Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Hukum-hukum Istinjak
فَصْلٌ فِى بيَانِ
اَحْكَامِ الاِسْتِنْجَاءِ
FASAL:
HUKUM-HUKUM ISTINJA’
Fasal: tentang penjelasan hukum-hukum istinja' (membersihkan
diri setelah buang air) dan tata cara bagi orang yang buang hajat, yaitu
hal-hal yang diperintahkan sebagai kesunahan atau kewajiban. Istinja' secara bahasa berarti menyeka atau membasuh
tempat keluarnya kotoran atau membersihkannya. Kotoran tersebut adalah apa
yang keluar dari perut. |
(فَصْلٌ فِي) بَيَانِ أَحْكَامِ (الِاسْتِنْجَاءِ
وَآدَابِ قَاضِي الْحَاجَةِ) أَيْ الْأُمُورِ الْمَطْلُوبَةِ مِنْهُ عَلَى
وَجْهِ النَّدْبِ أَوْ الْوُجُوبِ. (وَالِاسْتِنْجَاءُ)
لُغَةً مَسْحُ مَوْضِعِ النَّجْوِ أَوْ غَسْلُهُ. وَالنَّجْوُ مَا يَخْرُجُ مِنْ
الْبَطْنِ. |
Istinjaa' berasal dari
masdar (kata dasar) نجوت الشىء', yang memiliki arti pemotongan atau memotong sesuatu, baik
itu dari akarnya atau dari tengah-tengahnya. Jadi, istinjaa' dalam konteks
ini berarti memotong sesuatu yang tidak diinginkan dari badan. Ini mirip
dengan potongan yang sebenarnya, yang terjadi pada bagian tubuh yang
terhubung, seperti tali. |
(وَهُوَ) مَأْخُوذٌ (مِنْ) مَصْدَرِ (نَجَوْتُ
الشَّيْءَ). وَهُوَ النَّجْوُ بِمَعْنَى الْقَطْعِ. (أَيْ قَطَعْتُهُ) أَيْ
الشَّيْءَ. إِمَّا مِنْ أَصْلِهِ أَوْ مِنْ وَسَطِهِ. (فَكَانَّ الْمُسْتَنْجِيَ
يَقْطَعُ بِهِ) أَيْ الِاسْتِنْجَاءِ (الْأَذَى عَنْ نَفْسِهِ). فَهُوَ شَبِيهٌ
بِالْقَطْعِ الْحَقِيقِيِّ الَّذِي هُوَ فِي مُتَّصِلُ الْأَجْزَاءِ
كَالْحَبْلِ. |
Secara syariat, istinja'
adalah menghilangkan najis yang keluar dari farji (kemaluan) dengan
menggunakan air atau batu sesuai dengan syarat-syarat yang akan dijelaskan.
Ini wajib dilakukan setiap kali buang air kecil atau buang air besar, atau
keluarnya najis lainnya, baik itu berupa darah atau nanah, meskipun hanya
terjadi sesekali. |
وَأَمَّا شَرْعًا فَهُوَ إِزَالَةُ الْخَارِجِ مِنْ
الْفَرْجِ عَنْ الْفَرْجِ بِمَاءٍ أَوْ حَجَرٍ بِشَرْطِهِ الْآتِي. وَهُوَ
(وَاجِبٌ مِنْ خُرُوجِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ) أَيْ وَغَيْرِهِمَا مِنْ كُلِّ
خَارِجٍ نَجِسٍ مُلَوِّثٍ وَلَوْ نَادِرًا كَدَمٍ وَوَدِي. |
Istinjaa' dilakukan
dengan menggunakan air. Wajib menggunakan sejumlah air yang cukup, sehingga
diyakini bahwa najis telah hilang. Tanda-tandanya adalah munculnya kasar
setelah kelembutan pada organ kemaluan pria, sedangkan pada wanita
sebaliknya. Penting untuk merendahkan tubuh agar najis tidak tertinggal di
lipatan kemaluan, sehingga bisa bersih sepenuhnya. |
(وَيَكُونُ الِاسْتِنْجَاءُ بِالْمَاءِ). وَيَجِبُ
اسْتِعْمَالُ قَدْرٍ مِنْهُ بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ زَوَالُ
النَّجَاسَةِ. وَعَلَامَتُهُ ظُهُورُ الْخُشُونَةِ بَعْدَ النُّعُومَةِ فِي
الذَّكَرِ، وَأَمَّا الْأُنْثَى فَبِالْعَكْسِ. وَلَا بُدَّ أَنْ يَسْتَرْخِيَ
لِئَلَّا تَبْقَى النَّجَاسَةُ فِي تَضَاعِيفِ الْفَرْجِ حَتَّى تَنْغَسِلَ. |
Atau dengan batu, yaitu
batu yang sesuai dengan definisinya, dan benda yang dapat mencapai tujuan
penggunaan batu, yaitu setiap benda keras, yang bersih dari kelembaban
(basah-basahan), suci dan bisa mengangkat benda najisnya. Jadi, istinjak
menggunakan kain sutra diperbolehkan bagi pria dan wanita, selama semua itu
tidak dihormati secara khusus. |
(أَوْ الْحَجَرِ) أَيْ الْحَقِيقِي (وَمَا فِي مَعْنَاهُ)
أَيْ فِيمَا يُقَاسُ عَلَى الْحَجَرِ الْحَقِيقِيِّ فِي حُصُولِ الْمَقْصُودِ
بِهِ (مِنْ كُلِّ جَامِدٍ) أَيْ خَالٍ عَنْ الرُّطُوبَةِ (طَاهِرٍ قَالِعٍ)
لِعَيْنِ النَّجَاسَةِ. فَيَجُوزُ الِاسْتِنْجَاءُ بِالْحَرِيرِ لِلرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ، (غَيْرِ مُحْتَرَمٍ) أَيْ غَيْرَ مُعَظَّمٍ. |
Tetapi yang lebih baik,
untuk orang yang melakukan istinja' bahkan untuk buang air kecil, adalah
melakukan istinja' pertama kali dengan batu. Saat itu, tidak ada syarat
kebersihan atau yang lainnya, tetapi lebih disukai untuk mencapai
kesempurnaan. Kemudian diikuti dengan membasuhnya menggunakan air, karena
batu dapat menghilangkan najis dan air dapat membersihkan bekasnya. |
(وَلَكِنَّ الْأَفْضَلَ) لِمُرِيدِ الِاسْتِنْجَاءِ
وَلَوْ مِنْ نَحْوِ الْبَوْلِ (أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَوَّلًا بِالْأَحْجَارِ ).
وَلَا يُشْتَرَطُ فِيهَا حِينَئِذٍ طَهَارَةٌ وَلَا غَيْرُهَا، لَكِنْ يُسَنُّ
الْحُصُولُ الْأَكْمَلِ، (ثُمَّ يُتْبِعُهَا ثَانِيًا بِالْمَاءِ) لِأَنَّ
الْأَحْجَارَ تُزِيلُ الْعَيْنَ وَالْمَاءَ يُزِيلُ الْأَثَرَ . |
Wajib melakukan tiga
kali penyekaan (dengan batu). Wajib memperluas area yang dibersihkan dengan
setiap penyekaan. Meskipun tiga kali penyekaan itu dilakukan dengan satu sisi
batu. Sehingga, yang penting adalah jumlah penyekaan, bukan jumlah batu. Jika
tidak terkena najis pada penyekaan kedua, maka boleh dilakukan penyekaan
kedua dan ketiga dengan satu sisi batu saja. |
(وَالْوَاجِبُ
ثَلَاث مَسَحَاتٍ). وَيَجِبُ تَعْمِيمُ الْمَحَلِّ بِكُلِّ مَسْحَةٍ. (وَلَوْ)
كَانَتْ ثَلَاثُ مَسَحَاتٍ (بِثَلَاثَةِ أَطْرَافِ حَجَرٍ وَاحِدٍ).
فَالْعِبْرَةُ بِتَعَدُّدِ الْمَسْحِ لَا بِتَعَدُّدِ الْحَجَرِ. فَإِنْ لَمْ
يَتَلَوَّثْ فِي الثَّانِيَةِ جَازَتْ هِيَ وَالثَّالِثَةُ بِطَرَفٍ وَاحِدٍ، |
Hal ini karena penyekaan
hanya membantu menghilangkan najis dan tidak mempengaruhi keadaannya seperti
air. Hal ini berdasarkan hadis dari Salman Al-Farisi: "Rasulullah SAW
melarang kami untuk melakukan istinja' dengan menggunakan kurang dari tiga batu. |
لِأَنَّهُ إِنَّمَا خَفَّفَ النَّجَاسَةَ فَلَا يُؤَثِّرُ
فِيهِ الِاسْتِعْمَالُ بِخِلَافِ الْمَاءِ، وَذَلِكَ لِخَبَرِ مُسْلِمٍ عن
سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ |
Dan boleh juga jika
orang yang melakukan istinja' membatasi dirinya hanya menggunakan air, karena
air adalah pokok dalam menghilangkan najis. Atau menggunakan tiga batu untuk
membersihkan area yang diinginkan. |
(وَيَجُوزُ)
وَيُجْزِىءُ (أَنْ يَقْتَصِرَ الْمُسْتَنْجِي عَلَى الْمَاءِ) لِأَنَّهُ
الْأَصْلُ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ، (أَوْ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
يُنَقِّي) أَيْ الْمُسْتَنْجِي (بِهِنَّ الْمَحَلَّ). |
Yang dibolehkan adalah
membatasi diri hanya dengan tiga batu, jika dengan itu sudah terjadi
pembersihan. Namun, jika pembersihan belum terjadi, maka wajib menambah
jumlah batu sampai pembersihan tercapai. |
وَإِنَّمَا جَازَ الِاقْتِصَارُ عَلَى الثَّلَاثِ (إِنْ
حَصَلَ الْإِنْقَاءُ بِهَا، وَإِلَّا زَادَ عَلَيْهَا) وُجُوبًا (حَتَّى
يُنَقِّيَ) أَيْ الْمُسْتَنْجِي الْمَحَلَّ. |
Dan disunnahkan setelah
itu tatslis (melakukan tiga kali), artinya mengulang, misalnya
pembersihan terjadi dengan empat batu, maka disunnahkan untuk menggunakan
yang kelima. Jika pembersihan terjadi dengan hitungan ganjil, maka setelah
itu tidak disunnahkan lagi menggunakan apapun, sebagaimana disebutkan dalam
hadis: 'Jika salah satu dari kalian istinja menggunakan batu, maka hendaklah
menggunakan hitungan ganjil.' (Hadis riwayat Bukhori Muslim). |
(وَيُسَنُّ بَعْدَ ذَلِكَ) أَيْ الْإِنْقَاءِ
(التَّثْلِيثُ) أَيْ الْإِيتَارُ، كَأَنْ حَصَلَ الْإِنْقَاءُ بِأَرْبَعٍ
فَيُسَنُّ الْإِتْيَانُ بِخَامِسٍ، فَإِنْ حَصَلَ بِوِتْرٍ لَمْ يُسَنَّ
