Jejak di Tanah Merah
Jejak di
Tanah Merah
M. Alfan Haris
(Wali Kelas 7)
Sarah menatap jalan tanah merah yang berkelok-kelok di hadapannya. Debu
mengepul dari bawah roda ojek yang membawanya menembus hutan jati menuju Desa
Sumber Rejeki. Tas punggung berisi buku-buku dan laptop bekas pemberian
orangtua terasa semakin berat seiring perjalanan yang sudah berlangsung empat
jam dari kota kabupaten.
"Masih jauh, Mbak?" tanyanya pada pak ojek yang sudah berusia
kepala lima.
"Sebentar lagi. Itu udah keliatan atap sekolahnya," jawab pak
ojek sambil menunjuk ke arah bangunan kecil dengan atap seng yang sebagian
sudah berkarat.
Sarah menarik napas dalam-dalam. Inilah tempat yang akan menjadi rumah
barunya selama menjadi guru honorer. Setelah lulus dari Universitas Negeri
dengan IPK 3,7, ia memilih mengabdi di daerah terpencil ketimbang bersaing
keras untuk jadi guru PNS di kota. Teman-temannya menganggapnya gila, tapi
Sarah yakin ini adalah cara terbaik untuk membuat perbedaan nyata.
Ojek berhenti di depan SD Negeri Sumber Rejeki. Sarah turun dan langsung
disambut oleh seorang pria paruh baya berkumis tipis yang memperkenalkan diri
sebagai Pak Kartono, kepala sekolah.
"Selamat datang, Sarah. Kamu guru Bahasa Indonesia yang baru,
ya?" sapanya dengan nada datar yang sulit ditebak.
"Iya, Pak. Saya Sarah Dewanti. Senang bisa bertugas di sini,"
jawab Sarah sambil bersalaman.
Pak Kartono memandanginya dari atas ke bawah, dari sepatu kets putih
yang masih bersih hingga kemeja yang masih rapi. "Hmm. Ikut saya, saya
antarkan keliling sekolah."
Tur singkat itu membuat optimisme Sarah sedikit luntur. Tiga ruang kelas
untuk menampung enam tingkatan siswa. Atap bocor di mana-mana dengan ember
plastik yang berjajar menampung air hujan. Papan tulis yang sudah aus dan
meja-kursi kayu yang goyang. Di perpustakaan yang tak lebih besar dari kamar
mandi, buku-buku pelajaran masih edisi tahun 2010.
"Listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai 10 malam," jelas
Pak Kartono. "Kalau hujan, sering mati total. Internet? Jangan harap.
Sinyal HP saja susah."
Sarah mengangguk sambil mencatat mental semua kekurangan itu.
"Berapa jumlah siswa seluruhnya, Pak?"
"Terdata 87 anak, tapi yang rajin masuk paling 40-50. Sisanya
membantu orangtua ke sawah atau kebun. Kamu harus paham, di sini sekolah bukan
prioritas utama keluarga."
……….
Malam pertama di rumah kontrakan sederhana yang disewa sekolah, Sarah
membuka laptop dan mulai menyusun rencana pembelajaran. Ia akan menggunakan
metode pembelajaran aktif yang pernah dipelajari di kampus. Games edukatif,
diskusi kelompok, bahkan kalau perlu pembelajaran di luar kelas untuk membuat
anak-anak lebih tertarik.
Tapi hari pertama mengajar tidak berjalan sesuai harapan.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Sarah penuh semangat pada 15
siswa yang hadir dari 28 siswa kelas 4-5 yang digabung.
Sebagian anak menjawab dengan suara pelan, sebagian lagi memandanginya
dengan tatapan kosong. Sarah memulai dengan perkenalan kreatif, meminta setiap
anak menyebutkan nama dan cita-citanya.
"Siapa yang mau jadi polisi?" tanya Sarah
Tidak ada yang angkat tangan.
"Dokter? Pilot? Guru seperti Bu Sarah?"
Masih sunyi. Akhirnya seorang anak laki-laki bernama Andi mengangkat
tangan pelan.
"Andi mau jadi apa?"
"Mau bantu ayah di kebun, Bu."
"Setelah besar nanti maksudnya. Kalau Andi sekolah tinggi-tinggi,
mau jadi apa?"
Andi menggeleng. "Nggak usah sekolah tinggi-tinggi, Bu. Toh nanti
juga bantu ayah."
Kelas hening. Sarah merasakan sesuatu mencekik di tenggorokannya. Ia
mencoba melanjutkan pelajaran dengan materi puisi, tapi anak-anak kesulitan
memahami kata-kata yang baginya sederhana. Ketika ia bercerita tentang
keindahan alam dalam puisi Chairil Anwar, mata mereka menatap kosong ke jendela
yang memperlihatkan hamparan sawah yang sama mereka lihat setiap hari.
Minggu demi minggu berlalu. Sarah mencoba berbagai cara: mengajar dengan
lagu, bermain peran, bahkan membawa anak-anak belajar di bawah pohon mangga.
Hasilnya tetap sama. Kehadiran siswa makin menurun, terutama saat musim tanam
tiba.
Suatu pagi, Sarah mendapati hanya 8 anak yang hadir. Andi, yang paling
cerdas di kelasnya, tidak terlihat selama seminggu.
"Bu Yati, Andi kenapa tidak masuk?" tanya Sarah pada guru
senior yang sudah 20 tahun mengajar di sana.
Bu Yati, perempuan berusia 50-an dengan rambut setengah beruban,
menghela napas. "Ayahnya sakit, Sarah. Andi harus gantiin nyari nafkah.
Kamu tahu sendiri, keluarga di sini hidup dari hari ke hari."
"Tapi Andi anak yang cerdas, Bu. Sayang sekali kalau putus sekolah.
"Sudah banyak yang seperti itu. Makanya saya bilang, jangan terlalu
berharap tinggi. Kamu masih muda, masih idealis. Nanti juga paham
sendiri."
Sarah pulang ke kontrakannya dengan perasaan berat. Ia membuka laptop
dan menatap email dari Reni, teman kuliahnya yang bekerja di perusahaan
multinasional di Jakarta.
"Sar, di kantor lagi buka lowongan Content Manager. Gaji 8 juta
plus tunjangan. Kamu berminat? Daripada ngajar di desa dengan gaji
pas-pasan."
Sarah memandang balasan yang belum ia ketik. Gajinya sebagai guru
honorer memang hanya 300 ribu rupiah per bulan, sering telat cair pula. Untuk
makan sehari-hari saja ia harus ngutang di warung Bu Sari. Tapi bukan itu yang
membuatnya ingin menyerah, yang paling menyakitkan adalah perasaan tidak
berguna. Sudah tiga bulan ia mengajar, tapi sepertinya tidak ada perubahan
berarti. Anak-anak tetap tidak antusias belajar, orangtua tetap acuh, dan ia
mulai mempertanyakan keputusannya.
Malam itu hujan turun deras. Atap kontrakannya bocor di beberapa tempat.
Sarah meletakkan ember dan baskom untuk menampung air, lalu duduk di pojok
kamar sambil menatap ponselnya yang hanya tersisa satu bar sinyal.
Ia mencoba menelepon ibunya di Surabaya.
"Sarah, kok suaramu sedih?" tanya ibunya setelah menerima
panggilan.
"Nggak apa-apa, Ma. Cuma kangen aja."
"Mama sama Papa udah bilang kan, kalau kamu nggak kuat, pulang aja.
Masih banyak lowongan kerja di kota."
Sarah terdiam. Air mata mulai mengalir di pipinya tanpa bisa ditahan.
"Sarah? Kamu masih di sana?"
"Iya, Ma. Aku... aku baik-baik aja."
Tapi ia tidak baik-baik saja. Setelah menutup telepon, Sarah menangis
dalam sunyi. Hujan semakin deras, dan bocoran di atapnya semakin banyak. Ia
merasa seperti air hujan itu – tumpah sia-sia tanpa arah yang jelas.
Keesokan harinya, Sarah memutuskan berkunjung ke rumah Andi. Rumah
panggung sederhana dengan dinding anyaman bambu berada di ujung desa. Ia
melihat Andi sedang menyapu halaman.
"Andi, kok tidak sekolah lagi?"
Anak itu menunduk. "Ayah sakit, Bu. Harus bantu nyari uang."
"Boleh Bu guru ketemu ayahmu?"
Andi mengantar Sarah masuk. Di dalam, seorang pria kurus terbaring di
kasur dengan selimut tipis. Istrinya, perempuan berusia 40-an, duduk di
sampingnya sambil menjahit.
"Permisi, Pak, Bu. Saya Sarah, guru Andi."
"Oh, Bu Guru. Duduk, Bu," kata istri Pak Bambang sambil
merapikan kursi plastik.
Sarah duduk dan berbincang panjang dengan mereka. Pak Bambang menderita
sakit pinggang kronis akibat terlalu lama bekerja di kebun. Pendapatannya
sebagai buruh tani hanya 30 ribu rupiah per hari, dan itu pun tidak tentu.
