Suara di Seberang Telepon
Suara di Seberang Telepon
Dimas melirik jam tangan digital murah di pergelangan tangannya. Pukul sepuluh malam. Kamar asrama putra Pondok Pesantren Darul Hikmah sudah sunyi, hanya terdengar dengkuran halus Ahmad yang tidur di kasur sebelah. Cahaya lampu koridor yang temaram merembes masuk melalui celah pintu, membentuk garis tipis di lantai semen yang dingin.
Sudah tiga hari ini Dimas tidak menelpon Rina, pacarnya yang kuliah di kota. Rindu yang menggayuti hatinya sudah tak tertahankan lagi. Setiap malam ia membolak-balik tubuh di kasur tipis, memikirkan suara lembut gadis itu. Wis ora kuat aku, batinnya gelisah.
Handphone Nokia jadul yang tersembunyi di balik sarung bantal sudah bergetar sejak tadi, pertanda ada pesan masuk. Pasti dari Rina. Gadis itu selalu mengirim pesan sebelum tidur, bertanya kabar dan mengungkapkan kerinduan. Tapi Dimas tidak berani membalasnya di kamar. Teman-teman sekamar bisa curiga, apalagi Ustadz Hasan yang sering berkeliling cek kamar di malam hari.
Dengan gerakan perlahan, Dimas bangkit dari kasur. Kaki telanjangnya menginjak lantai dingin tanpa suara. Ia mengambil handphone dan menyelipkannya di saku celana training. Pintu kamar dibuka pelan-pelan, menghasilkan bunyi kecit halus yang membuatnya menahan napas.
Koridor asrama gelap gulita. Lampu sudah dimatikan sejak jam sembilan malam. Hanya cahaya bulan sabit yang menerobos masuk melalui jendela-jendela tinggi, menciptakan bayangan-bayangan aneh di sepanjang dinding. Dimas berjalan mengendap-endap, mengingat setiap sudut dan rintangan di koridor yang sudah hapal di luar kepala.
Gudang tua di belakang dapur adalah tempat paling aman untuk menelpon. Jauh dari jangkauan ustadz-ustadz yang berpatroli, tersembunyi di balik pohon jambu air yang rimbun. Gudang itu biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan kebersihan dan barang-barang bekas. Jarang ada yang ke sana, apalagi malam hari.
Pintu gudang terbuat dari kayu jati tua yang sudah lapuk. Dimas mendorongnya perlahan, berharap engsel berkarat itu tidak berbunyi terlalu keras. Ruangan kecil itu berbau apek dan lembap, penuh dengan kardus-kardus bekas dan peralatan yang sudah tidak terpakai. Seberkas cahaya bulan masuk melalui ventilasi kecil di atas, memberikan penerangan seadanya.
Dimas menutup pintu dan bersandar di tumpukan kardus. Tangannya gemetar sedikit ketika menekan nomor Rina. Sudah lama sekali ia tak mendengar suara gadis itu secara langsung. Pesan-pesan singkat tidak pernah cukup untuk mengobati kerinduan yang menggerogoti hatinya setiap hari.
"Halo?" Suara Rina terdengar lembut di seberang sana, sedikit heran karena mendapat telpon di jam segini.
"Rina... ini aku, Dimas," bisiknya pelan, berusaha meredam suara agar tidak terdengar ke luar gudang.
"Dimas! Kamu nelpon dari mana? Suaramu pelan banget..."
"Aku di... tempat sepi. Gimana kabarmu? Aku kangen banget sama kamu." Dimas merasakan kehangatan menjalar di dadanya, mendengar suara yang sudah dirindukan berhari-hari.
Mereka berbincang dengan suara berbisik. Rina bercerita tentang kuliahnya, teman-teman kosannya, dan betapa ia juga merindukan Dimas. Sesekali gadis itu tertawa kecil mendengar gurauan kekasihnya yang berusaha menghibur dari jauh.
"Mas, kamu lagi dimana sih sebenarnya?" tanya Rina setelah mereka berbincang sekitar sepuluh menit.
"Di gudang belakang dapur. Kenapa?"
"Lho... aku kok dengar suara cewek ketawa ya? Kecil banget sih, tapi jelas ada yang ketawa cekikikan gitu..."
Dimas mengernyitkan dahi. "Ha? Cewek ketawa? Aku sendirian kok di sini. Mungkin sambungannya bermasalah."
"Enggak deh, bukan masalah sambungan. Aku jelas banget dengar ada suara perempuan ketawa... hihihi gitu. Kayak ada yang seneng dengerin pembicaraan kita."
Bulu kuduk Dimas langsung meremang. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mata menyapu setiap sudut gudang yang remang-remang. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dia, kardus-kardus bekas, dan peralatan tua yang berserakan.
"Rina, serius nggak ada siapa-siapa di sini. Aku yakin banget."
"Dimas... sekarang malah makin jelas kedengarannya. Ada yang ketawa lirih gitu... hihihi hihihi... Mas, kamu yakin sendirian?"
Jantung Dimas mulai berdetak kencang. Ia menajamkan pendengaran, berusaha menangkap suara apapun di sekitarnya. Angin malam berdesir pelan di luar, daun-daun jambu air bergesek satu sama lain. Tapi selain itu... sunyi.
"Aku nggak dengar apa-apa, Rin. Kamu yakin nggak salah dengar?"
"Mas... sekarang ketawanya makin keras... hahahaha... Aku takut. Siapa sih yang ketawa? Kok suaranya aneh banget, kayak... kayak bukan manusia."
Keringat dingin mulai membasahi punggung Dimas. Tangannya mencengkeram handphone erat-erat. Apa sing ketawa kui? Pikirannya kalut. Ia ingat cerita-cerita senior tentang penunggu gudang tua ini. Tapi selama ini ia menganggapnya hanya dongeng untuk menakut-nakuti junior.
"Rina, aku tutup teleponnya ya. Kayaknya memang ada yang aneh di sini."
"Jangan! Jangan ditutup dulu! Sekarang ketawanya berhenti... tapi aku kok merasa ada yang..."
Tiba-tiba sambungan terputus. Layar handphone Dimas menunjukkan "Call Ended". Ia mencoba menelpon balik, tapi tidak tersambung. Sinyal di tempat ini memang tidak stabil, tapi timing-nya terlalu pas untuk disebut kebetulan.
Dalam kesunyian gudang, Dimas mulai mendengar sesuatu. Suara halus, nyaris tak terdengar. Seperti ada yang berbisik-bisik di sudut ruangan. Ia menegang, telinga menajam menangkap setiap getaran suara.
Hihihi... hihihi...
Suara tawa kecil itu benar-benar ada. Terdengar dari arah tumpukan kardus di pojok gudang. Tawa renyah seorang perempuan muda, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam nada itu. Sesuatu yang tidak wajar, tidak manusiawi.
Dimas bangkit perlahan, kaki gemetaran. Handphone di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya setelah ia menyalakan senter. Berkas cahaya putih menerangi sudut-sudut gudang yang kelam.
"Siapa di sana?" bisiknya dengan suara bergetar.
Tawa itu berhenti seketika. Sunyi mencekam kembali menyelimuti gudang. Tapi Dimas merasa ada mata yang mengawasinya dari kegelapan. Rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun, membuat bulu-bulu halus di lengannya berdiri.
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju pintu. Tangan gemetaran meraih gagang pintu kayu yang sudah lapuk. Tapi pintu itu seolah macet, tidak mau terbuka meski sudah didorong sekuat tenaga.
Hihihi... hihihi...
Suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan jelas. Seolah sang pemilik suara sedang bersenang-senang melihat kepanikannya. Dimas menggedor-gedor pintu sambil terus mendorongnya.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un... Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." Ia mulai membaca kalimat tahlil dengan suara keras, berharap bisa mengusir apapun yang ada di gudang itu.
Pintu tiba-tiba terbuka, membuat Dimas terjungkal ke belakang dan berlari sekencang-kencangnya menuju asrama. Ia tidak peduli lagi dengan teman-teman yang mungkin terbangun, atau ustadz yang mungkin menangkapnya berkeliaran malam-malam. Yang penting adalah keluar dari gudang terkutuk itu.
Keesokan harinya, handphone Dimas penuh dengan pesan dari Rina. Gadis itu bertanya-tanya kenapa sambungan terputus dan siapa sebenarnya yang tertawa di seberang telepon. Dimas tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti?
Sejak malam itu, Dimas tidak pernah lagi ke gudang belakang dapur. Kerinduan pada Rina masih menggerogoti hatinya, tapi pengalaman mengerikan itu membuatnya trauma. Ia lebih memilih mengirim pesan singkat atau menelpon di tempat lain yang lebih aman, meski risikonya lebih besar.
Beberapa hari kemudian, Ustadz Hasan mengumumkan bahwa gudang belakang dapur akan direnovasi karena sering ada santri yang melaporkan suara-suara aneh dari sana. Ketika pekerja membongkar tumpukan kardus di pojok gudang, mereka menemukan sebuah foto lama seorang perempuan muda yang sudah menguning. Foto itu langsung dibakar, dan gudang dibersihkan secara spiritual sebelum direnovasi.
"Jangan main-main dengan hal gaib," pesan Ustadz Hasan pada santri-santri. "Kalau mau menelpon atau melanggar aturan, yang rugi kalian sendiri. Allah selalu melihat, dan yang lain juga ikut melihat."
Dimas hanya menunduk mendengar pesan itu, sambil meremas handphone di saku celananya.
Comments