Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Tayamum

 


فَصْلٌ فِى التَّيَمُّمِ

FASAL: TAYAMUM

  

SYARAT TAYAMUM

(Fasal) Tayammum. Membahas penyebabnya, rukun-rukunnya, hukum-hukumnya, serta faktor-faktor yang dapat membatalkannya. Tayammum merupakan kemudahan (rukhsah) mutlak, tidak peduli apakah disebabkan oleh kekurangan air atau bukan, dan dianggap sebagai salah satu keistimewaan kita.

(فَصْلٌ: فِي التَّيَمُّمِ) أَيْ أَسْبَابِهِ وَأَرْكَانِهِ وَأَحْكَامِهِ وَمُبْطِلَاتِهِ، وَهُوَ رُخْصَةٌ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ لِفَقْدِ الْمَاءِ أَوْ لَا وَمِنْ خُصُوصِيَّاتِنَا

Dalam beberapa naskah, bab ini bahkan ditempatkan sebagai prioritas sebelum bab-bab sebelumnya. Mendahulukan mengusap muzah daripada tayammum dianggap lebih diutamakan, karena dengan cara ini, sejumlah tingkat kebersihan dapat dicapai, meskipun sebagian thoharoh lainnya membolehkan pelaksanaan banyak shalat, berbeda dengan tayammum yang hanya diperbolehkan untuk melaksanakan satu shalat fardhu, beberapa sunnah, atau bahkan hanya sunnah saja.

(وَفِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ تَقْدِيمُ هَذَا الْفَصْلِ عَلَى الَّذِي قَبْلَهُ) وَتَقْدِيمُ مَسْحٍ عَلَى التَّيَمُّمِ أَوْلَى، لِأَنَّ الْمَسْحَ وَإِنْ كَانَ بَعْضُ طَهَارَةٍ تُبَاحُ بِهِ صَلَوَاتٌ مُتَعَدِّدَةٌ، وَبِهِ يَتِمُّ رَفْعُ الْحَدَثِ بِخِلَافِ التَّيَمُّمِ فَيُبَاحُ بِهِ فَرْضٌ وَ نَوَافِلُ أَوْ نَوَافِلُ فَقَطْ

Dalam pengertian bahasa, tayammum artinya sama dengan "القصد," yang berarti niat atau tujuan. Asalnya tayammum adalah تعمد (kesengajaan) dan توخي (tujuan), Dikatakan تيممت فلانا (saya menuju fulan).

(وَالتَّيَمُّمُ لُغَةً الْقَصْدُ) وَأَصْلُهُ التَّعَمُّدُ وَالتَّوَخِّي يُقَالُ تَيَمَّمْتُ فُلَانًا

Secara syariat, tayammum adalah menyampaikan debu suci ke wajah dan kedua tangan sebagai pengganti wudhu atau mandi, meski sunnah, atau sebagai ganti dari membasuh anggota yang wajib dibasuh, dengan syarat-syarat tertentu. Maksudnya dengan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi, seperti niat, tertib, tidak bisa menggunakan air serta masuknya waktu.

(وَشَرْعًا إِيصَالُ تُرَابٍ طَهُورٍ) أَيْ مُطَهِّرٍ (لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ بَدَلًا عَنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ) وَلَوْ مَنْدُوبَيْنِ (أَوْ غَسْلِ عُضْوٍ) أَيْ وَاجِبٍ (بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ) أَيْ بِأُمُورٍ لَا بُدَّ مِنْهَا كَنِيَّةٍ وَتَرْتِيبٍ وَعَجْزٍ عَنْ اسْتِعْمَالِ مَاءٍ وَدُخُولِ وَقْتٍ

Dan ada lima syarat untuk memastikan kesahihan tayammum, atau dalam beberapa naskah disebut sebagai lima karakteristik. Sebenarnya, kelima hal tersebut dapat dikategorikan menjadi dua syarat utama, yaitu waktu dan penyebabnya, yang merupakan uzur ialah kekurangan air. Untuk menjelaskan lebih lanjut, terdapat tiga penyebab utama, yaitu:

(وَشَرَائِطُ) صِحَّةِ (التَّيَمُّمِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ وَفِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ خَمْسُ خِصَالٍ) وَفِي الْحَقِيقَةِ أَنَّ هَذِهِ الْخَمْسَةَ شَيْئَانِ شَرْطٌ وَهُوَ الْوَقْتُ وَسَبَبٌ وَهُوَ الْعُذْرُ الَّذِي هُوَ فَقْدُ الْمَاءِ. وَلِهَذَا السَّبَبِ أَسْبَابٌ ثَلَاثَةٌ:

(Syarat ke 1): Adanya uzur, yang merujuk pada ketidakmampuan untuk menggunakan air. Terdapat tiga alasan utama untuk ketidakmampuan ini: pertama, adalah kehilangan air akibat perjalanan;

(أَحَدُهَا) أَيْ الْأَشْيَاءِ الْخَمْسَةِ (وُجُودُ الْعُذْرِ) وَهُوَ الْعَجْزُ عَنْ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَلِلْعَجْزِ ثَلَاثَةُ أَسْبَابٍ : الْأَوَّلُ فَقْدُ الْمَاءِ (بِـ) سَبَبِ (سَفَرٍ)،

kedua, adalah ketakutan yang sah terkait penggunaan air, seperti lambatnya musim dingin, atau kondisi penyakit, atau peningkatan rasa sakit atau kehadiran bahan kimia berbahaya pada anggota tubuh yang terkena; dan ketiga, adalah kebutuhan akan air karena kehausannya hewan yang dihormati, baik sekarang ataupun nanti.

وَالثَّانِي خَوْفُ مَحْذُورٍ مِنْ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ كَبُطْءِ بَرْدٍ (أَوْ مَرَضٍ) أَوْ زِيَادَةِ أَلَمٍ أَوْ شَيْنٍ فَاحِشٍ فِي عُضْوٍ ظَاهِرِ، الثَّالِثُ حَاجَتُهُ إِلَى الْمَاءِ لِعَطْشِ حَيَوَانٍ مُحْتَرَمٍ حَالًا وَمَاَلًا

(Syarat ke 2): Masuknya waktu shalat dengan keyakinan, meskipun berupa jama taqdim, dengan catatan bahwa seseorang telah menyelesaikan dua rakaat pertama dari dua shalat sebelum memasuki waktu shalat yang kedua. Jika waktu shalat yang kedua dimulai sebelum menyelesaikan shalat yang pertama, maka penggabungan antara dua waktu shalat tersebut dan tayammum menjadi tidak sah.

 (وَ) الشَّيْءُ (الثَّانِي دُخُولُ وَقْتِ الصَّلَاةِ) يَقِينًا وَلَوْ مَجْمُوعَةً جَمْعَ تَقْدِيمٍ إِنْ فَرَغَ مِن الصَّلَاتَيْنِ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الثَّانِيَةِ. فَإِنْ دَخَلَ وَقْتُهَا قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْهَا بَطَلَ الْجَمْعُ وَالتَّيَمُّمُ،

Hal ini terutama berlaku pada waktu shalat yang memerlukan penggunaan air untuk kesuciannya. Oleh karena itu, tayammum tidak dianggap sah sebelum memasuki waktu shalat tersebut, karena kesucian menjadi kebutuhan mendesak yang hanya muncul ketika waktu shalat telah dimulai.

وَالْمُرَادُ وَقْتُ الصَّلَاةِ الَّتِي يُطْلَبُ الْمَاءُ لِطَهَارَتِهَا (فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ لَهَا قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِهَا لِأَنَّهُ طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ وَلَا ضَرُورَةَ قَبْلَ الْوَقْتِ

(Syarat ke 3): Upaya untuk mencari air setelah memasuki waktu shalat dengan keyakinan, baik dengan usaha sendiri atau dengan seseorang yang diizinkannya untuk mencarinya. Jika seseorang yang dipercayai memberikan izin, bahkan jika hanya satu orang dalam kelompok, maka mencari air dengan keraguan tidaklah memadai.

(وَالثَّالِثُ طَلَبُ الْمَاءِ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ) يَقِينًا (بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَنْ أَذِنَ لَهُ فِي طَلَبِهِ) إِنْ كَانَ ثِقَةً وَلَوْ وَاحِدًاً عَنْ جَمْعٍ، فَلَوْ طَلَبَ شَاكًّا فِي الْوَقْتِ لَمْ يَكْفِ،

Terkadang, pencarian air mungkin menjadi kewajiban sebelum memasuki waktu shalat, misalnya dalam situasi konvoi besar yang sulit diatasi kecuali dengan tindakan sebelum waktu shalat dimulai, seperti dijelaskan dalam "Umdat al-Rabih".

وَقَدْ يَجِبُ الطَّلَبُ قَبْلَهُ كَمَا لَوْ كَانَتْ الْقَافِلَةُ عَظِيمَةً لَا يُمْكِنُ قَطْعُهَا إِلَّا بِالْمُبَادَرَةِ قَبْلَ الْوَقْتِ كَذَا فِي عُمْدَةِ الرَّابِحِ،

Prinsip ini berlaku dalam konteks tayammum karena kekurangan air, tetapi tidak berlaku dalam tayammum bagi orang sakit yang diizinkan melakukan tayammum meski air tersedia, atau dalam tayammum yang diyakini tidak ada air, bahkan jika seseorang muqim, karena permintaan dalam situasi ini dianggap tidak berguna.

وَهَذَا فِي تَيَمُّمِ فَاقِدِ الْمَاءِ لَا فِي تَيَمُّمِ مَرِيضٍ لِإِبَاحَةِ التَّيَمُّمِ لَهُ مَعَ وُجُودِهِ، وَلَا فِي تَيَمُّمٍ مُتَيَقَّن عَدَم الماءِ وَلَوْ مُقِيمًا لِأَنَّ الطَّلَبَ حِينَئِذٍ عَبَثٌ

Maka, orang tersebut harus mencari air di tempat tinggalnya, seperti pada batu atau tempat lain dengan melakukan pencarian di dalamnya. Dan bersamaan dengan orang-orang yang tinggal bersamanya, yang biasanya berbagi tempat tinggal dan perjalanan dengannya, yaitu mereka yang mendampinginya dalam kehidupan sehari-hari.

(فَيَطْلَبُ الْمَاءَ مِنْ رَحْلِهِ) أَيْ مَسْكَنِهِ مِنْ حَجَرٍ أَوْ غَيْرِهِ بِأَنْ يُفَتِّشَ فِيهِ (وَرُفْقَتِهِ) الْمَنْسُوبَينَ إِلَيْهِ عَادَةً وَهُمْ الْمُتَّحِدُونَ مَعَهُ مَنْزِلًا وَرَحِيلًا،

Jika mereka memiliki kemampuan untuk menyediakan air selama masih cukup waktu, contohnya, jika seseorang memanggil mereka yang tinggal bersamanya dan mereka memiliki air meskipun dengan membayar sejumlah uang.

وَيَسْتَوْعِبُهُمْ مَا دَامَ الْوَقْتُ مُتَّسِعًا، كَأَنْ يُنَادِيَ فِيهِمْ مَنْ مَعَهُ مَاءٌ يَجُودُ بِهِ وَلَوْ بِالثَّمَنِ.

Penting untuk dicatat bahwa upaya ini tidak terbatas pada "adanya" air, karena kemungkinan pendampingnya bersikap pelit, oleh karena itu, harus menyebutkan bahkan dengan membayar sejumlah uang”.

وَلَا يَقْتَصِرُ عَلَى قَوْلِهِ يَجُودُ بِهِ ، لِأَنَّ السَّامِعَ قَدْ يَكُونُ بَخِيلًا بَلْ لَا بُدَّ أَنْ يَقُولَ وَلَوْ بِالثَّمَنِ

Jika dia tidak menemukan air di tempat tersebut, atau tidak bersama teman-temannya karena dia sendirian tanpa berjalan di sekitarnya dari empat arah, jika dia berada di dataran debu, dan tidak ada halangan penglihatan seperti pohon atau lainnya, dan jika ada ketinggian atau penurunan debu yang cukup besar yang menghalangi pandangan.

(فَإِنْ) لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ فِي ذَلِكَ، أَوْ لَمْ يَكُنْ مَعَ الرُّفْقَةِ بِأَنْ (كَانَ مُنْفَرِدًا نَظَرَ) مِنْ غَيْرِ مَشْيٍ (حَوَالَيْهِ مِنْ الْجِهَاتِ الْأَرْبَعِ إِنْ كَانَ بِمُسْتَوٍ مِنْ الْأَرْضِ) وَلَمْ يَكُنْ ثَمَّ مَانِعٌ مِنْ النَّظَرِ كَالْأَشْجَارِ أَوْ نَحْوِهَا

Jika di dalam suatu wilayah terdapat perbedaan tinggi rendah yang menyebabkan seseorang harus berkeliling, yaitu ia berjalan di berbagai arah hingga batas jarak pandang yang wajar, tidak berjalan di setiap arah (empat penjuru) sejauh kurang dari tiga hasta, sehingga pandangannya dapat mencakup batas jarak pandang yang wajar. Batas jarak pandang yang wajar ini adalah sejauh lemparan anak panah.

(فَإِنْ كَانَ فِيهَا) أَيْ الْأَرْضِ (ارْتِفَاعٌ وَانْخِفَاضُ تَرَدَّدَ قَدْرنَظَرِهِ) أَيْ الْمُعْتَدِلِ بِأَنْ يَتَرَدَّدَ وَيَمْشِيَ فِي مَجْمُوعِ الْجِهَاتِ إِلَى حَدِّ الْغَوْثِ، لَا فِي كُلِّ جِهَةٍ بِأَنْ يَمْشِيَ فِي كُلِّ جِهَةٍ مِنْ الْجِهَاتِ الْأَرْبَعِ مِقْدَارَ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ فَأَقَلَّ بِحَيْثُ يُحِيطُ نَظَرُهُ بِحَدِّ الْغَوْثِ، وَهُوَ قَدْرُ غَلْوَةِ سَهْمٍ،

Namun, jika jumlah keseluruhan jarak yang ia jalan di empat arah tersebut tidak mencapai batas jarak pandang yang wajar (sejauh lemparan anak panah), maka yang dimaksud adalah cakupan pandangan hingga batas jarak pandang yang wajar, meskipun ia tidak berjalan sama sekali.

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَجْمُوعُ الَّذِي يَمْشِيهِ فِي الْجِهَاتِ الْأَرْبَعِ يَبْلُغُ حَدَّ الْغَوْثِ، فَإِنَّ الْمُرَادَ الْإِحَاطَةُ بِحَدِّ الْغَوْثِ، وَإِنْ لَمْ يَمْشِ أَصْلًا

Dalam pencarian tersebut disyaratkan dia harus merasa aman untuk dirinya sendiri, anggota tubuhnya, dan harta yang melebihi jumlah yang diwajibkan untuk dikeluarkan demi air, dan dia juga harus berpisah dari teman-temannya serta kembali sebelum berakhirnya waktu shalat meskipun dia tidak diharuskan kembali ke tempat semula.

وَيُشْتَرَطُ فِي التَّرَدُّدِ أَمْنُهُ عَلَى نَفْسٍ وَعُضْوٍ وَمَالٍ زَائِدٍ عَلَى مَا يَجِبُ بَذْلُهُ لِلْمَاءِ، وَانْقِطَاعٍ عَنْ الرُّفْقَةِ وَعَلَى خُرُوجِ الْوَقْتِ إِنْ لَمْ يَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ

(Syarat ke 4): Kesulitan dalam menggunakan air. Ini menjelaskan pernyataan penulis tentang "keberadaan uzur", Yakni jika dia merasa takut bahwa penggunaan air akan membahayakan nyawa atau merugikan suatu anggota tubuh, misalnya ketakutan akan risiko kematian atau merugikan fungsi suatu anggota tubuh. Dalam konteks uzur, dapat diakui jika ada air di dekatnya, artinya jika air berada dalam jangkauan pandangan atau jangkauan tangan.

(وَالرَّابِعُ تَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِهِ أَيْ الْمَاءِ) وَهَذَا بَيَانٌ لِقَوْلِهِ وُجُودُ الْعُذْرِ (بِأَنْ يَخَافَ مِنْ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ عَلَى ذَهَابِ نَفْسٍ أَوْ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ) بِأَنْ يَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ الْمَوْتَ أَوْ يَخَافَ عَلَى مَنْفَعَةِ عُضْوِهِ التَّلَفَ (وَيَدْخُلُ فِي الْعُذْرِ مَا لَوْ كَانَ بِقُرْبِهِ مَاءٌ) وَهُوَ مَا لَوْ كَانَ الْمَاءُ فِي حَدِّ الْغَوْثِ أَوْ فِي حَدِّ الْقُرْبِ

Dan seseorang merasa takut bahwa jika dia menuju ke air, dirinya atau orang lain dapat menghadapi bahaya dari hewan buas atau musuh, atau bahaya terhadap hartanya, yang bukan sebagai imbalan untuk mendapatkan air, meskipun air bisa diperolehnya tanpa pertukaran, misalnya khawatir pada pencuri atau pengghasab. 

 (وَخَافَ لَوْ قَصَدَهُ) أَيْ الْمَاءَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ نَفْسِ غَيْرِهِ (مِنْ سَبُعٍ أَوْ عَدُوٍّ أَوْ عَلَى مَالِهِ) غَيْرِ الْمَالِ الَّذِي يَجِبُ بَذْلُهُ فِي مَاءِ الطَّهَارَةِ إِنْ كَانَ يُحَصِّلُهُ بِلَا عِوَضٍ (مِنْ سَارِقٍ أَوْ غَاصِبٍ)

Berbeda dengan harta yang bukan miliknya yang tidak wajib dia pertahankan/bela. Selain itu, juga berbeda dengan eksklusivitas, karena rasa aman tidak diwajibkan dalam situasi ini atau ketakutan terpisah dari teman-temannya.

بِخِلَافِ مَالِ غَيْرِهِ الَّذِي لَا يَلْزَمُهُ الذَّبُّ عَنْهُ، وَبِخِلَافِ الِاخْتِصَاصِ فَإِنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ الْأَمْنُ مِنْ ذَلِكَ أَوْ خَافَ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَةٍ

Dalam beberapa versi naskah, ditambahkan pada syarat keempat ini setelah perkataan “kesulitan penggunaan air”, yaitu dengan menyertakan kata-kata "dan ketidakmampuan" sebagai ketidakmampuan untuk menggunakan air, setelah berusaha.

(وَيُوجَدُ فِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ فِي هَذَا الشَّرْطِ) الرَّابِعِ (زِيَادَةٌ بَعْدَ) قَوْلِ الْمُصَنِّفِ (تَعَذُّرِ اسْتِعْمَالِهِ وَهِيَ) قَوْلُهُ ( وَإِعْوَازُهُ) أَيْ عَدَمُ قُدْرَتِهِ عَلَى الْمَاءِ (بَعْدَ الطَّلَبِ).

Ini semua merujuk pada udzur fisik. Adapun kesulitan menggunakan air merupakan udzur syar'i, di mana udzur syar'i seperti penyakit dan sejenisnya tidak memerlukan pembuktian kepada dokter tentang penyakit tersebut.

وَهَذَا عُذْرٌ حِسِّيٌّ أَمَّا تَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ فَهُوَ عُذْرٌ شَرْعِيٌّ فَالْعُذْرُ الشَّرْعِيُّ كَالْمَرَضِ وَنَحْوِهِ لَا إِعَادَةَ فِيهِ مُطْلَقًا بِشَرْطِ إِخْبَارِ الطَّبِيبِ الْعَدْلِ فِي الْمَرَضِ

Adapun udzur fisik, jika shalat dilakukan di suatu tempat di mana seharusnya ada air, maka wajib mengulangi shalat tersebut. Namun, jika shalat dilakukan di tempat yang jarang airnya, tidak perlu mengulangi shalat, maka yang terhitung adalah keberadaan air pada saat pelaksanaan shalat, bukan pada saat tayammum.

وَالْعُذْرُ الْحِسِّيِّ إِنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ بِمَحَلٍّ يَغْلِبُ فِيهِ وُجُودُ الْمَاءِ وَجَبَتْ الْإِعَادَةُ ، وَإِنْ كَانَتْ بِمَحَلٍّ يَنْدُرُ فِيهِ وُجُودُ الماءِ فَلَا إِعَادَةَ فَالْعِبْرَةُ بِمَكَانِ الصَّلَاةِ لَا بِمَكَانِ التَّيَمُّمِ، كَمَا أَنَّ الْعِبْرَةَ بِوَقْتِ فِعْلِ الصَّلَاةِ لَا بِجَمِيعِ السُّنَّةِ،

Adapun jika terdapat kombinasi udzur syar'i dan udzur fisik, seperti adanya jarak tujuh mil antara dia dan air karena adanya rintangan, dan adanya pencegah syar'i, seperti yang dilarang secara syar'i dari menyentuh sesuatuyang bisa menciptakan bahaya syar'i. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban mutlak untuk mengulang shalatnya dalam kasus yang dibahas oleh hukum syar'i tersebut.

أَمَّا مَا يَجْتَمِعُ فِيهِ الْعُذْرُ الشَّرْعِيُّ وَالْحِسِّيُّ، كَمَا إذَا حَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ المَاءِ سَبعٌ لِأَنَّ الْحَيْلُولَةَ حِسِّيٌّ، وَنهْيُى الشَّرْعِ عَنِ الْمُبَاشَرَةِ بِمَا فِيهِ ضَرَرٌ شَرْعِيٌّ، فَلَا إعَادَةَ فِيهِ مُطْلَقًا عَلَى الْمُعْتَمَدِ نَظَرًا لِجَانِبِ الشَّرْعِ

(Syarat ke 5) Debu yang suci, yaitu debu yang bersih dan bukan tanah yang telah digunakan untuk mengubur jenazah, karena tanah yang dipakai menguburkan jenazah tidak memiliki debu yang dapat diambil. Debu yang suci dapat diambil dari debu ghasab dan dari yang dicuri, serta debu dari kuburan yang belum digali, meskipun ada kemungkinan sudah digali.

(وَالْخَامِسُ التُّرَابُ الطَّاهِرُ أَيْ الطَّهُورُ غَيْرُ الْمَنْدَى) فَإِنَّ الْمَنْدَي لَا غُبَارَ لَهُ (وَيَصْدُقُ الطَّاهِرُ بِالْمَغْصُوبِ) وَبِالْمَسْرُوقِ (وَتُرَابِ مَقْبَرَةٍ لَمْ تُنْبَشْ) أَيْ وَلَوْ احْتِمَالًا.

Jika seseorang ragu apakah debu dari kuburan tersebut telah digali atau belum, maka tayammum dengan debu dari kuburan tersebut sah, karena hukum asalnya adalah suci. Berbeda dengan debu kuburan yang sudah digali dengan yakin, karena debunya menjadi najis karena mencampur dengan nanah mayat. Namun, pengecualian berlaku untuk sejumlah kecil debu yang berada di dalam sepatu.

فَلَوْ شَكَّ فِي كَوْنِهَا نُبِشَتْ أَوْ لَا صَحَّ التَّيَمُّمُ بِتُرَابِهَا، لِأَنَّ الْأَصْلَ الطَّهَارَةُ. بِخِلَافِ الَّتِي نُبِشَتْ يَقِينًا فَإِنَّ تُرَابَهَا مُتَنَجِّسٌ لِاخْتِلَاطِهِ بِصَدِيدِ الْمَوْتَى، لَكِنْ يُعْفَى عَنْ الْقَلِيلِ مِنْ الدَّاخِلِ فِي النِّعَالِ

Dalam beberapa naskah, terdapat penambahan syarat dalam hal ini, yaitu adanya debu (ghubar) pada tanah.

(وَيُوجَدُ فِي بَعْضِ النُّسَخِ زِيَادَةٌ فِي هَذَا الشَّرْطِ وَهِيَ) قَوْلُهُ (لَهُ غُبَارٌ)

Maka, tanah yang tidak memiliki debu, seperti debu yang telah dibasahi atau debu milik anak kecil yang telah memadat, tidak termasuk dalam kategori ini.

فَخَرَجَ مَا لَا غُبَارَ لَهُ كَالتُّرَابِ الْمُنَدَّى، وَالطِّفْلِ الْمُسْتَحْجَرِ

Jika debu tersebut tercampur dengan gips, tepung, atau kunyit, maka tidak diperbolehkan dipakai tayammum, meskipun campurannya sedikit, karena dapat menghalangi sampainya debu ke anggota badan.

(فَإِنْ خَالَطَهُ) أَيْ التُّرَابَ (جِصٌّ) أَوْ دَقِيقٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ لَمْ يَصِحَّ التَّيَمُّمُ وَإِنْ قَلَّ الْخَلِيطُ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ وُصُولَ التُّرَابِ إِلَى الْعُضْوِ

Atau jika debu tersebut bercampur dengan pasir halus yang menempel pada anggota badan, maka tidak diperbolehkan melakukan tayammum menggunakan debu tersebut.

(أَوْ) اخْتَلَطَ بِهِ (رَمْلٌ) نَاعِمٌ يَلْصَقُ بِالْعُضْوِ (لَمْ يَجُزْ) التَّيَمُّمُ بِهِ

Dan ini mengacu pada ketidakbolehan menggunakan debu yang bercampur dengan pasir, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab dan at Tashih,

(وَهَذَا) أَيْ عَدَمُ الْإِجْزَاءِ بِالتُّرَابِ الْمُخْتَلِطِ بِالرَّمَلِ (مُوَافِقٌ لِمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَالتَّصْحِيحِ

Akan tetapi Imam Nawawi dalam kitab al-Raudhah dan al-Fatawa memperbolehkan hal tersebut, yaitu tayammum dengan debu yang bercampur dengan pasir selama pasir tersebut tidak halus dan tidak melekat pada anggota tubuh serta tidak menghalangi debu untuk mencapai anggota tubuh. Oleh karena itu, tidak ada konflik antara kedua pendapat tersebut, karena keduanya dapat digabungkan.

لَكِنَّهُ) أَيْ النَّوَوِيَّ (فِي الرَّوْضَةِ وَالْفَتَاوَى جَوَّزَ ذَلِكَ) أَيْ التَّيَمُّمَ بِالتُّرَابِ الْمُخْتَلِطِ بِالرَّمَلِ حَيْثُ كَانَ الرَّمَلُ غَيْرَ نَاعِمٍ لَا يَلْصَقُ بِالْعُضْوِ وَلَمْ يَمْنَعْ مِنْ وُصُولِ التُّرَابِ إِلَيْهِ، فَلَا تَنَافِيَ بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ لِلْجَمْعِ بَيْنَهُمَا بِذَلِكَ

Dan tayammum juga sah, sebagaimana tayammum dengan debu murni, memakai pasir yang mengandung debu yang tidak melekat pada anggota tubuh, baik pasir tersebut kasar maupun halus.

(وَيَصِحُّ التَّيَمُّمُ أَيْضًا) أَيْ كَمَا يَصِحُّ بِالتُّرَابِ الْخَالِصِ (بِرَمْلٍ فِيهِ غُبَارٌ) لَا يَلْصَقُ بِالْعُضْوِ خَشِنًا كَانَ أَوْ نَاعِمًا

Pasir termasuk dalam kategori debu karena berasal dari lapisan-lapisan bumi, berbeda dengan kasus sebelumnya di mana pasir dicampur dengan debu. Pada kasus ini, pasir memiliki sifat mandiri dan dapat digunakan untuk tayammum.

لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ التُّرَابِ إِذْ هُوَ مِنْ طَبَقَاتِ الْأَرْضِ بِخِلَافِ مَا لَا غُبَارَ فِيهِ، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ غَيْرُ الَّتِي قَبْلَهَا، لِأَنَّ الرَّمَلَ ثَمَّ كَانَ مُخَالِطًا لِلتُّرَابِ، وَفِي هَذِهِ كَانَ مُنْفَرِدًا

Dan keluarlah dengan perkataan dari pengarang, selain debu seperti bentuk kotoran burung merpati, kemenyan, dan potongan tembikar, yang dibuat dari debu, dipanggang, dan menjadi debu liat, kemudian dimasukkan ke dalam debu yang terbakar, walaupun menjadi hitam tetap tidak keluar dari kekuatan tumbuhnya, jika keluar dari sana maka tidak sah.

(وَخَرَجَ بِقَوْلِ الْمُصَنِّفِ التُّرَابُ غَيْرُهُ كَنُورَةٍ) وَزِرْنِيخٍ (وَسَحَاقَةِ خزْفٍ) وَهُوَ مَا اُتُّخِذَ مِنْ الطِّينِ وَشُوِيَ فَصَارَ فَخَّارًا وَدَخَلَ فِي التُّرَابِ الْمُحْرَقُ مِنْهُ وَلَوْ أَسْوَدَ مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ قُوَّةِ الْإِنْبَاتِ فَإِنْ خَرَجَ عَنْهَا لَمْ يَجُزْ

Dan keluar dari ‘suci’ sesuatu  yang najis seperti debu kuburan yang diketahui penggalian tempatnya, bahkan jika hujan turun ke atasnya, karena itu tidak membersihkannya.

(وَخَرَجَ بِالطَّاهِرِ النَّجِسُ) كَتُرَابِ مَقْبَرَةٍ عُلِمَ نَبْشُهَا، وَإِنْ وَقَعَ عَلَيْهَا الْمَطَرُ لِأَنَّهُ لَا يَطْهُرُ بِذَلِكَ

Adapun debu musta’mal, maka tayammum tidak sah dengannya. Debu yang dimaksud adalah yang tersisa pada bagian tubuh saat melakukan tayammum, atau debu yang tersebar dari bagian tubuh saat melakukan tayammum.

(وَأَمَّا التُّرَابُ الْمُسْتَعْمَلُ فَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمُ بِهِ) وَهُوَ مَا بَقِيَ بِعُضْوِهِ حَالَةَ التَّيَمُّمِ، أَوْ مَا تَنَاثَرَ حَالَةَ التَّيَمُّمِ مِنْ الْعُضْوِ،

Kecuali jika ada angin yang membawa debu ke wajah seseorang, lalu dia mengambilnya dengan cepat dan menggunakannya untuk tayammum, maka tayammum tersebut sah.

فَخَرَجَ مَا لَوْ أَلْقَتْ الرِّيحُ عَلَى وَجْهِهِ تُرَابًا فَأَخَذَهُ بِحِرْقَةٍ ثُمَّ أَعَادَهُ إِلَى وَجْهِهِ، فَإِنَّهُ يَكْفِي

Yang dimaksud dengan kondisi digunakan tayammum adalah debu yang digunakan untuk tayammum, apakah itu tersebar saat menggunakan debu atau setelahnya, yaitu setelah menyentuh kulit dari bagian tubuh yang diusap.

وَالْمُرَادُ بِحَالَةِ التَّيَمُّمِ مَا اُسْتُعْمِلَ فِي التَّيَمُّمِ سَوَاءٌ تَنَاثَرَ حَالَةَ الِاسْتِعْمَالِ أَوْ بَعْدَهُ وَهُوَ بَعْدَ أَنْ مَسَّ بَشَرَةَ الْعُضْوِ الْمَمْسُوحِ

Adapun fardhu-fardhunya tayammum, yaitu komponen-komponennya, ada tujuh. Tiga di antaranya eksternal, yaitu; 1) pemindahan debu ke bagian tubuh yang diusap, walaupun pengambilannya dari udara. 2) menggunakan debu untuk mengusap wajah dan kedua tangan, dan 3) dengan tujuan untuk memindah debu. Ini berbeda dengan niat yang dimaksudkan untuk melegalkan tayammum.

(وَفَرَائِضُهُ) أَيْ التَّيَمُّمِ أَيْ أَرْكَانُهُ سَبْعَةٌ ثَلَاثَةٌ خَارِجَةٌ عَنْ الْمَاهِيَّةِ وَهِيَ نَقْلُ التُّرَابِ إِلَى الْعُضْوِ الْمَمْسُوحِ، وَلَوْ مِنْ الْهَوَاءِ وَاسْتِعْمَالُ تُرَابٍ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَقَصْدِ التُّرَابَ لِيَنْقُلَهُ، فَهُوَ غَيْرُ النِّيَّةِ الَّتِي هِيَ نِيَّةُ الِاسْتِبَاحَةِ .

Sedang 4  fardhu/rukun lainnya masuk dalam hakikat tayammum:

1) Niat. Yakni niat memperoleh kebolehan sesuatu yang membutuhkan pada bersuci. Dalam Sebagian naskah lain memakai redaksi “4 hal: 1) niat fardhu, maksudnya niat fardhu tayamum atau niat fardhu bersuci atau niat tayamum yang difardhukan.

وَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ دَاخِلَةٌ فِي حَقِيقَةِ التَّيَمُّمِ: (أَحَدُهَا النِّيَّةُ) أَيْ نِيَّةُ اسْتِبَاحَةِ مَا تَفْتَقِرُ اسْتِبَاحَتُهُ إلَى طَهَارَةٍ (وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ أَرْبَعُ خِصَالٍ: نِيَّةُ الْفَرْضِ) أَيْ فَرْضِ التَّيَمُّمِ أَوْ نِيَّةُ فَرْضِ الطُّهْرِ أَوْ نِيَّةِ التَّيَمُّمِ الْمَفْرُوضِ،

Yang paling benar (ashoh) adalah niat-niat ini tidak cukup, sebab tayamum merupakan bersuci dharurat yang tidak patut dituju sendiri, oleh karena itu tidak disunahkan memperbarui tayamum berbeda dengan wudhu, pembahasan ini dalam niat yang mensahihkan tayamum.

وَالْأَصَحُّ أَنَّ هَذِهِ النِّيَّاتِ لَا تَكْفِي لِأَنَّ التَّيَمُّمَ طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ لَا يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ مَقْصُودًا فِي نَفْسِهِ، وَلِذَلِكَ لَا يُسْتَحَبُّ تَجْدِيدُهُ بِخِلَافِ الْوُضُوءِ، وَهَذَا الْكَلَامُ فِي النِّيَّةِ الْمُصَحِّحَةِ لِلتَّيَمُّمِ.

Adapun ibadah yang kebolehannya diperoleh dengan bertayamum dengan sebab niat, tingkatannya ada tiga: Tingkatan pertama, fardhu shalat walaupun udzur, dan fardhu thowaf juga demikian. Adapun khutbah jumat maka menurut Imam Romli sama dengan shalatnya (shalat jumat) sebab khutbah disamakan dengan 2 rakaat,

أَمَّا مَا يُسْتَبَاحُ بِالتَّيَمُّمِ بِسَبَبِ النِّيَّةِ فَمَرَاتِبُهُ ثَلَاثَةٌ:  الْمَرْتَبَةُ الْأُولَى فَرْضُ الصَّلَاةِ وَلَوْ مَنْذُورَةً، وَفَرْضُ الطَّوَافِ كَذَلِكَ، أَمَّا خُطْبَةُ الْجُمْعَةِ فَعِنْدَ الرَّمْلِيِّ كَصَلَاتِهَا، لِأَنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ رَكْعَتَيْنِ،

Sedang menurut Imam Ibnu Hajar sebagaimana Syaikhul Islam tayamum dilakukan untuk khutbah sebagai Langkah kehati-hatian, sehingga tayamum tersebut tidak boleh dipakai untuk shalat fardhu. Menurut Imam Romli dan Ibnu Hajar boleh mengumpulkan 2 khutbah dengan 1 tayamum sebab 2 khutbah terhitung sebagai 1 fardhu.

وَعِنْدَ ابْنِ حَجَرٍ كَشَيْخِ الْإِسْلَامِ أَنَّهُ يَعْمَلُ فِيهَا بِالِاحْتِيَاطِ، فَلَا يُصَلِّي بِالتَّيَمُّمِ لَهَا فَرْضًا، وَلَهُ عِنْدَ الرَّمْلِيِّ وَابْنِ حَجَرٍ جَمْعُ الْخُطْبَتَيْنِ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّهُمَا فَرْضٌ وَاحِدٌ

Tingkatan kedua mencakup shalat sunnah, thawaf sunnah, dan shalat jenazah, sebab shalat jenazah dianggap sejajar dengan shalat sunnah, meskipun shalat jenazah sendiri merupakan fardhu kifayah.

الْمَرْتَبَةُ الثَّانِيَةُ نَفْلُ الصَّلَاةِ، وَنَفْلُ الطَّوَافِ وَصَلَاةُ الْجِنَازَةِ، لِأَنَّهَا كَالنَّفْلِ وَإِنْ كَانَتْ فَرْضَ كِفَايَةِ

Tingkatan ketiga melibatkan aspek-aspek lain yang belum disebutkan sebelumnya, seperti sujud tilawah, sujud syukur, menyentuh mushaf (Al-Quran), menggerakkan hewan yang akan disembelih, membaca Al-Quran saat berada dalam keadaan junub, dan hal-hal serupa, termasuk jika itu terkait dengan nadzar.

الْمَرْتَبَةِ الثَّالِثَةِ مَا عَدَا ذَلِكَ كَسَجْدَةِ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ وَمَسِّ الْمُصْحَفِ وَتَمْكِينِ الْحَلِيلِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ مِنْ الْجُنُبِ وَنَحْوِهِ وَلَوْ مَنْذُورَةً

Jika orang yang bertayamum berniat fadhu, maksudnya mutlak fardhu atau ditentukan atau diniatkan sunah, misalnya dengan mengucapkan “aku berniat memperoleh kebolehan fardhunya shalat dan sunnahnya, maka kebolehan keduanya diperoleh, maksudnya faedhu dan sunah karena mengamalkan dengan niatnya. Kemudian, jika tidak ditentukan fardhu maka digunakan untuk fardhu yang diinginkan. Dan jika ditentukan fardhu maka dia boleh melaksanakan fardhu lainnya.

(فَإِنْ نَوَى الْمُتَيَمِّمُ الْفَرْضَ) أَيْ الْمُطْلَقَ أَوْ الْمُعَيَّنَ (أَوْ النَّفَلَ) كَأَنْ يَقُولَ نَوَيْتُ اسْتِبَاحَةَ فَرْضِ الصَّلَاةِ وَنَفْلِهَا (اسْتَبَاحَهُمَا) أَيْ الْفَرْضِ وَالنَّفَلِ عَمَلًا بِنِيَّتِهِ، فَإِنْ لَمْ يُعَيِّنْ الْفَرْضَ فَيَأْتِي بِأَيِّ فَرْضٍ شَاءَ، وَإِنْ عَيَّنَ فَرْضًا جَازَ لَهُ فِعْلُ فَرْضِ غَيْرِهِ

Atau hanya wajib, misalnya “saya beniat untuk memperoleh kebolehan melakukan shalat wajib, maka boleh melakukan fardhu dan sunah, sebab shalat sunnah mengikuti shalat wajib. Setelah esensi kebersihan terpenuhi untuk kewajiban pokok, aspek tambahan menjadi lebih diutamakan, termasuk shalat jenazah, karena memiliki kedudukan serupa dengan shalat sunnah secara ashah.

(أَوْ الْفَرْضِ فَقَطْ) كَأَنْ يَقُولَ نَوَيْتُ اسْتِبَاحَةَ فَرْضِ الصَّلَاةِ (اسْتَبَاحَ مَعَهُ النَّفْلَ)، لِأَنَّ النَّفْلَ تَابِعٌ لِلْفَرْضِ، فَإِذَا صَلُحَتْ طَهَارَتُهُ لِلْأَصْلِ، فَلِلتَّابِعِ أَوْلَى (وَصَلَاةَ الْجِنَازَةِ أَيْضًا) لِأَنَّهَا بِمَنْزِلَةِ النَّفْلِ عَلَى الْأَصَحِّ،

Atau hanya sunnah, misalnya menyatakan “saya niat untuk memperoleh kebolehan shalat sunah” maka tidak diperbolehkan melakukannya disertai shalat fardhu, maksudnya fardhu ain.

(أَوْ النَّفْلِ فَقَطْ) كَأَنْ يَقُولَ نَوَيْتُ اسْتِبَاحَةَ نَفْلِ الصَّلَاةِ (لَمْ يَسْتَبِحْ مَعَهُ الْفَرْض) أَيْ الْعَيْنِيَّ،

Begitu juga, jika seseorang berniat untuk shalat maka dia tidak memperoleh kebolehan shalat sekaligus ibadah fardhu, sebab shalat Ketika dimutlakkan maka ditempatkan pada derajat paling sedikitnya, yaitu shalat sunah, hal itu sebagai Langkah kehati-hatian.

(وَكَذَا لَوْ نَوَى الصَّلَاةَ) فَلَا يَسْتَبِيحُ مَعَهُ الْفَرْضَ لِأَنَّ الصَّلَاةَ عِنْدَ الِاطْلَاقِ تُنَزَّلُ عَلَى أَقَلِّ دَرَجَاتِهَا وَهُوَ النَّفَلُ وَذَلِكَ أَخْذٌ بِالْأَحْوَطِ.

Dan apabila seseorang berniat untuk sunah yang ditentukan atau shalat jenazah, maka dia boleh melakukan ibadah sunnah lainnya juga. Dan dia juga boleh shalat jenazah dengan niat tayamum untuk shalat sunah.

وَلَوْ نَوَى نَافِلَةً مُعَيَّنَةً أَوْ صَلَاةَ الْجِنَازَةِ جَازَ لَهُ فِعْلُ غَيْرِهَا مِنْ النَّوَافِلِ مَعَهَا، وَلَهُ بِنِيَّةِ النَّفْلِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ.

Dan apabila seseorang berniat tayamum untuk memegang mushaf atau niat semacam orng junub untuk bisa itikaf atau niatnya Perempuan yang haid untuk boleh wathi, maka mereka memperoleh kebolehan melakukan semua itu, namun tidak untuk dipakai shalat sunah.

وَلَوْ نَوَى حَمْلَ الْمُصْحَفِ أَوْ نَوَى نَحْوُ الْجُنُبِ الِاعْتِكَافَ، أَوْ الْحَائِضُ اسْتِبَاحَةَ الْوَطْءِ اسْتَبَاحَ ذَلِكَ كُلَّهُ دُونَ النَّفْلِ

Kesimpulannya adalah:

1.    Niat melakukan fardu memperbolehkan semua (aktivitas yang diperbolehkan saat dalam keadaan suci).

2.    Niat melakukan sunnah atau khutbah Jumat memperbolehkan semua kecuali fardu 'ain (seperti shalat).

3.    Niat selain itu memperbolehkan semua kecuali shalat, seperti berada di masjid atau bercumbu dengan istri.

4.    Pendapat yang paling kuat adalah jika seseorang bertayammum untuk khutbah Jumat, namun tidak jadi berkhutbah, maka ia boleh melaksanakan shalat Jumat dengan tayammum tersebut. Hal ini karena khutbah dianggap setara dengan dua rakaat shalat, sehingga menyerupai fardu 'ain.

وَالْحَاصِلُ أَنَّ نِيَّةَ الْفَرْضِ تُبِيحُ الْكُلَّ وَنِيَّةُ النَّفْلِ أَوْ خُطْبَةِ الْجُمُعَةِ تُبِيحُ مَا عَدَا الْفَرْضَ الْعَيْنِيَّ وَنِيَّةُ غَيْرِ ذَلِكَ تُبِيحُ مَا عَدَا الصَّلَاةَ مِنْ نَحْوِ الْمُكْثِ فِي الْمَسْجِدِ وَتَمَكُّنِ الْحَلِيلِ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ إِذَا تَيَمَّمَ لِخُطْبَةِ جُمُعَةٍ وَلَمْ يَخْطُبْ جَازَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ الْجُمُعَةَ لِأَنَّ الْخُطْبَةَ بِمَثَابَةِ رَكْعَتَيْنِ فَأَشْبَهَتْ الْفُرُوضَ الْعَيْنِيَّةَ

Wajib menyertakan niat tayamum, yaitu niat memperoleh kebolehan saja, dengan memindah debu ke wajah dan kedua tangan. Dan wajib memanjangkan niat ini sampai mengusap bagian wajah.

(وَيَجِبُ قَرْنُ نِيَّةِ التَّيَمُّمِ) وَهُوَ نِيَّةُ الِاسْتِبَاحَةِ فَقَطْ (بِنَقْلِ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ. وَ) يَجِبُ (اسْتِدَامَةُ هَذِهِ النِّيَّةِ إِلَى مَسْحِ شَيْءٍ مِنْ الْوَجْهِ)

Pendapat mu’tamad ialah kecukupan menghadirkan niat ketika mengusap bagian wajah, maka pendapat tentang memanjangkan niat tidak mu’tabar. Bahkan jika seseorang hanya berniat ketika ingin mengusap wajah maka sudah mencukupi.

وَالْمُعْتَمَدُ الِاكْتِفَاءُ بِاسْتِحْضَارِهَا عِنْدَ مَسْحِ شَيْءٍ مِنْ الْوَجْهِ، فَالِاسْتِدَامَةُ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ، بَلْ لَوْ لَمْ يَنْوِ إِلَّا عِنْدَ إرَادَةِ مَسْحِ الْوَجْهِ أَجْزَاءَهُ .

Itu semua tidak menafikan pendapat para ulama tentang menyertakan niat dengan memindah debu, sebab yang dimaksud dengan memindah adalah memindah yang diadatkan, yaitu memindah debu dari kedua tangan ke wajah dan niat sudah bersamaan dengan itu.

ذَلِكَ لَا يُنَافِيهِ قَوْلُهُمْ يَجِبُ قَرْنُهَا بِالنَّقْلِ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِالنَّقْلِ هُوَ النَّقْلُ الْمُعْتَدُّ بِهِ وَهُوَ النَّقْلُ مِنْ الْيَدَيْنِ إِلَى الْوَجْهِ وَقَدْ اقْتَرَنَتْ النِّيَّةُ بِهِ

Jika seseorang berhadats setelah memindah debu dan sebelum mengusap wajah maka dia tidak boleh mengusap dengan debu tersebut sebab batalnya memindah sebab hadats, sebaliknya dia harus memindah debu lainnya selama dia tidak memperbarui niat sebelum sampainya debu ke wajah.

(وَلَوْ أَحْدَثَ بَعْدَ نَقْلِ التُّرَابِ) وَقَبْلَ مَسْحِ الْوَجْهِ (لَمْ يَمْسَحْ بِذَلِكَ التُّرَابَ) لِبُطْلَانِ النَّقْلِ بِالْحَدَثِ (بَلْ يَنْقُلُ غَيْرَهُ) مَا لَمْ يُجَدِّدْ النِّيَّةَ قَبْلَ وُصُولِ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ،

 

Jika dia memperbarui niatnya maka dia boleh menggunakan debu itu.

Tidak harus memindah debu lainnya sebab wujudnya memindah debu saat itu, pemindahan debu ini adalah pekerjaan baru sebagaimana kalau memindah debu dari angin.

وَإِلَّا جَازَ الْمَسْحُ بِذَلِكَ التُّرَابِ،

وَلَا يَتَعَيَّنُ نَقْلُ تُرَابِ غَيْرِهِ لِوُجُودِ النَّقْلِ حِينَئِذٍ، وَيَكُونُ هَذَا نَقْلًا جَدِيدًا، كَمَا لَوْ نُقِلَ التُّرَابُ مِنْ الْهَوَاءِ،

Dan yang kedua dan ketiga adalah mengusap wajah), meskipun dengan sepotong kain yang tampak jelas menyentuh janggutnya, yang dijalankan dari hidungnya ke bibirnya. Perlu diperhatikan hal ini dan sejenisnya, karena banyak orang yang lalai tentang cara ini.

(وَالثَّانِي وَالثَّالِثُ مَسْحُ الْوَجْهِ) وَلَوْ بِخِرْقَةٍ وَمِنْهُ ظَاهِرُ لِحْيَتِهِ الْمُسْتَرْسِلُ وَالْمُقْبِلُ مِنْ أَنْفِهِ عَلَى شَفَتِهِ، وَيَنْبَغِي التَّفَطُّنُ لِهَذَا وَنَحْوِهِ، فَإِنَّهُ مِمَّا يَغْفُلُ عَنْهُ كَثِيرًا

Dan mengusap tangan, berdasarkan ayat, sunnah, dan ijma' (consensus ulama), dan wajib mengusap kedua tangan sampai kedua siku), sesuai dengan bagian yang harus dibasuh dalam wudhu, dan membawa makna umum tayammum untuk mengikuti makna yang spesifik dalam wudhu, karena sebab keduanya sama, meskipun hukumnya berbeda. Dan cukup dengan menduga kuat bahwa seluruh anggota badan wajib telah terkena debu.

(وَمَسْحُ الْيَدَيْنِ) لِلْآيَةِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ وَيَجِبُ اسْتِيعَابُهُمَا (مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ) كَمُبْدَلِهِ وَحَمْلًا لِلْمُطْلَقِ فِي التَّيَمُّمِ عَلَى الْمُقَيَّدِ فِي الْوُضُوءِ، لِاتِّحَادِ سَبَبِهِمَا، وَإِنْ اخْتَلَفَ الْحُكْمُ، وَيَكْفِي غَلَبَةُ ظَنِّ تَعْمِيمِ الْعُضْوِ بِالتُّرَابِ

Dan dalam beberapa versi naskah terdapat penggantian kata ‘kedua siku’, bertentangan dengan pendapat lama yang mengatakan bahwa yang wajib adalah mengusap kedua telapak tangan.

(وَفِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ) خِلَافًا لِلْقَوْلِ الْقَدِيمِ الْقَائِلِ بِأَنَّ الْوَاجِبَ مَسْحُ الْكَفَّيْنِ

Dan mengusap wajah dan kedua tangan dilakukan dengan dua kali tepukan. Jika memungkinkan, dengan satu tepukan menggunakan sepotong kain yang besar, dengan meletakkan kain yang terdapat debu di atas wajah dan kedua tangan dalam satu gerakan, kemudian mengulanginya pada wajah dan kedua tangan.

(وَيَكُونُ مَسْحُهُمَا) أَيْ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ (بِضَرْبَتَيْنِ) فَإِنْ أَمْكَنَ بِضَرْبَةٍ بِخِرْقَةٍ وَاسِعَةٍ، بِأَنْ يَضَعَ الْخِرْقَةَ الَّتِي عَلَّقَ بِهَا التُّرَابَ عَلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ دَفْعَةً وَاحِدَةً ثُمَّ يُرَتِّبُ تَرْدِيدَهَا عَلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ

Tayammum tidak sah jika tidak dengan dua kali tepukan, dan jika urutan tersebut ada dalam pengusapan tersebut, maka harus dengan pemindahan debu lainnya untuk mengusap satu bagian dari tangan, bahkan jika hanya satu jari.

لَمْ يَصِحَّ التَّيَمُّمُ لِعَدَمِ تَعَدُّدِ الضَّرْبِ وَإِنْ وُجِدَ التَّرْتِيبُ فِي ذَلِكَ الْمَسْحِ، بَلْ لَا بُدَّ مِنْ نَقْلَةٍ أُخْرَى يَمْسَحُ بِهَا جُزْءًا مِنْ يَدَيْهِ وَلَوْ أُصْبُعًا وَاحِدًا،

Tempat kewajiban dua kali tepukan adalah ketika mencukupi dengan dua tepukan tersebut. Pada saat itu, penambahan tepukan di luar itu hukumnya makruh. Namun, jika hanya mencukupi jika dengan lebih dari dua tepukan, maka penambahan tepukan menjadi diperlukan.

وَمَحَلُّ وُجُوبِ الضَّرْبَتَيْنِ إِذَا حَصَلَ الِاسْتِيعَابُ بِهِمَا، وَحِينَئِذٍ تُكْرَهُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهِمَا، فَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ إلَّا بِأَكْثَرَ مِنْهُمَا تَعَيَّنَتْ الزِّيَادَةُ،

Namun, tidak diwajibkan untuk melakukan tepukan, tetapi cukup dengan mengambil debu, bahkan tanpa melakukan tepukan. Pada saat itu, jika seseorang meletakkan tangannya di atas debu yang halus dan menempelkan debu tersebut tanpa melakukan tepukan, itu sudah cukup. Penggunaan kata "tepukan" umumnya digunakan sesuai dengan yang umum.

وَلَا يَتَعَيَّنُ الضَّرْبُ بَلْ نَقْلُ التُّرَابِ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ ضَرْبٍ (وَ) حِينَئِذٍ (لَوْ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى تُرَابٍ نَاعِمٍ فَعَلِقَ بِهَا تُرَابٌ مِنْ غَيْرِ ضَرْبٍ كَفَى) فَالتَّعْبِيرُ بِالضَّرْبِ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ

Keempat, adalah urutan (tartib) dalam pengusapan, bukan pengambilan debu. Oleh karena itu, penting untuk mengutamakan pengusapan wajah sebelum pengusapan kedua tangan, baik dalam tayammum karena hadas kecil atau besar, membasuh anggota tubuh yang sunah, wudhu yang baru, atau situasi lain seperti menyentuh Al-Qur'an dengan tayammum.

(وَالرَّابِعُ التَّرْتِيبُ) فِي الْمَسْحِ لَا فِي النَّقْلِ (فَيَجِبُ تَقْدِيمُ مَسْحِ الْوَجْهِ عَلَى مَسْحِ الْيَدَيْنِ سَوَاءٌ تَيَمَّمَ عَنْ حَدَثٍ أَصْغَرَ أَوْ أَكْبَرَ) أَوْ غَسْلِ مَسْنُونٍ أَوْ وُضُوءٍ مُجَدَّدٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ كَالتَّيَمُّمِ لَمْسِّ الْمُصْحَفِ،

Karena kedua anggota tubuh tersebut dianggap terpisah dalam hal ini, berbeda dengan tubuh yang junub, di mana dalam mandi wajib dianggap sebagai satu anggota tubuh. Jika urutan tersebut diabaikan, maka pengusapan kedua tangan tidak dianggap sah dan harus diulangi, sementara pengusapan wajah dianggap sah.

لِأَنَّ الْعُضْوَيْنِ مُتَعَدِّدَانِ بِخِلَافِ بَدَنِ الْجُنُبِ، فَإِنَّهُ فِي الْغُسْلِ كَعُضْوٍ وَاحِدٍ (وَلَوْ تَرَكَ التَّرْتِيبَ لَمْ يَصِحَّ) أَيْ لَمْ يُحْسَبْ لَهُ مَسْحُ اليَدَينِ فَيُعِيدُهُ وَأَمَّا مَسْحُ الْوَجْهِ فَصَحِيحٌ

Pengambilan debu untuk pengusapan wajah dan kedua tangan tidak membutuhkan urutan tertentu, tetapi disunahkan untuk mengikutinya. Jadi, jika seseorang memukulkan tangan mereka ke debu sekali dan kemudian mengusap wajah mereka dengan tangan kanan, dan mengusap tangan kiri mereka dengan tangan kanan mereka, atau sebaliknya, itu diperbolehkan. Namun, perlu dilakukan pengambilan debu yang lain untuk mengusap tangan yang tersisa, karena tujuan utama adalah pengusapan, sedangkan pengambilan debu adalah sarana untuk mencapainya.

(وَأَمَّا أَخْذُ التُّرَابِ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ فَلَا يُشْتَرَطُ فِيهِ تَرْتِيبٌ) لَكِنَّهُ يُسْتَحَبُّ. (فَلَوْ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ دَفْعَةً عَلَى تُرَابٍ وَمَسَحَ بِيَمِينِهِ وَجْهَهُ وَبِيَسَارِهِ يَمِينَهُ) أَوْ عَکسَ (جَازَ)، وَلَا بُدَّ مِنْ نَقْلَةٍ أُخْرَى لِمَسْحِ الْيَدِ الْبَاقِيَةِ لِأَنَّ الْغَرَضَ الْأَصْلِيَّ الْمَسْحُ وَالنَّقْلُ وَسِيلَةٌ إِلَيْهِ.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi