Gayung di Tengah Malam
Gayung di Tengah Malam
Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga dini hari ketika Sari terbangun dengan kandung kemih yang sudah tak tertahankan lagi. Kamar asrama putri Pondok Pesantren Al-Hikmah tenggelam dalam kesunyian, hanya terdengar suara napas teratur santri-santri lain yang terlelap pulas. Sari bangkit perlahan dari kasur tipis beralaskan tikar pandan, berusaha tak membangunkan Fitri yang tidur di sebelahnya.
Sandal jepit merah jambu kesayangannya ia kenakan, lalu berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar. Koridor panjang asrama terlihat kelam, hanya diterangi lampu temaram yang hampir mati. Bayangan-bayangan aneh menari di dinding, membuat bulu kuduk Sari meremang. Tapi ia memberanikan diri, wong mung arep nyang kamar mandi thok, pikirnya dalam hati.
Kamar mandi umum terletak di ujung koridor, bersebelahan dengan tempat wudhu. Sari mendorong pintu kayu yang sudah lapuk itu perlahan. Bunyi engsel berkarat menyayat kesunyian malam. Ia meraba-raba dinding mencari saklar lampu, tapi yang didapat hanya dinding bata yang lembap dan dingin.
"Innalillahi..." gumamnya pelan, lalu mengambil handphone dari saku gamis untuk menyalakan senter.
Cahaya terang menerangi ruang sempit itu. Kamar mandi sederhana dengan bak mandi semen, kloset jongkok, dan beberapa gayung plastik berserakan. Sari melangkah masuk, mengunci pintu dari dalam. Suasana mencekam membuat ia terburu-buru menyelesaikan hajatnya.
Ketika sedang berjongkok, matanya tak sengaja melirik ke sudut kamar mandi. Sebuah gayung biru tua tergeletak di lantai, agak tersembunyi di balik bak mandi. Kok iso ana gayung kono ya? Sari bergumam dalam hati. Gayung itu tampak tua dan kusam, berbeda dengan gayung-gayung lain yang biasa dipakai santri.
Ia berusaha tak mempedulikannya dan melanjutkan aktivitas. Tapi entah mengapa, perhatiannya terus tertuju pada gayung itu. Ada yang aneh. Gayung itu seperti... bergerak?
Sari mengedipkan mata berkali-kali, mengira matanya lelah. Tapi kemudian ia melihatnya dengan jelas. Gayung itu bergeser perlahan, seolah didorong oleh tangan tak kasat mata. Bergeser sedikit ke kiri, lalu ke kanan, lalu berputar pelan di tempatnya.
Jantung Sari berdebar kencang. Darah dalam tubuhnya seolah membeku. Ia ingin berteriak, tapi suara serak tak keluar dari tenggorokannya. Tangannya gemetar memegang handphone, cahaya senter bergetar-getar menerangi gayung yang terus bergerak sendiri itu.
"Astagafirullah..." bisiknya dengan suara parau.
Gayung itu tiba-tiba berhenti bergerak. Kesunyian mencekam kembali menyelimuti kamar mandi. Tapi Sari merasa ada yang mengawasinya. Rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun. Bulu kuduknya berdiri, napasnya tersengal-sengal.
Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan berlari keluar kamar mandi. Pintu kayu itu dibantingnya keras, bergema di koridor sepi. Kaki telanjangnya berlari secepat kilat menuju kamar asrama, tak peduli sandal jepit yang tertinggal di kamar mandi.
"Fitri! Fitri!" Sari menggoyang-goyangkan tubuh teman sekamarnya. "Aku lihat... aku lihat..."
Tapi kata-kata itu tak sempat keluar. Kepala Sari tiba-tiba pusing berat, pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya limbung, lalu ambruk di samping kasur Fitri. Demam tinggi langsung menyerangnya, membuatnya menggigil hebat meski malam itu cukup hangat.
"Sari! Sari!" Fitri terbangun dan langsung panik melihat temannya yang pucat pasi. "Ana kenapa? Badanmu panas banget!"
Santri-santri lain mulai terbangun karena keributan. Ustadzah Khodijah, pengasuh asrama, datang dengan wajah cemas. Ia memeriksa Sari yang masih menggigil, bibir biru, mata melirik ke sana kemari dengan tatapan kosong.
"Kayaknya Sari kena gangguan," bisik Ustadzah Khodijah pada Fitri. "Badan panas tinggi begini tapi baru saja bangun dari tidur... Coba kamu tanya, dia habis ke mana?"
Fitri menggeleng-gelengkan kepala bingung. "Aku nggak tahu, Ustadzah. Aku ketiduran..."
Sari yang mendengar percakapan itu berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Dengan suara lemah dan terbata-bata, ia bercerita tentang apa yang dilihatnya di kamar mandi. Gayung yang bergerak sendiri, perasaan dingin yang mencekam, sensasi diawasi oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Ustadzah Khodijah mengangguk-angguk paham. "Iya, ini memang gangguan. Ana mau pulang nggak? Boyong dulu sama orang tua biar bisa berobat dan ruqyah yang bener."
Mendengar kata 'boyong', Sari mengangguk lemah. Ia sudah tak tahan dengan kondisi ini. Takut, demam tinggi, dan perasaan tidak tenang yang terus menghantuinya. Ia ingin pulang ke rumah, ke pelukan ibu, ke tempat yang aman dan familiar.
"Iya, Ustadzah... aku pengen pulang," bisiknya sambil menahan tangis. "Aku takut... wedi tenan..."
Ustadzah Khodijah mengelus kepala Sari dengan lembut. "Sabar ya, Nak. Nanti pagi-pagi Ustadzah telepon orang tuamu. Ini ujian dari Allah. Kamu harus kuat dan banyak-banyak istighfar."
Fajar mulai menyingsing ketika ayah Sari datang menjemput dengan wajah cemas. Gadis itu masih demam tinggi dan meracau tidak jelas. Ia dibawa pulang dengan harapan bisa segera sembuh dan kembali melanjutkan pendidikannya di pesantren.
Di perjalanan pulang, Sari masih sesekali bergumam tentang gayung biru tua yang bergerak sendiri di tengah malam. Pengalaman itu akan selalu diingatnya, menjadi pelajaran bahwa ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa dijelaskan dengan logika manusia biasa.
Pagi itu, ketika santri-santri lain mau mandi, mereka menemukan sebuah gayung biru tua di sudut kamar mandi. Gayung yang tak pernah ada sebelumnya. Ustadzah Khodijah langsung menyuruh membuangnya jauh-jauh, sambil membaca ayat-ayat Al-Quran untuk membersihkan tempat itu.
"Memang ada penunggu lama di sini," katanya pada santri-santri yang bertanya. "Makanya kalau malam-malam jangan sendirian ke kamar mandi. Selalu baca doa dan istighfar."
Sejak itu, tak ada lagi santri yang berani ke kamar mandi sendirian di tengah malam. Dan gayung biru tua itu tak pernah muncul lagi.
Comments