Ksatria Nuraterra

 


Ksatria Nuraterra

M. Alvin Zidna A., M. Kaffa Haidar H. A. & M. Davin Ziyan A.

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)

 

Suara hujan rintik membelai atap ruang ekstrakurikuler TIK sore itu. Lampu-lampu neon memantulkan cahaya ke meja-meja yang penuh kabel, headset, dan laptop. Zidna duduk bersandar di kursinya, jari-jarinya sibuk menekan tombol keyboard, sesekali menghela napas panjang.

“Astaga… kalah lagi,” gumamnya, menatap layar yang menampilkan karakter game-nya tumbang.

Davin yang duduk di sebelahnya menoleh sambil tersenyum tipis. “Zid, kalau main sambil ngelamun, ya wajar kalah.”

“Aku bukan ngelamun,” balas Zidna, matanya masih ke layar, “aku lagi mikirin… gimana kalau kita bikin game kita sendiri?”

Kaffa, yang sejak tadi sibuk menggambar sketsa karakter di bukunya, langsung mengangkat kepala. “Game sendiri? Serius?”

“Serius banget,” jawab Zidna mantap. “Kita bikin game petualangan pertempuran, tapi beda dari yang lain. Bukan cuma nembak-nembak, tapi ada cerita, misi, dan pesan yang bagus.”

Davin menghela napas pendek, seolah sudah menunggu momen ini. “Zid, itu ide bagus. Tapi kita cuma anak SMP. Kita bahkan belum pernah bikin game.”

Kaffa tersenyum penuh tantangan. “Ya, belum pernah… tapi bukan berarti nggak bisa.”

……….

Hari berikutnya, mereka bertiga duduk di perpustakaan sekolah, buku-buku teknologi terbuka di hadapan mereka.

“Aku pikir latarnya harus di dunia fantasi,” kata Zidna sambil menggambar peta di selembar kertas A3. “Namanya… Nuraterra.”

“Nuraterra… keren!” seru Davin. “Peta ini harus luas, ada gunung salju, hutan gelap, dan kota pelabuhan.”

Kaffa menambahkan, “Dan pemain harus jadi ksatria yang melindungi desa dari makhluk bayangan. Setiap level ada teka-teki, bukan cuma bertarung.”

Mereka pun membagi tugas: Zidna fokus pada desain dunia, Davin belajar coding, dan Kaffa membuat ilustrasi karakter.

……….

Sore-sore mereka habis di ruang TIK. Kadang mereka serius mengetik kode, kadang tertawa ketika hasilnya melenceng jauh dari rencana.

“Uh… kenapa karakter kita jalannya miring begini?” tanya Kaffa sambil menahan tawa.

“Itu gara-gara aku salah ketik script,” jawab Davin, ikut tertawa.

Zidna menghela napas, tapi matanya berbinar. “Nggak apa-apa, ini bagian dari belajar.”

Mereka juga bermain game populer—Free Fire, Mobile Legends—bukan untuk meniru, tapi mencari inspirasi. Setiap kali menemukan kekurangan, Zidna menulis catatan: Kurangi iklan pop-up. Buat kontrol mudah di HP.

……….

Suatu sore, hujan deras mengguyur, dan komputer sekolah sempat mati karena listrik padam. Semua data terakhir mereka hilang.

“Aduh, file coding level dua hilang semua!” seru Davin frustasi.

Kaffa menutup matanya sebentar. “Ya Allah, ini berat banget…”

Zidna mengangkat tangannya, menepuk bahu teman-temannya. “Kita mulai lagi. Kita bikin lebih baik dari sebelumnya.”

Malam itu mereka saling mengirim file lewat grup chat, saling menyemangati. Rasa lelah terhapus oleh semangat.

……….

Bulan berganti. Dunia Nuraterra perlahan lengkap. Ada ksatria berzirah perak, monster berkepala tiga, dan desa yang terasa hidup dengan penduduk yang bisa diajak bicara. Musik latarnya lembut saat damai, tapi penuh ketegangan saat pertempuran.

“Kita harus buat bos terakhir yang keren,” kata Kaffa sambil memperlihatkan sketsa naga bayangan.

Davin mengetik kode terakhir. “Bos ini nggak cuma kuat, tapi butuh strategi buat ngalahin. Pemain harus memecahkan teka-teki sebelum menyerang.”

Akhirnya, Ksatria Nuraterra siap diuji coba.

……….

Ruang komputer penuh teman-teman yang penasaran. Zidna memimpin, Davin mengatur server, dan Kaffa memandu pemain.

“Wah, keren banget! Kayak main game beneran di Play Store!” seru salah satu siswa.

“Monster-nya bikin kaget, tapi seru,” kata yang lain.

“Dan nggak ada kekerasan berlebihan, ini aman buat adikku main!”

Mereka bertiga saling bertatap. Senyum mereka lebar, tapi di hati mereka tahu—ini baru permulaan.

……….

Sepulang sekolah, mereka duduk di bangku taman, menikmati angin sore. “Gimana kalau kita upload game ini biar orang luar juga bisa main?” tanya Davin.

“Boleh. Tapi kita harus upgrade dulu, biar lebih sempurna,” jawab Zidna.

Kaffa menatap matahari yang perlahan tenggelam. “Siapa sangka, tiga anak SMP bisa bikin dunia sendiri.”

Dan begitulah, dari mimpi kecil di ruang TIK, lahirlah sebuah petualangan besar—yang kelak mungkin akan mengubah dunia game.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi