ikut lagi, Ul?" tanya Nabila, meski dia sudah tahu jawabannya.

"Pasti," jawab Ulfa mantap. "Insya Allah, ini bisa jadi piala ke-enam tahun ini."

Nabila menatap sahabatnya dengan pandangan khawatir. "Tapi kamu sudah ikut lomba kaligrafi minggu depan, kan? Dan juga harus mempersiapkan ujian tahfidz 5 juz."

Ulfa hanya tersenyum. "Aku bisa mengatur waktuku. Lagipula, setiap piala selalu membuat Abah dan Ummi tersenyum lebih lebar saat menjemputku di hari libur."

***

Di kamarnya, Ulfa membuka lemari kecil tempat dia menyimpan lima piala yang telah dia menangkan tahun ini: juara 1 tilawah, juara 2 pidato bahasa Inggris, juara 1 menulis esai keislaman, juara 3 lomba hafalan hadits, dan juara 1 cerdas cermat kitab kuning. Setiap piala dibersihkannya dengan penuh kasih sayang, seolah benda-benda logam itu adalah perpanjangan dari rasa cintanya kepada kedua orangtuanya.

 

Malam itu, seperti biasa, Ulfa belajar hingga larut. Matanya mulai memerah ketika dia mencoba menghafal poin-poin penting untuk lomba debat sembari menyelesaikan kaligrafi yang harus diserahkan minggu depan.

 

"Ul, sudah jam sebelas malam," bisik Farah, teman sekamarnya. "Kamu tidak istirahat?"

"Sebentar lagi," jawab Ulfa tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatannya.

***

Hari-hari berikutnya berlalu seperti badai. Ulfa berlatih debat di sela-sela kelas, menyelesaikan kaligrafinya di malam hari, dan tetap mengulang hafalan Al-Quran setiap subuh. Tanda-tanda kelelahan mulai tampak di wajahnya, namun tekadnya tidak goyah.

Pada suatu sore setelah shalat ashar, Ustadzah Khadijah, wali kelas Ulfa, memanggilnya ke kantor.

"Ulfa, Ustadzah perhatikan kamu tampak kelelahan belakangan ini," ujar Ustadzah Khadijah dengan nada lembut namun serius. "Apa kamu tidak terlalu memaksakan diri dengan semua lomba ini?"

Ulfa menunduk. "Saya hanya ingin membuat orangtua saya bangga, Ustadzah."

Ustadzah Khadijah tersenyum penuh pengertian. "Ulfa, tahukah kamu bahwa kebanggaan orangtua tidak hanya diukur dari jumlah piala? Orangtuamu pasti bangga melihat putrinya tumbuh menjadi muslimah yang sehat, bahagia, dan seimbang dalam hidupnya."

Air mata Ulfa mulai menggenang. "Tapi... tapi Abah selalu begitu bahagia saat memajang piala-piala saya di ruang tamu kami yang sederhana. Tetangga-tetangga menjadi lebih menghormati mereka."

"Dan itu indah, Ulfa. Tapi jangan sampai kamu mengorbankan kesehatanmu. Itu akan membuat mereka jauh lebih sedih daripada bahagia."

***

Minggu berikutnya, Ulfa jatuh sakit. Demam tinggi memaksanya berbaring di UKS pesantren selama tiga hari. Dalam keadaan setengah sadar, dia terus bergumam tentang lomba kaligrafi yang terlewatkan dan persiapan debat yang terbengkalai.

Di hari ketiga, Ulfa mendapat kejutan. Abah dan Ummi datang menjenguknya, wajah mereka diliputi kekhawatiran.

"Nak, kenapa tidak bilang kalau kamu sakit?" tanya Ummi sambil mengusap dahi Ulfa.

"Maaf, Ummi... saya tidak mau membuat Ummi dan Abah khawatir," jawab Ulfa lemah.

Abah duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan putrinya. "Ulfa, Abah dan Ummi sudah mendengar dari Ustadzah Khadijah tentang semua yang kamu lakukan. Tentang bagaimana kamu memaksakan diri mengikuti semua lomba."

Ulfa mulai terisak. "Saya hanya ingin membuat Abah dan Ummi bangga..."

"Nak," kata Abah dengan suara bergetar, "piala terbesar bagi kami adalah melihatmu sehat dan bahagia. Setiap senyummu jauh lebih berharga dari semua piala di dunia."

Ummi mengangguk, air matanya mengalir. "Ummi dan Abah bangga padamu bukan karena piala-piala itu, Nak. Tapi karena akhlakmu, semangatmu belajar, dan kasih sayangmu pada kami. Itu yang membuat kami merasa sebagai orangtua paling beruntung di dunia."

***

Setelah sembuh, Ulfa mulai belajar menyeimbangkan hidupnya. Dia tetap mengikuti lomba, tapi tidak lagi terobsesi mengikuti semuanya. Dia belajar memilih kesempatan yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya.

Pada akhir tahun ajaran, saat upacara penutupan, nama Ulfa dipanggil ke panggung. Bukan untuk menerima piala lomba, melainkan penghargaan khusus dari pesantren: "Santri Teladan dalam Keseimbangan Hidup dan Prestasi."

Di antara para tamu, Abah dan Ummi berdiri, bertepuk tangan dengan air mata bahagia. Dan Ulfa tahu, inilah piala terbesar yang bisa dia persembahkan: kebahagiaan yang tulus dan kehidupan yang seimbang.

Saat turun dari panggung, Ulfa berbisik dalam hati, "Alhamdulillah... akhirnya aku mengerti, membahagiakan orangtua bukan tentang mengumpulkan piala sebanyak-banyaknya, tapi tentang menjadi versi terbaik dari diriku sendiri." Selesai.

 

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi