Langkah Kecil Menuju Kesembuhan
Langkah Kecil
Menuju Kesembuhan
Charish Adnan & Saiful Maulana Ihsan
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Langit masih memudar dari biru gelap ke jingga ketika Rafi duduk diam di
pinggir ranjang ayahnya. Napas ayah terdengar berat dan berirama tak teratur.
Wajahnya pucat, keningnya mengilap karena keringat dingin. Rafi menggenggam
tangan ayahnya dengan erat.
“Ibu,” bisiknya pelan, “obatnya habis, kan?”
Ibu, yang duduk di sudut ruangan sambil menggenggam mushaf kecil, hanya
mengangguk pelan. “Sudah Ibu cari-cari uang di celengan. Tak cukup, Nak,”
ujarnya lembut tapi lelah.
Rafi menelan ludah. Ia tahu betul obat itu penting. Tanpa itu, ayahnya
akan semakin melemah. Ia berdiri perlahan, mengenakan jaket lusuhnya dan
memasukkan sandal jepit ke kaki.
“Ibu... aku mau keluar sebentar. Ke warung Pak Hadi dulu, siapa tahu
bisa minta tempo,” katanya sambil merapikan kerah jaket.
Ibu mengerutkan dahi. “Tapi kamu belum sarapan, Raf... dan masih pagi
sekali.”
“Tak apa. Aku cepat kok,” jawabnya sambil tersenyum, meski hatinya
terasa berat.
……….
Udara pagi dingin menusuk kulit. Embun masih bergelayut di ujung daun
pisang dan rumput ilalang. Rafi berjalan cepat, menelusuri jalan tanah yang
membelah desa. Sesekali ia menunduk, menyapa ayam-ayam kampung yang mulai
berkeliaran.
Ketika sampai di warung Pak Hadi, ia mendapati pintunya masih tertutup
rapat.
“Wah... belum buka,” gumamnya kecewa.
Ia terduduk di bangku bambu depan warung. Baru saja ia hendak beranjak
mencari jalan lain, terdengar suara dari arah belakang.
“Eh, Rafi? Pagi amat kamu ke sini.”
Itu suara Pak Taufik, tukang kayu tua yang tinggal tak jauh dari warung.
Rafi segera berdiri. “Pagi, Pak Taufik. Saya mau cari obat buat Ayah...
tapi warungnya belum buka.”
Pak Taufik mendekat, menatap wajah Rafi yang cemas. “Ayahmu sakit lagi?”
“Iya, Pak. Sesak napasnya kambuh. Obatnya habis, dan... kami belum punya
uang,” jawab Rafi, suaranya mengecil.
Pak Taufik mengangguk-angguk. Ia menggaruk kepalanya yang mulai memutih.
Lalu, ia membuka gerobak kecil di sebelahnya dan mengambil dua kayu ukiran
halus berbentuk burung merpati dan bunga melati.
“Ini pesanan Bu Lilis di Pasar Pucang. Kalau kamu bisa antar ke sana
pagi ini, dia biasanya kasih uang kontan. Mungkin cukup buat beli obat.”
Mata Rafi membesar. “Beneran, Pak? Saya boleh antar?”
“Tentu saja. Tapi hati-hati ya. Jalan ke pasar nanjak dan jembatan
bambunya semalam kena hujan.”
Rafi menggenggam kayu-kayu ukir itu erat. “Terima kasih, Pak Taufik.
Semoga Allah balas kebaikan Bapak.”
……….
Jalan ke Pasar Pucang bukan rute yang mudah. Butuh lebih dari satu jam
jalan kaki, melintasi sawah, menanjak perbukitan, dan menyeberangi sungai kecil
yang dipisahkan oleh jembatan bambu tua.
Saat Rafi sampai di jembatan itu, air sungai mengalir deras. Beberapa
batang bambu terlihat licin oleh lumut.
Ia menarik napas dalam-dalam. “Bismillah,” ucapnya lirih.
Dengan hati-hati, ia melangkah satu per satu. Hujan semalam membuat
bambu licin, dan kakinya nyaris terpeleset.
“Jangan jatuh, Raf. Jangan sampai jatuh. Ini buat Ayah...” bisiknya,
seperti mantra.
Begitu berhasil menyeberang, ia menatap ke langit dan mengangkat tangan.
“Alhamdulillah...”
……….
Pasar Pucang ramai seperti biasa. Orang-orang berlalu lalang dengan
keranjang, gerobak, dan suara tawar-menawar yang bersahut-sahutan. Aroma
rempah, ikan asin, dan kue pasar berbaur menjadi satu.
Rafi menyusuri deretan kios dengan pandangan waspada, hingga akhirnya
menemukan papan bertuliskan “Kriya Lilis”.
“Permisi, Bu. Saya Rafi, anaknya Pak Slamet. Pak Taufik titip kayu
ukiran ini,” ujarnya sambil menyerahkan bungkus kain kecil.
“Oh! Sudah ditunggu-tunggu!” Bu Lilis menerima ukiran itu dengan senang.
“MasyaAllah, indah sekali. Pak Taufik memang selalu rapi ukirannya.”
Ia mengambil dompet dan memberikan beberapa lembar uang kepada Rafi.
Lalu menatap wajah anak itu yang kelelahan.
“Kamu jalan kaki dari desa?” tanyanya heran.
Rafi mengangguk. “Ayah saya sakit, Bu. Uang ini mau saya pakai beli
obat.”
Wajah Bu Lilis melunak. Ia mengambil satu botol madu kecil dari rak di
belakang. “Ini, ambil juga. Madu asli, biar bantu daya tahan tubuh Ayahmu.
Gratis, ya. Ini hadiah.”
Rafi tertegun. “Terima kasih, Bu... terima kasih banyak.”
……….
Dengan hati riang, Rafi membeli obat di apotek dekat pasar, lalu memulai
perjalanan pulang. Meski lelah, kakinya ringan. Di dadanya tumbuh rasa puas
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Sampai di rumah, matahari mulai condong. Ibu membukakan pintu dengan
cemas.
“Rafi... kamu ke mana saja, Nak? Ibu khawatir...”
Rafi langsung meraih kantongnya dan menyerahkan obat, madu, dan sisa
uang yang masih ada. “Alhamdulillah, Ibu. Dapet, Bu. Ini semua buat Ayah.”
Ibu menatap putranya, lalu memeluknya erat. “Ya Allah... kamu anak
hebat...”
Ayah, yang terbaring di tikar, perlahan membuka mata. Wajahnya masih
lemah, tapi ada senyum tipis saat melihat Rafi.
“Kamu pergi demi Ayah, ya?”
Rafi hanya mengangguk. Tangannya menggenggam tangan ayahnya erat.
“Terima kasih, Nak... Semoga Allah memberkahimu...”
……….
Malam itu, suara jangkrik berdendang di luar rumah kecil mereka. Rafi
duduk di dekat ayahnya, sambil memegang mushaf kecil yang biasa dibaca Ibu. Di
dalam hatinya, ia tahu — perjuangan itu tidak sia-sia.
Langkah kecilnya hari ini, telah menjadi awal dari kesembuhan dan
harapan.
Selesai.
Comments