Sang Damkar Penyelamat dan Pemberani
Sang Damkar
Penyelamat dan Pemberani
M. Sabrar Fadhila, Rehan Shofil Fu’ad & Ramanza Galfanov D.
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Pagi itu seharusnya biasa saja.
Langit cerah. Jalanan perumahan mulai hidup dengan suara sepeda
anak-anak dan para ibu yang saling menyapa sambil belanja di warung. Tapi semua
berubah dalam sekejap, ketika suara jeritan dan asap tebal muncul dari blok C,
rumah susun tiga lantai yang berada di ujung Jalan Cendana.
Pukul 07.42, telepon darurat masuk ke Pos Damkar Kota Selatan.
"Pak! Rumah susun kebakaran! Api cepat sekali menyebar! Ada orang
di dalam!"
Tim Alpha 1 yang sedang apel pagi sontak bergerak. Komandan Seno
langsung memberi aba-aba.
“Tim satu! Bersiap! Api dilaporkan di rumah susun, kemungkinan
korsleting! Kita berangkat sekarang!”
Dalam hitungan menit, sirene meraung. Truk merah menembus lalu lintas,
membuat pengendara lain menepi. Di dalam truk, keenam petugas sudah memakai
pakaian tahan api lengkap. Di antara mereka, ada Ali yang paling muda—baru dua
tahun bergabung, tapi semangatnya tak pernah kalah dari yang senior.
……….
07.55 – Lokasi Kebakaran
Asap menyelimuti langit seperti kabut gelap. Beberapa penghuni rumah
susun berlarian keluar, batuk-batuk, sebagian membawa anak-anak, sebagian lagi
hanya mengenakan pakaian tidur.
Seorang pria berdiri terhuyung, wajahnya pucat pasi.
“Panel listrik, Pak… meledak… dari lantai dua… semua terbakar cepat
sekali…”
Pak Seno menyapu pandangan ke atas. Api telah melahap sisi kanan lantai
dua dan mulai menjilat ke lantai tiga.
“Bima, Arif! Bawa selang ke sisi kanan! Hendra, Faisal, amankan jalur
keluar warga!”
Baru saja tim bergerak, terdengar teriakan histeris dari seorang wanita.
“Anak saya! ANAK SAYA MASIH DI DALAM!”
“Tolong! Tolooong! Dia di kamar dua nol empat! Saya kira dia lari bareng
saya!”
Wanita itu hampir terjatuh, tapi seorang tetangga menopangnya.
Pak Seno menoleh cepat.
“Ali! Yusuf! Ikut saya! Kita masuk!”
Ali menelan ludah. Api sudah membakar hampir seluruh koridor. Tapi tak
ada ruang untuk ragu.
“Peralatan lengkap, Pak?” tanya Yusuf.
“Lengkap. Jalur kita cuma satu: masuk, temukan anak itu, dan keluar
hidup-hidup.”
……….
08.02 – Dalam Rumah Susun
Asap tebal menyambut mereka di pintu masuk. Pandangan hanya lima langkah
ke depan. Lantai mulai panas. Selang menyemprot dari luar, tapi air hanya
sedikit menahan amukan api.
“Kamar 204, Pak… berarti kita naik dulu,” seru Ali sambil menahan napas
lewat masker.
Tangga sempit itu seperti lorong neraka. Asap pekat menusuk mata, suara
kayu terbakar seperti erangan binatang buas. Di lantai dua, suara tangisan
terdengar—pelan, tapi memilukan.
“Itu dia!” Yusuf menunjuk ke ujung lorong yang nyaris runtuh.
Kamar 204.
Pintu tertutup, hangus sebagian. Pak Seno tak ragu.
“SATU… DUA… TIGA!”
BRUK!
Pintu terhempas. Di dalam ruangan yang penuh asap, terlihat tubuh kecil
berjongkok di pojok, tertutup selimut. Tubuh itu menggigil.
“Dek! Adik! Kami dari damkar! Jangan takut ya!” Ali mendekat, berlutut
perlahan.
Anak itu tak menjawab, hanya menangis. Suaranya kecil, tapi menusuk ke
hati.
“Namanya siapa?” tanya Pak Seno sambil membungkusnya dengan jaket tahan
panas.
“Faris…” bisik si kecil lirih.
“Faris anak yang kuat. Sekarang kita keluar, ya.”
Tapi saat mereka hendak mundur, langit-langit mulai runtuh. Sebilah kayu
terbakar jatuh tak jauh dari Yusuf.
“Pak, jalur belakang tertutup! Kita harus lewat koridor utama!”
“Ali, kau yang pegang Faris. Yusuf, buka jalan. Aku di belakang kalian.”
Langkah mereka cepat tapi hati-hati. Api menggila. Koridor serasa oven.
Tapi mereka terus melangkah, menembus asap, menahan panas, sambil melindungi
tubuh kecil yang tak tahu betapa dekat ia dengan kematian barusan.
……….
Teriakan warga pecah saat ketiganya muncul dari asap, dengan Ali
menggendong Faris dalam pelukan.
“Alhamdulillah!”
“Itu dia anaknya!”
“Ya Allah, selamat… selamat dia…”
Ibunya segera berlari dan memeluk Faris erat-erat, menangis tanpa suara.
Paramedis mengambil alih, memeriksa kondisi sang anak. Faris hanya memeluk
ibunya sambil berkata lirih:
“Bu… ada bapak-bapak pake baju merah… nolongin Faris…”
Pak Seno duduk di trotoar, membuka helmnya. Wajahnya hitam oleh asap,
rambutnya basah oleh keringat. Tapi bibirnya mengucap satu kata:
“Alhamdulillah…”
Ali, yang duduk tak jauh, tersenyum kecil. Yusuf menepuk punggungnya.
“Hebat kamu, Li. Kamu jago banget pegang Faris tadi.”
“Dia kecil banget, Bang… tapi rasanya kayak megang harapan satu dunia.”
……….
Hari itu, satu keluarga diselamatkan. Tapi lebih dari itu, satu
lingkungan diingatkan—tentang pentingnya kesiapan, dan keberanian orang-orang
yang sering tak dikenal namun selalu ada saat dibutuhkan.
Petugas pemadam bukan sekadar penyiram api. Mereka adalah penjaga hidup,
pelindung harapan, dan pembawa pesan bahwa keberanian sejati adalah ketika
seseorang tetap masuk saat semua orang berlari keluar.
Selesai.
Comments