Bos Dagang dari Wadung
Bos Dagang dari Wadung
Di Pondok Pesantren Al Musthofa, ada satu nama yang bikin santri lain ciut nyali tiap kali denger. Bukan karena dia jago silat kayak Pak Wahab, atau karena suka marah-marah kayak Mbak Atin waktu putri-putri telat ngaji. Tapi karena satu hal yang sederhana: jualan.
Namanya Rofi’, santri kelas 3 aliyah, asal Bojonegoro. Wajahnya lugu, senyumnya ramah, tapi lidahnya—MasyaAllah—kalau udah ngomongin dagang, bisa bikin orang beli sesuatu yang awalnya nggak niat beli sama sekali. Ada santri yang cuma pengen numpang lewat, eh tahu-tahu pulang bawa kalender.
"Iki kalender edisi khusus pondok, Lur. Ono foto Kyai Kholil, foto Bunyai, jadwal puasa sunnah, bahkan ada tanggal haul Mbah Kyai yang dulu. Kapan maning iso tuku sing koyok ngene?"
Dan percayalah, itu cukup bikin para wali santri, tetangga, pedagang pasar, bahkan tukang tambal ban di seberang jalan ngeluarin duit tanpa banyak mikir.
Semua bermula dari ide sederhana di rapat santri akhir tahun. Ketua panitia tanya,
"Siapa yang siap jadi koordinator penjualan kalender tahun depan?"
Semua menunduk. Rofi’ angkat tangan.
"Saya siap, Ustadz. Tapi saya minta hak penuh desain, strategi, dan distribusi."
Ustadz senyum miring. "Kowe ki arep dagang opo nyalon bupati, Fi’?"
Santri lain cekikikan. Tapi Rofi’ serius. Dia pinjam kamera dari perpustakaan, minta izin motret kegiatan pesantren dari subuh sampai malam. Nggak lupa foto eksklusif Kyai Kholil yang lagi menulis kitab di ndalem. Ada juga satu halaman full testimoni alumni—yang katanya, tiap liat kalender itu, mereka langsung rindu pesantren.
Rofi’ cetak seribu eksemplar pertama. Modal patungan sama beberapa temannya. Distribusi pertama dia mulai dari sekitar Wadung. Dia bawa sepeda ontel milik Pak Sohib, keliling desa dengan tas berisi kalender dan senyum tak pernah luntur.
"Dibeli kalendernya, Bu. Hasilnya buat operasional pondok. Gak cuma dapet kalender, tapi juga barokah!"
Dan ternyata… laku keras. Lima hari, seribu eksemplar habis. Sisa hanya satu buat koleksi pribadi.
"Cetak maneh, Fi’?" tanya temannya.
Rofi’ hanya angguk. Kali ini dia cetak dua ribu eksemplar. Dia ekspansi ke pasar-pasar sekitar Soko, Rengel, bahkan sampai Jatirogo. Bikin sistem reseller buat alumni, dan bikin promo “Beli 5 gratis 1 untuk pelanggan tetap.”
Tiga minggu kemudian, kalender itu tersebar di warung kopi, rumah warga, toko kelontong, bahkan kantor kepala desa.
Sampai akhirnya, Kyai Kholil sendiri memanggil Rofi’.
“Ini kalendernya bagus. Bukan cuma karena foto saya, ya. Tapi karena semangatmu.”
Rofi’ senyum kaku. “Matur nuwun, Yai…”
Kyai tertawa. “Santri lain udah manggil kamu Bos Dagang. Gimana rasanya?”
Rofi’ nggaruk kepala. “Agak ndredeg, Yai. Tapi seneng.”
Dan sejak hari itu, setiap ada proyek pondok yang butuh dana, semua mata otomatis melirik Rofi’.
Karena di balik sarung kotak-kotaknya, tersembunyi otak licin dagang yang bisa bikin kalender sederhana jadi rebutan.
Bagi sebagian santri, kalender adalah benda biasa. Tapi bagi Rofi’, itu ladang pahala. Sekaligus bukti bahwa jualan tak selalu soal untung rugi. Kadang, itu juga tentang cinta pada pesantren, yang dijual dengan cara paling elegan: ketulusan.
Tahun depan, Rofi’ bilang mau ekspor kalender ke luar pulau. Bukan buat cari nama. Tapi katanya, “Barokah pondok gak boleh berhenti di batas desa.”
Dan semua santri pun setuju: Bos Dagang dari Wadung emang beda.
Comments