Saat Kata Hati Berbicara

 


Saat Kata Hati Berbicara

Aldo Zakaria

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)


 

Denting bel besi yang dipukul tiga kali menggema di seluruh penjuru Pesantren Maulana Malik Ibrahim. Suara yang sangat familier bagi seluruh santri itu menandakan waktu istirahat sekolah formal telah usai. Santri-santri berhamburan keluar kelas menuju mushola yang terletak di tengah kompleks pesantren untuk melaksanakan shalat dzuhur berjamaah.

Semua, kecuali satu orang.

Aldo masih duduk terpekur di bangku paling belakang kelasnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan pelataran di depan mushola. Beberapa santri tampak berlarian menuju tempat wudhu. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya.

"Sudah tiga bulan, dan aku masih tidak tahan di sini," gumamnya pelan.

"Kenapa belum ke mushola?" tanya sebuah suara yang membuat Aldo tersentak. Naufal, teman sekamarnya, berdiri di ambang pintu dengan tatapan heran.

"Sebentar lagi," jawab Aldo singkat, dengan nada tajam yang sudah menjadi ciri khasnya.

Naufal mengangkat bahu. "Cepatlah, nanti kamu kena hukuman Kang Emi lagi."

Setelah Naufal pergi, Aldo merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah amplop yang sudah kusut. Surat dari ibunya yang diterimanya kemarin. Dibacanya sekali lagi dengan perlahan.

Aldo, nak. Maafkan ibu yang belum bisa menjengukmu. Warung kecil kita sedang sepi pembeli, dan adik-adikmu butuh biaya sekolah. Ibu tahu kamu tidak betah di pesantren, tapi bertahanlah. Ayahmu, sebelum meninggal, selalu berpesan agar kamu bisa menjadi anak yang berilmu agama. Doakan ibu selalu sehat agar bisa mengunjungimu secepatnya.

Aldo melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam saku. Sebenarnya, ini adalah surat ketiga dari ibunya dengan isi yang hampir sama. Dan ini adalah usaha kaburnya yang keempat yang tertunda.


Malam itu, setelah kegiatan madrasah diniyah selesai pukul 21.30, Aldo tidak langsung kembali ke asrama. Ia menyelinap ke belakang gedung madrasah, tempat yang sudah ia tandai sebagai titik buta dari pengawasan para pengurus keamanan. Ransel kecil berisi beberapa helai pakaian dan sedikit uang tabungannya sudah ia siapkan sejak sore.

"Kali ini harus berhasil," bisiknya pada diri sendiri sambil mengintip ke kanan dan kiri.

Tepat ketika Aldo hendak memanjat tembok belakang pesantren, sebuah cahaya senter menyorot tepat ke wajahnya.

"Mau ke mana, Aldo?" suara berat dan tegas Kang Emi membekukan langkahnya.

Aldo terdiam, tidak bergerak.

"Ini percobaan kaburmu yang keempat dalam tiga bulan," ujar Kang Emi sambil menurunkan senternya. "Kamu pikir kami tidak memperhatikan?"

"Saya tidak betah di sini," jawab Aldo terus terang, dengan nada yang cukup menusuk. "Saya tidak seperti Farel yang bisa tidur di mana saja tapi tetap cerdas, atau Alif yang memang sudah gila belajar."

Kang Emi tidak marah seperti yang Aldo duga. Ia justru menghela napas panjang dan berkata, "Ikut saya."


Alih-alih dibawa ke kantor keamanan untuk dihukum, Aldo terkejut ketika Kang Emi membawanya ke rumah pengasuh pesantren. Di ruang tamu yang sederhana namun rapi itu, duduk KH. Ihsanuddin dengan sorban putih melingkar di kepalanya. Beliau sedang membaca sebuah kitab kuning di bawah cahaya lampu.

"Assalamualaikum, Kyai," salam Kang Emi.

"Waalaikumsalam," jawab Kyai Ihsan tanpa mengalihkan pandangannya dari kitab. "Aldo lagi?"

"Iya, Kyai."

Kyai Ihsan menutup kitabnya perlahan, kemudian memandang Aldo dengan tatapan yang teduh. "Duduklah, Nak."

Aldo duduk dengan canggung di hadapan Kyai Ihsan, sementara Kang Emi undur diri setelah diizinkan oleh sang Kyai.

"Kamu mau pulang?" tanya Kyai Ihsan langsung.

"Iya, Kyai," jawab Aldo dengan nada datar, meski dalam hati ia terkejut dengan pertanyaan yang langsung pada intinya.

"Kenapa?"

"Saya tidak betah. Saya tidak bisa mengikuti semua kegiatan dengan baik. Dan..." Aldo terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan suara pelan, "Saya merindukan rumah."

Kyai Ihsan tersenyum. "Tahukah kamu, Nak, bahwa aku juga pernah ingin kabur dari pesantren saat masih seusiamu?"

Aldo mengangkat wajahnya, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Tapi alasannya berbeda," lanjut Kyai Ihsan. "Aku ingin kabur karena tidak tahan dengan perlakuan kakak kelas. Saat itu, aku hampir berhasil kabur, tapi kyaiku menangkapku. Dan beliau berkata sesuatu yang sampai sekarang masih kuingat."

"Apa itu, Kyai?" tanya Aldo, tanpa sadar mulai tertarik.

"Beliau berkata, 'Jika kamu lari dari masalah, kamu akan terus berlari seumur hidupmu. Tapi jika kamu menghadapinya, suatu saat nanti, masalah yang akan lari darimu.'"

Aldo terdiam, mencerna kata-kata itu.

"Aldo," panggil Kyai Ihsan lembut. "Aku tahu tentang keluargamu dari surat yang ibumu kirimkan saat mendaftarkanmu di sini. Ayahmu meninggal karena sakit, meninggalkan ibumu dengan warung kecil untuk menghidupi kamu dan dua adikmu. Benar?"

Aldo mengangguk pelan.

"Dan ibumu berjuang sendirian selama ini?"

"Ya, Kyai," jawab Aldo, suaranya sedikit bergetar. "Karena itu saya ingin pulang. Saya ingin membantu ibu berjualan di warung."

Kyai Ihsan mengangguk paham. "Niat yang mulia. Tapi berpikirlah jangka panjang, Nak. Dengan ilmu yang kamu dapatkan di sini, kelak kamu bisa membantu keluargamu dengan cara yang lebih besar."

Aldo terdiam. Ia belum pernah memikirkannya sejauh itu.

"Besok pagi, setelah shalat subuh, temui Pak Sokhib di ruang komputer," ujar Kyai Ihsan tiba-tiba.

"Pak Sokhib? Untuk apa, Kyai?"

"Kamu akan tahu besok. Sekarang kembalilah ke asrama dan istirahat."


Pagi itu, seusai shalat subuh berjamaah, Aldo menuju ruang komputer sesuai arahan Kyai Ihsan. Di sana, Pak Sokhib sedang sibuk dengan beberapa perangkat elektronik.

"Assalamualaikum, Pak," salam Aldo.

"Waalaikumsalam," jawab Pak Sokhib tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputernya. "Kamu pasti Aldo. Kyai Ihsan sudah memberitahuku."

Aldo mengangguk, meski tahu Pak Sokhib tidak melihatnya.

"Kyai bilang kamu memiliki masalah dengan motivasi belajar di pesantren," ujar Pak Sokhib sambil berbalik menghadap Aldo. "Apa kamu tahu kenapa aku dipanggil 'Si Ahli Komputer' di sini?"

Aldo menggeleng.

"Karena aku bisa membuat alat-alat canggih," jawabnya dengan senyum bangga. "Tapi tahukah kamu, dulu aku adalah anak yang gagal di sekolah formal?"

Aldo terkejut. Pak Sokhib yang terkenal jenius ini dulunya gagal di sekolah?

"Ya, aku tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Orangtuaku hampir putus asa. Sampai suatu hari, pamanku membawaku ke pesantren ini. Di sini, Kyai Ihsan yang saat itu masih muda, melihat potensi yang berbeda dalam diriku. Beliau mengajariku tentang elektronika dan komputer, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kitab kuning."

Pak Sokhib mengeluarkan sebuah gadget kecil dari laci mejanya. "Ini adalah proyektor hologram portable buatanku yang terbaru. Dengan ini, kita bisa menampilkan gambar tiga dimensi di udara tanpa layar. Dan kau tahu apa? Beberapa perusahaan teknologi sudah menawar patennya dengan harga yang tidak main-main."

Aldo memandang alat itu dengan takjub.

"Aldo, setiap orang memiliki jalannya sendiri. Tapi semua berawal dari kemampuan dasar yang sama: disiplin dan ketekunan. Dua hal itu kudapatkan di pesantren ini." Pak Sokhib meletakkan tangannya di bahu Aldo. "Mulai hari ini, kamu akan menjadi asistenku di lab komputer. Kyai Ihsan sudah menyetujuinya. Kita akan belajar bersama setiap sore setelah pengajian kitab."

Untuk pertama kalinya sejak tiba di pesantren, Aldo merasakan sebuah percikan semangat dalam dirinya.


Hari demi hari berlalu. Aldo mulai menemukan ritmenya di pesantren. Pagi hari ia mengikuti pengajian Al-Quran dan sekolah formal, siang hingga sore ia membantu Pak Sokhib di lab komputer, dan malam hari ia mengikuti madrasah diniyah dengan lebih bersemangat.

"Wah, tumben kamu tidak tidur di kelas," sindir Farel suatu hari saat mereka belajar bersama di asrama.

"Berisik," balas Aldo dengan nada tajam seperti biasa, tapi tanpa amarah yang dulu selalu menyertainya.

"Eh, tapi serius, kamu berubah belakangan ini," timpal Alif. "Bahkan nilai-nilaimu naik drastis di madrasah."

Aldo tidak menjawab, hanya tersenyum tipis.

Di lab komputer, Aldo belajar banyak hal dari Pak Sokhib. Mulai dari dasar-dasar pemrograman hingga perancangan perangkat keras sederhana. Ia bahkan berhasil membuat sebuah aplikasi sederhana yang bisa membantu santri menghafalkan mufrodat (kosakata) bahasa Arab dan Inggris.

Suatu malam, setelah madrasah diniyah, Kyai Ihsan memanggil Aldo ke rumahnya. Di ruang tamu yang sama, Aldo duduk dengan perasaan yang jauh berbeda dari pertemuan pertama mereka.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Kyai Ihsan.

"Alhamdulillah baik, Kyai," jawab Aldo dengan senyum tipis.

"Pak Sokhib cerita banyak tentangmu. Katanya kamu punya bakat di bidang IT."

Aldo tersipu. "Saya masih belajar, Kyai."

Kyai Ihsan mengangguk. "Ada yang ingin kusampaikan. Besok, ibumu akan datang menjengukmu."

Mata Aldo berbinar. "Benarkah, Kyai?"

"Ya. Dan ada satu lagi." Kyai Ihsan mengeluarkan sebuah amplop dari laci mejanya. "Ini untukmu."

Aldo menerima amplop itu dengan bingung. Ketika dibuka, ia menemukan selembar sertifikat dengan namanya tercetak di sana: "Juara 1 Lomba Pengembangan Aplikasi Pendidikan Se-Kabupaten Bojonegoro."

"Tapi, Kyai... saya tidak ikut lomba apapun," ujar Aldo kebingungan.

"Pak Sokhib yang mendaftarkan aplikasi hafalan mufrodatmu tanpa sepengetahuanmu," jawab Kyai Ihsan dengan senyum bangga. "Dan kamu menang. Hadiah uangnya sudah kutransfer ke rekening ibumu atas permintaan Pak Sokhib. Beliau pikir itu yang kamu inginkan."

Air mata Aldo menetes tanpa bisa ditahan. Selama ini, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara kabur dari pesantren untuk membantu ibunya. Tidak pernah terbayang bahwa dengan bertahan dan belajar di pesantren, ia justru bisa membantu keluarganya dengan cara yang lebih bermakna.

"Terima kasih, Kyai," ucap Aldo dengan suara bergetar.

Kyai Ihsan mengangguk. "Ini baru awal, Nak. Jalan masih panjang."


Keesokan harinya, di pelataran depan mushola, Aldo berdiri dengan gugup menunggu kedatangan ibunya. Ketika sebuah angkot berhenti di depan gerbang pesantren, dan sosok wanita paruh baya turun dengan membawa bungkusan plastik, Aldo langsung berlari menyongsongnya.

"Ibu!" serunya, memeluk wanita itu erat-erat.

"Aldo, anakku," ibunya membalas pelukan dengan sama eratnya. "Ibu sangat merindukanmu."

Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di pelataran. Aldo tidak bisa berhenti tersenyum melihat ibunya.

"Bagaimana kabar adik-adik?" tanya Aldo.

"Mereka baik. Sangat merindukan kakaknya," jawab ibunya. "Oh ya, ada yang ingin ibu sampaikan."

"Apa, Bu?"

"Kemarin ada transfer uang masuk ke rekening ibu. Jumlahnya... cukup besar," ujar ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Katanya itu hadiah lomba yang kamu menangkan. Benarkah?"

Aldo mengangguk. "Iya, Bu. Saya membuat aplikasi untuk membantu menghafalkan kosakata bahasa Arab dan Inggris. Ternyata menang lomba tingkat kabupaten."

Ibunya tidak bisa menahan tangis haru. "Ayahmu pasti sangat bangga, Nak."

"Ibu," panggil Aldo setelah mereka terdiam beberapa saat. "Maafkan saya karena dulu ingin kabur dari pesantren. Saya pikir dengan pulang dan membantu di warung, saya bisa meringankan beban ibu. Tapi sekarang saya mengerti, bahwa dengan ilmu, saya bisa membantu keluarga kita dengan cara yang lebih besar."

Ibunya mengusap air mata, kemudian menggenggam tangan Aldo. "Itu yang selalu diimpikan ayahmu, Nak. Beliau selalu berkata bahwa ilmu adalah warisan terbaik yang bisa diberikan pada anak-anaknya."

Di kejauhan, Kyai Ihsan dan Pak Sokhib memperhatikan pertemuan ibu dan anak itu dengan senyum puas.

"Kita berhasil menanamkan benihnya," ujar Kyai Ihsan pelan.

Pak Sokhib mengangguk. "Dan benih itu akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh."

Sementara itu, di pelataran depan mushola, beberapa santri sedang bermain sepak bola. Bola yang ditendang Syauqi melambung tinggi, hampir mengenai Aldo dan ibunya. Dengan sigap, Aldo menangkap bola itu.

"Hati-hati, dong!" teriak Aldo dengan nada tajamnya yang khas, tapi kali ini diikuti dengan senyuman. Ia melemparkan bola itu kembali ke arah Syauqi.

"Main yuk, Do!" ajak Syauqi.

Aldo menoleh ke arah ibunya, yang mengangguk memberi izin. "Sebentar saja," kata ibunya.

Aldo bergabung dalam permainan sepak bola itu. Untuk pertama kalinya sejak tiba di pesantren, ia merasa benar-benar menjadi bagian dari tempat itu. Bukan lagi sebagai santri yang terpaksa bertahan, tapi sebagai santri yang menemukan tujuan hidupnya.

Kata-kata Kyai Ihsan kembali terngiang di telinganya: "Jika kamu lari dari masalah, kamu akan terus berlari seumur hidupmu. Tapi jika kamu menghadapinya, suatu saat nanti, masalah yang akan lari darimu."

Dan Aldo kini memahami maknanya dengan sepenuh hati.

TAMAT

 

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi