Langkah Sing Ngetutake
Langkah Sing Ngetutake
Jam dinding di kantor pesantren menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ustad Ridwan bangkit dari kursinya, menutup kitab Tafsir Ibnu Katsir yang sedang dibaca. Sudah waktunya ronda malam—rutinitas yang sudah dijalaninya selama lima tahun menjadi pengurus di Pondok Pesantren Daarut Taqwa.
Dia mengambil senter dari laci meja dan menyelempangkan kunci kamar-kamar asrama. Angin malam bertiup sejuk, membuat dedaunan rimbun di halaman pesantren berdesir lembut. Suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan, menciptakan simfoni malam yang familiar di telinganya.
"Bismillah," gumamnya pelan, memulai perjalanan keliling asrama.
Ridwan memulai dari asrama putra bagian timur. Langkahnya pelan tapi pasti, sandal jepit berbunyi kecit-kecit di atas lantai keramik yang agak licin karena embun. Senter kecilnya menyorot ke setiap sudut, memastikan tidak ada santri yang masih berkeliaran.
Kamar pertama—pintunya terbuka sedikit. Ridwan mengintip ke dalam. Lima santri tidur berjejer di atas kasur tipis, napas mereka teratur dalam mimpi. Ada yang mendengkur halus, ada yang bergumam kecil. Ridwan tersenyum, lalu melanjutkan ke kamar berikutnya.
Tap... tap... tap...
Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Ridwan berhenti sejenak, mendengarkan. Mungkin ada santri yang terbangun dan ke kamar mandi, pikirnya. Dia melanjutkan putaran.
Kamar kedua, ketiga, keempat—semuanya tenang. Para santri tidur nyenyak setelah seharian mengaji dan belajar. Ridwan merasa puas. Kedisiplinan pesantren memang sudah terbentuk dengan baik.
Tap... tap... tap...
Lagi. Suara langkah itu terdengar lagi, persis mengikuti ritme jalannya. Ridwan berhenti mendadak—suara itu ikut berhenti. Dia melangkah lagi—suara itu ikut berjalan.
Bulu kuduknya sedikit meremang. Ridwan menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak melihat siapa-siapa. Lorong asrama sepi, hanya diterangi cahaya senternya yang redup.
"Mungkin gema langkahku sendiri," bisiknya menenangkan diri.
Dia berbelok ke asrama putra bagian barat. Koridor yang lebih panjang, dengan enam kamar yang berjejer rapi. Ridwan memeriksa satu per satu, membuka pintu perlahan agar tidak membangunkan penghuni.
Tap... tap... tap...
Kali ini suaranya lebih jelas. Seperti sandal jepit yang menghentak lantai, persis seperti suara yang dia buat. Tapi anehnya, suara itu selalu tertinggal sedikit—seperti ada yang meniru langkahnya dengan jeda sepersekian detik.
Ridwan menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi dahinya meski udara malam cukup sejuk. Dia memaksakan diri tetap tenang—mungkin hanya perasaan saja. Terlalu banyak membaca kisah-kisah mistis dalam kitab-kitab klasik.
Di kamar kelima, Ridwan menemukan seorang santri yang tidur gelisah. Anak itu mengerang kecil, seperti bermimpi buruk. Ridwan mendekati kasur dan menyentuh dahi bocah itu lembut.
"Laa hawla wa laa quwwata illa billah," bisiknya, membacakan doa.
Santri itu langsung tenang, napasnya kembali teratur. Ridwan tersenyum, merasa melakukan sesuatu yang baik.
Tap... tap... tap...
Suara langkah itu masih ada. Bahkan ketika Ridwan diam di dalam kamar, suara itu berhenti di depan pintu. Seperti ada yang menunggu di luar.
Ridwan memberanikan diri melangkah keluar. Koridor kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara derit lantai di ujung lorong membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
"Sapa sing ana kana?" tanya Ridwan dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban. Hanya angin yang mendesir masuk melalui jendela terbuka.
Ridwan melanjutkan ke asrama putri. Jarak antara asrama putra dan putri dipisahkan halaman kecil dengan jalan setapak. Ketika melintasi halaman, dia merasakan ada bayangan yang bergerak di samping bayangan tubuhnya sendiri.
Tap... tap... tap...
Suara langkah itu masih setia mengikuti. Kali ini Ridwan mendengar lebih jelas—seperti ada dua pasang kaki yang berjalan bersamaan. Langkahnya dan langkah yang lain.
"Astaghfirullah," bisik Ridwan, mempercepat langkah.
Di asrama putri, suasana lebih tenang. Santri-santri putri memang lebih tertib, pikirnya. Ridwan memeriksa kamar demi kamar dengan lebih cepat. Dia ingin segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke kantor.
Tap... tap... tap...
Suara itu masih ada. Bahkan sekarang Ridwan bisa merasakan ada hembusan napas di tengkuknya. Dingin. Seperti ada yang berdiri sangat dekat di belakangnya.
Ridwan menggigil. Tangannya yang memegang senter mulai bergetar. Cahaya senter bergoyang tidak karuan, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan di dinding.
"Sapa kowe?" tanyanya pelan, masih tidak berani menoleh.
Hembusan napas di tengkuknya semakin terasa. Dingin dan lembap, seperti napas orang yang sudah lama tidak bernapas.
Di kamar terakhir, Ridwan menemukan pemandangan yang membuatnya terpaku. Seorang santri putri duduk di ujung kasur, memunggunginya. Rambut panjangnya terurai, kerudung putih menutupi pundak.
"Mbak, belum tidur?" tanya Ridwan hati-hati.
Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya duduk diam, tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
"Mbak?" Ridwan melangkah lebih dekat.
Tap... tap... tap...
Suara langkah pengikut itu berhenti tepat di depan pintu kamar. Ridwan merasakan kehadiran yang sangat kuat di belakangnya, tapi dia tidak berani menoleh.
"Mbak, kok nggak jawab?" Ridwan menyentuh pundak gadis itu.
Dingin. Sangat dingin.
Gadis itu perlahan-lahan menoleh. Wajahnya pucat pasi, mata kosong menatap Ridwan. Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti berbisik sesuatu.
Ridwan mundur selangkah. Jantungnya berdebar sangat kencang. "Mbak... mbak siapa?"
Gadis itu berdiri. Gerakannya aneh, seperti boneka yang dikendalikan tali. Dia melangkah mendekati Ridwan dengan kaki yang tidak menyentuh lantai.
Tap... tap... tap...
Suara langkah di belakang Ridwan semakin keras. Sekarang dia yakin—ada dua sosok yang mengepungnya. Satu di depan, satu di belakang.
"Astaghfirullah... Astaghfirullah..." Ridwan membaca istighfar berulang-ulang.
Gadis itu semakin dekat. Wajahnya masih pucat, tapi sekarang dia tersenyum. Senyum yang tidak wajar, terlalu lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang hitam.
"Ustadz..." bisiknya dengan suara yang seperti angin. "Ustadz yang baik... selalu menjaga kami..."
Ridwan tidak tahan lagi. Dia berbalik hendak lari—dan berhadapan dengan sosok yang selama ini mengikutinya.
Seorang santri putra dengan wajah hancur, mata keluar dari rongganya, mulut menganga lebar. Baju putihnya compang-camping dan berlumuran sesuatu yang gelap.
"Ustadz... kenapa lari?" sosok itu tersenyum mengerikan. "Kami kan hanya ingin ditemani..."
Ridwan berteriak. Dia mendorong sosok itu dan berlari sekencang-kencangnya keluar dari asrama. Senter jatuh dari tangannya, berguling-guling di lantai sambil mengeluarkan cahaya yang berkedip-kedip.
Tap... tap... tap...
Suara langkah itu mengejarnya. Tidak hanya satu, tapi banyak. Puluhan langkah yang berbeda-beda, tapi semuanya mengejarnya dengan kecepatan yang sama.
Ridwan berlari melintasi halaman, melewati masjid, menuju kantor. Dia tidak berani menoleh ke belakang, tapi bisa merasakan ada banyak sosok yang mengikutinya.
Sesampainya di kantor, Ridwan membanting pintu dan menguncinya dari dalam. Dia bersandar di dinding, napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran.
Tok... tok... tok...
Ketukan di pintu. Pelan tapi terus-menerus.
"Ustadz..." suara dari luar terdengar lirih. "Ustadz... buka pintunya..."
"Kami rindu Ustadz..."
"Ustadz yang baik... yang selalu menjaga kami..."
Ridwan menutup telinga. Suara-suara itu datang dari berbagai arah—dari pintu, dari jendela, dari langit-langit.
Dia meraih Al-Quran di meja dan membacanya dengan suara keras, berharap suara-suara itu pergi. Tapi ketukan di pintu semakin keras, semakin banyak.
"Ustadz... kenapa takut sama kami?"
"Kami kan santri Ustadz..."
"Ustadz yang baik... yang selalu menjaga kami waktu hidup..."
Ridwan terdiam. Waktu hidup?
Dia teringat sesuatu. Lima tahun lalu, ketika baru menjadi pengurus di pesantren ini. Ada kebakaran besar di asrama. Puluhan santri terjebak dalam api. Dia berusaha menyelamatkan mereka, tapi tidak semua berhasil diselamatkan.
Beberapa santri tewas terbakar di kamar-kamar yang sudah dia periksa malam itu. Mereka pasti para jin yang menjelma dengan sosok santri-santri itu.
"Kami... kami berterima kasih sama Ustadz," suara dari luar semakin jelas. "Ustadz sudah berusaha menyelamatkan kami..."
"Tapi kami kesepian, Ustadz..."
"Kami ingin Ustadz tetap menjaga kami..."
"Seperti dulu..."
Ridwan menangis. Dia teringat wajah-wajah santri yang tidak berhasil diselamatkannya. Anak-anak yang tewas karena kelalaiannya tidak memeriksa instalasi listrik yang rusak.
"Maafkan saya..." bisiknya. "Maafkan saya..."
Ketukan di pintu berhenti. Seketika sunyi.
"Ustadz..." suara itu berbisik lembut. "Kami tidak marah sama Ustadz..."
"Kami sayang sama Ustadz..."
"Tapi kami ingin Ustadz ikut bersama kami..."
"Jaga kami seperti dulu..."
"Selamanya..."
Pintu kantor terbuka perlahan-lahan meski sudah dikunci. Sosok-sosok itu masuk satu per satu—santri-santri yang sudah lama mati, dengan wajah hangus dan mata kosong.
Mereka mengelilingi Ridwan yang duduk terpaku di sudut ruangan.
"Ustadz... sekarang giliran kami yang menjaga Ustadz..."
Ridwan menutup mata. "Laa hawla wa laa quwwata illa billah..."
Keesokan harinya, pengurus pesantren yang lain menemukan Ridwan tergeletak di lantai kantor. Matanya terbuka lebar, wajahnya pucat, tapi tidak ada luka di tubuhnya.
Dokter bilang dia meninggal karena serangan jantung.
Tapi sejak itu, setiap malam, pengurus yang bertugas ronda selalu mendengar suara langkah kaki yang mengikuti mereka. Langkah sosok menyerupai Ridwan—dan langkah-langkah lain yang menemaninya, menjaga pesantren untuk selamanya.
Tap... tap... tap...
Catatan: Dalam bahasa Jawa, "langkah sing ngetutake" berarti langkah yang mengikuti, "sapa sing ana kana" berarti siapa yang ada di sana, "sapa kowe" berarti siapa kamu.

Comments