Boneka untuk Salsabila
Boneka untuk
Salsabila
Syahrani Taufiq & Viyola Dwi Azzahra
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Pagi itu, langit tampak bersih seperti
lembaran buku tulis yang belum disentuh. Udara di kampung Banyu Langit masih
segar, menyusup lewat jendela-jendela kecil sekolah dasar yang terbuat dari
kayu dan berdinding setengah papan, setengah bilik. Di kelas 1B, Salsabila
duduk diam, matanya terpaku pada sesuatu.
Di meja sebelah, Dina—teman
sebangkunya—sedang menimang sebuah boneka bergaun merah muda dengan pita besar
di kepalanya.
"Namanya Lila!" kata Dina
sambil mengibaskan rambut bonekanya. "Mama bilang ini boneka impor! Bisa
nyanyi kalau ditekan perutnya."
Ia menekan perut boneka itu. Sebuah
suara nyaring keluar, menyanyikan lagu dalam bahasa asing yang tak Salsabila
mengerti. Tapi bukan lagunya yang membuat matanya membulat, melainkan boneka
itu sendiri—kulitnya halus, matanya bisa berkedip, dan gaunnya tampak seperti
milik putri dari negeri dongeng.
Salsabila menatap tanpa berkedip.
“Bagus banget, ya?” tanya Dina bangga.
Salsabila mengangguk pelan. “Cantik
banget…”
“Kamu punya boneka nggak, Sal?”
Salsabila menelan ludah. “Punya… Tapi
boneka kain. Sudah lama. Tangannya tinggal satu,” jawabnya jujur.
Dina tertawa kecil, “Ih, lucu banget
sih!”
Salsabila ikut tertawa, meski tawa itu
sedikit kaku. Hatinya terasa aneh. Ia belum pernah merasa iri—bukan karena tak
ingin, tapi karena tak pernah tahu seperti apa rasanya menginginkan sesuatu
yang tak bisa dimiliki.
Tapi hari itu, hatinya berubah. Ia
ingin boneka.
……….
Sore itu, Salsabila pulang dengan
langkah cepat. Sepatunya yang sudah longgar berdebu, rok seragamnya robek
sedikit di ujung. Tapi ia tak peduli. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Di rumah kecilnya yang terbuat dari
papan tua, ayahnya sedang duduk di depan rumah, memperbaiki sepeda tetangga.
Pak Ramli, pria kurus dengan wajah hangus matahari, menyeka keringat dari
dahinya sambil menegakkan punggungnya.
“Assalamualaikum, Ayah!” seru
Salsabila ceria.
“Wa’alaikumsalam, anak Ayah yang
cantik!” sahut Pak Ramli.
Salsabila duduk di sebelah ayahnya,
memperhatikan kunci pas yang berputar di tangan sang ayah. Sepeda tua itu
berderit-derit, seolah ikut mengeluh.
“Ayah,” ujar Salsabila pelan, “tadi
Dina bawa boneka ke sekolah…”
Pak Ramli melirik, “Oh ya? Seperti apa
bonekanya?”
“Cantik banget, Yah. Bajunya warna
pink. Bisa nyanyi juga. Kalau Lila bisa bicara, pasti dia bisa jadi teman tidur
yang seru...”
Pak Ramli mengangguk pelan. Ada jeda.
Lalu ia bertanya, “Kamu suka boneka itu, Nak?”
Salsabila ragu sejenak, lalu
mengangguk. “Iya, Yah. Salsabila pengen banget punya boneka kayak gitu. Boleh
nggak... buat hadiah ulang tahun nanti?”
Pak Ramli tersenyum—sebuah senyum yang
hangat namun menyimpan sedikit getir.
“Iya, Nak… InsyaAllah. Kalau Allah
kasih rezeki, Ayah belikan buat kamu.”
Salsabila memeluk ayahnya. “Makasih,
Ayah! Salsabila janji sayang banget sama bonekanya nanti!”
Pak Ramli mengelus kepala putrinya.
Dalam hati, ia berdoa, “Ya Allah… izinkan hamba bahagiakan anak ini, walau cuma sekali.”
……….
Sejak hari itu, Pak Ramli bekerja
lebih keras. Ia menambah pekerjaan—mengambil pesanan tambal ban dari kampung
sebelah, membantu panen jagung dengan upah seadanya, bahkan mulai memungut
botol plastik dari sungai yang melintas di belakang desa. Semua uang receh ia
kumpulkan dalam kaleng bekas biskuit Khong Guan, disembunyikan di balik lemari.
Setiap malam, Salsabila mencoret
kalender di dinding kamarnya yang terbuat dari kertas bekas. Ia menghitung
mundur hari menuju ulang tahunnya yang ketujuh.
"Ayah belum lupa, kan?"
katanya suatu malam.
“Lupa apa, Sayang?”
“Hadiah ulang tahunku…”
Pak Ramli tersenyum. “Ayah sedang
menyiapkannya, Nak. Doakan Ayah kuat ya.”
……….
Tiga hari sebelum ulang tahun
Salsabila, hujan turun deras sepanjang malam. Atap rumah bocor di empat titik,
dan lantai tanah becek oleh air. Tapi Pak Ramli tetap pergi ke pasar malam di
desa sebelah. Di sana, ia tahu ada kios mainan bekas. Ia sudah melihat boneka
yang harganya paling murah. Tak bisa nyanyi, tapi gaunnya masih bagus, dan
rambutnya dikepang dua.
Ia menawar dengan suara lirih. Pemilik
kios, seorang ibu paruh baya, melihat wajah lelah dan sorot mata harapan yang
dalam.
“Untuk anakmu?” tanya si ibu.
Pak Ramli mengangguk.
“Ia ulang tahun tiga hari lagi,”
katanya. “Dan dia… sangat menantikan boneka.”
Si ibu terdiam sebentar, lalu
tersenyum. “Ambil saja. Bayar semampunya.”
Pak Ramli terharu. Dengan sisa
uangnya, ia juga membeli selembar kain flanel biru tua. Nanti, ia akan
menjahitkan kerudung kecil untuk boneka itu, agar terlihat seperti Salsabila.
Malam itu, Pak Ramli pulang dengan
hati lega, meski tubuhnya kuyup dan menggigil.
……….
Hari ulang tahun itu datang. Matahari
bersinar cerah. Di meja kecil dekat tempat tidur, ada sebuah kotak kecil
terbungkus kertas koran dan diikat dengan pita dari tali rafia.
Salsabila bangun dan matanya langsung
membesar.
"Ayahhh!" jeritnya sambil
membuka kotak itu.
Di dalamnya, terbaring boneka dengan
gaun biru, dan kerudung kecil dari kain flanel yang dijahit dengan tangan.
Meski sederhana, boneka itu tampak manis, dan—di mata Salsabila—lebih indah
dari boneka mana pun di dunia.
“Ayah... Ayah yang buat kerudungnya?”
tanya Salsabila haru.
“Iya, Sayang. Supaya bonekanya mirip
kamu.”
Salsabila memeluk bonekanya erat, lalu
memeluk ayahnya lebih erat lagi. “Terima
kasih, Ayah... Salsabila sayang banget sama Ayah...”
Pak Ramli mengangguk, memejamkan mata
sebentar. Dalam hati, ia bersyukur.
Kadang, bahagia itu sederhana.
Cukup melihat anakmu tertawa, dan tahu... bahwa segala lelahmu, tak sia-sia. Selesai.
Comments