Doa di Penghujung Malam
Doa di Penghujung Malam
Surat itu tiba saat maghrib telah berkumandang. Nisa, santri putri kelas akhir, menerima amplop putih dari pengurus pesantren dengan tangan yang sedikit bergetar. Di sampingnya, Umi—adiknya yang baru tiga bulan mondok—menatap dengan mata penuh tanya.
"Surat dari siapa, Mbak?" bisik Umi.
"Dari rumah," jawab Nisa pelan sambil membuka amplop dengan perlahan.
Mata Nisa bergerak mengikuti barisan tulisan tangan Ibunya yang familiar. Setiap kata seperti menusuk dadanya: Nak, Bapakmu sakit keras. Sudah tiga hari di rumah sakit. Dokter bilang kondisinya kritis. Doakan ya, Nak...
Tangan Nisa bergetar. Umi yang melihat perubahan raut wajah kakaknya langsung mendekat.
"Ada apa, Mbak? Kenapa mukamu pucat?"
Nisa memberikan surat itu kepada Umi. Seketika mata adiknya berkaca-kaca.
"Bapak sakit keras, Umi. Kondisinya kritis."
"Kita pulang sekarang yuk, Mbak!" Umi langsung berdiri, siap membereskan barang-barangnya.
"Tidak bisa, Umi. Kita belum dapat izin dari Bu Nyai."
Mereka bergegas menuju kediaman Bu Nyai, pengasuh pesantren putri. Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, mereka dipersilakan masuk.
"Ada apa, anak-anak? Kalian kelihatan panik," tanya Bu Nyai dengan wajah penuh perhatian.
Nisa menyerahkan surat dari rumah. Bu Nyai membaca dengan seksama, sesekali menghela nafas.
"Subhanallah, ujian yang berat ini," gumam Bu Nyai. "Tapi anak-anak, kalian tidak bisa pulang dulu. Sebentar lagi ujian semester, dan kalian sudah terlalu banyak meninggalkan pelajaran jika pulang sekarang."
"Tapi Bu Nyai, Bapak kondisinya kritis," suara Umi bergetar.
"Saya tahu, Nak. Tapi yakinlah, doa kalian dari sini akan sampai kepada Allah. Kadang, ujian Allah itu untuk menguji seberapa kuat iman kita. Bersabarlah."
Malam itu, Nisa dan Umi tidak bisa tidur. Mereka berbaring bersebelahan di kasur tipis mereka, saling berpegangan tangan.
"Mbak, aku kangen Bapak," bisik Umi dengan suara serak.
"Aku juga, Umi. Tapi kita harus kuat. Bapak pasti bangga kalau kita bisa sabar menghadapi ujian ini."
"Gimana kalau... gimana kalau Bapak..."
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Umi. Kita doakan saja terus. Allah Maha Kuasa."
Tengah malam, sekitar pukul dua, Nisa menggoyang pelan tubuh Umi yang sudah tertidur.
"Umi, bangun. Ayo shalat tahajud."
Mereka berwudhu dalam keheningan, lalu menggelar sajadah di pojok kamar yang menghadap kiblat. Tidak ada yang berbicara, hanya suara isak tangis yang tertahan saat mereka berdua bersujud.
"Ya Allah, sembuhkanlah Bapak kami," bisik Nisa dalam sujudnya. "Berikanlah kesabaran untuk kami, dan panjangkanlah umur Bapak..."
Di sebelahnya, Umi juga tenggelam dalam doanya. Air mata mengalir membasahi sajadah.
"Ya Allah, aku belum sempat berbakti dengan sempurna kepada Bapak. Berikanlah kesempatan untukku untuk membuatnya bangga..."
Mereka shalat dengan khidmat, setiap gerakan dipenuhi harapan dan doa. Setelah salam, mereka duduk berdampingan, membaca dzikir dan doa-doa.
"Mbak, aku merasa ada yang aneh malam ini," bisik Umi.
"Aneh bagaimana?"
"Seperti ada yang berbeda. Perasaanku tidak tenang."
Nisa memeluk adiknya. "Mungkin karena kita khawatir dengan Bapak. Ayo kita tidur dulu. Besok kita kirim surat untuk kabar Bapak."
Belum lama mereka kembali berbaring, suara ketukan pintu terdengar pelan. Nisa dan Umi saling berpandangan. Siapa yang datang tengah malam begini?
"Nisa, Umi, keluar sebentar," suara Bu Nyai terdengar dari luar.
Dengan jantung berdebar, mereka membuka pintu. Bu Nyai berdiri di sana bersama Gus Malik, pengurus pesantren putra yang biasanya bertugas menerima telepon darurat.
"Anak-anak, duduk dulu," kata Bu Nyai dengan suara lembut.
Melihat raut wajah Bu Nyai yang penuh belas kasihan, hati Nisa langsung berdebar kencang.
"Ada kabar dari rumah?" tanya Nisa dengan suara bergetar.
Bu Nyai menghela nafas panjang. "Tadi Gus Malik menerima telepon dari keluarga kalian..."
"Gimana kabar Bapak, Bu Nyai?" Umi tidak sabar menunggu.
"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un," ucap Bu Nyai pelan. "Bapak kalian sudah dipanggil Allah, anak-anak. Beliau wafat tadi pukul setengah tiga subuh."
Dunia seperti runtuh. Umi langsung menangis histeris, sementara Nisa terdiam dengan mata berkaca-kaca, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Tidak mungkin, Bu Nyai. Tadi kami baru saja mendoakan Bapak dalam shalat tahajud. Kami meminta Allah menyembuhkannya..."
"Anak-anak," Bu Nyai memeluk mereka berdua, "Allah telah menjawab doa kalian. Bapak kalian wafat dalam keadaan tenang, setelah sempat menyebut nama kalian berdua."
"Kenapa Allah tidak mengabulkan doa kami?" Umi menangis di pelukan Bu Nyai.
"Siapa bilang tidak dikabulkan? Mungkin Allah tahu, kesembuhan terbaik untuk Bapak kalian adalah kembali kepada-Nya. Bapak kalian tidak menderita lagi, Nak."
Gus Malik yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Keluarga kalian sudah menunggu. Akan ada yang menjemput pagi ini. Kalian bersiap-siap ya."
Malam itu berganti menjadi subuh yang paling kelam bagi Nisa dan Umi. Mereka membereskan barang-barang dengan mata sembab, sesekali terisak ketika mengingat pesan-pesan Bapak saat mengantar mereka ke pesantren.
"Mbak, kita tidak sempat pamit sama Bapak," Umi berkata sambil melipat mukena.
"Kita sudah pamit, Umi. Lewat doa-doa kita tadi malam. Aku yakin Bapak merasakan cinta kita."
"Tapi aku menyesal tidak pulang kemarin saat dapat surat."
"Jangan menyesal, Umi. Bu Nyai bilang, ini ujian untuk menguji kesabaran kita. Mungkin Allah ingin mengajarkan kita untuk ikhlas."
Ketika pagi menyingsing, mobil dari kampung halaman sudah menunggu di gerbang pesantren. Paman Hasan, adik Bapak mereka, turun dengan mata berkaca-kaca.
"Nisa, Umi, innalillahi..." Paman Hasan memeluk kedua keponakannya.
"Bagaimana keadaan Bapak terakhir, Paman?" tanya Nisa sambil menahan tangis.
"Bapak kalian wafat dengan tenang, Nak. Sebelum meninggal, beliau sempat bilang, 'Sampaikan pada Nisa dan Umi, Bapak bangga punya anak yang solehah seperti mereka. Bapak percaya mereka akan jadi anak yang berbakti, meskipun Bapak sudah tidak ada.'"
Umi kembali menangis mendengar pesan terakhir Bapaknya.
Sepanjang perjalanan pulang, Nisa dan Umi duduk terdiam. Pemandangan yang biasa mereka nikmati kini terasa hambar. Setiap kilometer yang mereka tempuh, adalah kilometer yang membawa mereka menuju kenyataan pahit bahwa Bapak tidak akan menyambut mereka lagi di rumah.
"Mbak, aku baru sadar," kata Umi tiba-tiba.
"Sadar apa?"
"Tadi malam, saat shalat tahajud, aku merasa seperti ada yang berbeda. Ternyata itu saat Bapak dipanggil Allah."
Nisa menatap adiknya. "Mungkin ruh kita terhubung dengan ruh Bapak. Makanya kita merasa harus shalat tahajud malam itu."
"Berarti doa kita sampai?"
"Pasti sampai, Umi. Dan mungkin Bapak juga merasakan cinta kita saat beliau berpulang."
Ketika mobil memasuki gerbang desa, suara tangis dan takbir sudah terdengar dari kejauhan. Di rumah yang biasanya menyambut mereka dengan kehangatan, kini terdapat keranda yang dikelilingi orang-orang.
Nisa dan Umi keluar dari mobil dengan langkah berat. Ibu mereka langsung memeluk kedua putrinya dengan tangis yang pecah.
"Maafkan Ibu, Nak. Kalian tidak sempat bertemu Bapak untuk terakhir kali..."
"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting kita sudah mendoakan Bapak," jawab Nisa sambil menguatkan pelukan.
Malam itu, setelah Bapak dikebumikan, Nisa dan Umi kembali shalat tahajud. Kali ini bukan untuk memohon kesembuhan, tapi untuk mendoakan arwah Bapak yang telah berpulang.
"Ya Allah, ampunilah dosa-dosa Bapak kami. Lapangkanlah kuburnya, dan berikanlah tempat yang terbaik di sisi-Mu," bisik Nisa dalam sujudnya.
"Ya Allah, kami berjanji akan menjadi anak yang berbakti, meski Bapak sudah tidak ada. Kami akan menjaga Ibu dan melanjutkan cita-cita yang Bapak inginkan," tambah Umi.
Di tengah keheningan malam, mereka merasakan kedamaian yang aneh. Seolah ada restu dari langit, bahwa Bapak mereka telah tenang di alam sana.
Dan ketika subuh menyingsing, Nisa dan Umi tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Mereka akan kembali ke pesantren dengan bekal doa dan kenangan indah bersama Bapak yang akan selalu mereka jaga dalam hati.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Wallahu a'lam bishawab.
Comments