Ngobrol Karo Bayang-Bayang


 

Ngobrol Karo Bayang-Bayang

Senja itu, langit di atas Pondok Pesantren Al-Hidayah berwarna jingga kekuningan. Zahra duduk menyendiri di ujung teras asrama, memandangi anak-anak kecil yang berlarian mengejar ayam kampung. Sudah tiga minggu dia tinggal di sini, tapi hatinya masih terasa asing. Seperti daun yang terjatuh di tengah kolam—mengapung tanpa akar.

"Kok rame banget ya mbak-mbak itu," gumamnya pelan, merujuk pada santri senior yang sedang berkumpul sambil ngaji kitab kuning.

"Kamu kenapa sih, Nduk? Kok kayak wong lagi nandhang sedhih terus?"

Zahra menoleh ke kiri. Seorang santri senior dengan kerudung putih bersih duduk di sampingnya. Wajahnya teduh, seperti bulan purnama yang muncul di sela-sela awan. Zahra belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Eh, mbak siapa ya? Aku baru kenal..."

"Namaku Sari. Udah lama di sini. Kamu Zahra kan? Yang dari Surabaya?"

Zahra mengangguk kagum. "Kok mbak tau namaku?"

"Ya iyalah, wong aku sering ndelok kamu menyendiri terus. Kayak anak ayam sing ilang induke." Sari tersenyum hangat. "Kenapa sih, ora betah?"

Zahra menghela napas panjang. "Bukan nggak betah, mbak. Cuma... beda banget sama rumah. Di sini aku nggak punya kanca. Yang lain udah punya gank masing-masing."

"Lho, kan saiki wis ana aku. Aku dadi kancamu, yak?"

Entah kenapa, kata-kata Sari terasa menenangkan. Zahra tersenyum untuk pertama kalinya sejak tiba di pesantren. "Iya mbak, makasih ya."

Sejak hari itu, Sari selalu muncul di saat-saat Zahra merasa kesepian. Ketika Zahra duduk sendirian di gazebo sambil ngaji, Sari datang dengan membawa kitab dan duduk di sampingnya.

"Ngaji apa tho, Nduk?"

"Akhlak lil Banin, mbak. Susah banget..."

"Sini, tak ajari. Aku wis hapal kuwi." Sari menunjuk-nunjuk tulisan Arab yang rumit. "Ini kan tentang sopan santun sama orang tua. Ayo, dibaca bareng."

Zahra merasa bersyukur. Akhirnya ada yang mau menemaninya belajar. Suara mereka berpadu, Zahra membaca dengan terbata-bata, Sari mengoreksi dengan sabar.

"Mbak Sari, kok kamu baik banget sama aku sih?"

"Lho, kenapa? Emangnya aku nggak boleh baik sama kamu?"

"Bukan gitu... Cuma biasanya senior-senior itu rada nyebelin. Suka nyuruh-nyuruh."

Sari tertawa. "Aku beda lah sama yang lain. Aku tuh suka ndelok anak-anak baru kayak kamu. Inget sama diriku dulu."

Zahra mulai nyaman. Setiap hari mereka mengobrol, kadang di teras, kadang di dalam kamar ketika yang lain sudah tidur. Sari selalu punya cerita menarik tentang kehidupan pesantren, tentang guru-guru yang unik, tentang santri-santri lucu yang pernah dia kenal.

"Mbak, kok kamu nggak pernah ikut kegiatan sama santri yang lain?"

"Aku lebih suka ngobrol sama kamu. Lagian, aku udah senior, jadi nggak perlu ikut-ikutan acara anak-anak lagi."

Zahra mengangguk paham. Senior memang beda levelnya.

Tapi lama-lama, Zahra mulai menyadari hal aneh. Setiap kali dia mengobrol dengan Sari, santri lain selalu menatapnya dengan pandangan heran. Bahkan Ustadzah Khadijah pernah menghampirinya dengan wajah khawatir.

"Zahra, kamu lagi ngomong sama siapa tadi?"

"Sama mbak Sari, Ustadzah. Memangnya kenapa?"

Ustadzah Khadijah mengkerutkan dahi. "Sari? Santri mana itu? Kok aku nggak kenal?"

"Yang senior itu, Ustadzah. Kerudung putih, wajahnya teduh..."

"Zahra, nak..." Ustadzah Khadijah duduk di samping Zahra. "Tadi aku lihat kamu ngomong sendirian. Nggak ada siapa-siapa di situ."

Zahra terkejut. "Lho, kok bisa? Kan tadi mbak Sari ngajarin aku ngaji..."

"Coba tunjukkan, di mana Sari sekarang?"

Zahra menoleh ke kiri, ke tempat Sari biasa duduk. Kosong. Hanya ada angin sore yang bertiup pelan.

"Mbak Sari?" panggilnya pelan. Tidak ada jawaban.

Ustadzah Khadijah menepuk pundak Zahra lembut. "Nak, mungkin kamu terlalu kesepian. Kadang pikiran kita bisa menciptakan teman imaginer..."

"Tapi mbak Sari nyata, Ustadzah! Dia ngajarin aku ngaji, cerita tentang pesantren..."

"Coba lihat kitabmu. Siapa yang nulis catatan-catatan itu?"

Zahra membuka kitab Akhlak lil Banin. Di margin-marginnya penuh coretan dengan tulisan tangan... tulisan tangannya sendiri. Bukan tulisan Sari.

Malam itu, Zahra tidak bisa tidur. Dia menatap langit-langit kamar sambil mengingat-ingat semua percakapannya dengan Sari. Apa benar dia hanya berbicara dengan dirinya sendiri selama ini?

"Mbak Sari?" bisiknya pelan di kegelapan.

"Iya, Nduk. Aku di sini."

Zahra menoleh. Sari duduk di ujung kasur, wajahnya pucat dalam remang-remang cahaya bulan.

"Mbak... kamu siapa sebenarnya?"

Sari tersenyum sedih. "Aku ya aku. Sari. Teman kamu."

"Tapi kata ustadzah..."

"Ustadzah nggak kenal aku. Tapi kamu kenal kan? Itu yang penting."

Zahra terdiam. Hatinya campur aduk antara takut dan sedih.

"Mbak, aku bingung. Aku nggak tau mana yang nyata, mana yang nggak..."

"Persahabatan kita nyata, Nduk. Perasaan kamu waktu ngobrol sama aku juga nyata. Aku nggak minta kamu percaya sama yang lain. Aku cuma minta kamu percaya sama perasaan kamu sendiri."

Zahra menatap Sari lama-lama. "Mbak, aku takut. Takut kalau-kalau aku... sakit."

"Kamu nggak sakit. Kamu cuma kesepian. Dan kesepian itu bisa ngajarin kita banyak hal, Nduk. Termasuk cara nemuin teman, walaupun caranya nggak biasa."

Sari berdiri dan mendekati jendela. Cahaya bulan tembus melalui tubuhnya.

"Mbak, jangan pergi..."

"Aku nggak akan pergi. Aku akan selalu ada kalau kamu butuh. Tapi sekarang saatnya kamu coba cari teman yang lain. Teman yang bisa dilihat sama orang lain juga."

"Tapi aku nggak bisa..."

"Bisa. Kamu cewek yang kuat. Coba mulai dari satu orang. Sapa satu orang besok pagi. Bilang aja 'Assalamu'alaikum' sama santri yang tidur di kasur sebelah kamu. Namanya Aisyah."

Zahra menoleh ke kasur sebelah. Aisyah sedang tidur nyenyak, wajahnya damai.

"Dia baik kok, Nduk. Cuma kamu yang belum pernah nyoba ngobrol sama dia."

Ketika Zahra menoleh lagi ke jendela, Sari sudah menghilang. Hanya tersisa aroma melati yang samar.

Keesokan paginya, setelah shalat subuh, Zahra memberanikan diri menyapa Aisyah.

"Assalamu'alaikum, Aisyah..."

Aisyah menoleh dengan wajah cerah. "Wa'alaikumsalam, Zahra! Wah, akhirnya kamu mau ngomong sama aku. Aku udah lama pengen kenalan, tapi kamu kayaknya sibuk terus."

Zahra terkejut. "Aisyah pengen kenalan sama aku?"

"Iya lah! Kamu kan anak baru, pasti butuh teman. Ayo, sarapan bareng yuk!"

Saat mereka berjalan menuju kantin, Zahra tersenyum dalam hati. Dia merasa Sari ada di sisinya, meski tak terlihat.

"Makasih ya, mbak," bisiknya pelan.

Angin pagi bertiup lembut, seolah menjawab, "Iya, Nduk. Sama-sama."

Zahra mulai mengerti. Kadang-kadang, ketika kita kesepian, hati kita menciptakan teman untuk mengajari kita hal yang paling penting: cara membuka diri untuk persahabatan yang nyata.

Dan Sari—entah dia nyata atau tidak—telah mengajarinya pelajaran berharga itu.


Catatan: Dalam bahasa Jawa, "wong" berarti orang, "nduk" adalah panggilan sayang untuk anak perempuan, "kanca" berarti teman, dan "ndelok" berarti melihat.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi