Sumur Tua dan Pusaka Terpendam


Sumur Tua dan Pusaka Terpendam


Muhammad Naufal Zaki S.

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)


 

Naufal menatap keris kuno yang kini terhampar di atas meja kayu jati di ruang tamu ndalem Kyai Ihsanuddin. Keris itu berkilauan tertimpa sinar matahari yang menerobos melalui jendela. Ukirannya rumit, dengan pamor yang masih jelas terlihat meski sudah berusia ratusan tahun. Bilahnya melengkung indah dengan sembilan luk yang konon melambangkan sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa.

"Subhanallah," bisik Naufal takjub. "Jadi ini yang ada di dalam peti emas itu, Kyai?"

Kyai Ihsan mengangguk pelan, jemarinya yang keriput membelai permukaan keris dengan penuh khidmat. "Ini pusaka Mataram Kuno, Naufal. Keris Kyai Condong Campur namanya, peninggalan leluhur pesantren ini."

Bunyai Fifi datang membawa nampan berisi tiga cangkir teh panas dan sepiring kecil kue lumpur. Wanita asal Surakarta itu tersenyum hangat pada Naufal sebelum mendudukkan diri di samping suaminya.

"Alhamdulillah, Allah memilihmu untuk menemukannya, Nak," ujar Bunyai Fifi dengan suara lembut. "Mungkin ini petunjuk bahwa kamu memiliki hubungan khusus dengan pesantren ini."

Naufal menggaruk kepalanya yang tidak gatal, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi sejak pagi tadi. Bagaimana ceritanya seorang santri biasa sepertinya bisa menemukan pusaka bersejarah yang sudah lama hilang?


Enam jam sebelumnya...

"Naufal, bisa ke ndalem sekarang?" Kang Wahab, khodam pendiam kesayangan Kyai Ihsan muncul di pintu kamar asrama putra.

Naufal yang sedang membaca kitab Fathul Qorib segera menutup bukunya. "Ada apa, Kang?"

"Kyai minta tolong," jawab Kang Wahab singkat seperti biasanya.

Naufal bergegas mengikuti Kang Wahab menuju ndalem Kyai Ihsan yang terletak di bagian depan kompleks pesantren. Dalam perjalanan, ia berpapasan dengan Farel yang baru bangun tidur meski jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi.

"Mau kemana, Fal?" tanya Farel sambil menguap.

"Dipanggil Kyai," jawab Naufal singkat, terus berjalan mengikuti Kang Wahab.

Di teras ndalem, Kyai Ihsan sedang duduk di kursi rotan sambil menikmati teh hangat dan mengobrol dengan Pak Misqol, sahabatnya yang ahli dalam hal supranatural.

"Assalamualaikum," salam Naufal sopan.

"Wa'alaikumsalam," jawab Kyai Ihsan dan Pak Misqol bersamaan.

"Naufal, duduklah," Kyai Ihsan mempersilakan. "Ada yang ingin saya minta tolong."

Naufal duduk dengan posisi yang sopan, menunggu Kyai Ihsan melanjutkan.

"Saya ingin kamu menggali sumur baru di belakang ndalem," kata Kyai Ihsan. "Sumur lama sudah mulai kering, dan kita butuh sumber air tambahan untuk kebutuhan pesantren."

Naufal mengangguk. "Baik, Kyai. Saya akan laksanakan. Apa perlu saya ajak teman-teman yang lain untuk membantu?"

Kyai Ihsan menggeleng pelan. "Tidak perlu. Kamu saja sudah cukup. Lokasi sumurnya tidak terlalu besar, dan pekerjaan ini... khusus untukmu."

Ada sesuatu dalam nada suara Kyai Ihsan yang membuat Naufal penasaran, tapi ia tidak bertanya lebih jauh. "Baik, Kyai. Kapan saya bisa mulai?"

"Sekarang," jawab Kyai Ihsan. "Kang Wahab sudah menyiapkan cangkul dan peralatannya di belakang. Pak Misqol juga sudah menentukan lokasinya."

Naufal melirik sekilas ke arah Pak Misqol yang tersenyum misterius padanya. Ia tahu Pak Misqol bukan orang sembarangan. Pria paruh baya dari Balen ini memiliki kemampuan melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang.

"Saya akan tunjukkan tempatnya," kata Pak Misqol, bangkit dari duduknya.

Naufal mengikuti Pak Misqol ke belakang ndalem, tempat yang jarang didatangi santri. Area itu cukup teduh, dengan beberapa pohon mangga dan jambu yang rindang. Di bawah salah satu pohon mangga, Kang Wahab sudah menyiapkan cangkul, sekop, dan beberapa peralatan lainnya.

"Di sini," Pak Misqol menunjuk ke titik di bawah pohon mangga. "Galilah sampai kamu menemukan sesuatu."

Naufal mengerutkan dahi. "Sesuatu? Maksud Bapak, sumber air?"

Pak Misqol hanya tersenyum. "Gali saja. Nanti kamu akan tahu."

Dengan sedikit kebingungan, Naufal mulai mencangkul tanah yang ditunjuk. Tanah itu cukup gembur, tidak terlalu sulit untuk digali. Sambil bekerja, pikirannya melayang ke dua bulan lalu, saat ia pertama kali mengalami mimpi aneh yang terus berulang.


Dua bulan sebelumnya...

Naufal terbangun dengan keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi itu lagi. Mimpi di mana ia berdiri di bawah pohon mangga, menggali tanah, dan menemukan sesuatu yang bercahaya. Ia tidak pernah bisa melihat dengan jelas apa yang ia temukan dalam mimpi itu, tapi cahayanya begitu menyilaukan hingga selalu membuatnya terbangun.

"Mimpi apa lagi, Fal?" tanya Aldo dari ranjang sebelah, suaranya terdengar mengantuk dan agak kesal karena tidurnya terganggu.

"Bukan apa-apa," jawab Naufal, mengusap wajahnya. "Tidur lagi saja."

Ini adalah mimpi yang ketiga kalinya dalam sebulan terakhir. Selalu sama, selalu di tempat yang sama, dan selalu dengan akhir yang sama. Naufal bukan tipe yang percaya pada mimpi sebagai pertanda seperti Rado, teman sekamarnya yang lain, yang selalu menganggap setiap mimpinya sebagai petunjuk. Tapi mimpi yang berulang ini mulai membuatnya resah.

Keesokan harinya, Naufal memberanikan diri untuk bertanya pada Gus Iib, adik Kyai Ihsan yang dikenal ahli dalam hal ghaib.

"Gus, boleh tanya sesuatu?" Naufal menghampiri Gus Iib setelah pengajian kitab selepas Ashar.

"Tentu, ada apa Naufal?" Gus Iib menoleh, menutup kitab yang baru saja ia ajarkan.

"Saya... belakangan sering bermimpi aneh," Naufal mulai bercerita. "Mimpinya selalu sama, saya menggali tanah di bawah pohon mangga dan menemukan sesuatu yang bercahaya."

Gus Iib terlihat tertarik. "Pohon mangga di mana?"

"Tidak tahu pasti, tapi sepertinya di lingkungan pesantren," jawab Naufal. "Dan mimpi itu sudah berulang tiga kali dalam sebulan ini."

Gus Iib terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. "Mimpi yang berulang biasanya memang memiliki makna," ujarnya kemudian. "Apalagi jika detail mimpinya selalu sama."

"Jadi... apa artinya, Gus?"

"Bisa jadi itu isyarat," Gus Iib menatap Naufal lekat-lekat. "Allah terkadang memberikan petunjuk melalui mimpi. Tapi jangan terburu-buru menafsirkannya. Berdoalah, minta petunjuk pada Allah, dan biarkan waktu yang menjawabnya."

Naufal mengangguk pelan, masih tidak sepenuhnya yakin.

"Dan satu hal lagi," tambah Gus Iib, "jangan ceritakan mimpi ini pada orang lain dulu. Simpan untuk dirimu sendiri."


Kembali ke masa sekarang...

Sudah hampir dua jam Naufal menggali. Lubang yang dibuatnya sudah mencapai kedalaman sekitar satu meter. Keringat membasahi baju dan wajahnya, tapi ia tidak merasa lelah. Ada semangat aneh yang mendorongnya untuk terus menggali.

"Bagaimana?" Kyai Ihsan muncul tiba-tiba, membawa segelas air putih untuk Naufal.

"Belum menemukan apa-apa, Kyai," jawab Naufal, menerima air tersebut dengan penuh rasa terima kasih. "Tapi saya akan terus menggali."

Kyai Ihsan mengangguk, menatap lubang galian dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Lanjutkan. Saya yakin kamu akan menemukan sesuatu."

Naufal kembali menggali setelah Kyai Ihsan pergi. Cangkulnya bergerak lebih cepat, seolah ada dorongan misterius yang membuatnya tidak sabar. Tiba-tiba, saat kedalaman lubang mencapai sekitar satu setengah meter, cangkulnya menghantam sesuatu yang keras. Suaranya bukan seperti batu, melainkan seperti logam.

"Bismillah," bisik Naufal, berlutut di dalam lubang dan mulai menyingkirkan tanah dengan tangannya.

Perlahan, sebuah benda mulai terlihat. Sebuah peti berukuran sedang, berwarna keemasan dengan ukiran rumit di seluruh permukaannya. Naufal terpana, jantungnya berdegup kencang. Ini persis seperti dalam mimpinya, meskipun dalam mimpi ia hanya melihat cahaya, bukan peti.

"Kyai!" teriak Naufal, suaranya gemetar karena gugup dan takjub. "Kyai Ihsan!"

Tidak butuh waktu lama bagi Kyai Ihsan untuk muncul, diikuti oleh Pak Misqol dan Kang Wahab. Mereka semua terlihat tidak terkejut, seolah sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Alhamdulillah," ucap Kyai Ihsan pelan. "Kamu menemukannya, Naufal."

"Apa ini, Kyai?" tanya Naufal, masih berlutut di samping peti itu.

"Itu adalah warisan leluhur pesantren ini," jawab Kyai Ihsan. "Sudah lama hilang, dan sekarang Allah menunjukkan keberadaannya melaluimu."

"Melalui saya?" Naufal semakin bingung.

"Kang Wahab, tolong angkat peti itu," perintah Kyai Ihsan.

Kang Wahab turun ke dalam lubang, mengangkat peti emas itu dengan hati-hati dan menyerahkannya pada Kyai Ihsan. Meski ukurannya cukup besar, Kang Wahab mengangkatnya seolah itu hanya kotak ringan.

"Mari kita bawa ke ndalem," ajak Kyai Ihsan.


Tiga puluh tahun sebelumnya...

Kyai Murtadlo, ayah Kyai Ihsan dan pendiri Pesantren Maulana Malik Ibrahim, duduk berhadapan dengan sahabatnya, Kyai Zainal dari Tuban. Keduanya sedang membicarakan masa depan pesantren yang baru beberapa tahun berdiri.

"Saya khawatir tentang keris pusaka itu," kata Kyai Zainal. "Banyak orang yang mengincarnya."

Kyai Murtadlo mengangguk. "Saya tahu. Keris Kyai Condong Campur bukan keris sembarangan. Selain nilai sejarahnya, banyak yang percaya keris itu memiliki kekuatan gaib."

"Justru itu yang membahayakan," Kyai Zainal mengingatkan. "Sebaiknya disembunyikan di tempat yang aman."

"Saya sudah memikirkannya," jawab Kyai Murtadlo. "Saya akan sembunyikan di bawah tanah, di tempat yang hanya akan ditemukan oleh orang yang ditakdirkan untuk menemukannya."

"Bagaimana caranya?" tanya Kyai Zainal penasaran.

"Saya akan memberinya isyarat melalui mimpi," Kyai Murtadlo tersenyum misterius. "Saat waktunya tepat, saat pesantren membutuhkan perlindungan, orang itu akan datang dan menemukannya."


Kembali ke masa sekarang...

Di ruang tamu ndalem, Kyai Ihsan membuka peti emas itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terbaring sebuah keris kuno yang masih terlihat mengkilap, seolah baru saja dibuat kemarin. Di samping keris itu, ada gulungan kulit yang sudah menguning dimakan usia.

"Ini adalah Keris Kyai Condong Campur," Kyai Ihsan menjelaskan. "Pusaka peninggalan leluhur pesantren ini, konon berasal dari era Kerajaan Mataram Kuno."

Naufal menatap keris itu dengan takjub. "Tapi kenapa saya yang menemukannya, Kyai?"

Kyai Ihsan tersenyum. "Coba baca gulungan ini."

Dengan tangan gemetar, Naufal membuka gulungan kulit tersebut. Di dalamnya tertulis dalam aksara Jawa kuno yang untungnya pernah ia pelajari di madrasah:

"Pusaka ini akan tersembunyi hingga datang masa di mana pesantren membutuhkan penjaga baru. Ia akan ditemukan oleh santri yang hatinya bersih, yang akan menjadi penghubung antara masa lalu dan masa depan pesantren. Ia adalah 'Sang Penjaga' berikutnya."

Naufal terdiam, mencoba mencerna kata-kata tersebut. "Maksudnya... saya?"

"Ayah saya, Kyai Murtadlo, pendiri pesantren ini, menyembunyikan keris ini tiga puluh tahun yang lalu," jelas Kyai Ihsan. "Beliau mendapat firasat bahwa suatu saat pesantren akan menghadapi ujian berat, dan saat itulah keris ini akan ditemukan oleh orang yang ditakdirkan menjadi penjaganya."

"Tapi saya hanya santri biasa, Kyai," kata Naufal tidak percaya diri. "Saya bukan yang terpintar seperti Farel, bukan yang paling rajin ibadah seperti Alif, bukan—"

"Allah tidak melihat apa yang dilihat manusia," potong Kyai Ihsan lembut. "Mimpi-mimpi yang kamu alami dua bulan terakhir, itu adalah isyarat. Dan kamu dipilih bukan tanpa alasan."

Pak Misqol yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Saya sudah merasakan aura khusus darimu sejak pertama kali kamu masuk pesantren ini, Naufal. Kamu memiliki ketajaman batin yang jarang dimiliki orang lain."

"Tapi..." Naufal masih ragu.

"Kamu selalu netral dalam setiap perselisihan di antara teman-temanmu," tambah Kyai Ihsan. "Kamu mampu melihat kebaikan di setiap orang, dan tidak pernah terburu-buru dalam mengambil keputusan. Itu sifat-sifat yang dibutuhkan seorang penjaga."

Naufal menatap keris itu sekali lagi. Ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya, seolah ia dan keris itu terhubung oleh sesuatu yang tidak kasat mata.

"Jadi apa yang harus saya lakukan sekarang, Kyai?" tanya Naufal akhirnya.

"Untuk saat ini, rahasiakan dulu penemuan ini," jawab Kyai Ihsan. "Hanya kita berempat dan Bunyai Fifi yang tahu. Ada saatnya nanti saat keris ini harus diperlihatkan kepada dunia, tapi bukan sekarang."

"Dan kamu perlu belajar lebih banyak tentang sejarah pesantren ini," tambah Pak Misqol. "Saya dan Gus Iib akan membimbingmu."

Naufal mengangguk, meski masih banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. "Baik, Kyai."

"Satu hal lagi," kata Kyai Ihsan. "Keris ini bukan sekedar benda pusaka biasa. Ia adalah simbol perlindungan bagi pesantren ini. Dalam tradisi Jawa, keris seperti ini diyakini memiliki kekuatan spiritual. Tapi sebagai muslim, kita tahu bahwa segala kekuatan hanya milik Allah SWT. Keris ini hanyalah perantara, pengingat akan tanggung jawab kita untuk menjaga pesantren ini."

"Saya mengerti, Kyai," kata Naufal, mulai memahami beban tanggung jawab yang kini diletakkan di pundaknya.


Satu minggu kemudian...

Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro tampak tenang seperti biasa. Para santri sibuk dengan rutinitas mereka—bangun pagi untuk jamaah Subuh, setoran bacaan Al-Fatihah pada Bunyai Fifi, sekolah formal, pengajian kitab kuning, dan berbagai aktivitas lainnya.

Naufal duduk di teras mushola setelah jamaah Maghrib, menunggu waktu mengaji Al-Quran. Farel datang dan duduk di sampingnya, masih dengan wajah mengantuk seperti biasa.

"Eh, Fal, belakangan kamu sering dipanggil Kyai ya?" tanya Farel sambil menguap. "Ada apa sih?"

Naufal tersenyum kecil. "Bukan apa-apa. Cuma diminta bantu-bantu di ndalem."

"Oh," Farel mengangguk, tidak terlalu tertarik untuk menggali lebih dalam. "Eh, ngomong-ngomong, aku mimpi aneh semalam."

"Mimpi apa?" tanya Naufal, mendadak tertarik.

"Aku mimpi pesantren kita diserang orang-orang berpakaian hitam," jawab Farel. "Tapi anehnya, ada santri yang melindungi pesantren dengan sebilah keris kuno. Santrinya mirip kamu."

Naufal tertegun. Jantungnya berdegup kencang. "Mungkin cuma mimpi biasa," katanya, berusaha terdengar biasa saja.

"Iya kali ya," Farel mengangguk, lalu menguap lagi. "Tapi mimpinya terasa nyata sekali."

Dari kejauhan, Naufal melihat Kyai Ihsan berjalan bersama Pak Misqol dan Gus Iib menuju ndalem. Mereka bertiga menoleh ke arah Naufal dan mengangguk pelan, seolah memberi isyarat.

Naufal mengangguk balik, paham bahwa ini baru permulaan dari sebuah perjalanan panjang. Perjalanan sebagai "Sang Penjaga" Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro.

Di dalam kamarnya di ndalem, tersimpan rapi dalam kotak kayu berukir, Keris Kyai Condong Campur menunggu saat di mana ia akan kembali menjalankan tugasnya—melindungi pesantren dan semua penghuninya dari ancaman yang mungkin datang.

Dan Naufal, santri yang selalu netral dan tenang, kini memiliki rahasia dan tanggung jawab yang bahkan tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Tamat.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi