Kesurupan di Malam Jumat
Kesurupan di Malam Jumat
Malam Jumat kliwon itu terasa berbeda. Udara di Pondok Pesantren Al-Hidayah terasa lebih lembab dari biasanya, dan suara jangkrik yang biasanya bersahut-sahutan kini verstiam senyap. Santri-santri yang sedang mengaji di serambi masjid sesekali menoleh ke langit yang mendung tanpa bintang.
Muhammad Dani, santri kelas 2 Aliyah, duduk di pojok serambi sambil membaca Kitab Fiqh. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara malam cukup sejuk.
"Dani, kowe kenapa? Kok kelihatan lemes banget?" tanya Rizal, teman sebangkunya.
"Tidak apa-apa, Zal. Cuma agak pusing," jawab Dani sambil mengelap keringat.
"Udah makan belum? Tadi sore kamu kan tidak ikut makan bareng."
"Sudah. Tadi beli nasi gudeg di warung."
Rizal mengangguk lalu melanjutkan bacaannya. Tapi matanya sesekali melirik Dani yang terlihat semakin gelisah. Kedua tangan Dani bergetar, dan bibirnya bergumam sesuatu yang tidak jelas.
"Dani?" Rizal menepuk bahu temannya.
Tiba-tiba Dani berdiri dengan gerakan yang aneh. Matanya melotot, dan suaranya berubah menjadi melengking tinggi.
"Aku tidak mau! Aku tidak mau pakai baju ini!" teriaknya sambil menarik-narik baju koko yang dipakainya.
Semua santri yang sedang mengaji langsung menoleh. Beberapa kitab jatuh berserakan.
"Eh, Dani kenapa?" bisik Ahmad, santri senior.
Dani tidak menjawab. Dia malah berjalan dengan langkah gemetar menuju sudut serambi, lalu duduk dengan gaya... perempuan. Kakinya dirapatkan, kedua tangannya diletakkan di atas paha dengan sopan.
"Assalamu'alaikum," kata Dani dengan suara lembut dan tinggi, sangat berbeda dari suara aslinya. "Nama saya Siti Aminah. Saya santri putri dari Pondok Al-Barokah."
Semua santri terdiam. Bulu kuduk mereka berdiri.
"Ya Allah..." gumam Ustadz Qodir yang baru saja keluar dari masjid setelah sholat isya. "Ada apa ini?"
"Ustadz, Dani aneh. Dia bilang namanya Siti Aminah," lapor Ahmad dengan suara gemetar.
Ustadz Qodir mendekat dengan hati-hati. "Dani? Dani, kamu kenapa?"
"Saya bukan Dani, Ustadz," jawab Dani dengan suara perempuan. "Saya Siti Aminah. Kenapa saya ada di sini? Ini kan pondok putra. Saya kan santri putri."
Ustadz Qodir langsung paham. Ini bukan main-main. Dani kesurupan.
"Semua santri, kumpul di tengah serambi. Baca ayat Kursi dan surat Al-Ikhlas," perintah Ustadz Qodir dengan tegas.
Para santri segera berkumpul dan mulai membaca ayat-ayat suci dengan suara bergetar. Sementara itu, Dani—atau yang mengaku Siti Aminah—malah berdiri dan mulai berjalan dengan gaya feminin.
"Aduh, jilbab saya mana ya?" katanya sambil meraba-raba kepala. "Kok saya tidak pakai jilbab? Astaghfirullah, tidak sopan."
Dia lalu mengambil handuk yang tergantung di dekat tempat wudhu dan memasangnya di kepala seperti jilbab.
"Nah, gini dong. Lebih sopan," ujarnya sambil tersenyum manis—sesuatu yang sangat aneh terlihat di wajah Dani yang biasanya tegas.
Keributan di serambi akhirnya sampai ke telinga Kyai Hasan yang sedang beristirahat di rumahnya. Ustadz Mahmud berlari menuju rumah kyai dengan napas tersengal-sengal.
"Kyai! Kyai! Ada santri kesurupan!"
"Kesurupan?" Kyai Hasan langsung bangkit dari kursinya. "Siapa?"
"Dani, Kyai. Muhammad Dani kelas 2 Aliyah. Dia bilang namanya Siti Aminah, santri putri."
"Ya Allah..." Kyai Hasan langsung mengambil tasbih dan sebotol air putih. "Ayo ke TKP."
Sesampainya di serambi, pemandangan yang menyambut Kyai Hasan sungguh tidak biasa. Dani duduk di lantai dengan posisi bersila yang rapi, handuk menutupi kepalanya seperti jilbab, dan sedang... menyulam?
"Darimana kamu dapat benang dan jarum?" tanya Ustadz Qodir bingung.
"Dari kamar, dong. Masa tidak tahu? Ini sulaman untuk mukena baru saya," jawab Dani dengan suara lembut sambil terus menyulam dengan gerakan yang sangat terampil.
Yang aneh, Dani sama sekali tidak pernah bisa menyulam sebelumnya.
"Assalamu'alaikum," sapa Kyai Hasan.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Kyai," jawab Dani sambil bangkit dan membungkuk sopan. "Kyai, kenapa saya ada di pondok putra? Saya kan harusnya di pondok putri Al-Barokah."
"Siapa nama kamu?"
"Siti Aminah binti Haji Suryadi, Kyai. Saya santri putri kelas 3 Aliyah."
Kyai Hasan menatap mata Dani. Ada yang berbeda. Tatapannya lembut, tidak seperti tatapan Dani yang biasanya tegas dan sedikit nakal.
"Aminah, kamu dari mana?"
"Dari Tulungagung, Kyai. Bapak saya pedagang batik di pasar."
"Sudah berapa lama mondok?"
"Baru setahun, Kyai. Saya masuk setelah lulus SMP."
Jawaban-jawaban itu terlalu detail untuk sekadar kesurupan biasa. Kyai Hasan semakin yakin ada yang tidak beres.
"Aminah, coba kamu sholat Maghrib. Sudah lewat belum?"
"Sudah, Kyai. Tadi saya sholat berjamaah di musholla putri bersama teman-teman."
Dani lalu berdiri dan mengambil air wudhu dengan gerakan yang sangat feminim. Cara dia membasuh wajah, tangan, dan kaki sangat berbeda dari cara Dani biasanya. Lebih pelan, lebih hati-hati, seperti perempuan pada umumnya.
Setelah berwudhu, dia sholat dengan gerakan yang juga berbeda. Sujudnya lebih rapat, cara duduk tasyahudnya juga khas perempuan.
Para santri menyaksikan dengan takjub dan sedikit takut.
"Ustadz Qodir, panggil Ustadz Ahmad. Suruh dia hubungi pondok putri Al-Barokah di Tulungagung. Tanya, apa benar ada santri bernama Siti Aminah yang hilang atau sakit," bisik Kyai Hasan.
"Baik, Kyai."
Sementara menunggu, Kyai Hasan mencoba berkomunikasi lebih dalam dengan sosok yang mengaku Siti Aminah itu.
"Aminah, kamu ingat kejadian terakhir sebelum sampai di sini?"
Dani mengernyitkan dahi, seperti sedang mengingat sesuatu. "Saya... saya ingat sedang sakit keras, Kyai. Demam tinggi sekali. Nyai Hajjah sempat panik karena saya tidak sadarkan diri berhari-hari."
"Kapan itu terjadi?"
"Seminggu yang lalu, Kyai."
"Terus?"
"Yang saya ingat selanjutnya, saya sudah ada di sini. Bingung, kok bisa ada di pondok putra."
Sekitar setengah jam kemudian, Ustadz Ahmad datang dengan wajah pucat.
"Kyai, saya sudah hubungi pondok putri Al-Barokah."
"Gimana?"
"Benar ada santri bernama Siti Aminah binti Haji Suryadi, umur 16 tahun, asal Tulungagung. Dan... dia meninggal seminggu yang lalu karena sakit keras."
Hening.
Semua yang mendengar merasa bulu kuduk berdiri. Kyai Hasan sendiri terdiam sejenak, lalu membaca istighfar dalam hati.
"Aminah," panggil Kyai Hasan dengan suara lembut.
"Iya, Kyai?"
"Kamu sudah tahu apa yang terjadi sama kamu?"
Mata Dani berkaca-kaca. "Saya... saya sudah meninggal, ya Kyai?"
"Iya, nak. Kamu sudah kembali pada Allah."
"Tapi kenapa saya ada di sini? Kenapa saya bisa masuk ke tubuh santri putra ini?"
Kyai Hasan menarik napas panjang. "Mungkin ada yang mengganjal hati kamu. Ada yang belum selesai?"
Dani menangis. Air mata mengalir deras dari matanya. "Saya... saya belum sempat pamit sama Nyai. Saya belum sempat minta maaf karena sering membuat Nyai marah. Saya juga belum sempat menyelesaikan hafalan Juz 30 yang sudah dijanjiin sama Nyai."
"Apalagi?"
"Saya... saya juga pengen minta maaf sama Bapak Ibu. Saya pernah ngambil uang saku lebih tanpa bilang. Saya juga pernah bohong waktu nilai ujian jelek."
Kyai Hasan mengangguk paham. "Aminah, sekarang dengar baik-baik. Kamu sudah meninggal dengan husnul khotimah. Allah sudah memanggil kamu pulang. Semua dosa-dosa kecil yang kamu sebutkan itu, insya Allah sudah diampuni karena kamu meninggal dalam keadaan bertaubat."
"Tapi Kyai..."
"Dan untuk Nyai, Bapak Ibu kamu, mereka pasti sudah ikhlas dan memaafkan semua kesalahan kamu. Setiap orangtua pasti memaafkan anaknya yang sudah meninggal."
"Benarkah, Kyai?"
"Iya, nak. Sekarang kamu harus ikhlas melepaskan dunia ini. Jangan terikat lagi. Perbanyak dzikir dan istighfar, lalu biarkan malaikat mengantar kamu ke tempat yang lebih baik."
Dani terdiam lama. Matanya menatap kosong ke langit malam.
"Kyai, boleh saya sholat tahajud dulu? Saya mau berdoa buat Nyai, Bapak, Ibu, dan teman-teman saya."
"Boleh, nak."
Dani bangkit dan sholat tahajud dengan khusyu'. Para santri yang menyaksikan merasa haru melihat bagaimana dia berdoa dengan tangisan yang sangat dalam. Setelah sholat, dia duduk bersila dan berdzikir.
"La ilaha illa Allah, La ilaha illa Allah..."
Dzikir itu dibaca berulang-ulang dengan suara yang semakin lirih. Perlahan, ekspresi wajah Dani mulai berubah. Tatapan lembut itu mulai memudar.
"La ilaha illa Allah... Asyhadu alla ilaha illa Allah..."
Tiba-tiba, Dani roboh.
Para santri panik, tapi Kyai Hasan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk tetap tenang.
Beberapa menit kemudian, Dani membuka mata. Kali ini, tatapannya sudah kembali normal. Tatapan Dani yang biasa.
"Kyai? Kenapa saya di sini? Kok semuanya pada ngeliatin saya?" tanyanya dengan suara aslinya yang agak serak.
"Dani, kamu ingat apa yang baru saja terjadi?"
Dani menggeleng bingung. "Saya cuma ingat tadi abis maghrib saya duduk di sini baca kitab. Terus... kosong. Kenapa, Kyai?"
Kyai Hasan tersenyum lega. "Tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah baik-baik saja."
Keesokan harinya, kabar kesurupan Dani menyebar ke seluruh pesantren. Tapi Kyai Hasan melarang santri-santri membicarakannya secara berlebihan.
"Ini pelajaran buat kita semua," kata Kyai Hasan saat kultum ba'da subuh. "Dunia ini tidak kekal. Kematian bisa datang kapan saja. Maka dari itu, perbanyaklah amal sholeh, dan jangan tinggalkan urusan dunia yang belum selesai."
"Kyai, apa bener tadi malam Dani kesurupan sama arwah santri putri?" tanya salah satu santri.
"Yang penting kalian ambil hikmahnya. Jangan sampai ada di antara kalian yang meninggal dalam keadaan masih punya hutang atau dendam sama orang lain."
Setelah kultum, Kyai Hasan memanggil Dani ke ruang kerjanya.
"Dani, gimana kabarmu hari ini?"
"Alhamdulillah baik, Kyai. Tapi saya masih bingung dengan yang terjadi semalam."
"Kamu tidak ingat sama sekali?"
"Tidak, Kyai. Yang saya ingat terakhir, saya sedang baca Kitab Fiqh. Eh, sudah pagi."
Kyai Hasan mengangguk. "Dani, coba ceritakan, akhir-akhir ini kamu ada masalah apa tidak? Dengan keluarga, dengan teman, atau dengan siapa?"
Dani terdiam sejenak. "Sebenarnya... ada, Kyai."
"Apa?"
"Saya lagi kesel sama adik saya. Dia ngambil tabungan saya tanpa ijin buat beli HP. Pas saya marah-marah, dia bilang toh saya juga jarang pulang, ngapain nyimpen uang banyak-banyak di rumah."
"Terus?"
"Saya marah banget, Kyai. Saya bilang saya tidak mau ngomong sama dia lagi. Sampai sekarang saya belum mau bales chat-nya."
"Kapan kejadian itu?"
"Seminggu yang lalu."
Kyai Hasan mengangguk paham. "Dani, mungkin kejadian semalam adalah peringatan buat kamu. Coba kamu pikir, gimana kalau tiba-tiba kamu atau adik kamu dipanggil Allah, sementara kalian masih dalam keadaan bermusuhan?"
Dani terdiam. "Saya... saya takut, Kyai."
"Makanya, sekarang hubungi adik kamu. Minta maaf dan maafkan dia juga."
"Baik, Kyai."
Sore itu, Dani menelepon adiknya, Sarah.
"Halo, Mas Dani?" suara Sarah terdengar terkejut.
"Iya, Rah. Gimana kabarmu?"
"Baik, Mas. Mas kenapa tiba-tiba nelpon? Bukannya Mas marah sama aku?"
Dani tersenyum getir. "Kakak mau minta maaf, Rah. Maaf udah marah-marah kemarin. Maaf juga udah ngomong kasar."
"Mas..." suara Sarah bergetar. "Aku juga minta maaf. Aku salah ambil uang Mas tanpa ijin."
"Udah, sama-sama minta maaf. Yang penting kita baikan lagi."
"Iya, Mas. Eh, Mas kenapa tiba-tiba mau baikan? Ada apa?"
Dani terdiam sejenak. "Tidak ada apa-apa. Cuma... kakak sadar kalau hidup ini singkat. Jangan sampai kita bermusuhan terus."
"Mas Dani aneh deh hari ini," Sarah tertawa. "Tapi aku seneng kita udah baikan."
Setelah menutup telepon, Dani merasa lega. Ada beban yang hilang dari dadanya.
Malam itu, saat semua santri sudah tidur, Dani tidak bisa memejamkan mata. Dia terus memikirkan cerita para santri tentang kejadian semalam yang tidak dia ingat sama sekali.
Konon, dia sempat bertingkah seperti perempuan, mengaku bernama Siti Aminah, dan bahkan bisa menyulam. Yang paling membuatnya bergidik, kata teman-temannya, dia sempat sholat dengan gerakan perempuan.
"Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, angin malam berhembus masuk kamar. Dingin sekali, membuat Dani merinding. Dia menarik selimut lebih rapat.
Dalam keheningan malam, Dani seperti mendengar bisikan halus: "Terima kasih..."
Dani langsung membaca ayat Kursi dan istighfar berulang-ulang sampai akhirnya tertidur.
Seminggu kemudian, Ustadz Ahmad mendapat kabar dari pondok putri Al-Barokah. Keluarga Siti Aminah menyampaikan bahwa semalam setelah kejadian di pondok putra, mereka bermimpi didatangi Aminah. Dalam mimpi itu, Aminah terlihat tenang dan bahagia. Dia bilang sudah tidak apa-apa dan minta keluarga ikhlas melepaskannya.
"Subhanallah," gumam Ustadz Ahmad saat menceritakan hal itu pada Kyai Hasan.
"Itu tandanya arwah Aminah sudah tenang dan bisa melanjutkan perjalanannya ke alam barzakh," kata Kyai Hasan. "Semoga Allah menempatkannya di tempat yang baik."
Epilog
Bertahun-tahun kemudian, Dani sudah lulus dari pesantren dan menjadi guru di sebuah madrasah. Dia sering menceritakan pengalamannya kepada murid-muridnya, meski tidak secara detail.
"Anak-anak, ingat ya. Jangan pernah bermusuhan dengan keluarga atau teman kalian. Karena kita tidak tahu kapan Allah memanggil kita pulang. Jangan sampai kita meninggal dalam keadaan masih punya dendam atau hutang sama orang lain."
"Kenapa, Ustadz?" tanya salah satu muridnya.
"Karena itu bisa membuat kita tidak tenang di alam sana. Makanya, selalu minta maaf kalau salah, dan maafkan orang yang salah sama kalian."
Setiap malam, Dani selalu berdoa untuk arwah Siti Aminah yang pernah "menumpang" di tubuhnya. Dia tidak tahu persis apa yang terjadi malam itu, tapi dia yakin Allah mengirim peringatan untuknya melalui cara yang luar biasa.
Dan setiap kali angin malam berhembus dingin seperti malam itu, Dani selalu ingat untuk membaca istighfar dan bersyukur atas kehidupannya yang masih berlanjut.
Wallahu a'lam bishawab.
Comments