Keranda di Atas Asmaul Husna


 Keranda 

Malam di pesantren Al-Mawa. Langit murung menggantung seperti kain kafan, belum juga jatuh tapi sudah menyelimuti segalanya dengan rasa was-was. Para santri, yang biasanya masih mengaji hingga jam sepuluh malam di serambi masjid, kini sudah ditarik masuk ke dalam asrama selepas isya. Perintah datang langsung dari Kiai Mahbub. Tegas dan tanpa tawar-menawar.

“Wis, ora usah keluyuran sawise maghrib. Akeh lelembut ora genah neng njerone dalan.”

Tidak ada yang berani membantah. Bahkan santri senior macam Dzulfa yang biasanya gemar curi-curi merokok di belakang kandang kambing, kini memilih duduk diam, membaca Shalawat Badar dengan suara lirih, seolah-olah kalimat suci itu bisa jadi pagar dari hal-hal yang tak kasat mata.

Kabar itu mulai beredar tiga malam yang lalu. Seorang warga dusun yang melintasi jalan depan pesantren mendadak kesurupan. Ia meraung-raung di depan gerbang, menyebut-nyebut kata “keranda”. Tubuhnya kejang, tangannya menunjuk langit.

“Ana keranda mabur, Kiai! Mlayu, mlayu, kerandane mabur!”

Sejak itu, jalan raya depan pesantren menjadi saksi bisu sebuah keganjilan. Sudah empat orang melihatnya. Sebuah keranda mayat, terbang pelan-pelan, melayang di atas pohon asam tua yang berdiri tepat di sisi jalan. Tak ada yang tahu dari mana asalnya, dan ke mana perginya. Tapi satu yang pasti: ia datang setelah adzan isya dan pergi sebelum adzan subuh.

Para santri menyebutnya: “Keranda Ngidul”, karena katanya, keranda itu selalu datang dari arah selatan, dari balik kebun bambu di ujung jalan yang katanya dulunya tempat membuang bayi hasil hubungan gelap.


Malam ini, Faiq tidak bisa tidur. Ia baru pindahan dari Semarang dua minggu lalu, dan belum betul-betul merasa nyaman dengan suara kodok dan jangkrik yang bersahut-sahutan seperti orkestra tak dikenal. Ditambah lagi, kamar asramanya menghadap langsung ke arah jalan raya yang kini seperti berubah jadi batas antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih gelap.

Dari sela-sela jendela kayu, Faiq mengintip.

Sunyi. Tidak ada angin. Pohon asam tampak diam, seperti sedang menunggu sesuatu.

Jam di dinding menunjuk pukul 00.13.

Dan kemudian ia melihatnya.

Keranda itu.

Melayang pelan, seolah diayun oleh tangan tak terlihat. Di bawahnya, bayang-bayang seperti asap hitam mengepul mengikuti. Tidak ada suara. Bahkan jangkrik pun mendadak diam. Sunyi yang menyesakkan.

Faiq menahan napas. Ia ingin menjerit, tapi mulutnya terasa terkunci. Dalam dadanya, ayat Kursi menggema tanpa suara. Ia tidak tahu apakah sedang membaca atau hanya mengingat-ingat dalam hati. Tapi tiba-tiba keranda itu berhenti.

Tepat di depan jendelanya.

Keranda itu mengapung diam. Seperti menatapnya, meski ia tahu benda mati tak punya mata.

Tapi ia merasakannya.

“Faiq…”

Sebuah suara lirih, seperti bisikan yang tidak berasal dari luar, tapi dari dalam tubuhnya sendiri. Dari sela tulang rusuk. Dari tempat di mana doa-doa yang belum dikabulkan bersembunyi.

Dan kemudian, keranda itu melayang pergi. Meninggalkan aroma bunga kenanga yang tidak pernah ditanam di sekitar pesantren.


Pagi harinya, Kiai Mahbub memanggil Faiq. Tidak banyak bicara. Hanya menyodorkan segelas kopi jahe dan menatapnya dengan mata teduh.

“Wes wayahe, Le. Awakmu kudu ngerti, pesantren iki dibangun di antarane dua dunya. Dunia sing bisa kowe raba, lan dunia sing mung bisa kowe rasakake. Kadang sing loro iku tabrakan, lan awakmu mung bisa nyambut pangerten.”

Faiq menunduk. Ia tidak paham sepenuhnya, tapi sesuatu dalam dirinya merasa seperti telah disentuh oleh waktu yang lebih tua dari usianya sendiri.

“Apa saya harus takut, Yai?” tanyanya pelan.

Kiai Mahbub tersenyum. “Ora. Sing kudu kowe duwe kuwi donga. Karo ati sing resik. Lelembut ora bakal gelem nyedaki wong sing saben malem ngucap Asmaul Husna karo tangis ikhlas.”

Dan sejak malam itu, di tiap serambi asrama, terdengar bisik-bisik para santri yang menyebut nama-nama Allah dengan nada rendah, seperti mendendangkan puisi kepada langit.

Keranda itu masih melintas, kadang. Tapi tidak ada yang merasa ketakutan lagi. Karena mereka tahu, kadang dunia yang tak terlihat hanya ingin didengar.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi