Kepala di Pohon Jambu

 

Kepala di Pohon Jambu

Laras sudah tidak tahan lagi dengan kehidupan di Pondok Pesantren Baitul Hikmah. Sudah tiga bulan ia menahan rindu yang mencekik dada, merindukan kebebasan yang dulu pernah dirasakannya di rumah. Setiap hari hanya berputar pada rutinitas yang sama: bangun subuh, shalat berjamaah, mengaji, sekolah, mengaji lagi, dan tidur. Tidak ada televisi, tidak ada musik, tidak ada teman-teman SMA yang dulu sering nongkrong di mal.

Malam ini, tekadnya sudah bulat. Ia akan kabur dari pesantren.

Jam dinding di kamar asrama menunjukkan pukul dua dini hari. Suara dengkuran halus santri-santri lain mengisi kesunyian kamar. Laras berbaring terjaga di kasur tipis, menatap langit-langit yang retak-retak. Hatinya berdebar kencang, antara takut dan semangat. Tas ransel kecil sudah ia siapkan di bawah kasur, berisi baju ganti, uang tabungan, dan handphone yang selama ini disembunyikan.

Aku wis ora kuat, batinnya mantap. Mending mulih ae tinimbang stress ing kene.

Dengan gerakan perlahan, Laras bangkit dari kasur. Kaki telanjangnya menginjak lantai semen yang dingin tanpa bersuara. Teman sekamarnya, Siti, masih terlelap pulas dengan mulut sedikit terbuka. Laras mengambil ransel dari bawah kasur dan menggendongnya di punggung.

Pintu kamar asrama terbuat dari kayu jati yang sudah tua. Laras membukanya milimeter demi milimeter, berharap engsel berkarat itu tidak berbunyi. Syukurlah, pintu terbuka tanpa suara yang berarti. Ia melangkah keluar ke koridor yang gelap gulita.

Koridor asrama putri membentang panjang dengan pintu-pintu kamar di kiri kanan. Lampu sudah dimatikan sejak jam sepuluh malam, hanya cahaya bulan yang menerobos masuk melalui jendela-jendela tinggi. Bayangan-bayangan aneh menari di dinding, tapi Laras sudah terlalu nekad untuk mundur sekarang.

Ia sudah merencanakan rute pelariannya dengan matang. Keluar dari asrama putri, melewati halaman tengah, lalu menuju gerbang belakang pesantren yang biasanya tidak dijaga ketat. Dari sana, ia bisa berjalan kaki ke jalan raya dan naik ojek ke terminal bus.

Pintu keluar asrama putri ternyata terkunci. Laras sudah menduga ini. Ia mengambil jepit rambut dan mencoba membuka kunci pintu seperti yang pernah dilihatnya di film. Setelah berkutat beberapa menit, klik, pintu terbuka.

Halaman pesantren di malam hari terasa sangat luas dan mencekam. Pohon-pohon rindang tampak seperti raksasa hitam yang menjulang tinggi. Angin malam berdesir pelan, membuat daun-daun bergerak dan menimbulkan suara gemerisik yang menyeramkan. Tapi Laras memberanikan diri. Kebebasan sudah di depan mata.

Ia berjalan cepat menyusuri jalanan setapak yang menghubungkan asrama putri dengan gerbang belakang. Rute ini mengharuskannya melewati utara ndalem (rumah kiai), area yang paling angker menurut cerita para santri senior. Konon, di sana sering terlihat penampakan dan terdengar suara-suara aneh.

Ndalem Kiai Hasan adalah bangunan joglo kuno yang sudah berusia lebih dari seratus tahun. Di depannya terdapat halaman luas dengan beberapa pohon jambu biji yang sudah tua dan besar. Cahaya bulan menerangi siluet bangunan joglo dengan atap genteng yang sudah berlumut.

Laras mempercepat langkah ketika memasuki area utara ndalem. Semakin cepat ia melewati tempat ini, semakin baik. Ransel di punggungnya bergoyang-goyang mengikuti irama langkahnya. Hanya tinggal beberapa meter lagi, ia akan sampai di jalan setapak yang menuju gerbang belakang.

Tiba-tiba, suara tertawa terdengar dari atas.

Hahahaha... hahahaha...

Laras berhenti mendadak. Suara itu terdengar jelas, bukan ilusi atau sugesti. Tertawa keras dan terbahak-bahak, tapi ada sesuatu yang tidak wajar dalam nada tawa itu. Sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri dan darah membeku.

Ia mendongak ke atas, mencari sumber suara. Mata sipitnya menyapu dahan-dahan pohon jambu biji yang lebat. Cahaya bulan yang menerobos dedaunan menciptakan permainan terang-gelap yang membingungkan mata.

Hahahaha... hahahaha...

Suara tawa itu semakin keras, seolah menertawakan rencana pelariannya. Laras semakin menajamkan pandangan, jantung berdetak seperti kendang dalam perang.

Dan ia melihatnya.

Di antara dahan pohon jambu biji yang tebal, tersangkut sebuah kepala manusia. Hanya kepala. Tanpa leher, tanpa badan. Kepala seorang laki-laki tua dengan rambut acak-acakan dan mata yang melotot. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan tawa yang menggelegar di kesunyian malam.

Hahahaha... hahahaha... mau kabur ya, Nduk?

Kepala itu berbicara! Mata merah menyala menatap Laras dengan sorot yang mengerikan. Tawa terbahak-bahak itu terus mengalun, bergema di seluruh halaman ndalem.

Laras tidak bisa bergerak. Kakinya seolah tertanam di tanah. Mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Seluruh tubuhnya gemetar hebat, ransel di punggung terasa seperti karung beras.

Hahahaha... kemana mau kabur, Nduk? Pulang ke mama? Hahahaha...

Kepala itu semakin keras tertawa, mata merah menyala semakin terang. Mulutnya terbuka sampai ke telinga, memperlihatkan deretan gigi yang menghitam dan busuk.

"AAAAHHHHH!" Laras akhirnya bisa berteriak. Suara lengkingannya memecah kesunyian malam.

Ia berlari sekencang-kencangnya menuju asrama, meninggalkan ransel yang terjatuh di tengah jalan. Kaki telanjangnya berlari di atas rumput dan batu-batu kecil, tapi ia tidak merasakan sakit. Yang ada hanya ketakutan luar biasa yang memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya.

Hahahaha... hahahaha... lari sana! Hahahaha...

Suara tawa itu mengikutinya sampai ke pintu asrama. Laras menggedor-gedor pintu dengan panik, berharap ada yang mendengar dan membukakan. Tangisnya pecah, antara takut dan frustasi.

"Tolong! Tolong bukain pintu!" teriaknya sambil terus menggedor.

Akhirnya Ustadzah Khodijah membuka pintu dengan wajah bingung dan panik. "Laras! Kamu kenapa? Kok di luar? Jam segini?"

Laras langsung memeluk Ustadzah Khodijah sambil menangis histeris. Tubuhnya gemetar hebat, gigi bergemeletuk seperti kedinginan meski malam itu cukup hangat.

"Ustadzah... aku lihat... aku lihat..." Laras tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Setiap kali ia mencoba bercerita, bayangan kepala tua yang tertawa terbahak-bahak itu muncul di pikirannya.

"Sudah, sudah... tenang dulu. Masuk kamar, kita obrol di dalam." Ustadzah Khodijah menuntun Laras masuk sambil melirik ke arah utara ndalem yang gelap.

Di kamar, Laras menceritakan seluruh kejadian dengan suara bergetar. Rencana kaburnya, perjalanan menuju gerbang belakang, dan penampakan mengerikan di pohon jambu biji. Ustadzah Khodijah mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk paham.

"Itu namanya diingatkan sama yang ada di sini," kata Ustadzah Khodijah setelah Laras selesai bercerita. "Kamu kan berniat kabur. Niatnya nggak baik, jadi diingatkan. Untung cuma diingatkan, nggak diapa-apain."

Laras mengangguk lemah. Ia sudah tidak ada keinginan untuk kabur lagi. Pengalaman mengerikan itu cukup untuk membuatnya trauma seumur hidup.

"Ustadzah, ranselku terjatuh di sana. Gimana dong?"

"Besok pagi kita ambil bareng-bareng. Sekarang istirahat dulu. Banyak-banyak istighfar dan shalat taubat."

Laras mengangguk. Ia berbaring di kasur sambil masih gemetar. Setiap kali mata terpejam, bayangan kepala tua yang tertawa itu muncul. Ia tidak bisa tidur sampai menjelang subuh.

Keesokan harinya, ketika Ustadzah Khodijah dan beberapa santri senior pergi mengambil ransel Laras, mereka menemukan tas itu tergeletak di bawah pohon jambu biji. Anehnya, tas itu dalam kondisi basah kuyup meski malam tadi tidak hujan.

"Ini pertanda kalau kamu memang diingatkan," kata Ustadzah Khodijah sambil menyerahkan ransel yang sudah diperas airnya. "Jangan coba-coba kabur lagi. Nanti yang ditemuin bukan cuma kepala."

Laras bergidik mendengar peringatan itu. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi melewati utara ndalem sendirian, apalagi malam hari. Rencana kabur yang pernah menjadi obsesinya sirna begitu saja, digantikan rasa syukur karena masih bisa selamat.


Cerita tentang kepala di pohon jambu biji menjadi legenda di kalangan santri Pondok Pesantren Baitul Hikmah. Konon, kepala itu adalah penunggu lama yang bertugas menjaga pesantren dari santri-santri yang berniat kabur. Setiap kali ada santri yang melintas dengan niat buruk, kepala itu akan muncul dan menertawakan mereka.

"Pesantren ini dijaga ketat, bukan cuma sama ustadz-ustadz," pesan Kiai Hasan ketika mendengar cerita itu. "Yang gaib juga ikut menjaga. Jadi, niatkan mondok dengan baik. Kalau niatnya nggak baik, yang rugi kalian sendiri."

Sejak saat itu, tidak ada lagi santri yang berani kabur melewati utara ndalem. Mereka lebih memilih mencari jalan lain, atau bahkan mengurungkan niat kabur sama sekali.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi