Sekuntum Cahaya di Ujung Desa


Sekuntum Cahaya di Ujung Desa

Faiqotus Zuhroh & Yasmin Sofia Salwa

(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)


Desa Sukatani selalu terbangun bersama kokok ayam dan desir angin pagi. Jalan tanahnya basah karena embun, dan daun-daun pisang melengkung menahan titik-titik air yang belum jatuh ke bumi. Di ujung desa, rumah kayu kecil milik keluarga Pak Rahmat dan Bu Halimah berdiri sederhana, tapi penuh kehangatan.

Di dalamnya, Hana—gadis berusia dua belas tahun—sedang membantu ibunya membungkus gorengan ke dalam kantong kertas coklat.

“Ayah pulangnya jam berapa nanti, Bu?” tanya Hana sambil menyelipkan tahu isi ke dalam plastik kecil.

“Iya, Ayah janji pulang sebelum Ashar. Katanya tadi mau sekalian mampir ke toko kitab,” jawab Bu Halimah, sambil tersenyum.

Hana menunduk malu. “Mau beli kitab buat Hana, ya?”

Ibunya mengusap kepala Hana lembut. “Iya, Nak. Ayah dan Ibu sudah kumpulkan uang. Insya Allah, sebentar lagi kamu bisa mondok. Doakan ya, semoga rezeki kita lancar.”

Hana mengangguk, matanya bersinar.

Bagi orang lain, mondok mungkin hanya pilihan. Tapi bagi keluarga kecil ini, itu adalah cita-cita yang dirawat dalam doa, malam demi malam. Mereka ingin Hana menjadi anak yang berilmu, dekat dengan agama, dan bisa memberi manfaat untuk orang lain.

Namun, takdir menyimpan jalan lain.

……….

Hari itu, langit mendung sejak pagi. Awan menggantung seperti beban yang tak kunjung tumpah. Pak Rahmat dan Bu Halimah pulang dari kota dengan motor tua mereka, membawa sebungkus kitab baru dan kain seragam putih untuk Hana. Tapi di tikungan dekat jembatan bambu, sebuah truk bermuatan kayu melaju terlalu cepat.

Benturan. Jeritan. Dan kemudian, sunyi.

Sore harinya, kabar duka menyebar di desa Sukatani seperti angin ribut. Warga berbondong-bondong ke rumah Hana. Tubuh mungil itu terduduk diam di beranda rumah, memeluk kitab yang baru dibungkus koran, sementara jenazah kedua orang tuanya terbujur kaku di dalam.

……….

Hari-hari berikutnya menjadi kabur bagi Hana. Rumah yang dulu hangat kini sunyi. Tapi setiap malam, ia duduk menatap kitab yang dibelikan ayahnya, mengingat kata-kata yang pernah mereka ucapkan:

“Suatu hari nanti, kamu harus mondok, Nak. Carilah ilmu, agar hatimu kuat meski kami tak selalu ada.”

Kalimat itu kini menjadi janji yang menggema dalam hatinya.

……….

Pagi itu, Hana berjalan ke rumah Bu Minah, tetangga sebelah rumah yang dikenal sebagai pembuat kue dan gorengan terenak se-desa.

Bu Minah yang sedang mengaduk adonan klepon, menoleh begitu Hana mengetuk pintu pagar.

“Nduk, kamu tumben pagi-pagi ke sini. Ada apa, Le?” sapanya ramah.

Hana menunduk. “Bu… Hana mau bantu jualan kue Bu Minah. Nanti hasilnya, Hana tabung buat mondok.”

Bu Minah menatap gadis itu lama. Suaranya masih lembut, tapi matanya menyimpan tekad yang besar.

“Ya Allah… Nak, kamu ini masih kecil. Emangnya kuat keliling-keliling bawa dagangan?”

“Kuat, Bu. Hana bisa jalan. Bisa naik sepeda. Hana cuma butuh kesempatan.”

Bu Minah memeluk Hana tanpa banyak kata. “Ya sudah, Nak. Mulai besok, kita jualan sama-sama, ya. Tapi kamu harus janji, tetap jaga kesehatan.”

“Insya Allah, Bu. Terima kasih.”

……….

Hari-hari Hana kembali terisi. Setiap subuh, ia datang ke dapur Bu Minah, membantu membungkus gorengan dan kue. Setelah itu, ia memanggul keranjang bambu ke pasar, ke sekolah dasar, bahkan ke sawah tempat para petani istirahat.

“Ini kue apem, Pak. Masih hangat,” katanya pada seorang petani tua.

“Oalah, ini anak Rahmat, ya? Pinter banget kamu, Nduk. Bawa ke sini terus tiap hari, ya,” kata Pak Tarman sambil mengeluarkan uang receh dari saku celananya.

Hana tersenyum. Bukan karena uangnya banyak, tapi karena setiap pembeli membawa ia lebih dekat pada impian orang tuanya.

……….

Waktu berlalu cepat. Celengan kecilnya yang terbuat dari kaleng susu mulai berat. Hana menyimpannya di atas lemari, di bawah sajadah ayahnya.

Suatu pagi, setelah menghitung hasil tabungannya bersama Bu Minah, ia berkata dengan mata berbinar, “Bu… uangnya sudah cukup. Hana mau berangkat mondok.”

Bu Minah terdiam, bibirnya bergetar. Ia menggenggam tangan Hana erat.

“Kalau begitu, kita cari pesantren yang bagus, ya, Nduk. Tapi… biaya hidup di sana juga besar. Kamu yakin bisa?”

Hana tersenyum. “Hana mau jadi khadam, Bu. Bisa bantu bersih-bersih, nyapu, masak. Asal Hana bisa mondok dan belajar.”

Bu Minah menitikkan air mata. “Masya Allah… kamu memang anak luar biasa, Nduk. Semoga Allah bukakan jalan seluas-luasnya.”

……….

Hana berangkat ke pesantren di kota kecil yang letaknya tiga jam dari desa. Ia hanya membawa satu tas berisi pakaian, kitab, dan celengan kecil yang sudah dikosongkan.

Sesampainya di sana, ia langsung menghadap pengurus pesantren.

“Assalamu’alaikum, Pak Ustaz… nama saya Hana. Saya ingin mondok di sini. Tapi… saya tidak punya biaya. Kalau boleh, saya ingin jadi khadam saja.”

Pak Ustaz menatap gadis kecil itu. Wajahnya letih, tapi matanya terang.

“Orang tuamu mana, Nak?”

“Mereka sudah meninggal.”

Pak Ustaz menghela napas panjang. Lalu tersenyum.

“Kamu tinggal di sini, Nak. Insya Allah kami terima dengan senang hati. Kamu boleh bantu-bantu, tapi kamu juga harus serius belajar, ya.”

“Insya Allah, Pak Ustaz.”

……….

Hari-hari di pesantren tidak mudah. Hana bangun paling pagi, membersihkan kamar, menyapu aula, mencuci piring, dan membantu di dapur. Tapi setelah itu, ia belajar dengan sungguh-sungguh.

Ia tak pernah mengeluh. Bahkan saat tubuhnya lelah, atau saat rindunya pada orang tua datang diam-diam, ia tetap menyalakan cahaya dalam dadanya—cahaya yang dititipkan oleh ayah dan ibu dalam doa-doa mereka.

Suatu malam, setelah semua santri tidur, Hana duduk di serambi masjid, membuka kitab kecil yang dulu dibelikan ayahnya.

Ia menatap langit.

“Ayah… Ibu… Hana sudah sampai. Hana akan terus belajar. Terima kasih sudah titipkan cahaya ini. Insya Allah, Hana akan menjaganya.”

Di langit yang gelap, satu bintang berkedip lembut. Seolah menjawab doa seorang anak yang setia pada janji.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi