Madu untuk Yang Tak Terlihat
Madu untuk Yang Tak Terlihat
Pak Harto mengayuh sepeda ontelnya dengan perlahan memasuki gang sempit yang menuju ke sebuah pesantren tua. Dua jerigen plastik berisi madu murni bergantung di kiri-kanan sepedanya, bergoyang-goyang mengikuti irama kayuhan yang pelan namun mantap. Sudah puluhan tahun ia berkeliling kampung menjajakan madu hasil ternak lebah miliknya sendiri.
Siang itu terik matahari cukup menyengat, membuat keringat mengucur dari pelipisnya. Ia sempat ragu untuk masuk ke pesantren yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya, tapi dorongan rezeki membuatnya nekat mencoba peruntungan.
"Lha, kok sepi banget ya?" gumamnya dalam hati sambil memperhatikan suasana pesantren yang sunyi senyap.
Gerbang pesantren terbuka lebar, terbuat dari kayu jati tua yang sudah berwarna kehitaman. Di atas gerbang terpasang papan nama "Pondok Pesantren An-Nur" dengan tulisan Arab dan Latin yang sudah memudar dimakan waktu. Tidak ada penjaga di pos, bahkan tidak terlihat satu orang pun di area depan.
Pak Harto turun dari sepedanya dan mendorong pelan kendaraannya masuk ke halaman pesantren. Matanya menyapu ke segala penjuru, mencari tanda-tanda kehidupan. Bangunan-bangunan pesantren tampak kokoh meski kuno, dengan arsitektur Jawa klasik yang masih terjaga.
"Assalamu'alaikum!" serunya cukup keras, berharap ada yang mendengar.
Tidak ada jawaban.
Ia melanjutkan langkah, mendorong sepedanya menuju area yang sepertinya asrama santri. Di serambi sebuah bangunan panjang, ia melihat seorang santri duduk bersila sambil membaca kitab kuning. Pemuda itu mengenakan sarung batik dan peci hitam, terlihat khusyuk dalam bacaannya.
"Mas, mas," panggil Pak Harto sambil menghampiri. "Mau beli madu nggak? Madu asli lho, dari lebah hutan."
Santri itu tidak mengangkat kepala, masih terfokus pada kitabnya. Pak Harto mengira mungkin pemuda itu terlalu khusyuk membaca, jadi ia mencoba lagi dengan suara yang lebih keras.
"Mas santri, mau beli madu? Bagus untuk kesehatan, untuk sunnah Rasul juga."
Tetap tidak ada respon. Bahkan mata santri itu tidak berkedip sedikitpun, seolah Pak Harto tidak ada di sana.
Merasa aneh, Pak Harto melanjutkan perjalanannya ke bagian lain pesantren. Di dekat sumur tua, ia melihat beberapa santri sedang berwudhu. Mereka bergerak dengan tenang, membasuh anggota wudhu mereka satu per satu.
"Selamat siang, santri-santri," sapa Pak Harto sambil menghampiri. "Ada yang mau beli madu? Harga teman kok."
Para santri itu terus berwudhu tanpa menoleh. Tidak ada yang merespon sapaan Pak Harto. Bahkan ketika ia berdiri tepat di samping mereka, mereka tetap melanjutkan aktivitas mereka seolah tidak melihatnya.
"Lho kok pada nggak jawab ya?" bisik Pak Harto bingung.
Ia mencoba mendekati salah satu santri yang sedang membasuh muka. "Mas, mas," panggilnya sambil sedikit menyentuh bahu santri itu.
Tangan Pak Harto menembus begitu saja, seolah menyentuh udara kosong. Ia tersentak mundur, jantungnya berdegup kencang.
"Piye iki?" gumamnya ketakutan, tapi tetap berusaha tenang.
Dengan langkah yang mulai tergesa, Pak Harto mendorong sepedanya menuju area masjid pesantren. Di sana ia melihat puluhan santri sedang duduk melingkar, sepertinya sedang halaqah atau pengajian. Seorang ustadz tua dengan jubah putih dan imamah sedang berbicara di tengah lingkaran.
"Bapak Ustadz," panggil Pak Harto sambil menghampiri. "Maaf mengganggu, saya pedagang madu. Barangkali Bapak dan santri-santri berkenan membeli?"
Ustadz itu terus berbicara tanpa menoleh. Para santri mendengarkan dengan khusyuk, sesekali mengangguk atau menggeleng mengikuti penjelasan sang ustadz. Tidak satu pun dari mereka yang memperhatikan kehadiran Pak Harto.
Keringat dingin mulai membasahi punggung Pak Harto. Ada yang tidak beres di pesantren ini. Semua orang seolah tidak bisa melihat atau mendengarnya. Ia merasa seperti hantu yang mengembara tanpa tujuan.
"Ya Allah, piye iki?" bisiknya sambil istighfar.
Dengan perasaan was-was, Pak Harto mempercepat langkahnya menuju pintu keluar pesantren. Di sepanjang jalan, ia masih melihat berbagai aktivitas pesantren berjalan normal. Ada santri yang sedang menyapu halaman, ada yang menggantung cucian, ada yang mengaji sendiri di bawah pohon trembesi tua.
Tapi tidak satu pun dari mereka yang merespon kehadirannya.
Semakin lama, Pak Harto semakin merasa tidak nyaman. Udara di pesantren terasa dingin meski matahari masih terik. Ada aroma kemenyan dan bunga melati yang samar-samar tercium, seperti aroma yang biasa ada di upacara tahlilan.
Akhirnya ia sampai di gerbang pesantren. Dengan tergesa-gesa, ia naik ke sepedanya dan mulai mengayuh keluar dari area pesantren. Jantungnya masih berdegup kencang, keringat dingin masih membasahi sekujur tubuhnya.
Setelah mengayuh sekitar seratus meter dari gerbang, rasa penasaran membuatnya menoleh ke belakang untuk melihat pesantren yang baru saja ia tinggalkan.
Nafasnya tercekat.
Yang ia lihat bukan lagi bangunan pesantren dengan santri-santri yang beraktivitas. Yang terbentang di hadapannya adalah sebuah areal pekuburan tua dengan puluhan nisan batu yang sudah berlumut. Pohon-pohon besar menjulang di antara makam, menciptakan bayangan yang kelam meski hari masih siang.
Di tempat yang tadi ia lihat sebagai masjid, kini hanya ada makam besar dengan nisan yang lebih tinggi dari yang lain. Di area yang tadi seperti asrama santri, kini deretan makam kecil tersusun rapi. Tidak ada satupun bangunan pesantren yang ia lihat tadi.
"Astaga..." bisik Pak Harto dengan suara bergetar.
Ia segera mengayuh sepedanya secepat mungkin, meninggalkan area itu tanpa menoleh lagi. Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya berkecamuk. Apa yang baru saja ia alami? Siapa orang-orang yang tadi ia lihat di pesantren?
Sampai di rumah, Pak Harto langsung menceritakan pengalamannya kepada istri. Perempuan paruh baya itu mendengarkan dengan serius, sesekali bergidik ngeri.
"Pak, coba besok Bapak tanya ke tetangga. Siapa tahu mereka tahu sejarah tempat itu," saran istrinya.
Keesokan harinya, Pak Harto mendatangi rumah Pak RT yang sudah tua dan lama tinggal di daerah itu. Setelah menceritakan pengalamannya, wajah Pak RT berubah pucat.
"Lho Pak Harto, sampeyan ke kuburan pesantren An-Nur? Itu pesantren kuno yang sudah hancur puluhan tahun lalu," kata Pak RT dengan nada takjub.
"Maksudnya bagaimana, Pak?"
"Pesantren An-Nur itu pesantren bersejarah, Pak. Tapi sekitar 40 tahun lalu, ada wabah penyakit aneh yang menyerang. Dalam waktu seminggu, hampir semua santri dan ustadz meninggal. Yang tersisa hanya kuburan mereka."
Pak Harto merasa bulu kuduknya berdiri. "Tapi saya lihat pesantrennya masih utuh, Pak. Bahkan masih ada kegiatan ngaji."
Pak RT menggeleng pelan. "Konon, arwah para santri dan ustadz itu masih betah di tempat yang dulu mereka gunakan untuk menuntut ilmu. Mereka tetap menjalankan rutinitas seperti saat masih hidup. Cuma... mereka sudah di alam lain."
"Pantas saja tidak ada yang merespon saya," gumam Pak Harto.
"Syukurlah sampeyan selamat, Pak. Biasanya orang yang nyasar ke sana... ya susah keluar lagi."
Malam itu, Pak Harto sholat tahajud lebih lama dari biasanya. Ia bersyukur kepada Allah karena diberi kesempatan untuk keluar dari tempat itu dengan selamat. Ia juga mendoakan arwah para santri dan ustadz di pesantren An-Nur, semoga mereka mendapat tempat terbaik di sisi Allah.
Sejak kejadian itu, Pak Harto tidak pernah lagi melewati jalan menuju kuburan pesantren An-Nur. Setiap kali ada yang menawarkan jalan pintas ke arah sana, ia selalu menolak dan memilih jalan yang lebih jauh.
Dan setiap kali ia menjual madu, ia selalu menyisihkan sedikit untuk disedekahkan, dengan niat khusus untuk arwah para penuntut ilmu yang masih setia dengan rutinitas ngaji mereka, meski sudah di alam yang berbeda.
Wallahu a'lam bishawab.
Comments