Sabar Ing Penggalih
Sabar Ing
Penggalih
Moh. Kholil Mughofar, S.Pd.
(Editor & Guru Menulis)
Langit sore itu merah jambu, seperti pipi Aisyah ketika dia menjawab
pertanyaan tentang ilmu nahwu tadi pagi. Mas Fakhri mengusap jenggotnya yang
mulai sedikit lebat, matanya menatap ke arah asrama putri dari balik jendela
perpustakaan. Sudah tiga tahun dia mengabdi di Pondok Pesantren Darul Hikmah
ini sebagai ustaz muda, dan baru sekarang hatinya merasa ada yang berbeda.
Wong lanang kudu sabar, bisik hatinya mengulang
nasihat almarhum mbahnya.
Aisyah Ramadhani. Gadis berusia tujuh belas tahun itu adalah santri
kelas satu Madrasah Aliyah yang juga mengikuti kelas diniyahnya. Setiap pagi di
mushola kecil sebelah timur, dia mengajar ngaji dan ilmu alat kepada
santri-santri putri tingkat pemula. Dan di sanalah dia pertama kali menyadari
ada yang istimewa dari anak Pak Yai Solichin itu.
Bukan karena dia putri kyai tersohor dari Jombang. Bukan pula karena
kecantikanannya yang memang tidak bisa dipungkiri. Tapi karena kecerdasannya
yang luar biasa dalam menangkap pelajaran, serta akhlaknya yang lemah lembut
namun tegas. Ketika teman-temannya masih kesulitan dengan i'rob sederhana,
Aisyah sudah bisa menganalisa susunan kalimat yang rumit.
"Ustaz," suara halus itu memecah lamunannya. Fakhri menoleh
dan mendapati Aisyah sudah berdiri di samping mejanya dengan tumpukan kitab
kuning di tangan.
"Nggih, Aisyah. Ada yang bisa ustaz bantu?"
"Kemarin ustaz sempat menyinggung tentang ilmu balaghah. Apa ustaz
punya referensi kitab yang bisa saya pinjam? Saya ingin belajar lebih
dalam."
Fakhri terdiam sejenak. Ilmu balaghah untuk santri kelas satu? Bahkan
santri senior pun banyak yang masih kesulitan dengan ilmu tersebut.
"Aisyah yakin ingin mempelajarinya sekarang? Ilmu itu cukup rumit,
biasanya baru diajarkan di kelas tiga nanti."
Mata Aisyah berbinar. "Saya yakin, ustaz. Lagipula, wong wadon
yo kudu pinter, kata mama saya. Apalagi kalau ingin jadi istri yang
sholehah."
Deg. Kata 'istri' itu entah mengapa membuat jantung Fakhri berdegup
tidak karuan.
"Baiklah. Ini kitab Jawahir al-Balaghah. Tapi ingat, kalau ada yang
tidak paham, langsung tanya ke ustaz."
"Siap, ustaz. Matur nuwun."
Setelah Aisyah pergi, Fakhri merebahkan kepalanya di atas meja. Ya
Allah, apa yang terjadi padanya? Dia seorang ustaz yang seharusnya menjaga hati
dan pandangannya. Tapi mengapa sosok santri itu terus menghantui pikirannya?
……….
Bulan-bulan berlalu. Fakhri semakin mengenal kepribadian Aisyah melalui
diskusi-diskusi ringan setelah pelajaran. Gadis itu tidak hanya cerdas, tapi
juga memiliki visi yang jelas tentang masa depannya. Dia ingin menjadi dai'yah
yang bisa memberdayakan perempuan muslim, terutama di desa-desa terpencil.
Sementara itu, perasaan Fakhri semakin dalam. Dia mulai mempertimbangkan
untuk melamar Aisyah kelak. Tapi masalahnya bukan hanya soal umur - Aisyah
masih harus menyelesaikan pendidikannya dua tahun lagi. Masalah utamanya adalah
Pak Haji Solichin, ayah Aisyah yang terkenal dengan standar tinggi dalam
memilih calon menantu.
Suatu sore, Fakhri memberanikan diri bertemu dengan Kyai Abdul Ghafur,
pengasuh pondok sekaligus gurunya.
"Kyai, saya ingin istisyarah tentang suatu hal yang sangat
penting."
Kyai Abdul Ghafur, pria berusia enam puluh tahun dengan janggut putih
yang panjang, menatap santai.
"Monggo, Fakhri. Kira-kira tentang apa?"
"Tentang... tentang rencana pernikahan, Kyai."
"Alhamdulillah. Sudah waktunya kamu menikah. Siapa gadis yang kamu
maksud?"
Fakhri menarik napas dalam. "Aisyah Ramadhani, Kyai."
Kyai Abdul Ghafur terdiam cukup lama, kemudian tersenyum tipis.
"Anak Pak Haji Solichin? Hmm... dia memang anak yang baik dan
cerdas. Tapi kamu tahu kan, Fakhri, bahwa Pak Haji Solichin itu sangat
selektif? Dia inginnya menantunya minimal lulusan S2, punya hafalan Quran 30
juz, dan memiliki keahlian khusus yang bisa membantu dakwah."
Hati Fakhri seperti ditusuk. Dia memang lulusan S1 Pendidikan Bahasa
Arab dari UIN, hafalannya baru 15 juz, dan keahliannya ya... mengajar ngaji
biasa saja.
"Tapi," lanjut sang kyai, "jika niatmu baik dan kamu
benar-benar serius, tidak ada salahnya berusaha. Man jadda wajada -
siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Yang penting, kamu harus
mempersiapkan diri dengan baik."
"Maksud Kyai?"
"Kamu masih punya waktu dua tahun. Gunakan waktu itu untuk
memperbaiki diri. Tambah hafalan Quranmu, pelajari ilmu-ilmu yang lebih dalam,
dan yang penting, tunjukkan bahwa kamu memang pantas untuk Aisyah."
……….
Sejak percakapan itu, hidup Fakhri berubah total. Dia mulai disiplin
bangun tahajud setiap malam, menghatamkan Quran sambil menambah hafalannya.
Siang hari, setelah mengajar, dia tekun belajar berbagai disiplin ilmu - mulai
dari tafsir, hadits, fiqh, hingga ilmu-ilmu kontemporer seperti psikologi dan
manajemen dakwah.
Aisyah mulai menyadari perubahan pada ustaznya itu. Fakhri yang dulu
santai kini terlihat lebih serius dan fokus. Pengetahuannya pun semakin dalam
dan luas.
"Ustaz kayaknya makin pinter ya akhir-akhir ini," kata Aisyah
suatu hari setelah pelajaran.
Fakhri tersenyum. "Kita semua harus terus belajar, Aisyah. Utlubul
'ilma minal mahdi ila lahdi - carilah ilmu dari buaian hingga liang
lahat."
"Tapi ustaz kayak ada motivasi khusus gitu. Ada yang mendorong
ustaz belajar extra keras?"
Fakhri terdiam. Haruskah dia berterus terang? Tapi bukankah masih
terlalu dini?
"Mungkin karena ustaz merasa masih banyak kekurangan. Dan...
mungkin ada seseorang yang ingin ustaz jadikan kebanggaan."
Aisyah mengerutkan kening. "Seseorang?"
"Suatu hari nanti kamu akan tahu, Aisyah."
……….
Setahun berlalu. Hafalan Fakhri kini sudah mencapai 25 juz. Dia juga
mulai aktif menulis artikel di majalah Islam dan menjadi narasumber di beberapa
kajian. Kyai Abdul Ghafur bahkan mulai mempercayainya untuk mengajar santri
senior.
Sementara itu, Aisyah kini sudah naik ke kelas dua. Gadis itu semakin
dewasa dan semakin cantik. Banyak santri senior yang mulai meliriknya, bahkan
ada beberapa alumni yang sudah menyatakan ketertarikan kepada keluarganya.
Hati Fakhri was-was. Bagaimana jika ada yang melamar Aisyah duluan?
Suatu malam, setelah sholat Isya, dia menemui Kyai Abdul Ghafur lagi.
"Kyai, saya khawatir Aisyah akan dilamar orang lain sebelum saya
siap."
"Kamu sudah cukup siap, Fakhri. Hafalanmu hampir 30 juz,
tulisan-tulisanmu mulai dikenal, dan kamu sudah lebih matang. Tapi yang
terpenting, apakah kamu yakin dengan perasaanmu?"
"Sangat yakin, Kyai. Semakin saya mengenalnya, semakin saya yakin
bahwa dia adalah pasangan yang tepat untuk saya."
"Dan bagaimana dengan Aisyah? Apa dia juga memiliki perasaan yang
sama?"
Fakhri terdiam. Dia tidak pernah berani menanyakan hal itu.
"Kamu tahu, Fakhri," lanjut sang kyai, "cinta dalam Islam
bukan hanya soal perasaan, tapi juga tentang kesiapan untuk saling melengkapi
dalam menjalankan misi sebagai hamba Allah. Jika kamu merasa siap, maka sudah
waktunya untuk melangkah."
……….
Keesokan harinya, Fakhri memberanikan diri berbicara dengan Aisyah
setelah pelajaran selesai.
"Aisyah, ustaz ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang
penting."
Aisyah duduk di bangku paling depan, matanya menatap penuh perhatian.
"Sudah hampir dua tahun ustaz mengajarmu. Selama itu, ustaz tidak
hanya melihat perkembanganmu dalam ilmu, tapi juga kematangan kepribadianmu.
Dan... ustaz merasa ada sesuatu yang berkembang di hati ustaz."
Pipi Aisyah mulai merona. Sepertinya dia sudah menduga ke arah mana
pembicaraan ini.
"Ustaz..." bisiknya pelan.
"Aisyah, ustaz tahu ini mungkin terlalu dini, dan kamu masih harus
menyelesaikan pendidikanmu. Tapi ustaz ingin kamu tahu bahwa ustaz memiliki
perasaan yang serius terhadapmu. Dan jika kamu mengijinkan, ustaz ingin
melamarmu nanti setelah kamu lulus."
Air mata mulai menggenang di mata Aisyah. Tapi bukan air mata sedih.
"Ustaz, jujur saja, saya juga merasakan sesuatu yang... istimewa
ketika belajar dengan ustaz. Tapi saya takut, ustaz. Papa saya itu orangnya
sangat pekok (keras). Dia punya standar yang sangat tinggi untuk calon
menantu."
"Ustaz tahu, Aisyah. Dan ustaz sudah mempersiapkan diri. Tapi yang
penting sekarang, apa jawaban hatimu?"
Aisyah menunduk, kemudian menatap mata Fakhri dengan penuh keyakinan.
"Jika memang Allah meridhoi, dan jika ustaz benar-benar serius...
saya bersedia menunggu dan mendukung perjuangan ustaz."
……….
Enam bulan kemudian, Fakhri merasa sudah cukup siap. Hafalannya sudah 30
juz penuh, tulisan-tulisannya mulai dibukukan, dan dia baru saja diterima untuk
melanjutkan S2 di UIN Jakarta dengan beasiswa penuh.
Dengan didampingi Kyai Abdul Ghafur, dia mendatangi rumah Pak Haji
Solichin di Jombang. Rumah itu megah, dengan halaman luas dan nuansa Arab yang
kental.
Pak Haji Solichin, pria gempal dengan jenggot hitam berkilau, menyambut
mereka dengan ramah namun wajahnya serius.
"Assalamu'alaikum, Pak Haji," salam Fakhri sambil
mencium tangan sang kyai.
"Wa'alaikumussalam. Monggo masuk. Kyai Abdul Ghafur
sudah memberitahu maksud kedatangan kalian."
Mereka duduk di ruang tamu yang dipenuhi kitab-kitab klasik dan
kaligrafi Arab. Bu Nyai Solichin, ibu Aisyah, menyajikan teh dan kue
tradisional.
"Jadi, Mas Fakhri ingin melamar Aisyah?" tanya Pak Haji
langsung to the point.
"Benar, Pak Haji. Saya sudah mengenal Aisyah selama dua tahun
melalui pengajaran di pondok. Saya melihat dia sebagai gadis yang sholehah,
cerdas, dan memiliki visi yang sama dengan saya dalam berdakwah."
Pak Haji Solichin mengangguk, kemudian menatap tajam.
"Mas Fakhri, saya akan bertanya beberapa hal. Pertama, apa
pendidikan terakhir mas?"
"S1 Pendidikan Bahasa Arab, Pak Haji. Tapi saat ini saya sedang
diterima untuk melanjutkan S2 Studi Islam Kontemporer di UIN Jakarta."
"Kedua, berapa hafalan Quran mas?"
"Alhamdulillah 30 juz, Pak Haji."
Mata Pak Haji sedikit berbinar, tapi wajahnya tetap serius.
"Ketiga, apa keahlian khusus yang mas miliki untuk mendukung
dakwah?"
"Saya menulis, Pak Haji. Beberapa artikel saya sudah dimuat di
berbagai media Islam. Dan saat ini sedang proses penerbitan buku tentang
pendidikan karakter dalam pesantren."
"Keempat, bagaimana dengan kondisi finansial? Saya tidak ingin anak
saya hidup susah."
Fakhri menarik napas dalam. "Pak Haji, jujur saja kondisi saya saat
ini masih sederhana. Gaji sebagai ustaz memang tidak besar. Tapi saya punya
rencana untuk mengembangkan diri melalui pendidikan S2 ini, dan saya yakin
Allah akan memberikan jalan."
Pak Haji terdiam lama. Ruangan menjadi sunyi.
"Yang terakhir, mengapa mas memilih Aisyah?"
"Pak Haji," suara Fakhri bergetar, "selama dua tahun saya
mengajar Aisyah, saya melihat akhlaknya yang mulia, kecerdasannya yang luar
biasa, dan semangatnya dalam menuntut ilmu. Saya yakin dia akan menjadi
pendamping yang baik dalam hidup dan mati, dunia dan akhirat."
Pak Haji Solichin bangkit dan berjalan ke jendela. Pandangannya tertuju
ke arah kebun belakang rumah.
"Mas Fakhri, saya menghargai kejujuran mas. Tapi saya punya satu
syarat lagi."
Jantung Fakhri berdegup kencang. "Apa itu, Pak Haji?"
"Mas harus bisa membuktikan bahwa mas mampu menghidupi Aisyah
dengan layak. Berikan saya waktu satu tahun. Dalam satu tahun itu, tunjukkan
perkembangan karir dan pendidikan mas. Jika setelah itu saya yakin mas pantas
untuk Aisyah, maka saya akan merestui."
Fakhri menunduk dalam. Satu tahun lagi? Tapi dia paham, ini adalah ujian
terakhir.
"Baik, Pak Haji. Saya siap menjalani syarat tersebut."
"Bagus. Dan satu hal lagi, selama masa itu, mas tidak boleh
bertemu Aisyah kecuali dalam konteks pengajaran formal di pondok."
……….
Tahun terakhir itu adalah tahun terberat dalam hidup Fakhri. Dia harus
kuliah S2 sambil tetap mengajar di pondok, menulis buku, dan membangun karir
dakwah. Belum lagi perasaan rindu yang terus menggerogoti hatinya karena tidak
bisa berbicara langsung dengan Aisyah.
Tapi dia tidak menyerah. Setiap malam dia berdoa, setiap pagi dia
semangat bekerja. Bukunya akhirnya terbit dan mendapat respons positif.
Beberapa media mulai mengundangnya sebagai narasumber. Bahkan, sebuah yayasan
pendidikan Islam menawarkannya posisi sebagai direktur program dengan gaji yang
lumayan.
Di sisi lain, Aisyah juga berjuang dengan perasaannya. Dia hanya bisa
memantau perkembangan Fakhri dari kejauhan, mendengar kabar-kabar tentang
prestasi ustaznya itu dari teman-teman. Hatinya bangga, tapi juga cemas.
Mudah-mudahan Allah meridhoi, gumamnya setiap malam
dalam doa.
……….
Tepat satu tahun kemudian, Fakhri kembali menemui Pak Haji Solichin.
Kali ini dia datang dengan prestasi yang gemilang - gelar S2 dengan predikat
cum laude, buku yang laris di pasaran, dan tawaran pekerjaan yang menjanjikan.
"Pak Haji," kata Fakhri sambil menyerahkan map berisi
sertifikat dan dokumen prestasi, "ini adalah hasil perjuangan saya selama
setahun terakhir."
Pak Haji Solichin membuka satu per satu dokumen itu. Wajahnya yang
biasanya serius kini mulai melembut.
"Masyaallah, Mas Fakhri. Saya tidak menyangka mas bisa
berkembang sepesat ini."
"Ini semua berkat doa dan dukungan keluarga, terutama Pak Haji dan
keluarga yang telah memberikan motivasi."
Pak Haji tersenyum untuk pertama kalinya.
"Mas Fakhri, saya akui, awalnya saya ragu. Bukan karena saya
meremehkan mas, tapi karena saya ingin memastikan bahwa calon menantu saya
benar-benar orang yang berjuang demi masa depan. Dan mas telah
membuktikannya."
Air mata kebahagiaan mulai menggenang di mata Fakhri.
"Jadi... Pak Haji merestui?"
"Iya, mas. Saya merestui lamaran mas untuk Aisyah. Bahkan Bu Nyai
juga sudah setuju dari dulu, dia bilang mas itu wong apik (orang
baik)."
……….
Upacara akad nikah digelar sederhana di masjid pondok pesantren. Fakhri
yang kini tampak lebih berisi dan berwibawa duduk berhadapan dengan Pak Haji
Solichin yang berperan sebagai wali.
"Saya terima nikahnya Aisyah Ramadhani binti Solichin dengan mas
kawin seperangkat alat sholat dan sepuluh gram emas, tunai."
"Saya terima dan saya nikahkan."
Takbir bergema di seluruh masjid. Santri-santri putra dan putri ikut
bergembira menyaksikan pernikahan ustaz dan ustazah yang mereka kagumi.
Setelah ijab kabul, Fakhri dan Aisyah duduk berdampingan di pelaminan
sederhana yang dihias dengan kaligrafi dan bunga melati.
"Alhamdulillah, akhirnya," bisik Aisyah sambil menunduk
malu.
"Alhamdulillahirobbil 'alamin," jawab Fakhri.
"Terima kasih sudah mau menunggu dan mendukung perjuangan ini."
"Ini baru permulaan, mas. Perjuangan sesungguhnya adalah membangun
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah."
Fakhri mengangguk. Dia menatap istri barunya dengan penuh syukur.
Perjuangan tiga tahun yang penuh dengan rintangan akhirnya berbuah manis. Tapi
dia tahu, ini memang baru permulaan dari perjuangan yang lebih besar lagi.
Kyai Abdul Ghafur yang memimpin upacara memberikan nasihat terakhir:
"Fakhri, Aisyah, ingatlah bahwa pernikahan dalam Islam bukan hanya
penyatuan dua insan, tapi penyatuan dua jiwa yang berkomitmen untuk saling
membantu dalam menjalankan misi sebagai khalifah Allah di bumi. Sabar ing
penggalih, sabarlah dalam hati, dan jadilah keluarga yang membawa berkah
bagi sesama."
Malam itu, hujan turun membasahi bumi Jombang. Tapi di hati Fakhri dan
Aisyah, hanya ada cahaya kebahagiaan dan harapan untuk masa depan yang lebih
baik.
Wa billahi at-taufiq, hanya dengan pertolongan Allah semua ini
bisa terwujud.
……….
Tamat.
Wallahu a'lam bishawab.
Comments