Pilihan Hati Santri Putri
Mu’izzatin
Nufus Bidzikrillah
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Di sebuah
pesantren yang tenang di pinggiran kota, Izzatin Nufus atau yang biasa disapa
Izzy adalah sosok santri teladan. Putri dari Kyai Hasan, ustadz senior yang
sangat dihormati di pesantren tersebut, Izzy dikenal dengan kecerdasannya dalam
mengkaji kitab kuning dan suara merdunya saat melantunkan shalawat.
Sore itu,
seusai mengajar di madrasah, Izzy dipanggil ke rumah Kyai Maksum, pengasuh
utama pesantren. Dengan langkah ringan, ia berjalan melewati koridor pesantren
yang dihiasi ukiran kayu jati khas Jawa.
"Assalamu'alaikum,"
ucap Izzy lembut sambil mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalam,
Nak. Masuklah," jawab suara berwibawa dari dalam.
Di ruang tamu
sederhana namun nyaman itu, Kyai Maksum duduk bersama istrinya, Nyai Hanifah.
Mereka menyambut Izzy dengan senyum hangat.
"Duduklah,
Izzy," kata Kyai Maksum. "Ada hal penting yang ingin kami
bicarakan."
Jantung Izzy
berdegup kencang. Ia tidak pernah dipanggil secara khusus seperti ini
sebelumnya.
"Kami
sudah lama memperhatikanmu, Nak," ujar Nyai Hanifah dengan suara lembut.
"Akhlakmu baik, ilmumu tinggi, dan kau berasal dari keluarga yang baik
pula."
Kyai Maksum
mengangguk setuju. "Kami ingin menawarkan sesuatu padamu. Putra kami,
Firza, telah menyampaikan keinginannya untuk menikah denganmu."
Izzy tertegun.
Gus Firza, putra Kyai Maksum, adalah vokalis grup hadrah pesantren yang sangat
terkenal hingga ke luar daerah. Sosoknya yang santun, berpengetahuan luas, dan
bersuara merdu membuat banyak santri putri diam-diam mengaguminya.
"Kami
tidak meminta jawaban sekarang," Kyai Maksum melanjutkan. "Berdoalah,
istikharahlah, dan bicarakanlah dengan ayahmu."
***
Malam itu, Izzy
tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi tawaran yang baru saja diterimanya. Ia
teringat beberapa kali bertemu Gus Firza dalam acara-acara pesantren, bagaimana
pemuda itu selalu menunjukkan adab yang baik dan ilmu yang dalam.
Keesokan
harinya, Izzy mengunjungi rumah ayahnya di kompleks ustadz senior.
"Aku sudah
mendengar tentang tawaran itu," kata Kyai Hasan tenang. "Ini
keputusan yang akan menentukan hidupmu, Anakku. Ikutilah kata hatimu dan jangan
lupa selalu meminta petunjuk Allah."
"Tapi
Abah, aku masih ingin melanjutkan kuliah di Al-Azhar," ujar Izzy pelan.
Kyai Hasan
tersenyum bijak. "Menikah tidak berarti mimpimu harus terhenti. Jika dia
lelaki yang baik, dia akan mendukungmu."
***
Seminggu
berlalu. Setelah shalat istikharah dan banyak berpikir, Izzy meminta bertemu
dengan Kyai Maksum dan Nyai Hanifah. Dengan penuh keyakinan, ia menyampaikan
keputusannya.
"Saya
merasa terhormat dengan tawaran ini," ujar Izzy dengan suara tenang.
"Tapi setelah istikharah dan musyawarah dengan keluarga, saya memutuskan
untuk menyelesaikan pendidikan saya dulu di Al-Azhar. Saya harap Kyai dan Nyai
bisa memahami."
Alih-alih
kecewa, Kyai Maksum dan istrinya justru tersenyum.
"Kami
menghargai kejujuran dan tekadmu, Nak," kata Kyai Maksum. "Pintu ini
tetap terbuka, kapanpun kau siap."
***
Tiga tahun
kemudian, setelah menyelesaikan studinya di Kairo, Izzy kembali ke pesantren.
Banyak hal telah berubah, namun satu hal yang tetap sama: kekaguman diam-diam
Gus Firza padanya.
Suatu sore,
saat Izzy sedang mengajar di serambi masjid, Gus Firza menghampirinya dengan
membawa sebuah kitab.
"Saya
menunggu," ucapnya singkat. "Dan saya siap menunggu lebih lama lagi
jika memang itu yang diperlukan."
Izzy tersenyum.
Kali ini, hatinya telah menemukan jawaban yang pasti. Perjalanan tiga tahunnya
di negeri orang justru membuatnya semakin yakin bahwa cinta sejati adalah yang
didasari ilmu, iman, dan saling menghormati mimpi satu sama lain.
"Sampaikan
pada Abah dan Umi, saya siap menerima lamaran mereka," jawab Izzy dengan
mata berkaca-kaca.
Di bawah langit
senja pesantren, dua hati yang telah diuji waktu akhirnya menemukan jalannya
untuk bersatu, membuktikan bahwa cinta yang tulus akan selalu menemukan
jalannya sendiri, dengan cara dan waktu yang tepat. Selesai.
Comments