بَعْدَهُ شَيْءٌ، لِقَوْلِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ
وِتْرًا رَوَاهُ الشَّيْخَانِ. |
Jika seseorang ingin
menggabungkan keduanya (air dan batu), maka itu yang lebih baik. Namun, jika
ingin membatasi penggunaan hanya pada salah satunya, baik itu air atau batu,
maka air lebih baik, karena air dapat menghilangkan najis dan bekasnya,
berbeda dengan batu. |
(فَإِذَا
أَرَادَ الْجَمْعَ فَهُوَ الْأَفْضَلُ. وَإِنْ أَرَادَ الِاقْتِصَارَ عَلَى
أَحَدِهِمَا) أَيْ الْمَاءِ أَوْ الْأَحْجَارِ (فَالْمَاءُ أَفْضَلُ لِأَنَّهُ
يُزِيلُ عَيْنَ النَّجَاسَةِ وَأَثَرَهَا) بِخِلَافِ الْأَحْجَارِ، |
Hal ini berlaku jika
seseorang tidak merasa terganggu oleh penggunaan batu, jika merasa terganggu,
maka lebih baik menggunakan air. Begitu pula, hal ini berlaku untuk seluruh
keringanan. |
هَذَا إِذَا لَمْ تَكْرَهْ نَفْسُهُ عَنْ الْأَحْجَارِ،
وَإِلَّا فَهِيَ أَفْضَلُ. وَكَذَا يُقَالُ فِي سَائِرِ الرُّخَصِ. |
Syarat sahnya istinja’
dengan batu, jika seseorang mau meringkas istinja dengan batu, adalah: (1) Najis yang keluar
tidak mengering sampai mengering. Jika sudah mengering, maka harus
menggunakan air, selama tidak ada najis lain yang keluar dari tempat keluar
najis itu, dan mencapai tempat yang telah dicapai oleh air yang pertama,
meskipun berbeda jenis. Jika tidak, sudah cukup istinjaa dengan batu. |
(وَشَرْطُ إِجْزَاءِ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ) إِنْ
أَرَادَ الِاقْتِصَارَ عَلَيْهِ (أَنْ لَا يَجِفَّ الْخَارِجُ النَّجِسُ). فَإِنْ جَفَّ تَعَيَّنَ الْمَاءُ مَا
لَمْ يَخْرُجْ بَعْدَهُ خَارِجٌ آخَرُ، وَيَصِلُ إِلَى مَا وَصَلَ إِلَيْهِ
الْأَوَّلُ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، وَإِلَّا كَفَى الِاسْتِنْجَاءُ
بِالْحَجَرِ. |
(2) Dan (najis) tidak
sampai berpindah dari tempat keluarnya, yaitu dari tempat yang terkena saat najis
keluar dan menetap di sana, meskipun najis menyebar di sekitar tempat keluar
di luar batas normal manusia. Adapun jika menyebar
sebelum menetap maka pemindahan itu tidak merugikan, kecuali jika melewati
bibir farji dan pangkal paha, dan keluaran tidak terputus. |
(وَلَا يَنْتَقِلَ) أَيْ الْخَارِجُ (عَنْ مَحَلِّ
خُرُوجِهِ) أَيْ عَنْ الْمَحَلِّ الَّذِي أَصَابَهُ عِنْدَ الْخُرُوجِ
وَاسْتَقَرَّ فِيهِ، وَإِنْ انْتَشَرَ حَوْلَ الْمَخْرَجِ فَوْقَ عَادَةِ
الْإِنْسَانِ، وَأَمَّا قَبْلَ الِاسْتِقْرَارِ فَلَا يَضُرُّ الِانْتِقَالُ،
إِلَّا إِذَا جَاوَزَ الصَّحْفَةَ وَالْحَشَفَةَ وَلَا يَنْقَطِعُ الْخَارِجُ. |
Perbedaan antara putus
dan pindah adalah bahwa pindah melibatkan berdiam dan kemudian pengaliran
dengan terputus-putus pada awalnya, sedangkan putus adalah ketika ada
pemutusan di antara bagian-bagian yang keluar sebagai permulaan. |
وَالْفَرْقُ بَيْنَ التَّقَطُّعِ وَالِانْتِقَالِ أَنَّ
الِانْتِقَالَ الِاسْتِقْرَارُ ثُمَّ السَّيَلَانُ بِتَقَطُّعٍ أَوَّلًا،
وَالتَّقَطُّعُ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ أَجْزَاءِ الْخَارِجِ تُقَطُّعٌ ابْتِدَاءً.
