Satu Juta, dan Tuhan yang Disembunyikan


Satu Juta, dan Tuhan yang Disembunyikan

Angin sore menyeret bau keringat dan kayu lapuk dari rak sepatu di serambi mushola. Langit memerah, seperti wajah para santri yang sedang gelisah. Pesantren Al-Mukhlisin, yang biasanya senyap menjelang magrib, sore itu riuh seperti pasar kliwon. Bukan karena adzan, bukan pula karena kedatangan kiai besar, tapi karena uang satu juta rupiah yang hilang dari lemari besi milik Ma'ruf.

“Duitku, Lathif. Duitku sewu ewu ilang!”
Ma’ruf duduk di tepi ranjang, matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena malam tadi tak tidur, menunggui uang itu yang disimpannya untuk membayar uang kitab dan ongkos pulang lebaran nanti.

Lathif, teman sekamarnya yang biasanya ceria, mendadak murung. Ia tidak tahu harus menenangkan dengan kata apa. Satu juta bagi Ma’ruf bukan sekadar angka. Itu hasil sawah orang tuanya yang dijual, setengah panen.

Kabar itu menyebar seperti debu diterbangkan angin. Dalam waktu satu jam, semua kamar sudah tahu. Di serambi mushola, di dapur umum, bahkan sampai ke ndalem kiai, kabar itu menancap dalam-dalam: ada maling di pesantren.

Dan bagi para santri, maling itu lebih hina daripada tidak hafal nadzam Imrithi.


“Siapa sing wani nyolong ing pondok kiai Hasyim? Nggak isok ditolelir iki!”
Suara Fahmi, santri kelas tiga, menggema di ruang makan. Tangannya mengepal, wajahnya merah padam. Beberapa santri lain menyahut, menyulut emosi. Semua ingin tahu: siapa yang tega mencuri di tanah ilmu, di rumah suci, di tempat di mana air wudhu lebih sering mengalir dari air mandi.

"Kalau ketemu, tak jewer kupingnya sampek metuh!" kata As'ad, separuh serius, separuh ancaman.


Satu per satu kamar diperiksa. Lemari-lemari dibongkar. Beberapa anak yang punya reputasi "sedikit bengal" mulai dipelototi. Tapi hasilnya nihil. Tak ada uang, tak ada jejak. Yang tertinggal cuma curiga dan bisik-bisik yang mengiris seperti sembilu.

Di langgar kecil belakang asrama, Kiai Hasyim memanggil semua santri. Wajah beliau keriput, tapi sorot matanya tajam. “Anak-anakku, pesantren ini bukan sekadar tempat tidur dan belajar. Ini tempat kalian menumbuhkan hati. Kalau sampai hati mencuri, berarti bukan hanya uang yang hilang, tapi keberkahan hidupmu pun ikut sirna.”

Semua tunduk. Tak berani menatap wajah sang kiai. Bahkan Ma’ruf pun hanya bisa menunduk. Seolah bukan hanya uangnya yang dirampas, tapi juga percaya pada teman-temannya.


Malam pun turun. Pesantren sepi, seperti habis badai. Di kamar kecil pojok selatan, seorang anak menggigil. Di bawah sajadahnya, selembar uang ratusan ribu terlipat.

“Ya Allah…” bisiknya, “Kulo... dudu arep nyolong... kulo... mung...”

Ia ingin bilang bahwa ia meminjam. Untuk ibunya yang sakit di kampung. Tapi mulutnya tak mampu mengucap. Dan waktu tak bisa diulang.


Esok pagi, Ma’ruf menemukan amplop di atas lemarinya. Di dalamnya, selembar uang satu juta, dengan secarik kertas bertuliskan:

"Ampun, Ma’ruf.
Aku nulis surat ini dengan tangan gemetar.
Duitmu wes bali. Tapi dosaku... mbok donga’no, mugo Gusti maringi pangapunten.
Aku arep lunga saka pesantren iki."

Ma’ruf menangis. Tapi bukan karena uang itu kembali. Melainkan karena ia tahu, ada seseorang di antara mereka yang memikul beban lebih berat dari satu juta.


Akhir cerita:
Di malam berikutnya, kiai mengimami sholat tahajud. Doa-doa dilangitkan. Tak ada nama disebut, tak ada tuduh dilontarkan. Tapi semua santri tahu: kadang, yang perlu dicari bukan siapa yang salah, tapi siapa yang paling perlu dipeluk.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi