Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Alat Bersiwak
فَصْلٌ فِى اَلَةِ
السِّوَاكِ
FASAL:
ALAT BERSIWAK
Fasal: mengenai penggunaan alat siwak dalam mulut. Alat
siwak termasuk salah satu kesunahan yang dilakukan sebelum wudhu. Istilah
"siwak" juga digunakan untuk alat yang digunakan untuk membersihkan
gigi, seperti sikat gigi dan sejenisnya, yaitu alat kasar yang digunakan
untuk membersihkan gigi. |
(فَصْلٌ فِي) بَيَانِ حُكْمِ (اسْتِعْمَالِ آلَةِ
السِّوَاكِ) فِي الْفَمِ. (وَهُوَ) أَيْ الِاسْتِيَاكُ (مِنْ سُنَنِ الْوُضُوءِ)
الْفِعْلِيَّةِ الْمُتَقَدِّمَةِ عَلَيْهِ. (وَيُطْلَقُ السِّوَاكُ أَيْضًا)
أَيْ كَمَا يُطْلَقُ عَلَى الِاسْتِيَاكِ (عَلَى مَا يُسْتَاكُ بِهِ مِنْ
أَرَاكٍ وَنَحْوِهِ ) أَيْ مِنْ كُلِّ خَشِنٍ ظَاهِرٍ. |
Kayu arok adalah pohon
tinggi dengan banyak cabang yang digunakan untuk membuat alat siwak. |
وَالْأَرَاكُ شَجَرٌ طَوِيلٌ نَاعِمٌ كَثِيرُ
الْأَغْصَانِ يُسْتَاكُ بِقُضْبَانِهِ. |
Penggunaan siwak
disunnahkan dalam semua situasi, yaitu dalam setiap waktu, seperti ketika
akan melaksanakan shalat, thawaf (berkeliling Ka'bah), khutbah, mandi,
tayammum, wudhu, saat berniat makan, tidur, berhubungan suami istri, masuk
rumah (bahkan jika bukan rumahnya sendiri), masuk masjid (meskipun tidak
dalam keadaan junub), masuk Ka'bah, saat membaca Quran, hadis, ilmu syari'ah,
berdzikir, setelah salat witir, saat sahur, ketika merasa haus dan lapar,
ketika sakaratul maut, dan saat berkumpul dengan saudara-saudara (sesama
Muslim). |
(وَالسِّوَاكُ) أَيْ الِاسْتِيَاكُ (مُسْتَحَبٌّ فِي
كُلِّ حَالٍ أَيْ وَفِي كُلِّ زَمَانٍ عِنْدَ الصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ
وَالْخُطْبَةِ وَغُسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَوُضُوءٍ وَإِرَادَةِ أَكْلٍ وَنَوْمٍ
وَجِمَاعٍ وَدُخُولِ مَنْزِلٍ وَلَوْ لِغَيْرِهِ وَدُخُولِ مَسْجِدٍ وَلَوْ
خَالِيًا وَدُخُولِ الْكَعْبَةِ وَقِرَاءَةِ قُرْآنٍ أَوْ حَدِيثٍ أَوْ عِلْمٍ
شَرْعِيٍّ أَوْ ذِكْرٍ وَبَعْدَ وِتْرٍ وَفِي السَّحَرِ وَعِنْدَ الْعَطَشِ
وَالْجُوعِ وَعِنْدَ الِاحْتِضَارِ وَعِنْدَ الِاجْتِمَاعِ بِالْإِخْوَانِ. |
Penggunaan siwak tidak
dihukumi makruh tanzih, yaitu hukum makruh tanzih, kecuali untuk orang yang
sedang berpuasa setelah tergelincirnya matahari (istiwa’), baik puasa wajib
maupun puasa sunnah. Ini berlaku jika seseorang tidak terus-menerus berpuasa.
|
(وَلَا يُكْرَهُ) أَيْ الِاسْتِيَاكُ (تَنْزِيهًا) أَيْ
كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ (إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ لِلصَّائِمِ فَرْضًا أَوْ
نَفْلًا). هَذَا إِذَا لَمْ يَكُنْ مُوَاصِلًا ، |
Jika seseorang berpuasa
sepanjang hari, maka penggunaan siwak akan menjadi makruh mulai dari awal
hari, bahkan jika itu untuk wudhu. Dan ini ketika dia bersiwak sendiri.
Apabila dia disiwaki oleh orang mukalaf lain tanpa seizinnya maka hukumnya
haram bagi orang lain itu. |
وَإِلَّا فَيُكْرَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ وَلَوْ
لِنَحْوِ وُضُوءٍ، وَهَذَا إِنْ اسْتَاكَ بِنَفْسِهِ، فَإِنْ سَوَّكَهُ
مُكَلَّفٌ غَيْرُهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ. |
Kemakruhan penggunaan
siwak akan berakhir setelah matahari terbenam, dan juga akan berakhir dengan
kematian, karena puasa akan terputus. Imam Nawawi memilih tidak adanya hukum
makruh secara mutlak, maksudnya baik sebelum matahari tergelincir dan setelah
matahari tergelincir. |
(وَتَزُولُ الْكَرَاهَةُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ) وَكَذَا
بِالْمَوْتِ لِأَنَّ الصَّوْمَ يَنْقَطِعُ بِهِ. (وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ) مِنْ
جِهَةِ الدَّلِيلِ لَا مِنْ جِهَةِ الْمَذْهَبِ (عَدَمَ الْكَرَاهَةِ مُطْلَقًا)
أَيْ قَبْلَ الزَّوَالِ وَبَعْدَهُ. |
Siwak, dengan makna menggunakan
siwak, sangat disunahkan dalam 3 keadaan melebihi keadaan atau kondisi
lainnya, maksudnya lebih disunnahkan menggunakan siwak disbanding dalam
kondisi lainnya, yaitu: |
(وَهُوَ)
أَيْ السِّوَاكُ بِمَعْنَى الِاسْتِياَكِ (فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ) أَيْ
أَحْوَالٍ (أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا مِنْ غَيْرِهَا)
أَيْ أَقْوَى نَدْبًا مِنْ اسْتِيَاكٍ فِي غَيْرِهَا: |
(1) ketika mulut
berubah, maksudnya berubah bau, warna atau rasanya, sebab ‘azm, ada yang
berpendapat azm adalah berdiam lama, ada yang mengatakan azam adalah tidak
makan karena makna azm secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu, adapun
pengarang berkata غيره (kondisi lainnya) agar mencakup berubahnya mulut selain sebab
azm, maksudnya selain tidur, misalnya seperti makan sesuatu yang berbau menyengat
seperti bawang putih, bawang merah dan lainnya, misalnya lobak dan bawang
bakung. |
(أَحَدُهَا
عِنْدَ تَغَيُّرِ الْفَمِ) أَيْ تَغَيُّرِ رَائِحَتِهِ أَوْ لَوْنِهِ أَوْ
طَعْمِهِ (مِنْ) أَجْلِ (أَزْمٍ . قِيلَ هُوَ سُكُوتٌ طَوِيلٌ وَقِيلَ تَرْكُ
الْأَكْلِ) لِأَنَّ مَعْنَاهُ فِي اللُّغَةِ الْإِمْسَاكُ عَنْ الشَّيْءِ. وَإِنَّمَا قَالَ وَغَيْرُهُ
لِيَشْمَلَ تَغَيُّرَ الْفَمِ بِغَيْرِ أَزَمٍ) أَيْ مَا عَدَا النَّوْمَ
(كَأَكْلِ ذِي رِيْحٍ كَرِيهٍ مِنْ ثَومٍ وَبَصَلٍ وَغَيْرِهِمَا كَالْفُجْلِ
وَالْكُرَّاثِ |
(2) Ketika bangun tidur baik pada
malam hari maupun siang hari, meskipun tidak sampai merubah bau mulut,
misalnya seperti tidur sebentar. Hal itu karena keadaan tidur bisa saja
menyebabkan terjadinya peruahan mulut lantaran saat tidur seseorang akan
diam, tidak makan dan minum serta cepatnya keluarnya nafas, dan karena Nabi
SAW ketika bangun tidur beliau mencuci mulutnya dengan siwak, maksudnya
menggosoknya. (Riwayat Bukhori Muslim). |
وَالثَّانِي عِنْدَ الْقِيَامِ أَيْ الِاسْتِيقَاظِ مِنْ
النَّوْمِ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا، وَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ تَغَيُّرٌ كَأَنْ نَامَ
قَلِيلًا، لِأَنَّهُ يُورِثُ التَّغَيُّرَ لِمَا فِيهِ مِنْ السُّكُوتِ وَتَرْكِ
الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَعَدَمِ سُرْعَةِ خُرُوجِ الْأَنْفَاسِ، وَلِأَنَّهُ
كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ النَّوْمِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ، أَيْ يَدْلکهُ
بِهِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ |
(3) Ketika akan
mendirikan Shalat, sama saja shalat fardhu maupun sunah, lantaran hadis bahwa
2 rokaat shalat dengan bersiwak lebih utama disbanding 70 rokaat tanpa
besiwak. Dalam riwayat lainnya dijelaskan bahwa 1 rokaat shalat dengan bersiwak
sebanding dengan 70 rokaat (tanpa bersiwak). |
(وَالثَّالِثُ عِنْدَ الْقِيَامِ إِلَى الصَّلَاةِ
فَرْضًا أَوْ نَفْلًا) لِلْحَدِيثِ رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ أَفْضَلُ مِنْ
سَبْعِينَ رَكْعَةً بِلَا سِوَاكٍ. وَفِي رِوَايَةٍ رَكْعَةٌ بِسِوَاكٍ
تَعْدِلُ سَبْعِينَ رَكْعَةً. |
Siwak juga menjadi
sangat dianjurkan (sunah muakad) dalam selain 3 kondisi yang telah disebutkan
di atas, yakni yang dijelaskan dalam kitab yang lebih panjang penjelasannya,
seperti membaca Al Qur’an. Siwakan dilakukan sebelum membaca ta’awudz. Dan menguningnya gigi, yang
disebut karang gigi |
(وَيَتَأَكَّدُ)
أَيْ السِّوَاكُ أَيْضًا فِي غَيْرِ الثَّلَاثَةِ الْمَذْكُورَةِ مِمَّا هُوَ
مَذْكُورٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ كَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ). وَيَكُونُ الِاسْتِيَاكُ قَبْلَ التَّعَوُّذِ وَاصْفِرَارِ الْأَسْنَانِ
وَهُوَ الْمُسَمَّى بِالْقَلْحِ. |
Dalam bersiwak disunahkan niat sunah bersiwak, dengan mengucapkan: “Aku
berniat sunah bersiwak”. Jika tidak berniat, maka kesunahan tidak akan
terwujud dan tidak ada pahala baginya. Ini berlaku jika tindakan tersebut
tidak dilakukan dalam konteks ibadah. Jika sebaliknya, tidak perlu ada niat,
seperti ketika seseorang menggunakan siwak setelah berniat wudhu atau setelah
memulai shalat. |
(وَيُسَنُّ أَنْ يَنْوِيَ بِالسِّوَاكِ السُّنَّةَ)
بِأَنْ يَقُولَ نَوَيْتُ سَنَةَ الِاسْتِيَاكِ. وَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ
تَحْصُلْ السُّنَّةُ وَلَا ثَوَابَ لَهُ. هَذَا إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ضِمْنِ
عِبَادَةٍ. وَإِلَّا فَلَا يَحْتَاجُ لِنِيَّةٍ، كَأَنْ وَقَعَ الِاسْتِيَاكُ
بَعْدَ نِيَّةِ الْوُضُوءِ أَوْ بَعْدَ الْإِحْرَامِ بِالصَّلَاةِ. |
Seseorang disunnahkan menggunakan tangan kanannya saat menggunakan siwak,
karena itu tidak langsung bersentuhan dengan kekotoran serta karena mulyanya
mulut dan mulyanya tujuan bersiwak. Selain itu, ia disunahkan menempatkan
jari manis dan ibu jarinya di bawah siwak, sementara tiga jari sisanya di
atasnya. |
(وَأَنْ يَسْتَاكَ بِيَمِينِهِ)، لِأَنَّهَا لَيْسَتْ
مُبَاشِرَةً لِلْقَذَرِ مَعَ شَرَفِ الْفَمِ وَشَرَفِ الْمَقْصُودِ
بِالسِّوَاكِ، وَأَنْ يَجْعَلَ خِنْصَرَهُ وَإِبْهَامَهُ تَحْتَ السِّوَاكِ
وَالْأَصَابِعَ الثَّلَاثَةَ الْبَاقِيَةَ فَوْقَهُ، |
Selain itu, ia juga disunahkan menelan ludahnya sebelum memulai menyikat
gigi dengan siwak, dan ia tidak boleh menghisap siwak. Selain itu, ia
disunahkan memulai dengan sisi kanan mulutnya, mencuci setengah bagian mulut,
kemudian berpindah ke sisi kiri untuk mencuci setengah bagian yang lain, baik
di dalam gigi maupun di luar gigi. |
وَأَنْ يَبْلَعَ رِيقَهُ أَوَّلَ اسْتِيَاكِهِ، وَأَنْ
لَا يَمُصَّهُ، (وَيَبْدَأَ بِالْجَانِبِ الْأَيْمَنِ مِنْ فَمِهِ أَيْ إِلَى
نِصْفِهِ ثُمَّ بِالْجَانِبِ الْأَيْسَرِ إِلَى نِصْفِهِ أَيْضًا مِنْ دَاخِلِ
الْأَسْنَانِ وَخَارِجِهَا، |
Seseorang disunahkan menjalankan siwaknya di atas lengkung
tenggorokannya, yaitu setelah melewati area gigi gerahamnya secara vertikal
dan horizontal, dan juga di atas sisa gigi-giginya secara horizontal, serta
melalui lidahnya dengan gerakan lembut, tidak keras, dan juga di atas area
gigi gerahamnya dengan gerakan memanjang dan menyilang. |
وَأَنْ يَمُرَّ) أَيْ السِّوَاكَ عَلَى سَقْفِ (حَلْقِهِ)
أَيْ بَعْدَ إِمْرَارِهِ عَلَى كَرَاسِي أَضْرَاسِهِ طُولًا وَعَرْضًا، وَعَلَى
بَقِيَّةِ أَسْنَانِهِ عَرْضًا وَعَلَى لِسَانِهِ طُولًا إِمْرَارًا لَطِيفًا)
أَيْ لَا شَدِيدًا، (وَعَلَى كَرَاسِي أَضْرَاسِهِ بِتَشْدِيدِ الْيَاءِ أَيْ
طُولًا وَعَرْضًا |
Seseorang sebaiknya meletakkan siwak di atas telinga kirinya setelah
menggunakan siwak. Jika siwak tersebut berada di tanah, maka seharusnya ia
mengangkatnya. Juga, ia harus mencucinya sebelum meletakkannya, seperti saat
ingin menggunakannya kembali, dan jika telah terjadi kontaminasi seperti oleh
nafas, maka ia harus mencucinya. Dan dia tidak boleh membuat siwak lebih
panjang dari satu jari. |
وَيُسَنُّ أَنْ يَضَعَ السِّوَاكَ بَعْدَ أَنْ يَسْتَاكَ
فَوْقَ أُذُنِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ كَانَ عَلَى الْأَرْضِ نَصَبَهُ، وَأَنْ
يَغْسِلَهُ قَبْلَ وَضْعِهِ كَمَا إِذَا أَرَادَ الِاسْتِيَاكَ بِهِ ثَانِيًا،
وَقَدْ حَصَلَ بِهِ نَحْوُ رِيحٍ، وَأَنْ لَا يَزِيدَ فِي طُولِهِ عَلَى شِبْرٍ.
|
Sunnah untuk membersihkan gigi dari sisa-sisa makanan atau yang
sejenisnya dengan menggunakan benang gigi (pembersih gigi), dan lebih baik
jika benang gigi tersebut terbuat dari kayu siwak. Penggunaan benang gigi
yang terbuat dari logam seperti besi tidak dianjurkan (makruh). |
وَيُسَنُّ تَخْلِيلُ الْأَسْنَانِ بِالْخِلَالِ مِنْ
أَثَرِ طَعَامٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَكَوْنُ الْخِلَّالِ مِنْ عُودِ السِّوَاكِ.
وَيُكْرَهُ بِنَحْوِ الْحَدِيدِ. |
Orang tidak boleh menelan apa yang dia keluarkan dengan benang gigi,
berbeda dengan apa yang dia keluarkan dengan lidahnya, karena dalam hal ini,
tidak ada perubahan yang terjadi. |
وَلَا يَبْلَعُ مَا أَخْرَجَهُ بِالْخِلَّالِ بِخِلَافِ
مَا أَخْرَجَهُ بِلِسَانِهِ فَإِنَّهُ يَغْلِبُ فِيهِ عَدَمُ التَّغَيُّرِ . |
Comments