Laskar Juara

 


Laskar Juara

M. Shofal Jamiel, Asad Samsul A. & M Idror Ali Imron

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)

 

Pagi itu, udara di Pondok Pesantren Al Musthofa terasa sejuk menusuk kulit. Embun masih menempel di ujung rumput halaman, berkilau terkena cahaya matahari yang baru saja muncul dari balik bukit. Di kejauhan, suara ayam jantan beradu dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari mushola. Aroma kayu bakar dari dapur pondok terbawa angin, bercampur dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.

Fikri berdiri di dekat sumur tua, ember biru di tangannya sudah mulai retak di bagian pegangan. Sambil menunggu giliran mengambil air wudhu, ia memandang ke arah halaman pondok yang mulai ramai oleh santri. Namun pikirannya melayang jauh, tak peduli pada riuh candaan di sekelilingnya.

"Ayah pasti sedang bekerja lagi hari ini… entah di sawah, atau memanggul gabah di gudang Pak Udin. Ibu mungkin masih di warung, menuang kopi buat tetangga…" pikir Fikri.

Ia menghela napas. Biaya mondok bukan hal sepele. SPP bulanan, makan, kitab, sandal yang sering hilang di mushola—semuanya memerlukan uang. Dan ia benci membayangkan wajah ayah-ibunya yang memaksakan senyum saat menyerahkan uang ke pondok.

……….

Siang itu, Pak Sohib, kepala asrama putra, memanggil semua santri untuk berkumpul di halaman depan mushola. Suaranya lantang, namun nada hangatnya membuat para santri segera berlari kecil mendekat.

“Santri-santri sekalian!” serunya sambil tersenyum lebar. “Mulai bulan ini, pondok mengadakan lomba Santri Berprestasi. Juara umum akan mendapat hadiah SPP gratis selama satu tahun!”

Seketika suasana riuh. Sebagian santri bersorak gembira, sebagian lagi saling melirik, sudah mulai membayangkan nama mereka disebut sebagai juara.

Ahsan, sahabat sekamar Fikri, menepuk pundaknya.

“Fik, ini kesempatanmu! Kalau kamu menang, ayah sama ibumu nggak usah pusing bayar SPP,” ujarnya.

Fikri hanya tersenyum tipis. “Iya, San… aku mau coba.”

Dalam hati, ia tahu ini bukan sekadar lomba. Ini adalah jalan yang Allah bukakan untuknya.

……….

Hari-hari berikutnya, perpustakaan di belakang mushola menjadi rumah kedua bagi Fikri. Bau kertas tua, rak kayu yang mulai kusam, dan bunyi halaman kitab yang dibalik satu per satu menjadi musik yang menemaninya belajar.

Ahsan sering menemukannya di sana.
“Ya Allah, Fik… nggak tidur siang lagi? Matamu bisa mirip panda nanti,” godanya sambil menjatuhkan tubuh ke kursi.

Fikri tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari kitab nahwu. “Nggak apa-apa. Lebih baik mataku mirip panda daripada aku lihat ibu harus minjem uang lagi buat bayar SPP.”

Malam hari, ketika sebagian besar santri sudah terlelap, lampu neon kuning di serambi asrama masih menerangi Fikri yang duduk bersila, menulis dan menghafal. Angin malam menyusup melalui celah jendela, membuatnya merapatkan sarung.

Kadang, Pak Sohib melintas dan melihatnya.

“Fikri, jangan forsir diri. Badanmu juga punya hak untuk istirahat,” katanya lembut.

Fikri menunduk hormat. “In syaa Allah, Pak Sohib. Tapi… kalau saya berhenti sekarang, saya takut kalah.”

Pak Sohib tersenyum. “Bukan cuma menangnya yang penting, Nak. Tapi niat dan usahamu. Itu yang paling Allah lihat.”

……….

Akhirnya, hari yang ditunggu tiba. Langit pagi cerah, tapi udara terasa lebih dingin dari biasanya. Fikri duduk di bangku paling depan madrasah diniyah. Di tangannya, pensil sudah siap, namun jemarinya berkeringat.

Ahsan yang duduk di sebelahnya berbisik, “Tenang, Fik. Tarik napas, buang pelan-pelan. Bayangkan wajah ibumu tersenyum.”

Fikri mengangguk, lalu menutup mata sejenak. Ia membayangkan ibunya di dapur, membungkus nasi jagung untuk sarapan. Membayangkan ayahnya pulang dengan baju penuh debu, tersenyum lelah namun hangat.

Ketika lembar soal dibagikan, Fikri segera menunduk. Satu demi satu soal ia jawab. Ada yang mudah, ada pula yang membuat alisnya berkerut. Tapi setiap kali ia ingin menyerah, ia mengulang satu kalimat di hati:

"Aku harus berhasil."

……….

Sore itu, halaman pondok dipenuhi santri. Kyai Kholil berdiri di depan, memegang selembar kertas pengumuman. Angin sore meniup surbannya perlahan.

“Juara umum Santri Berprestasi tahun ini…” suara Kyai Kholil menggantung, membuat semua santri menahan napas.

“…jatuh kepada… Fikri bin Abdullah!”

Sorak-sorai meledak. Ahsan langsung memeluk Fikri. “Allahu Akbar! Kamu berhasil, Fik!”

Fikri melangkah ke depan dengan langkah ragu namun mantap. Kyai Kholil tersenyum lebar sambil menyerahkan piagam.

“Semoga ini menjadi berkah untuk keluargamu, Nak,” ucap beliau sambil menepuk bahunya.

“Terima kasih, Yai…” suara Fikri bergetar. Ia menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.

……….

Malam itu, di serambi asrama, Fikri menatap langit yang bertabur bintang. Ahsan duduk di sebelahnya, mengunyah kacang rebus yang dibeli di warung depan pondok.

“Fik,” kata Ahsan sambil tersenyum, “Sekarang kamu juara. Gimana rasanya?”

Fikri menghela napas panjang. “Rasanya… bukan cuma senang. Tapi lega. Karena sekarang ayah-ibu nggak perlu mikir bayar SPP selama setahun.”

Ahsan mengangguk. “Berarti setahun ini kamu bisa belajar tanpa beban pikiran.”

Fikri tersenyum sambil menatap jauh ke arah bukit yang mulai gelap.

“Setahun ini, San… akan jadi awal dari perjuangan yang lebih besar.”

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi