Langit Mesir di Mata Bunga
Langit Mesir
di Mata Bunga
Shofiatut Thoharoh & Khaera Nisa El Mufida
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Pagi itu, sinar matahari masih
malu-malu menembus tirai jendela rumah kayu yang sederhana. Di dapur, suara
panci bergesekan terdengar pelan. Ida mengaduk bubur dengan tangan kiri,
sementara tangan kanannya sibuk menyiapkan dua kotak bekal kecil.
“Bu, hari ini aku ikut ke pasar, ya?”
suara lembut dari gadis kecil berumur 17 tahun itu terdengar dari balik kamar.
Ia keluar sambil mengenakan jilbab biru laut yang disetrika rapi.
“Bunga, kamu kan libur. Istirahat saja
dulu di rumah, Nak,” kata Ida sambil menuang kuah santan ke dalam mangkuk
kecil.
Bunga tersenyum. “Kalau istirahat
terus, cita-cita ke Mesir cuma jadi mimpi, Bu. Kan Ibu pernah bilang, kita
harus ikut bantu kalau mau mimpi kita tercapai.”
Ida menghentikan gerakannya dan
menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu memang anak Ibu yang paling
hebat,” katanya lirih.
Di ruang depan, Yoga—suami Ida, dan
ayah Bunga—sedang mengenakan jaket tipis dan sepatu bot butut yang sudah mulai
aus. Ia menghampiri dua perempuan paling ia cintai di dunia.
“Assalamualaikum... Abi berangkat
dulu, ya.”
“Waalaikumsalam,” sahut Ida dan Bunga
bersamaan.
Yoga mendekat dan mencium tangan Ida,
lalu mengusap kepala Bunga.
“Abi,” panggil Bunga cepat, “doain
Bunga bisa bantu jualan hari ini, ya?”
Yoga tertawa pelan. “Abi doain kamu
bisa jadi penjual es buah paling laris di pasar!” Ia menoleh ke Ida, “Kalau
nanti ramai pembeli, jangan lupa istirahat. Jangan sampai badan kamu tumbang.”
Ida mengangguk sambil tersenyum. Tapi
Yoga tahu, senyum itu sedang menyembunyikan lelah yang nyaris tidak pernah
berhenti sejak mimpi itu mereka bangun: menguliahkan Bunga ke Mesir.
……….
Tak sampai dua puluh menit setelah
Yoga pergi, Ida dan Bunga bersiap mendorong gerobak kecil berisi dua ember es
buah segar—potongan semangka, melon, nangka, dan cincau, semua mengambang dalam
susu dan sirup yang harum.
Baru berjalan sekitar seratus meter,
mereka melihat kerumunan di pertigaan.
“Lho, ada apa itu, Bu?” tanya Bunga
sambil mempercepat langkah.
Dari kejauhan, samar-samar terdengar
suara orang berteriak. Lalu ada ambulans yang melintas cepat, lampu merahnya
berkedip-kedip menembus debu pagi.
“Mungkin kecelakaan,” kata Ida pelan.
Mereka mendekat. Seorang lelaki paruh
baya berdiri sambil menunjuk ke arah jalan.
“Baru aja, Pak. Katanya kuli bangunan.
Tabrak truk. Meninggal di tempat.”
Ida menghentikan langkahnya.
“Bangunan?” gumamnya lirih.
Tubuhnya mulai gemetar.
“Namanya... Yoga, katanya...”
Gerobak jatuh dari tangan Ida. Ember
es buah terguling, buah-buahan tumpah ke jalan. Bunga menahan tubuh ibunya yang
limbung.
“Bu! Ibu kenapa?” Bunga panik.
Tapi Ida hanya menunjuk ke arah depan.
Suaranya tercekat. Bibirnya gemetar.
“Bunga... itu... Abi kamu...”
Bunga menatap ke tengah kerumunan. Dan
dunia seolah berhenti.
Ayahnya terbaring diam di jalan.
Matanya terpejam, wajahnya teduh seperti sedang tidur di sela waktu Zuhur. Tapi
kali ini... tidak akan ada bangun untuk salat Ashar.
……….
Setelah pemakaman yang sederhana namun
dipenuhi air mata dan doa, hari-hari terasa sepi. Rumah mereka menjadi lebih
sunyi. Tak ada lagi suara paku, tidak ada lagi aroma semen dari pakaian Yoga.
Namun hidup tetap berjalan. Tabungan
untuk kuliah Bunga baru separuh dari yang dibutuhkan. Ida menolak menyerah.
“Bunga, bantu Ibu, ya. Kita lanjutkan
perjuangan Abi.”
Dan Bunga mengangguk. Setiap pagi
mereka berangkat bersama. Es buah itu tak hanya dagangan, tapi warisan semangat
dari ayah yang telah pergi.
“Ibu,” kata Bunga suatu hari di pasar,
“kalau nanti aku sampai ke Mesir, aku akan hafalin Qur’an sebanyak-banyaknya.
Aku mau doain Abi dari tanah para ulama.”
Ida memeluk putrinya erat-erat.
“Aamiin, Nak... Insya Allah.”
……….
Suatu hari, hujan mengguyur pasar. Ida
pulang lebih cepat karena merasa demam. Bunga menyusul dengan memayungi
gerobak.
Tapi saat sampai di perempatan,
seorang tetangga berlari menghampirinya.
“Bunga! Cepat ke jalan besar! Ibumu
jatuh! Kepeleset dan kepalanya terbentur!”
Jalan terasa berputar.
Bunga lari sekuat tenaga. Sampai di
sana, ia melihat ibunya digotong warga, dengan wajah pucat dan mata yang
terpejam.
……….
Dua minggu di rumah sakit. Hasilnya
jelas: Ida harus dirawat jangka panjang. Tulang
punggungnya cedera. Ia bisa pulih, tapi tidak dalam waktu cepat. Dan tentu,
butuh biaya.
Di sudut kamar rumah sakit yang sunyi,
Bunga membuka toples kecil berisi uang. Ia hitung lembar demi lembar. Jumlahnya
cukup untuk tiket, visa, dan tahun pertama kuliah di Al-Azhar, Mesir.
Tapi tidak cukup untuk kuliah dan perawatan Ibu.
Malam itu, saat azan Isya terdengar,
Bunga menatap wajah ibunya yang sedang tertidur. Ia duduk di sejadah, memeluk
Al-Qur’an, dan berbisik dalam doa.
“Ya Allah... aku tahu Engkau tak
pernah membebani hamba-Mu melebihi kemampuannya. Kalau Engkau tak izinkan aku
ke Mesir sekarang, izinkan aku merawat surga yang Kau letakkan di depanku... di
bawah telapak kaki Ibu.”
……….
Bertahun-tahun berlalu. Bunga tidak
pernah kuliah ke Mesir. Tapi ia membangun langgar kecil di samping rumahnya. Ia
ajarkan anak-anak mengaji, menulis Arab, dan mencintai Qur’an seperti yang
selalu ia impikan.
Setiap hari, ia menyuapi ibunya dengan
sabar. Dan setiap malam, ia menatap langit sambil berkata dalam hati:
“Abi, Bunga
belum sampai ke Mesir. Tapi Bunga yakin... Abi bahagia di sana, melihat kita
masih menjaga mimpi ini. Dalam bentuk yang lain.”
……….
"Kadang
Allah tidak memberi apa yang kita mau, karena Dia tahu yang kita butuhkan lebih
besar dari itu: keberkahan, kesabaran, dan cinta yang tak lekang waktu."
Selesai.
Comments