Buku Tua: Memilih Jalan yang Berbeda

 


Buku Tua: Memilih Jalan yang Berbeda

Angin sore berhembus lembut menyapu halaman Pesantren Miftahul Ulum, membawa serta dedaunan kering yang bergulung-gulung di atas tanah. Langit mulai berwarna jingga ketika suara azan Maghrib berkumandang dari menara masjid pesantren, memanggil para santri untuk segera menghentikan aktivitas mereka.

Farhan, santri kelas tiga aliyah, baru saja menyelesaikan tugas piketnya membersihkan gudang belakang pesantren. Ia mengelap keringat yang mengalir di dahinya sambil memandang puas hasil kerjanya. Selama beberapa jam terakhir, ia telah memindahkan tumpukan kitab-kitab usang, menyapu lantai yang berdebu, dan menata ulang perlengkapan yang sudah tidak terpakai.

"Farhan, ayo cepat! Sebentar lagi Maghrib," panggil Ridwan, sahabatnya sejak pertama kali mondok di pesantren lima tahun lalu.

"Iya, sebentar!" sahut Farhan, merapikan sapu dan mengambil ember berisi air kotor untuk dibuang.

Ketika Farhan bergerak menuju pintu, kakinya tersandung sesuatu yang menonjol dari lantai. Ia berjongkok dan mendapati sebuah papan lantai yang sedikit terangkat. Didorong rasa penasaran, Farhan menarik papan itu dan menemukan sebuah ruang kecil di bawahnya—sebuah persembunyian rahasia.

Di dalam ruang tersembunyi itu terdapat sebuah buku tua bersampul kulit coklat tua yang sudah mengelupas di beberapa bagian. Tidak ada judul atau nama pengarang di sampulnya. Farhan mengambilnya, merasakan tekstur kasar kulit tua di jemarinya. Entah mengapa, sesuatu dalam dirinya berbisik untuk menyimpan buku itu.

"Farhan!" Ridwan kembali memanggil, kali ini dengan nada lebih mendesak.

Dengan cepat, Farhan menyelipkan buku itu di balik bajunya dan bergegas keluar, meninggalkan gudang yang kini telah rapi, tanpa menyadari bahwa hidupnya akan segera berubah selamanya.


Malam itu, setelah kegiatan pesantren usai dan para santri telah beranjak tidur, Farhan masih terjaga. Dengan bantuan cahaya redup dari senter kecil yang ia selipkan di bawah selimutnya, Farhan membuka buku misterius yang ia temukan.

Halaman pertama berisi tulisan tangan yang sudah agak pudar: "Catatan Perjalanan Rohani Ahmad Suhandi, 1978." Farhan mulai membaca dengan seksama.

Buku itu berisi catatan harian seorang santri bernama Ahmad yang awalnya penuh dengan keresahan dan pertanyaan tentang ajaran agama yang diterimanya. Dari tulisannya, Ahmad tampak sebagai seorang pemikir yang tidak puas dengan jawaban-jawaban standar yang diberikan oleh para ustaz. Ia mulai mencari jawaban sendiri melalui berbagai bacaan, termasuk filsafat Barat dan aliran kepercayaan lokal.

Semakin lama Farhan membaca, semakin ia terhanyut dalam perjalanan spiritual Ahmad. Catatan-catatan itu berisi pemikiran yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh Farhan—pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan Tuhan, kebenaran wahyu, dan hakikat agama. Ahmad menuliskan bagaimana ia mulai menemukan "cahaya baru" dalam ajarannya sendiri yang ia sebut sebagai "Jalan Kebenaran Sejati"—sebuah pandangan yang mengambil dari berbagai kepercayaan dan menolak formalitas agama.

"Hari ini aku akhirnya menyadari bahwa selama ini aku telah terjebak dalam dogma. Kebenaran tidak terbatas pada satu ajaran saja. Tuhan terlalu agung untuk dimasukkan dalam kotak pemahaman manusia yang sempit. Aku telah menemukan jalanku sendiri—jalan yang tidak membutuhkan perantara, ritual, atau batasan-batasan yang diciptakan oleh manusia."

Farhan menutup buku itu ketika fajar mulai menyingsing. Meski matanya terasa berat, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya.


Hari-hari berikutnya, Farhan seolah hidup dalam dua dunia. Di siang hari, ia tetap mengikuti seluruh kegiatan pesantren seperti biasa—mengaji, salat berjamaah, dan belajar kitab kuning. Namun, di malam hari, diam-diam ia terus membaca buku Ahmad, menyerap setiap pemikirannya yang kini terasa semakin masuk akal bagi Farhan.

Lambat laun, perubahan mulai terlihat pada diri Farhan. Ia yang dulunya taat dan rajin beribadah, kini sering terlihat melamun saat mengaji. Salat berjamaahnya tidak lagi khusyuk, dan terkadang ia bahkan melewatkan beberapa waktu salat dengan berbagai alasan.

Ridwan, yang telah mengenal Farhan luar dalam, mulai merasakan kejanggalan.

"Far, kamu kenapa akhir-akhir ini? Sepertinya banyak melamun," tanya Ridwan suatu sore ketika mereka sedang duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang pesantren.

Farhan tersenyum tipis. "Aku sedang berpikir, Rid. Banyak hal yang menggangguku."

"Hal apa?"

"Tentang semua yang kita pelajari di sini. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah semua ini benar? Bagaimana jika ada cara lain untuk memahami Tuhan? Bagaimana jika ajaran kita ini terlalu sempit?"

Ridwan mengerutkan dahinya. "Maksudmu?"

"Coba pikirkan, Rid. Kita mengatakan Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang, tapi kita juga mengatakan bahwa sebagian manusia akan masuk neraka selamanya. Apakah itu sejalan? Atau bagaimana dengan ayat-ayat yang tampaknya bertentangan satu sama lain?"

"Far," Ridwan meletakkan tangannya di bahu Farhan, "wajar kok punya pertanyaan seperti itu. Tapi itulah gunanya kita belajar di sini, untuk mencari jawaban. Kenapa tidak tanyakan saja ke Ustaz Hasan? Beliau kan ahli tafsir."

Farhan tersenyum kecut. "Kamu tidak akan mengerti, Rid."

Hari-hari berikutnya, perubahan Farhan semakin nyata. Ia mulai jarang mengikuti salat berjamaah, dan ketika ditanya, ia selalu punya alasan yang berbeda-beda. Beberapa kali Ridwan memergoki Farhan sedang membaca buku tua yang belum pernah ia lihat sebelumnya, tetapi Farhan selalu cepat-cepat menyembunyikannya.


Suatu malam, Ridwan terbangun dan mendapati tempat tidur Farhan kosong. Ia mencari ke kamar mandi dan area sekitar asrama, tetapi tidak menemukan sahabatnya itu. Mengikuti instingnya, Ridwan berjalan ke gudang belakang pesantren.

Dari celah pintu gudang yang tidak tertutup rapat, Ridwan bisa melihat cahaya lilin berkedip-kedip. Ia mengintip dan melihat Farhan duduk bersila di tengah ruangan, di hadapannya terbuka buku tua yang selama ini disembunyikan. Farhan tampak sedang menggumamkan sesuatu—semacam mantra atau doa—dalam bahasa yang Ridwan tidak pahami.

"Farhan," panggil Ridwan pelan, mendorong pintu untuk masuk.

Farhan terlonjak kaget, dengan cepat menutup bukunya. "Ridwan? Kenapa kamu di sini?"

"Harusnya aku yang bertanya. Apa yang kamu lakukan di sini tengah malam begini?"

Farhan tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku sudah menemukan jalan baru, Rid. Jalan yang membebaskanku dari semua kebingungan."

"Jalan apa? Apa maksudmu?"

Dengan tangan sedikit gemetar, Farhan membuka kembali buku tuanya. "Buku ini ditulis oleh seorang santri lama, Ahmad Suhandi. Dia telah membuka mataku, Rid. Semua yang kita pelajari di sini, semua yang diajarkan Islam, itu hanya salah satu cara memahami Tuhan. Ada jalan lain yang lebih bebas, tanpa batasan dogma."

Ridwan menatap sahabatnya dengan tatapan tidak percaya. "Far, apa yang kamu bicarakan? Buku apa itu?"

"Ahmad menemukan kebenaran sejati, Rid. Dia membuat sintesis dari berbagai ajaran, menciptakan jalan spiritual yang tidak terikat oleh agama manapun. Di sini," Farhan menunjuk tulisan di halaman buku, "dia menjelaskan bahwa semua agama pada dasarnya sama, hanya berbeda dalam ekspresi luarnya. Kita tidak perlu terikat dengan ritual-ritual kosong."

"Farhan, dengarkan aku," Ridwan mencoba berbicara dengan tenang meski hatinya mulai cemas. "Itu berbahaya. Kamu tidak tahu siapa Ahmad ini dan apa tujuannya menulis buku itu. Bisa jadi dia sendiri sudah tersesat, dan kini kamu mengikuti jejaknya."

"Tidak, Rid. Justru Ahmad yang telah tercerahkan. Lihat saja catatan terakhirnya sebelum ia meninggalkan pesantren. Dia menulis bahwa dia akhirnya menemukan 'cahaya sejati' dan tidak lagi membutuhkan agama formal."

Ridwan duduk di hadapan Farhan, menatap dalam-dalam mata sahabatnya. "Far, aku tahu kamu punya banyak pertanyaan. Tapi ini bukan caranya. Mari kita bicarakan dengan Ustaz Hasan atau Kiai, mereka pasti bisa—"

"Tidak!" Farhan memotong keras. "Mereka hanya akan memberikan jawaban dogmatis yang sama. Aku sudah muak dengan itu. Aku ingin bebas, Rid. Bebas berpikir, bebas meyakini apa yang aku anggap benar."

"Tapi Far, apa yang kamu lakukan ini..."

"Murtad? Iya, mungkin dalam pandangan kalian. Tapi bagiku, ini pencerahan. Aku menemukan kebenaran yang lebih tinggi."

Malam itu berakhir dengan perdebatan panjang yang tidak menemui titik temu. Ridwan kembali ke asrama dengan hati berat, sementara Farhan memilih untuk tetap di gudang, melanjutkan ritual barunya.


Keesokan paginya, tempat tidur Farhan masih kosong. Ridwan bergegas ke gudang, namun tidak menemukan siapapun di sana. Yang tersisa hanyalah bekas lilin yang telah meleleh sempurna dan sebuah amplop yang ditujukan untuk Ridwan.

Dengan tangan gemetar, Ridwan membuka amplop tersebut:

Ridwan, sahabatku.

Ketika kamu membaca surat ini, aku mungkin sudah jauh. Aku telah memutuskan untuk meninggalkan pesantren dan mengikuti jalan yang ditunjukkan Ahmad. Di luar sana, ada komunitas pengikut Jalan Kebenaran Sejati yang telah menungguku.

Aku tahu kamu tidak akan memahami keputusanku, tapi kumohon jangan membenciku. Suatu hari nanti, mungkin kamu juga akan melihat cahaya yang sama seperti yang kulihat sekarang.

Jangan mencariku. Aku baik-baik saja. Aku telah menemukan kedamaian yang selama ini kucari.

Farhan

Ridwan meremas surat itu, air matanya jatuh tak tertahankan. Ia berlari ke kantor pesantren, melaporkan hilangnya Farhan dan menunjukkan surat tersebut kepada Kiai dan para ustaz. Pencarian segera dilakukan, namun Farhan seolah lenyap ditelan bumi.

Buku misterius itu juga ikut menghilang bersama Farhan.


Enam bulan berlalu. Kehidupan di pesantren kembali normal, meski kehilangan Farhan masih terasa nyata bagi Ridwan. Setiap malam, ia masih berdoa agar sahabatnya itu kembali ke jalan yang benar.

Suatu hari, ketika Ridwan sedang berbelanja di pasar kota, ia melihat sesosok familiar di antara kerumunan. Jantungnya berdegup kencang ketika mengenali sosok itu—Farhan, dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambut yang dulu selalu rapi kini dibiarkan panjang dan acak-acakan. Wajahnya tampak lebih tirus dan pucat.

"Farhan!" panggil Ridwan, setengah berlari mengejar.

Farhan berbalik, matanya melebar kaget melihat Ridwan. Untuk sesaat, tampak kilasan kerinduan di matanya, namun segera berganti dengan tatapan dingin.

"Ridwan," sapanya datar.

"Far, apa kabar? Kami semua mengkhawatirkanmu. Kiai, para ustaz, teman-teman."

Farhan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Lebih baik dari sebelumnya."

"Far, kembalilah ke pesantren. Kita bisa bicarakan semua masalahmu. Kiai sudah memaafkanmu, dia hanya ingin kamu kembali."

"Kembali? Untuk apa? Aku sudah menemukan jalanku sendiri, Rid. Komunitas baruku menerimaku apa adanya, tanpa menghakimi."

Ridwan menatap lekat sahabatnya. "Komunitas apa, Far? Apa yang mereka ajarkan padamu?"

"Kebenaran universal. Bahwa Tuhan tidak butuh perantara, tidak butuh ritual. Tuhan ada dalam diri kita masing-masing."

"Far, itu bukan ajaran Islam."

"Memang bukan. Kami sudah melampaui batasan-batasan sempit seperti itu."

Percakapan mereka terhenti ketika seorang pria paruh baya menghampiri. Pria itu menatap Ridwan dengan tajam sebelum berbisik kepada Farhan. Farhan mengangguk.

"Aku harus pergi, Rid."

"Tunggu, Far!" Ridwan memegang lengan Farhan. "Setidaknya beri tahu aku di mana kamu tinggal. Biarkan aku mengunjungimu sekali-kali."

Farhan melepaskan tangan Ridwan dengan lembut. "Maaf, Rid. Itu tidak mungkin. Jalanku dan jalanmu sudah berbeda."

Dengan kata-kata itu, Farhan berbalik pergi, mengikuti pria paruh baya tadi. Ridwan hanya bisa menatap punggung sahabatnya yang semakin menjauh, sampai akhirnya hilang di balik kerumunan pasar.


Satu tahun kemudian, Ridwan telah lulus dari pesantren dan melanjutkan studinya di Institut Agama Islam Negeri. Meski sibuk dengan kuliah, ia tidak pernah berhenti mencari informasi tentang keberadaan Farhan dan komunitas misterius yang disebutkannya.

Sampai suatu hari, sebuah berita di koran lokal menarik perhatiannya: "Polisi Gerebek Komunitas Aliran Sesat di Pinggiran Kota". Artikel itu menyebutkan penangkapan seorang pemimpin sekte bernama Marzuki yang mengaku sebagai reinkarnasi dari Ahmad Suhandi, pendiri aliran "Jalan Kebenaran Sejati". Komunitas tersebut diduga melakukan praktik-praktik menyimpang dan pencucian otak terhadap anggotanya.

Dengan hati berdebar, Ridwan membaca nama-nama anggota yang berhasil diselamatkan. Nama Farhan tidak ada di sana.

Beberapa hari kemudian, Ridwan mendapat telepon dari nomor tidak dikenal.

"Assalamualaikum," sapa suara di seberang.

Ridwan terdiam. Ia mengenali suara itu meski sudah lama tidak mendengarnya.

"Farhan?"

"Iya, Rid. Ini aku."

"Alhamdulillah. Kamu baik-baik saja? Aku baca berita tentang penggerebekan itu."

"Aku... aku tidak terlibat. Aku sudah keluar dari komunitas itu beberapa bulan lalu."

"Benarkah?" Ridwan tidak bisa menyembunyikan kelegaannya. "Lalu kamu di mana sekarang?"

"Aku di pesantren rehabilitasi di Jawa Timur. Mereka membantu orang-orang seperti aku untuk kembali ke jalan yang benar."

"Maksudmu..."

"Ya, Rid. Aku ingin kembali ke Islam. Aku telah tersesat terlalu jauh dan terlalu lama."

Air mata Ridwan mengalir tanpa bisa ditahan. "Alhamdulillah, Far. Alhamdulillah."

"Marzuki itu penipu, Rid. Dia memanfaatkan kebingungan orang-orang seperti aku untuk kepentingan pribadinya. Dan buku Ahmad itu... polisi menemukan bahwa itu palsu, dibuat oleh Marzuki sendiri untuk menjebak santri-santri yang rentan."

"Astaga... "

"Rid," suara Farhan bergetar, "maukah kamu menjengukku di sini? Aku... aku butuh sahabat."

"Tentu, Far. Besok aku akan ke sana. Kirimkan saja alamatnya."


Satu minggu kemudian, Ridwan berdiri di depan gerbang Pesantren Hidayatul Qulub, sebuah pesantren khusus yang fokus pada rehabilitasi korban aliran sesat. Hatinya berdebar ketika ia melihat Farhan berjalan ke arahnya.

Farhan yang sekarang tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya lebih segar, dan senyumnya—meski masih menyiratkan kesedihan—tampak tulus.

"Assalamualaikum, Rid," sapa Farhan, memeluk sahabatnya erat.

"Waalaikumsalam, Far. Alhamdulillah kamu baik-baik saja."

Mereka duduk di taman pesantren, di bawah pohon rindang yang mengingatkan mereka pada tempat favorit mereka dulu di Pesantren Miftahul Ulum.

"Bagaimana ceritanya kamu bisa keluar dari komunitas itu?" tanya Ridwan.

Farhan menghela napas panjang. "Setelah beberapa bulan, aku mulai melihat kejanggalan. Marzuki selalu meminta kepatuhan mutlak dan sumbangan materi yang tidak masuk akal. Ajarannya pun semakin aneh dan tidak konsisten. Aku mulai meragukan semuanya."

"Lalu?"

"Suatu malam, aku bermimpi sangat nyata. Dalam mimpiku, aku melihat diriku sendiri saat masih di pesantren, sedang salat khusyuk bersama kalian semua. Aku merasakan kedamaian yang sudah lama hilang. Ketika bangun, aku menangis sepanjang malam, merindukan Allah dan Islam yang telah kutinggalkan."

Farhan melanjutkan, "Aku kabur dari komunitas itu keesokan harinya. Beruntung, aku bertemu dengan seorang ustaz dari pesantren ini yang sedang melakukan dakwah di daerah tersebut. Beliau membawaku ke sini."

"Alhamdulillah Allah masih memberimu hidayah, Far."

Farhan mengangguk, air matanya mulai mengalir. "Aku menyesal telah meninggalkan agama ini, Rid. Selama berbulan-bulan aku mencari kedamaian dalam ajaran sesat itu, tapi tak pernah menemukannya. Kedamaian sejati hanya kutemukan ketika kembali kepada Allah."

Ridwan menggenggam tangan sahabatnya. "Yang terpenting kamu sudah kembali, Far. Allah Maha Pengampun."

"Kitab itu," Farhan menatap jauh, "sudah dibakar oleh polisi. Tapi sebelumnya, mereka menemukan bahwa buku itu dibuat oleh Marzuki sendiri, bukan oleh santri bernama Ahmad seperti yang dia klaim. Semua itu rekayasa untuk menarik pengikut baru."

"Bagaimana rencana Marzuki bisa begitu rapi?"

"Dia mantan santri juga, Rid. Dia tahu persis bagaimana memanfaatkan kerentanan anak pesantren yang sedang mencari jati diri. Buku itu sengaja disembunyikan di tempat strategis, menunggu untuk ditemukan."

Ridwan tertegun, menyadari betapa sempurnanya jebakan yang telah dipasang.

"Rid," Farhan menatap sahabatnya, "terima kasih tidak pernah menyerah mencari dan mendoakanku."

"Kita sahabat, Far. Selamanya."

Sore itu, mereka berdua salat Ashar berjamaah di masjid pesantren. Bagi Ridwan, tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada melihat Farhan kembali bersujud kepada Allah, tanda bahwa sahabatnya telah kembali ke rumah yang sebenarnya—Islam.

Di luar masjid, matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna jingga yang sama seperti saat Farhan pertama kali menemukan buku tua di gudang pesantren. Namun kali ini, tidak ada lagi kegelapan yang mengintai, yang ada hanyalah cahaya hidayah yang tak pernah padam.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi