Jejak Luka di Tanah Suci
Jejak Luka di Tanah Suci
Pagi itu, suasana kelas nahwu di Pondok Pesantren Darul Falah terasa lebih tegang dari biasanya. Ustaz Ridwan, guru muda berusia 32 tahun yang baru dua tahun mengajar di pesantren ini, sedang menjelaskan kaidah i'rob dengan sabar. Namun, matanya terus tertuju pada Ahmad Syakir, santri kelas lima ibtidaiyah yang duduk di barisan belakang sambil mencoret-coret buku tulis.
"Syakir, kowe ngrungokne ora?" tanya Ustaz Ridwan dengan nada yang mulai meninggi.
Ahmad Syakir, bocah berusia 12 tahun dengan mata yang nakal, hanya mengangkat bahu tanpa menjawab. Teman-temannya mulai berbisik-bisik, suasana kelas menjadi tidak kondusif.
"Syakir, ayo maju ke depan. Coba sebutkan pembagian kalimat dalam bahasa Arab!"
"Ora ngerti, Ustaz," jawab Syakir dengan santai sambil tetap mencoret-coret bukunya.
Ustaz Ridwan menghela napas panjang. Sudah beberapa kali dia mencoba bersabar dengan tingkah Syakir yang memang dikenal sebagai santri yang nakal dan sulit diatur. Orang tuanya, Pak Bambang, adalah seorang pengusaha kaya yang sering memberi sumbangan besar untuk pesantren, sehingga Syakir merasa bisa berbuat sesukanya.
"Syakir, kalau kowe ora gelem sinau, keluar dari kelas!" bentak Ustaz Ridwan.
"Lah, kenapa harus keluar? Bapak saya kan udah bayar mahal buat sekolah di sini," sahut Syakir dengan nada menantang.
Darah Ustaz Ridwan mulai mendidih. Sebagai guru muda yang masih belajar mengendalikan emosi, dia merasa tantangan Syakir sudah melampaui batas. Ditambah lagi, teman-teman Syakir mulai tertawa, membuat suasana kelas semakin kacau.
"Baik, kalau kowe pengen cara kasar, sini maju ke depan!" perintah Ustaz Ridwan sambil mengambil penggaris kayu yang biasa dipakai untuk menulis di papan tulis.
Syakir bangkit dengan wajah meremehkan. "Mau ngapain, Ustaz? Mau mukul saya?"
"Ulurkan tanganmu! Ini hukuman karena kowe ora respect sama guru dan ganggu teman-teman yang lain!"
Ustaz Ridwan bermaksud memberi hukuman ringan dengan memukul telapak tangan Syakir menggunakan penggaris, seperti yang biasa dilakukan guru-guru lain di pesantren. Namun, karena emosinya yang sudah memuncak, pukulan pertama yang dia berikan lebih keras dari yang dia perkirakan.
"Aduh!" teriak Syakir sambil menarik tangannya.
"Belum selesai! Ulurkan lagi!" bentak Ustaz Ridwan yang masih terbawa emosi.
Pukulan kedua dan ketiga semakin keras. Syakir mulai menangis, tapi Ustaz Ridwan belum juga berhenti. Pukulan keempat mengenai pergelangan tangan Syakir dengan sangat keras, hingga terdengar bunyi 'krek' yang membuat seluruh kelas terdiam.
"Aaaahhh! Tangan saya!" teriak Syakir sambil jatuh terduduk, memegang pergelangan tangannya yang bengkak.
Ustaz Ridwan tersadar seketika. Wajahnya pucat melihat pergelangan tangan Syakir yang sudah membengkak dan berwarna kebiruan. "Syakir... kowe... tanganmu..."
"Sakit, Ustaz! Sakit banget!" tangis Syakir semakin keras.
Teman-teman Syakir berkerumun, wajah mereka pucat ketakutan. Ustaz Ridwan segera mengangkat Syakir dan membawanya ke ruang kesehatan pesantren.
"Maaf, Syakir. Ustaz tidak sengaja. Maafkan Ustaz," kata Ustaz Ridwan dengan suara bergetar sambil membantu Syakir berjalan.
Di ruang kesehatan, Pak Hasan—petugas kesehatan pesantren—langsung memeriksa tangan Syakir. Wajahnya berubah serius.
"Ustaz, sepertinya ini patah tulang. Harus segera dibawa ke rumah sakit," kata Pak Hasan.
Ustaz Ridwan merasa dunia runtuh. Dia langsung melaporkan kejadian ini kepada Kyai Abdullah, pengasuh pesantren.
"Astaqfirullah, Ridwan. Gimana bisa kejadian kayak gini?" tanya Kyai Abdullah dengan wajah sedih dan kecewa.
"Kyai, saya benar-benar tidak sengaja. Saya hanya ingin memberi hukuman biasa, tapi emosi saya tidak terkendali," jawab Ustaz Ridwan sambil menunduk dalam-dalam.
"Ridwan, kowe kudu tanggung jawab penuh atas kejadian ini. Kita harus segera hubungi orang tua Syakir dan bawa dia ke rumah sakit."
Siang itu, Pak Bambang—ayah Syakir—datang ke rumah sakit dengan wajah merah padam. Melihat anaknya terbaring dengan gips di tangan, amarahnya langsung meledak.
"MANA GURUNYA?! MANA YANG UDAH NYAKITIN ANAK SAYA?!" teriaknya di lorong rumah sakit.
Ustaz Ridwan yang sedang menunggu di luar kamar, langsung menghampiri. "Pak Bambang, saya..."
"KAMU! KAMU YANG UDAH NYAKITIN ANAK SAYA!" Pak Bambang langsung menjambak baju Ustaz Ridwan. "GURU MACAM APA KAMU?! MASA ANAK KECIL DIPUKUL SAMPAI PATAH TULANG!"
"Pak, saya minta maaf. Saya benar-benar tidak sengaja..."
"TIDAK SENGAJA?! LALU KENAPA KAMU PUKUL ANAK SAYA BERKALI-KALI?! KAMU PIKIR ANAK SAYA ITU BINATANG?!"
Keributan di rumah sakit menarik perhatian banyak orang. Perawat dan security mencoba melerai, tapi Pak Bambang masih terus berteriak.
"PAK BAMBANG, TOLONG TENANG DULU!" suara Kyai Abdullah terdengar dari ujung lorong. Beliau datang tergesa-gesa setelah mendapat kabar.
"KYAI! INI GIMANA?! PESANTREN SAMPEYAN KOK KAYAK GINI?! GURU-GURUNYA PADA SADIS!" teriak Pak Bambang sambil menunjuk-nunjuk Ustaz Ridwan.
"Pak Bambang, mari kita bicara dengan kepala dingin. Saya juga sangat menyesalkan kejadian ini," kata Kyai Abdullah dengan suara tenang tapi tegas.
"KEPALA DINGIN?! ANAK SAYA PATAH TULANG, KYAI! PATAH TULANG!"
Bu Sari, istri Pak Bambang, keluar dari kamar sambil menangis. "Bang, Syakir nanya-nanya terus. Dia trauma sama gurunya."
Mendengar itu, Pak Bambang semakin mengamuk. "KYAI, SAYA MINTA GURU INI DIPECAT SEKARANG JUGA! SAYA JUGA MAU LAPOR POLISI!"
"Pak Bambang, mari kita selesaikan secara kekeluargaan dulu. Ustaz Ridwan sudah menyesal dan siap bertanggung jawab penuh," kata Kyai Abdullah sambil berusaha menenangkan.
"TANGGUNG JAWAB GIMANA?! BISA BALIKIN TANGAN ANAK SAYA YANG PATAH?!"
Ustaz Ridwan yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara dengan suara bergetar. "Pak Bambang, saya siap bertanggung jawab atas semua biaya pengobatan Syakir. Saya juga siap minta maaf langsung kepada Syakir. Saya benar-benar menyesal."
"MINTA MAAF DOANG?! KAMU PIKIR CUKUP?!"
"Pak, saya juga siap mengundurkan diri dari pesantren kalau Bapak menginginkannya."
Pak Bambang terdiam sejenak, menatap Ustaz Ridwan dengan tajam. "BAGUS! KAMU HARUS KELUAR DARI PESANTREN! DAN SAYA TETAP MAU LAPOR POLISI!"
Kyai Abdullah mencoba menengahi lagi. "Pak Bambang, sebagai sesama muslim, mari kita selesaikan ini dengan cara yang baik. Ustaz Ridwan memang salah, tapi dia juga menyesal."
"KYAI, KALO ANAK KYAI YANG KENA, PASTI KYAI JUGA MAU LAPOR POLISI!"
Dua hari kemudian, Pak Bambang benar-benar melaporkan Ustaz Ridwan ke polisi atas tuduhan penganiayaan terhadap anak. Dia juga datang ke pesantren dengan beberapa temannya untuk mengamuk lagi.
"KYAI! SAYA MAU KETEMU GURU SADIS ITU LAGI!" teriaknya sambil mendobrak pintu kantor pesantren.
Para santri yang sedang belajar menjadi ribut mendengar teriakan Pak Bambang. Ustaz Ridwan yang memang sudah mengundurkan diri, masih berada di pesantren untuk menyelesaikan administrasi.
"Pak Bambang, tolong jangan bikin keributan di sini. Ini tempat belajar anak-anak," kata Kyai Abdullah dengan sabar.
"TEMPAT BELAJAR?! TEMPAT MENYIKSA ANAK NAMANYA! MANA TU USTAZ RIDWAN?!"
Ustaz Ridwan keluar dari kantor dengan wajah pucat dan mata bengkak karena menangis berhari-hari. "Saya di sini, Pak."
"KAMU! GARA-GARA KAMU, ANAK SAYA TRAUMA! DIA GA MAU SEKOLAH LAGI! KATANYA TAKUT SAMA GURU!"
"Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya sudah bayar semua biaya pengobatan Syakir. Saya juga sudah mengundurkan diri."
"ITU BELUM CUKUP! KAMU HARUS BAYAR GANTI RUGI MENTAL ANAK SAYA!"
"Pak Bambang," Kyai Abdullah mencoba menengahi, "cukup sampai di sini. Ustaz Ridwan sudah bertanggung jawab. Sekarang yang penting adalah Syakir bisa sembuh dan kembali belajar."
"KYAI BELA DIA TERUS! PANTAS AJA GURU-GURU DI SINI PADA SADIS!"
"Pak Bambang, tolong jaga ucapan!" kali ini Kyai Abdullah mulai tegas. "Pesantren ini sudah puluhan tahun mendidik anak-anak dengan baik. Kejadian dengan Ustaz Ridwan adalah kesalahan individual."
"INDIVIDUAL TAPI TERJADI DI PESANTREN KYAI!"
Keributan itu akhirnya berakhir ketika beberapa tokoh masyarakat dan keluarga besar datang untuk menengahi. Setelah melalui mediasi yang panjang, Pak Bambang akhirnya setuju untuk tidak melanjutkan ke pengadilan dengan syarat Ustaz Ridwan harus membayar ganti rugi yang cukup besar dan tidak boleh mengajar lagi di pesantren manapun.
Tiga bulan kemudian, Ustaz Ridwan pindah ke kota lain dan bekerja sebagai karyawan biasa di sebuah toko buku. Dia masih trauma dengan kejadian itu dan memutuskan untuk tidak mengajar lagi.
Syakir akhirnya kembali ke pesantren setelah tangannya sembuh, tapi dia menjadi lebih pendiam dan mudah takut jika ada guru yang sedikit saja meninggikan suara. Dia juga sering bercerita kepada teman-temannya tentang kejadian traumatis itu, membuat beberapa santri lain menjadi was-was dengan para guru.
Di suatu sore, ketika Kyai Abdullah sedang mengajar di kelas, dia melihat Syakir yang duduk di pojok dengan wajah ketakutan ketika dia sedikit meninggikan suara untuk menerangkan pelajaran.
"Syakir, kowe ora apa-apa?" tanya Kyai Abdullah dengan lembut.
"Ora apa-apa, Kyai. Cuma... takut," jawab Syakir dengan suara pelan.
Kyai Abdullah menghela napas dalam. Dia sadar bahwa kejadian dengan Ustaz Ridwan telah meninggalkan luka yang mendalam, tidak hanya pada Syakir, tapi juga pada seluruh komunitas pesantren.
Malam itu, Kyai Abdullah berkumpul dengan para guru lain untuk evaluasi.
"Kejadian dengan Ustaz Ridwan harus jadi pelajaran buat kita semua," kata Kyai Abdullah. "Mendidik itu butuh kesabaran ekstra. Emosi kita sebagai guru harus selalu terkendali."
"Kyai, tapi gimana kalau santrinya memang bandel banget?" tanya Ustaz Mahmud, salah satu guru senior.
"Ya tetap harus sabar. Ingat, mereka itu masih anak-anak. Kalau kita tidak bisa mengendalikan emosi, lebih baik kita cari cara lain atau minta bantuan guru lain."
Pak Hasan, guru yang paling senior, menambahkan, "Dulu jaman saya kecil, memang biasa dipukul kalau salah. Tapi sekarang zamannya beda. Anak-anak sekarang lebih sensitif, orang tuanya juga lebih protektif."
"Betul," angguk Kyai Abdullah. "Makanya kita harus adaptasi. Mendidik dengan kasih sayang, bukan dengan kekerasan."
Setahun kemudian, Ustaz Ridwan datang ke pesantren untuk meminta maaf sekali lagi kepada Kyai Abdullah dan juga kepada Syakir yang kebetulan sedang liburan di rumah.
"Kyai, saya datang untuk minta maaf sekali lagi. Kejadian itu masih membayangi saya sampai sekarang," kata Ustaz Ridwan dengan mata berkaca-kaca.
"Ridwan, Allah Maha Pengampun. Yang penting kowe sudah tobat dan belajar dari kesalahan," jawab Kyai Abdullah dengan bijaksana.
"Syakir gimana, Kyai? Masih trauma?"
"Alhamdulillah, dia sudah mulai membaik. Tapi memang butuh waktu lama untuk sembuh total."
Ustaz Ridwan mengangguk sedih. "Kyai, saya ingin ketemu Syakir sekali lagi untuk minta maaf langsung."
"Hmm... sebaiknya tidak dulu, Ridwan. Dia masih trauma melihat kamu. Mungkin nanti kalau dia sudah benar-benar sembuh."
Ustaz Ridwan mengerti. Dia pamit dengan hati yang masih berat, membawa penyesalan yang mungkin akan dia bawa seumur hidup.
Lima tahun kemudian, Syakir sudah lulus dari pesantren dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia sudah tidak trauma lagi, tapi kejadian itu membuatnya menjadi pribadi yang lebih penyayang dan tidak suka kekerasan.
Suatu hari, ketika dia sedang jalan-jalan di kota, dia bertemu dengan Ustaz Ridwan yang sedang berjualan buku di emperan toko.
"Ustaz Ridwan?" kata Syakir dengan ragu-ragu.
Ustaz Ridwan mengangkat kepala dan terkejut melihat Syakir yang sudah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. "Syakir... kowe..."
"Iya, Ustaz. Saya Syakir."
Hening sejenak. Ustaz Ridwan bangkit dengan mata berkaca-kaca.
"Syakir, Ustaz minta maaf. Ustaz minta maaf atas semua yang pernah Ustaz lakukan. Ustaz tau, itu salah besar."
Syakir tersenyum tipis. "Ustaz, saya sudah memaafkan sejak lama. Saya tau Ustaz tidak sengaja. Mungkin itu takdir, supaya kita sama-sama belajar."
"Bener, Syakir? Kowe sudah memaafkan Ustaz?"
"Iya, Ustaz. Bahkan kejadian itu membuat saya jadi lebih kuat dan lebih sayang sama anak-anak. Sekarang saya kuliah jurusan psikologi anak."
Ustaz Ridwan menangis haru. "Alhamdulillah... Ustaz bersyukur kowe bisa jadi orang sukses."
"Ustaz gimana? Masih mengajar?"
"Tidak, Syakir. Ustaz tidak berani mengajar lagi. Sekarang cuma jual buku."
"Ustaz, mungkin saatnya Ustaz mencoba lagi. Tapi dengan cara yang lebih baik. Pengalaman buruk bisa jadi pelajaran berharga."
Pertemuan itu menjadi titik balik bagi keduanya. Syakir yang sudah memaafkan dengan tulus, dan Ustaz Ridwan yang akhirnya bisa memaafkan dirinya sendiri.
Dua tahun kemudian, Ustaz Ridwan kembali mengajar di sebuah madrasah kecil dengan metode yang jauh lebih sabar dan penuh kasih sayang. Sementara Syakir menjadi psikolog anak yang membantu anak-anak korban kekerasan untuk pulih dari traumanya.
Mereka berdua belajar bahwa kesalahan terbesar dalam hidup bisa menjadi pelajaran terbesar, asalkan kita mau belajar dan berubah menjadi lebih baik.
Comments