Ketika sakit seperti ini, keluarga kehilangan sumber penghasilan utama.
"Andi anak yang cerdas, Pak. Sayang kalau putus sekolah," kata
Sarah.
Pak Bambang tersenyum lemah. "Saya tahu, Bu. Tapi apa mau dikata.
Perut harus diisi dulu sebelum pikirin sekolah."
"Kalau Andi lulus SD nanti, Bapak akan menyekolahkan ke SMP?"
"SMP kan di kota kecamatan, Bu. Jauh. Biaya transport, uang saku,
buku... dari mana?"
Sarah terdiam. Ia baru menyadari betapa kompleksnya masalah yang
dihadapi anak-anak di sini. Bukan hanya soal minat atau motivasi, tapi struktur
kemiskinan yang memaksa mereka memilih bertahan hidup daripada belajar.
Pulang dari rumah Andi, Sarah merasa seperti ditampar kenyataan. Selama
ini ia mengajar dengan asumsi bahwa semua anak punya privilege yang sama
seperti dirinya dulu. Privilege untuk memilih sekolah daripada bekerja,
privilege untuk bermimpi tinggi tanpa khawatir makan besok.
Malam itu, alih-alih menyusun rencana pembelajaran, Sarah duduk di teras
kontrakannya sambil merenung. Langit penuh bintang, sesuatu yang tidak pernah
ia lihat di kota. Di kejauhan, suara jangkrik bersahutan dengan gemerisik daun
jati.
Untuk pertama kalinya, ia tidak memikirkan metode pembelajaran yang
kreatif atau target kurikulum yang harus diselesaikan. Ia memikirkan Andi yang
cerdas tapi harus memilih antara sekolah dan makan. Ia memikirkan anak-anak
lain yang mungkin punya bakat tersembunyi tapi tidak pernah mendapat kesempatan
mengembangkannya.
Esok harinya, Sarah mengubah pendekatannya. Alih-alih memaksa anak-anak
memahami puisi tentang kota yang tidak pernah mereka lihat, ia mengajak mereka
menulis tentang sawah, tentang musim hujan, tentang kehidupan sehari-hari
mereka. Alih-alih bercerita tentang tokoh pahlawan dari buku, ia meminta mereka
bercerita tentang kakek-nenek yang pernah berjuang mempertahankan tanah ulayat.
Responsnya mengejutkan. Anak-anak yang biasanya diam mulai bercerita.
Mata mereka berbinar ketika menceritakan bagaimana ayah mereka bisa memprediksi
hujan dari awan, atau bagaimana ibu mereka membuat tempe dari kedelai sendiri.
"Bu Guru, cerita saya bagus nggak?" tanya Sari, anak perempuan
pendiam yang jarang bicara.
"Bagus sekali. Coba Sari ceritakan lagi, yang tadi tentang
kupu-kupu di kebun."
Untuk pertama kalinya, Sarah melihat senyum bangga di wajah anak itu.
Perlahan, Sarah mulai memahami makna mengajar yang sesungguhnya. Bukan
tentang mentransfer pengetahuan dari kurikulum, tapi tentang menghargai
pengetahuan yang sudah dimiliki anak-anak dan membantu mereka mengembangkannya.
Ia mulai mengintegrasikan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Matematika dipelajari sambil menghitung hasil panen. Bahasa Indonesia
dipelajari sambil menulis pengalaman mereka. IPA dipelajari sambil mengamati
tanaman di sekitar sekolah.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam. Kehadiran siswa masih naik-turun
tergantung musim tanam. Fasilitas sekolah masih memprihatinkan. Gaji masih
sering telat. Tapi sesuatu yang berbeda mulai terasa.
Anak-anak mulai lebih aktif bertanya. Beberapa orangtua mulai sesekali
datang menanyakan perkembangan anak mereka. Yang paling mengejutkan, Andi
kembali ke sekolah setelah ayahnya agak membaik.
"Bu Sarah, saya mau belajar lagi," katanya sambil tersenyum
malu-malu.
"Tentu. Andi sudah siap?"
"Siap, Bu. Tapi... saya tetap harus bantu ayah kalau lagi musim
tanam."
"Tidak apa-apa. Yang penting Andi semangat belajar."
Suatu sore, ketika Sarah sedang membereskan kelas, Pak Kartono
menghampirinya.
"Sarah, kamu sudah hampir setahun di sini."
"Iya, Pak."
"Terus terang, saya pikir kamu tidak akan bertahan selama ini.
Biasanya guru-guru muda dari kota paling lama tiga bulan sudah minta
pindah."
Sarah tersenyum. "Awalnya saya juga sempat ingin menyerah,
Pak."
"Terus apa yang membuatmu bertahan?"
Sarah memandang ke halaman sekolah, di mana beberapa anak sedang bermain
bola dengan bola plastik yang sudah kempes. "Saya pikir... saya baru
mengerti apa artinya menjadi guru. Bukan tentang mengubah mereka menjadi
seperti saya, tapi membantu mereka menjadi versi terbaik dari diri mereka
sendiri."
Pak Kartono mengangguk perlahan. "Bagus. Kamu mulai paham."
"Pak, saya mau tanya. Kenapa Bapak bisa bertahan mengajar di sini
selama 25 tahun?"
Pak Kartono terdiam sejenak, memandang ke arah langit yang mulai
memerah. "Karena saya percaya, Sarah. Mungkin tidak semua anak di sini
akan jadi dokter atau insinyur. Tapi kalau kita bisa mengajarkan mereka
membaca, menulis, dan berhitung dengan baik, itu sudah cukup. Mereka bisa
mengajari anak-anak mereka nanti. Perubahan itu tidak selalu besar dan cepat.
Kadang perubahan itu kecil dan butuh waktu generasi."
Malam itu, Sarah duduk di meja kecilnya sambil mengoreksi tugas
anak-anak. Tulisan mereka memang masih jauh dari sempurna, tapi setiap kata
menunjukkan kemajuan kecil yang berarti.
Ia membaca karangan Andi tentang cita-citanya: "Saya ingin jadi
petani yang pintar. Bisa nanam padi yang bagus dan bisa mengajar anak-anak desa
cara bertani yang benar. Saya tidak mau pergi ke kota. Saya mau bikin desa saya
jadi lebih baik."
Sarah tersenyum sambil memberikan nilai A+ di ujung halaman. Mungkin
definisi keberhasilan di sini memang berbeda dengan di kota. Keberhasilan bukan
diukur dari berapa banyak anak yang masuk universitas atau berkarir di kota
besar. Keberhasilan diukur dari berapa banyak anak yang bisa membaca dengan
lancar, menulis dengan baik, dan yang terpenting, percaya bahwa mereka punya
potensi untuk membuat hidup mereka lebih baik.
Handphone Sarah berbunyi. SMS dari Reni: "Sar, lowongan Content
Manager masih ada. Deadline aplikasi minggu depan. Kamu gimana?"
Sarah memandang layar ponselnya, kemudian mengetik balasan: "Terima
kasih, Ren. Tapi aku rasa tempat ku ada di sini."
Tanpa ragu, ia menekan tombol kirim.
Di luar, hujan mulai turun lagi. Tapi kali ini Sarah tidak merasa sedih
mendengar suara tetesan air di ember-ember penampung bocoran. Suara itu
mengingatkannya bahwa ia seperti hujan – tumpah tidak sia-sia, tapi memberi
kehidupan bagi benih-benih kecil yang suatu hari akan tumbuh menjadi pohon
besar.
Sarah menutup buku tugasnya dan bersiap tidur. Besok ada hari baru, ada
anak-anak yang menunggu, ada ilmu yang akan dibagikan, dan ada jejak kecil yang
akan terus ia tinggalkan di tanah merah Sumber Rejeki.
Lima tahun kemudian, Sarah menerima undangan pernikahan. Andi, murid
yang dulu hampir putus sekolah, berhasil menyelesaikan SMA dengan beasiswa dan
sekarang kuliah di Fakultas Pertanian. Di undangan itu tertulis: "Untuk Bu
Sarah, guru yang mengajarkan saya bahwa bermimpi itu tidak harus jauh dari
rumah."
Sarah tersenyum sambil menatap undangan itu. Di pojok meja kerjanya,
foto wisuda pertama SD Negeri Sumber Rejeki terpajang dengan bangga. Tahun itu,
untuk pertama kalinya dalam sejarah sekolah, semua siswa kelas 6 lulus dengan
nilai yang memuaskan.
Jejak kecilnya di tanah merah memang tidak mengubah dunia. Tapi jejak
itu mengubah hidup anak-anak yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk
membuat hidup mereka lebih bermakna, meski tidak harus meninggalkan akar
mereka.
Dan bagi Sarah, itu sudah lebih dari cukup.
"Keberhasilan seorang guru bukanlah diukur dari seberapa tinggi
muridnya terbang, tapi dari seberapa kuat akar yang ditanamkannya."
Selesai.
Comments