Reyhan dan Langkah Baru
Reyhan dan
Langkah Baru
Alifa Shofa Qotrunnada & Melva Kamilia Adwa Azkia
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Pagi itu, desa Karangjati masih diselimuti kabut tipis. Udara dingin membawa aroma tanah basah, bercampur suara ayam jantan bersahut-sahutan. Di tepi jalan beraspal yang mulai retak, anak-anak berseragam putih biru bersepeda menuju SMP Plus MMI, sekolah yang menjadi kebanggaan warga.
Reyhan berjalan pelan di belakang beberapa temannya. Buku catatan yang
tipis ia selipkan di tas lusuhnya. Tidak ada rasa terburu-buru, meski bel masuk
tinggal sebentar lagi. Ia sudah hafal pola harinya: datang, duduk, mendengar,
lalu pulang tanpa membawa PR yang selesai.
Di kelas VIII B, semua siswa sibuk membuka buku. Bu Ratna, guru bahasa
Indonesia, menatap ke arah Reyhan.
“Reyhan, PR-nya mana?” tanyanya.
Reyhan tersenyum kecut. “Maaf, Bu… lupa.”
Beberapa teman saling pandang, ada yang menahan tawa, ada pula yang
menggeleng pelan.
Kabar tentang kebiasaan Reyhan sudah seperti angin yang berhembus ke
seluruh penjuru desa. Di warung kopi dekat masjid, obrolan kadang berujung pada
komentar, “Itu anak si Mbah Salam? Ah, katanya nggak pernah ngerjain tugas.”
Ibunya hanya diam jika mendengar cerita itu dari tetangga, tetapi Reyhan
tahu diamnya adalah tanda sedih.
Hari itu, setelah pelajaran terakhir, Reyhan diminta ke ruang guru.
Ruangan itu sederhana, dengan rak penuh buku, kipas angin berputar pelan, dan
aroma kopi hitam yang masih mengepul.
Pak Shokibun Niam duduk di kursinya, memandang Reyhan yang masuk dengan
langkah ragu.
“Silakan duduk, Han,” ucapnya pelan.
Reyhan duduk. Tangannya meremas ujung seragamnya.
“Kamu tahu kenapa Bapak memanggilmu?” tanya Pak Shokibun.
“Karena saya… belum ngerjain tugas lagi, Pak,” jawab Reyhan pelan.
Pak Shokibun tidak marah. Ia justru menghela napas panjang.
“Han, sudah berapa lama ini kamu nggak mengerjakan tugas dari guru-guru?”
Reyhan berpikir sebentar. “Hmm… dari awal semester, Pak.”
“Kenapa?” suara Pak Shokibun tetap lembut, tapi sorot matanya serius.
Reyhan menunduk. “Tugasnya banyak, Pak. Kalau sudah ketinggalan, rasanya
kayak gunung… susah ngejarnya.”
“Lalu, kamu mau diam saja di bawah gunung itu?” tanya Pak Shokibun
sambil sedikit tersenyum.
Reyhan terdiam. Kalimat itu menancap di pikirannya. Ia teringat ibunya,
teringat lirikan orang-orang di warung kopi, teringat perasaan malu yang mulai
mengendap di hatinya.
“Bapak mau tawarkan satu hal,” lanjut Pak Shokibun. “Mulai besok,
sepulang sekolah, kita belajar bareng di serambi musholla. Kita cicil tugas
yang menumpuk itu. Sedikit demi sedikit. Bagaimana?”
Reyhan ragu. “Tiap hari, Pak?”
“Kalau perlu tiap hari, iya. Bapak sabar, asal kamu juga mau sabar,”
jawabnya mantap.
Akhirnya Reyhan mengangguk. “Baik, Pak. Saya coba.”
……….
Keesokan harinya, sepulang sekolah, Reyhan duduk di serambi musholla
sekolah. Angin sore berhembus membawa aroma padi yang mulai menguning. Dari
kejauhan, terdengar suara anak-anak kecil mengaji.
Pak Shokibun datang dengan beberapa buku dan senyum yang tulus.
“Hari ini kita mulai dari PR matematika minggu lalu. Siap?”
Reyhan tersenyum kaku. “Siap, Pak. Meskipun… angka-angka ini kayaknya
nggak suka sama saya.”
“Bukan angka yang nggak suka. Mungkin kamu saja yang belum kenal
mereka,” jawab Pak Shokibun sambil tertawa kecil.
Hari demi hari berlalu. Kadang Reyhan mengeluh, kadang ia merasa otaknya
penuh, tapi setiap kali melihat gurunya sabar menjelaskan, semangatnya kembali.
Ia mulai terbiasa membuka buku sebelum tidur, sesuatu yang dulu terasa
mustahil.
Sebulan kemudian, nilai ulangan Reyhan mulai naik. Ia bahkan mulai
membantu teman sebangkunya memahami materi IPA. Saat rapor dibagikan, ibunya
tersenyum untuk pertama kali sejak lama.
Di warung kopi, obrolan tentang Reyhan berubah:
“Wah, Reyhan sekarang rajin, ya. Katanya belajar tiap sore sama Pak
Shokibun.”
Suatu sore, setelah menyelesaikan latihan, Reyhan menatap gurunya.
“Pak… terima kasih. Kalau nggak ada Bapak, mungkin saya masih jadi bahan
omongan orang.”
Pak Shokibun menepuk bahunya. “Han, guru itu cuma menunjukkan jalan.
Tapi yang melangkah itu kamu.”
Langit desa sore itu berwarna jingga, dan Reyhan tahu: langkah barunya
baru saja dimulai. Ia tidak ingin kembali ke hari-hari malasnya.
Selesai.

Comments