Gitar dan Kitab Kuning


Gitar dan Kitab Kuning

Angin sore berhembus dari arah pegunungan, menerbangkan aroma tembakau dan debu jalanan. Di perempatan pasar Wadung, seorang gadis berdiri sambil mengisap rokok mild murahan. Rambutnya separuh merah, separuh hitam. Jaket jeansnya penuh emblem band underground. Di pundaknya tergantung gitar yang sudah penuh coretan spidol. Namanya, Saka.

"Bocah ayu kok ngene to, Nduk," celetuk seorang mbok-mbok penjual sayur, separuh mencibir, separuh iba.

Saka hanya tersenyum miring. Biasa. Udah kenyang. Dari kecil hidupnya memang semrawut. Ibunya entah di mana, bapaknya lebih sering di warung tuak daripada di rumah. Sekolahnya mandek di kelas dua SMP. Hidupnya cuma muter-muter antara jalanan, gigs, dan galau eksistensial yang tak pernah kunjung selesai.

Sore itu dia tak sengaja nyasar ke jalan belakang pesantren. Capek habis ngamen, dia selonjoran di bawah pohon beringin dekat mushola.

"Maaf, Mbak. Di sini tempat ngaji, bukan tempat buat merokok."
Suara itu pelan, tapi menusuk kayak mata jarum. Saka mendongak.

Seorang cowok berdiri di depannya. Pakai sarung kotak-kotak, baju koko putih, dan kopiah hitam. Tapi yang paling bikin Saka terdiam bukan pakaiannya. Tapi matanya. Jernih. Tenang. Seolah dunia yang Saka kenal—yang bising, gelap, dan penuh luka—tak pernah singgah di hidupnya.

"Nama saya Abdul Karim. Santri sini."
"Terus kenapa?" jawab Saka, defensif. Tapi suaranya goyah.

Karim tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam mushola. Tapi sejak itu, dunia Saka mulai jungkir balik.


Minggu-minggu berikutnya, Saka sering mondar-mandir ke dekat mushola. Kadang pura-pura ngamen di pinggir jalan. Kadang cuma duduk sambil main gitar pelan. Dia nggak ngerti kenapa. Tapi matanya selalu mencari sosok Karim. Suara adzan dari mushola itu, entah kenapa, jadi pengingat bahwa ada kedamaian yang selama ini ia kejar, tapi tak pernah ia temukan.

Sampai suatu malam, dia menangis. Sendirian di emper toko. Habis dimaki orang karena nyolong roti. Habis disiram air karena ngamen di tempat yang salah.

Dan tiba-tiba, seseorang meletakkan sebuah kotak makan di depannya.

"Nasi pecel. Makan, Mbak. Panas-panas."

Saka menoleh. Karim lagi. Tapi kali ini, dia nggak sempat jawab. Air matanya keburu tumpah.


"Wis wayahe, Ka. Aku pengen berubah," ucap Saka pada dirinya sendiri, seminggu kemudian.

Dia pulang. Melepas semua baju punk-nya. Minta maaf ke bapaknya, meski tak mendapat pelukan. Lalu dia kembali ke pesantren itu, dengan kerudung tipis dan langkah gemetar.

"Mau mondok?" tanya Bunyai Titin saat Saka datang dengan mata bengkak.

Saka hanya mengangguk. "Aku pengen ngerti, Bu… ngerti kenapa hati orang bisa tenang kayak laut habis hujan."

Dan malam itu, namanya tercatat di daftar santri baru Pondok Pesantren Al Musthofa. Tak ada musik keras. Tak ada keramaian gigs. Hanya suara ngaji, jangkrik malam, dan hatinya yang pelan-pelan sembuh.


Bulan-bulan berlalu. Saka berubah. Dari anak punk, jadi santri. Dari gadis liar, jadi perempuan yang matanya bersih dan wajahnya bercahaya. Ia belajar tajwid, fiqih, sampai hafal beberapa bait Alfiyah.

Hingga suatu pagi, di depan perpustakaan pesantren, Karim lewat. Pandangan mereka bertemu. Ia tak berkata apa-apa. Tapi dari sorot mata Karim, Saka tahu: ia tak perlu lagi mengejar dunia. Karena ia telah menemukan tempat pulang.

Dan sejak itu, gitar dan kitab kuning bersanding di kamarnya. Tak lagi bertengkar. Tapi saling menguatkan. Seperti dia dan harapan yang dulu hampir hilang—tapi kembali—bernama cinta.


Saka bukan lagi anak punk. Tapi tak juga sepenuhnya santri. Ia adalah perjalanan. Dan pesantren adalah pelabuhan.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi