Lari Malam yang Panjang
Lari Malam yang Panjang
Rifqi menggeliat di atas tikar pandan yang sudah lusuh, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Sudah hampir dua minggu ia mondok di Pesantren Al-Barokah, tapi rasanya seperti hidup di planet yang berbeda. Suasana asrama yang ramai, jadwal yang ketat, dan lingkungan yang masih asing membuatnya sulit beradaptasi.
"Aduh, kapan sih bisa tidur nyenyak," gerutunya dalam hati sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua dini hari.
Di sebelahnya, santri-santri lain sudah terlelap dengan dengkuran yang bersahut-sahutan. Ada yang mendengkur halus, ada yang seperti gergaji memotong kayu. Suara-suara itu justru semakin membuat Rifqi gelisah dan tidak bisa memejamkan mata.
Ia teringat rumahnya di Magelang, kamar pribadi yang sunyi, kasur empuk dengan sprei bergambar kartun kesukaannya. Sekarang ia harus berbagi ruangan dengan 20 santri lain, tidur di atas tikar tipis dengan bantal kapuk yang sudah kempes.
"Wis lah, daripada gelisah terus, mending ke mushola aja," bisiknya sambil bangkit pelan-pelan, berusaha tidak membangunkan teman sekamarnya.
Rifqi mengambil sarung yang tergantung di paku dinding, kemudian berjalan mengendap-endap keluar asrama. Malam itu udara cukup sejuk, angin bertiup pelan menggerakkan dedaunan pohon mangga tua di halaman pesantren. Suara jangkrik dan katak sawah dari jauh menciptakan simfoni malam yang menenangkan.
Mushola pesantren terletak tidak jauh dari asrama, bangunan sederhana dengan lantai keramik putih yang selalu bersih. Rifqi sering ke sana saat merasa homesick, karena suasananya yang tenang membuatnya bisa merenung dan mengingat rumah.
Ia masuk ke mushola dan menggelar sarungnya di pojok dekat mihrab. Lampu neon yang redup memberikan cahaya yang cukup untuk melihat, tapi tidak terlalu terang hingga mengganggu mata. Rifqi berbaring dengan tangan dijadikan bantal, menatap langit-langit mushola yang polos.
"Ya Allah, kapan aku bisa betah di sini ya," gumamnya sambil menarik nafas panjang.
Pikiran Rifqi melayang ke masa-masa di rumah. Ibunya yang selalu menyiapkan makanan kesukaan, ayahnya yang setiap malam menemaninya belajar, adiknya yang cerewet tapi lucu. Semuanya terasa begitu jauh sekarang.
Suara tokek dari atap mushola memecah keheningan malam. Tokek-tokek-tokek, demikian bunyinya berulang-ulang. Rifqi menghitung bunyi tokek itu sambil berharap bisa membuatnya mengantuk.
Tapi ketika ia menghitung bunyi tokek yang ketujuh, tiba-tiba saja suasana mushola berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan ada perasaan aneh yang menyelimuti ruangan. Seperti ada yang sedang memperhatikannya dari sudut yang tidak terlihat.
Rifqi mencoba mengabaikan perasaan itu, menganggapnya hanya sugesti karena terlalu lama sendirian di malam hari. Ia menutup mata dan berusaha tidur, tapi perasaan was-was itu semakin kuat.
Tiba-tiba, ia merasakan ada bayangan besar yang menghalangi cahaya lampu. Refleks, Rifqi membuka mata dan...
"ASTAGA!"
Di hadapannya berdiri sosok raksasa yang tingginya menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit mushola. Kepalanya yang besar harus menunduk karena tidak muat dengan tinggi ruangan. Tubuhnya hitam legam, dan wajahnya... ya ampun, wajahnya kosong tanpa ekspresi, mata yang melotot menatap Rifqi tanpa berkedip.
Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap dengan pandangan kosong yang membuat bulu kuduk Rifqi berdiri. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, tapi kehadirannya saja sudah cukup membuat Rifqi merasa seperti terkena santet.
"MBAUREKSO!" teriak Rifqi ketakutan sambil melompat dari posisi tidurnya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari keluar mushola dengan sarung yang masih melilit di pinggang. Kakinya berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan sandal jepit yang tertinggal di mushola.
"TULUNG! TULUNG!" teriaknya sambil berlari melewati halaman pesantren yang gelap.
Rifqi tidak berani menoleh ke belakang, takut sosok raksasa itu mengikutinya. Ia terus berlari melewati gerbang pesantren, keluar ke jalan desa yang sepi. Kakinya yang tidak memakai alas terasa perih ketika menginjak kerikil dan aspal kasar, tapi rasa takut lebih besar dari rasa sakit.
"Harus pulang... harus pulang ke rumah!" gumamnya sambil terus berlari.
Jalan dari pesantren ke rumahnya di Magelang memang sekitar 40 kilometer, biasanya ditempuh dengan naik bus atau ojek. Tapi malam itu, dalam keadaan panik dan ketakutan, Rifqi nekad berlari kaki menuju rumah.
Ia berlari melewati sawah-sawah yang gelap, melewati perkampungan yang sudah tidur, melewati hutan kecil yang menyeramkan. Setiap kali ada suara aneh, ia semakin mempercepat lari. Setiap kali ada bayangan yang bergerak, jantungnya berdegup semakin kencang.
"Sing sabar... sing sabar," bisiknya pada diri sendiri sambil terus berlari. "Insya Allah sampai rumah."
Kilometer demi kilometer ia tempuh dengan kaki telanjang. Telapak kakinya sudah berdarah, nafasnya sudah tersengal-sengal, tapi semangat untuk sampai rumah membuatnya tidak menyerah. Kadang ia berlari, kadang jogging pelan, kadang jalan cepat ketika sudah tidak kuat lagi.
Matahari mulai terbit ketika Rifqi akhirnya melihat gapura masuk kampungnya. Kakinya sudah gemetar, baju koko putihnya sudah kotor dan basah keringat, sarungnya sudah compang-camping. Tapi hatinya lega luar biasa.
"Alhamdulillah... sampai juga," gumamnya sambil menyeret kaki menuju rumahnya.
Ketika sampai di depan rumah, Rifqi langsung menggedor pintu dengan sisa tenaga yang ia miliki.
"Bu! Pak! Buka pintunya! Aku pulang!"
Suara ibunya dari dalam rumah, "Lho, suara siapa itu? Kok kayak suara Rifqi?"
Pintu terbuka, dan ibunya terkejut melihat penampilan Rifqi yang kusut masai dan kaki berdarah.
"Lha, Rifqi! Piye iki? Kok bisa ada di sini? Kan kamu lagi mondok?"
Rifqi langsung memeluk ibunya sambil menangis. "Bu, aku nggak mau mondok lagi. Aku ketemu hantu gedhe di pesantren. Aku takut, Bu."
Ayahnya yang mendengar keributan juga keluar kamar. Melihat kondisi anaknya, ia langsung paham kalau ada sesuatu yang tidak beres.
"Ayo masuk dulu, Le. Ceritakan pelan-pelan," kata ayahnya sambil membantu Rifqi masuk ke rumah.
Setelah mandi dan ganti baju, Rifqi menceritakan pengalamannya di mushola pesantren. Ibunya mendengarkan sambil mengobati luka di kaki Rifqi, sedangkan ayahnya mengangguk-angguk serius.
"Subhanallah, kamu lari 40 kilometer? Dalam satu malam?" tanya ibunya tidak percaya.
"Iya Bu. Aku nggak berani naik kendaraan. Takut hantunya ikut," jawab Rifqi sambil merinding mengingat sosok raksasa itu.
Ayahnya terdiam sejenak, kemudian berkata, "Le, mungkin itu ujian. Di tempat-tempat suci seperti pesantren, kadang ada hal-hal yang tidak kasat mata. Tapi insya Allah mereka tidak akan mengganggu orang yang ikhlas belajar agama."
"Tapi aku takut, Pak. Hantunya gedhe banget, kayak raksasa."
"Ya sudah, untuk sementara kamu istirahat di rumah dulu. Nanti Bapak akan bicara dengan pengasuh pesantren. Mungkin ada yang perlu dijelaskan tentang tempat itu."
Rifqi mengangguk lega. Setidaknya untuk beberapa hari ini ia bisa tidur nyenyak di kamarnya sendiri, jauh dari sosok raksasa yang menyeramkan itu.
Tapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa suatu saat ia harus kembali menghadapi ketakutannya. Karena menuntut ilmu agama adalah kewajiban, meski harus berhadapan dengan hal-hal yang tidak kasat mata.
Sore harinya, setelah isya, Rifqi sholat istikharah meminta petunjuk Allah. Ia berdoa agar diberi kekuatan untuk melanjutkan pendidikan di pesantren, atau diberi jalan lain yang lebih baik.
"Ya Allah, berilah hamba kekuatan untuk menghadapi segala ujian dalam menuntut ilmu-Mu," bisiknya dalam sujud yang panjang.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam dua minggu terakhir, Rifqi bisa tidur dengan nyenyak dan tenang di tempat tidurnya sendiri, meski dalam mimpinya ia masih sesekali melihat bayangan sosok raksasa yang menatapnya tanpa ekspresi.
Wallahu a'lam bishawab.
Comments