|
(3) Dan najisnya tidak terkena najis lain yang keluar, atau terkena benda
suci yang basah meskipun dengan basahnya batu dan barang lainnya. Barang ini
tidak dibatasi, bahkan walau benda lainnya itu sudah ada sebelum najisnya
keluar, hukumnya tetap sama seperti itu. |
(وَلَا يَطْرَأَ عَلَيْهِ) أَيْ الْخَارِجِ (نَجِسٌ)
آخَرُ مُطْلَقًا (أَجْنَبِيٌّ عَنْهُ) أَيْ الْخَارِجِ، أَوْ طَاهِرٌ رَطْبٌ
وَلَوْ بِبَلَلِ الْحَجَرِ وَالطَّرِّ، وَلَيْسَ بِقَيْدٍ بَلْ لَوْ كَانَ
الْأَجْنَبِيُّ مَوْجُودًا قَبْلَ الْخَارِجِ كَانَ الْحُكْمُ كَذَلِكَ. |
Jika salah satu syarat
dari yang disebutkan itu tidak terpenuhi, maka istinja harus dilakukan dengan
air, karena ketidakbolehan menggunakan batu pada saat itu. Dan batu tidak cukup
kecuali dalam hal istinja (membersihkan diri setelah buang air), dan tidak
cukup dalam hal selain lubang kelamin asli. |
فَإِنْ انْتَفَى شَرْطٌ مِنْ ذَلِكَ أَيْ الْمَذْكُورِ
(تَعَيَّنَ الْمَاءُ) لِعَدَمِ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ حِينَئِذٍ. وَلَا يَكْفِي الْحَجْرُ فِي غَيْرِ الِاسْتِنْجَاءِ،
وَلَا فِي غَيْرِ الْفَرْجِ الْأَصْلِيِّ. |
Dan qadhil hajat, dan
orang yang mau buang hajat yang mukalaf dan wali lainnya, wajib menghindari
menghadap kiblat yang sekarang, yaitu Ka'bah, dengan keyakinan atau dugaan,
dengan wajahnya, ketika buang air kecil atau besar, bahkan jika tidak melihat
langsung tempat keluarnya. Dan dari membelakangi kiblat dengan menjadikan
punggungnya mengarah kiblat saat buang air kecil atau besar, bahkan jika
tidak melihat langsung tempat keluarnya. |
(وَيَجْتَنِبُ
وُجُوبًا قَاضِي الْحَاجَةِ) وَمُرِيدُ قَضَائِهَا الْمُكَلَّفُ وَوَلِيُّ
غَيْرِهِ (اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ الْآنَ وَهِيَ الْكَعْبَةُ) يَقِينًا أَوْ
ظَنًّا بِوَجْهِهِ بِالْبَوْلِ أَوْ الْغَائِطِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِعَيْنِ
الْخَارِجِ، (وَاسْتِدْبَارَهَا) بِجَعْلِ ظَهْرِهِ إِلَيْهَا بِالْبَوْلِ أَوْ
الْغَائِطِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِعَيْنِ الْخَارِجِ، |
Hal ini wajib dihindari
saat di tempat terbuka, yaitu wilayah terbuka, jika tidak ada penghalang di
antara dia dan kiblat, atau jika ditemukan penghalang dan jaraknya kurang
dari dua pertiga zira' (ukuran panjang tangan orang dewasa), atau jika
ditemukan penghalang namun jaraknya jauh dari qadhil hajat lebih dari tiga
lengan, dan itu diukur dengan panjang lengan manusia seperti yang dikatakan
oleh beberapa ulama. |
(فِي الصَّحْرَاءِ) أَيْ الْفَضَاءِ (إِنْ لَمْ يَكُنْ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ سَاتِرٌ، أَوْ كَانَ) أَيْ وُجِدَ سَاتِرٌ
(وَلَمْ يَبْلُغْ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ، أَوْ بَلَغَهُمَا وَبَعُدَ عَنْهُ أَكْثَرَ
مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ)، وَذَلِكَ (بِذِرَاعِ الْآدَمِيِّ كَمَا قَالَ
بَعْضُهُمْ ). |
Kesimpulannya, lebar
penghalang ini tidak disyaratkan harus menutupi seluruh anggota badan yang
menghadap ke kiblat, baik saat buang hajat dengan berdiri maupun dengan
duduk. Sehingga saat seseorang buang hajat sambil berdiri, maka ia harus
menutupi bagian yang di bawah pusarnya hingga ke tempat kedua kakinya sebagai
bentuk menjaga arah kiblat. |
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ فِي عَرْضِ
السَّاتِرِ أَنْ يَعُمَّ جَمِيعَ مَا تَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ، سَوَاءٌ فِي
ذَلِكَ الْقَائِمُ وَالْجَالِسُ. فَلَوْ قَضَى حَاجَتَهُ قَائِمًا لَا بُدَّ
أَنْ يَسْتُرَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى مَوْضِعِ قَدَمَيْهِ صِيَانَةً
لِلْقِبْلَةِ، |
Jika aurat berakhir di
tengah badan, maka cukup menutupinya dengan kurang dari dua pertiga dziro’,
tetapi jika membutuhkan lebih dari dua pertiga, maka itu diwajibkan. |
وَإِنْ كَانَتْ الْعَوْرَةُ تَنْتَهِي لِلْمَرْكَبَةِ
فَلَوْ كَفَاهُ دُونَ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ كَفَى، أَوْ احْتَاجَ إِلَى زِيَادَةٍ
عَلَى الثُّلُثَيْنِ وَجَبَتْ. |
Jika arah kiblat
diragukan, wajib melakukan ijtihad di mana tidak ada penutup padanya. Jika
angin bertiup dari arah kanan dan kiri kiblat dan ada ketakutan akan percikan
air, maka boleh menghadap kiblat atau berpaling dari kiblat untuk kepentingan
darurat. Jika jika mendapat udzur selain kedua hal itu, maka wajib
membelakangi kiblat, karena menghadap kiblat lebih jelek. |
وَلَوْ اشْتَبَهَتْ الْقِبْلَةُ عَلَيْهِ وَجَبَ
الِاجْتِهَادُ حَيْثُ لَا سَتْرَ لَهُ، وَلَوْ هَبَّتْ رِيحٌ عَنْ يَمِينِ
الْقِبْلَةِ وَيَسَارِهَا وَخَشِيَ الرَّشَاشَ جَازَ الِاسْتِقْبَالُ
وَالِاسْتِدْبَارُ لِلضَّرُورَةِ. فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ غَيْرُهُمَا وَجَبَ
الِاسْتِدْبَارُ، لِأَنَّ الِاسْتِقْبَالَ أَفْحَشُ. |
Dan bangunan dalam hal
ini, artinya dalam kewajiban menghindari menghadap atau membelakangi kiblat, seperti
tanah lapang dengan syarat yang disebutkan, yaitu yang diulang-ulang antara
tiga hal. Maka, menghadap atau membelakangi kiblat menjadi terlarang dalam
tiga situasi tersebut. |
(وَالْبُنْيَانُ فِي هَذَا) أَيْ فِي وُجُوبِ اجْتِنَابِ
اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا (كَالصَّحْرَاءِ بِالشَّرْطِ
الْمَذْكُورِ) أَيْ الْمُرَدَّدِ بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ. فَيَحْرُمُ
الِاسْتِقْبَالُ وَالِاسْتِدْبَارُ فِي الصُّوَرِ الثَّلَاثَةِ. |
Jika ditemukan penutup
dari kaki hingga pusar dan tidak lebih dari tiga dziro’ maka tidak wajib
menjauhinya, bahkan justru disunahkan. Dalam situasi ini, setiap tindakan
menghadap atau membelakangi kiblat hukumnya khilaful aula, kecuali bangunan
yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan atau tanah lapang yang digunakan
berulang kali untuk keperluan itu. |
فَإِنْ وُجِدَ سَاتِرٌ مِنْ الْقَدَمِ إِلَى السُّرَّةِ
وَلَمْ يَبْعُدْ عَنْهُ أَكْثَرُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ لَمْ يَجِبْ
الِاجْتِنَابُ، بَلْ يُنْدَبُ. وَيَكُونُ كُلٌّ مِنْ الِاسْتِقْبَالِ
وَالِاسْتِدْبَارِ حِينَئِذٍ خِلَافَ الْأَوْلَى إلَّا الْبِنَاءَ الْمُعَدَّ
لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ وَالصَّحْرَاءِ الْمُعَدَّ لِذَلِكَ بِتَكْرَارِ قَضَاءِ
الْحَاجَةِ فِيهِ، أَوْ بِقَصْدِ ذَلِكَ، |
Dalam hal ini, tidak ada
larangan atau kemakruhan, dan tidak khilaful aula, secara mutlak. Artinya,
meski ada penutup atau tidak, apakah jaraknya mencapai dua pertiga dziro atau
kurang, itu tidak masalah. |
(فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ) أَيْ الْمُعَدِّ وَلَا كَرَاهَةَ
وَلَا هُوَ خِلَافُ الْأَوْلَى، (مُطْلَقًا) أَيْ وُجِدَ سَاتِرٌ أَوْ لَا
بَلَغَ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ أَوْ لَا بَعُدَ عَنْهُ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ
أَذْرُعٍ أَوْ لَا. |
Ya, setiap tindakan
menghadap atau membelakangi kiblat bertentangan dengan yang lebih utama
ketika memungkinkan untuk menyingkir dari arah kiblat tanpa kesulitan. |
نَعَمْ يَكُونُ
كُلٌّ مِنْ الِاسْتِقْبَالِ وَالِاسْتِدْبَارِ خِلَافَ الْأَفْضَلِ حَيْثُ
أَمْكَنَ الْمَيْلُ عَنْ الْقِبْلَةِ بِلَا مَشَقَّةٍ. |
Dan keluar dengan
perkataan kami ‘kiblat yang sekarang’ sesuatu yang awalnya menjadi kiblat,
seperti Baitul Maqdis yakni batunya. Maka menghadap atau membelakanginya
adalah makruh. Dan kemakruhan itu hilang dengan hilangnya penghormatan pada
arah kiblat. |
(وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا الْآنَ مَا كَانَ قِبْلَةً
أَوَّلًا كَبَيْتِ الْمَقْدِسِ) أَيْ كَصَخْرَتِهِ (فَاسْتِقْبَالُهُ
وَاسْتِدْبَارُهُ مَكْرُوهٌ. وَتَزُولُ الْكَرَاهَةُ بِمَا تَزُولُ بِهِ
الْحُرْمَةُ فِي الْقِبْلَةِ. |
Dan dalam rangka adab,
seorang yang hendak buang hajat, meskipun belum mekalaf, hendaklah menjauhi
buang air kecil atau bear pada air yang diam. Syarih menambahkan buang air
besar karena ini lebih utama untuk dihindari. Air yang diam maksudnya air
mubah atau yang dimilikinya, dan tidak diwajibkan bagi seseorang bersuci
dengan itu. |
(وَيَجْتَنِبُ أَدَبًا) أَيْ نَدْبًا (قَاضِي الْحَاجَةِ)
وَلَوْ غَيْرَ مُكَلَّفٍ (الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ)، زَادَهُ الشَّارِحُ لِأَنَّهُ أَوْلَى بِالْكَرَاهَةِ، (فِي الْمَاءِ
الرَّاكِدِ) أَيْ الْمُبَاحِ أَوْ الْمَمْلُوكِ لَهُ، وَلَمْ يَتَعَيَّنْ
عَلَيْهِ الطَّهَارَةُ بِهِ. |
Adapun air yang
disediakan untuk minum atau milik orang lain, atau miliknya dan wajib dipakai
untuk bersuci, yaitu ketika waktu telah masuk dan dia tidak menemukan yang
lain, maka kencing dan berak di dalamnya menjadi haram, baik airnya sedikit
atau banyak, kecuali jika airnya melimpah dan tidak ada orang yang
mempermasalahkannya, maka tidak ada kemakruhan dalam hal ini, kecuali pada
malam hari, di mana hal ini menjadi makruh, dan kemakruhannya lebih kuat pada
malam hari serta dalam air yang jumlahnya sedikit. |
أَمَّا الْمُسَبَّلُ وَالْمَمْلُوكُ لِغَيْرِهِ، أَوْ
لَهُ وَتَعَيَّنَ عَلَيْهِ الطَّهَارَةُ بِهِ، بِأَنْ دَخَلَ الْوَقْتُ وَلَمْ
يَجِدْ غَيْرَهُ، فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ الْبَوْلُ وَالْغَائِطُ فِيهِ، سَوَاءٌ
كَانَ الرَّاكِدُ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا، إِلَّا أَنْ يَسْتَبْحَرَ بِحَيْثُ
لَا تُعَافِهِ الْأَنْفُسُ بِحَالٍ لَا حَالًا وَلَا مَالًا، فَلَا كَرَاهَةَ
فِيهِ، إِلَّا لَيْلًا فَيُكْرَهُ، وَالْكَرَاهَةُ فِي اللَّيْلِ وَالْقَلِيلِ
أَشَدُّ. |
Adapun kencing pada air
yang mengalir yang sedikit hukumnya makruh, bukan pada air mengalir yang
banyak. Tetapi yang lebih baik adalah menghindarinya dalam jumlah yang
banyak. Dan makruh kencing
secara mutlak pada malam hari, baik airnya mengalir atau tidak, sama saja
airnya melimpah atau tidak. |
(أَمَّا الْجَارِي فَيُكْرَهُ) أَيْ الْبَوْلُ (فِي
الْقَلِيلِ مِنْهُ دُونَ الْكَثِيرِ) أَيْ فَلَا يُكْرَهُ، (لَكِن الْأَوْلَى
اجْتِنَابُهُ) أَيْ الْكَثِيرِ بِالْبَوْلِ. وَيُكْرَهُ فِي اللَّيْلِ مُطْلَقًا جَارِيًا كَانَ
الْمَاءُ أَوْ رَاكِدًا، سَوَاءٌ اسْتَبْحَرَ أَمْ لَا. |
Kesimpulannya adalah
bahwa kencing itu makruh pada malam hari secara mutlak, karena air pada malam
hari menjadi tempat tinggal bagi jin, begitu juga makruh pada siang hari
kecuali dalam air yang diam yang melimpah atau air mengalir yang banyak. |
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يُكْرَهُ فِي اللَّيْلِ مُطْلَقًا،
لِأَنَّ الْمَاءَ لَيْلًا مَأْوَى الْجِنِّ وَكَذَا فِي النَّهَارِ إِلَّا فِي
الرَّاكِدِ الْمُسْتَبْحَرِ وَالْجَارِي الْكَثِيرِ. |
Jika seseorang kencing
di laut, sebagai contoh, dan muncul buih darinya, itu dianggap suci selama
tidak menjadi nyata bahwa itu berasal dari kencing, seperti jika tercium bau
kencing di dalamnya. Imam Nawawi membahas
tentang keharaman kencing dalam air sedikit, baik mengalir maupun diam, yaitu
jika ada kekotoran yang terlihat di tempat tersebut. |
وَلَوْ بَالَ فِي الْبَحْرِ مَثَلًا فَارْتَفَعَتْ
رَغْوَةٌ مِنْهُ فَهِيَ طَاهِرَةٌ مَا لَمْ يَتَحَقَّقْ كَوْنُهَا مِنْ
الْبَوْلِ، كَأَنْ وَجَدَ فِيهَا رَائِحَتَهُ. (وَبَحَثَ
النَّوَوِيُّ تَحْرِيمَهُ) أَيْ الْبَوْلِ (فِي الْقَلِيلِ جَارِيًا كَانَ أَوْ
رَاكِدًا) أَيْ إِذَا كَانَ هُنَاكَ تَضَمُّخٌ بِالنَّجَاسَةِ. |
Dia juga sebaiknya
menjauhi kencing dan berak (tanpa kebutuhan) di bawah pohon yang berbuah pada
saat berbuah dan lainnya. Yang dimaksud dengan di bawah pohon adalah area
yang biasanya terjangkau oleh buah yang jatuh. Tidak ada perbedaan antara
buah yang dimilikinya dan yang bukan miliknya, karena pembicaraan ini berkaitan
dengan membuat najis. |
(وَيَجْتَنِبُ
أَيْضًا الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ) نَدْبًا (تَحْتَ الشَّجَرَةِ الْمُثْمِرَةِ
وَقْتَ الثَّمَرَةِ وَغَيْرِهِ). وَالْمُرَادُ بِالتَّحْتِيَّةِ مَا تَصِلُ
إِلَيْهِ الثَّمَرَةُ السَّاقِطَةُ غَالِبًا عَادَةً. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ
الثَّمَرَةِ الْمَمْلُوكَةِ وَغَيْرِهَا لِأَنَّ الْكَلَامَ مِنْ حَيْثُ
التَّنْجِيسُ، |
Pohon mencakup tanaman
yang berupa pohon seperti pohon kurma, cedar, kacang hijau, dan sejenisnya.
Sedangkan buah adalah apa yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan, baik untuk
makanan atau tujuan lain, bahkan jika itu seperti daun yang bisa dimanfaatkan
setelah terkontaminasi oleh najis. |
وَبِالشَّجَرَةِ مَا تَشْمَلُ النَّجْمَ كَالْبُرِّ
وَالْأَرُزِ وَالْفُولِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَبِالثَّمَرَةِ مَا يُقْصَدُ
الِانْتِفَاعُ بِهِ بِأَكْلٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَلَوْ نَحْوَ وَرَقٍ مِمَّا
تُعَافُ الْأَنْفُسُ الِانْتِفَاعَ بِهِ بَعْدَ تَلْوِيثِهِ بِالنَّجَاسَةِ. |
Dia menjauhi apa yang
telah disebutkan, yaitu kencing dan berak, di jalan yang sering dilewati oleh
orang-orang. Melakukan itu di sana dianggap makruh, dan ada yang mengatakan
bahwa itu haram untuk buang air besar di sana. Ada kelompok ulama yang
berpendapat bahwa itu diharamkan karena dapat menarik banyak kutukan (laknat)
secara umum. Adapun jalan yang jarang dilewati, maka tidak ada makruh di
sana. |
(وَيَجْتَنِبُ مَا ذُكِرَ) أَيْ الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ
(فِي الطَّرِيقِ الْمَسْلُوكِ لِلنَّاسِ) فَيُكْرَهُ ذَلِكَ فِيهِ، وَقِيلَ
يَحْرُمُ التَّغَوُّطُ، وَعَلَيْهِ جَمَاعَةٌ لِكَوْنِهِ يَجْلِبُ اللَّعْنَ
كَثِيرًا عَادَةً. أَمَّا الطَّرِيقُ الْمَهْجُورُ فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ |
Dan sebaiknya jangan
buang hajat juga pada tempat yang teduh pada musim panas, yaitu pada saat
panas, dan dalam tempat terik matahari pada musim dingin, yaitu pada saat
cuaca dingin. Yang dimaksud dengan tempat tersebut adalah setiap tempat yang
tidak dimiliki oleh seseorang dan dimaksudkan untuk tujuan seperti tempat
tinggal atau tempat beristirahat, maka itu dianggap makruh jika mereka
berkumpul untuk tujuan yang dibolehkan. |
(وَفِي
مَوْضِعِ الظِّلِّ صَيْفًا) أَيْ وَقْتَ الْحَرِّ، (وَفِي مَوْضِعِ الشَّمْسِ
شِتَاءً) أَيْ وَقْتَ الْبَرْدِ. وَالْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمَوْضِعِ كُلُّ
مَحَلٍّ غَيْرِ مَمْلُوكٍ لِأَحَدٍ يُقْصَدُ لِغَرَضٍ كَمَعِيشَةٍ أَوْ مَقِيلٍ،
فَيُكْرَهُ ذَلِكَ إِنْ اجْتَمَعُوا لِجَائِزٍ. |
Namun, itu diharamkan
jika tempat tersebut dimiliki oleh orang lain, kecuali jika mereka berkumpul
untuk tujuan sebaliknya atau untuk bersembunyi di dalamnya, maka tidak
dianggap makruh. |
وَيَحْرُمُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ الْمَحَلُّ مَمْلُوكًا
لِلْغَيْرِ، وَإِلَّا بِأَنْ اجْتَمَعُوا لِلْعَكْسِ أَوْ لِلْغِيْبَةِ فِيهِ
فَلَا يُكْرَهُ.
|
Bahkan disunahkan atau
diwajibkan jika ini dapat mencegah melakukan dosa dan jika keyakinan atau
dugaan menunjukkan hal itu. Dalam keraguan, disarankan untuk menghindari,
karena dasar dari pertemuan (perkumpulan) adalah diperbolehkan. |
وَلَا يَحْرُمُ بَلْ يُنْدَبُ أَوْ يَجِبُ إِنْ أَفْضَى
إِلَى مَنْعِ الْمَعْصِيَةِ إِنْ تَيَقَّنَ ذَلِكَ أَوْ ظَنَّهُ. وَيَنْبَغِي
فِي الشَّكِّ الْكَرَاهَةُ نَظَرًا إِلَى أَنَّ الْأَصْلَ فِي الِاجْتِمَاعِ
الْإِبَاحَةُ. |
Dan juga janagn buang
hajat pada lubang di tanah, lafadz ثقب dengan tiga
titik di huruf ث, yaitu lubang yang memiliki kemiringan. Dan yang benar adalah
dengan dua titik huruf ت (تقب). Ini adalah celah. |
(وَفِي
الثَّقْبِ فِي الْأَرْضِ، وَهُوَ) بِفَتْحِ الْمُثَلَّثَةِ،
(النَّازِلُ الْمُسْتَدِيرُ) وَالْحَقُّ بِهِ السَّرْبُ بِفَتْحَتَيْنِ، وَهُوَ
الشَّقُّ، |
Larangan ini karena
terkadang di dalamnya ada hewan yang lemah yang bisa terluka atau hewan yang
kuat yang bisa melukainya. Ketika dikatakan bahwa jin tinggal di sana, maka
bisa merugikan orang yang buang air ke sana. Diceritakan bahwa mereka
membunuh Sa'd bin 'Ubadah ketika dia buang air di sana. Dan kata "ثقب" tidak
disebutkan, maksudnya tidak dijelaskan dalam beberapa naskah. |
لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ فِي ذَلِكَ حَيَوَانٌ ضَعِيفٌ،
فَيَتَأَذَّى أَوْ قَوِيٌّ فَيُؤْذِيهِ. وَلَمَّا قِيلَ إنَّ الْجِنَّ تَسْكُنُ
ذَلِكَ فَقَدْ تُؤْذِي مَنْ يَبُولُ فِيهِ. وَرُوِيَ أَنَّهُمْ قَتَلُوا سَعْدَ
بْنَ عُبَادَةَ لَمَّا بَالَ فِيهِ. (وَلَفْظُ الثَّقْبِ سَاقِطٌ) أَيْ غَيْرُ
مَذْكُورٍ (فِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ) |
Dan dia tidak boleh
berbicara tanpa kebutuhan mendesak ketika dia sedang buang air besar atau
buang air kecil, sehingga berbicara di situ dilarang dan diharamkan untuknya
selama itu, bahkan jika itu dilakukan tanpa menyebutkan sesuatu atau
memberikan jawaban salam, kecuali untuk kebutuhan, |
(وَلَا
يَتَكَلَّمُ أَدَبًا) أَيْ نَدْبًا (لِغَيْرِ ضَرُورَةِ قَاضِي الْحَاجَةِ)
حَالَ كَوْنِهِ مُتَلَبِّسًا (عَلَى) خُرُوجِ (الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ)،
فَيُكْرَهُ لَهُ التَّكَلُّمُ حَالَ ذَلِكَ، وَلَوْ بِغَيْرِ ذِكْرٍ أَوْ رَدِّ
سَلَامٍ إِلَّا لِمَصْلَحَةٍ، |
Karena sabda Nabi SAW:
“Jika dua orang di antara kalian buang air besar, hendaklah masing-masing
dari mereka menjauh dari temannya dan jangan berbicara satu sama lain, karena
Allah benci pada hal itu”. |
لِقَوْلِهِ صّلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا تَغَوَّطَ الرَّجُلَانِ فَلْيَتَوَارَ كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ صَاحِبِهِ وَلَا يَتَحَدَّثَانِ فَإِنَّ اللَّهَ
يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ. |
Jika ada kebutuhan yang
memerlukan bicara, seperti orang yang melihat ular dan ingin memperingatkan
orang lain atau orang yang menghormati, dalam hal itu dia tidak diharamkan
untuk berbicara pada saat itu. Bahkan, itu diwajibkan asalkan ada potensi
bahaya, seperti jika seseorang bersin dan memuji Allah dalam hatinya saja,
seperti bersetubuh. |
(فَإِنْ دَعَتْ ضَرُورَةٌ إلَى الْكَلَامِ كَمَنْ رَأَى
حَيَّةً نَقْصِدُ إنْسَانًا) أَوْ غَيْرَهُ مِنْ كُلِّ مُحْتَرَمٍ (لَمْ
يُكْرَهْ لَهُ الْكَلَامُ حِينَئِذٍ) أَيْ حِينَ إذْ دَعَتْ ضَرُورَةٌ
لِلْكَلَامِ، بَلْ يَجِبُ أَنْ تَحَقُّقَ الْأَذَى، وَإِنْ عَطَسَ حَمِدَ
بِقَلْبِهِ فَقَطْ كَمُجَامِعٍ. |
Dan jika dia berbicara
tanpa dirinya sendiri mendengarnya, maka tidak ada kemakruhan. Namun, jika
berbicara tanpa ada keluarnya sesuatu, maka dimakruhkan berbicara dengan
menyebutkan atau membaca Quran. Beberapa ulama, seperti Adzra'i, memilih
hukum haram dalam membaca Al Quran dalam kondisi tersebut. |
وَإِنْ تَكَلَّمَ وَلَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ فَلَا
كَرَاهَةَ. أَمَّا مَعَ عَدَمِ خُرُوجِ شَيْءٍ فَيُكْرَهُ التَّكَلُّمُ بِذِكْرٍ
أَوْ قُرْآنٍ فَقَطْ. وَاخْتَارَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ كَالْأَذْرَعِيِّ
التَّحْرِيمَ فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ. |
Said bin Umar al-Bashri
berkata, merujuk pada syarah al-Hisni al-Hashini: Mengenai berdzikir di dalam
hati ketika menunaikan hajat atau ketika berhubungan suami istri, maka itu
tidak diharamkan menurut kesepakatan ulama. |
وَقَالَ السَّيِّدُ عُمَرُ الْبَصْرِيُّ نَقْلًا عَنْ
شَرْحِ الْحِصْنِ الْحَصِينِ: فَالذِّكْرُ عِنْدَ نَفْسِ قَضَاءِ الْحَاجَةِ
وَعِنْدَ الْجِمَاعِ لَا يُكْرَهُ بِالْقَلْبِ بِالْإِجْمَاعِ. |
Sedangkan berbicara
dengan lisan pada saat itu bukan termasuk hal yang dianjurkan oleh Rasulullah
SAW dan juga tidak diriwayatkan dari seorang pun dari para sahabat. Namun,
pada situasi ini, yang diperlukan adalah rasa malu, pengawasan diri, serta
mengingat nikmat Allah Ta'ala dalam mengusir musuh dan ancaman yang jika
tidak diusir, bisa membunuh orang yang ada memilikinya. Ini adalah bentuk
dzikir yang besar, meskipun tidak diucapkan dengan lisan. |
وَأَمَّا الذِّكْرُ بِاللِّسَانِ حِينَئِذٍ فَلَيْسَ
مِمَّا نَدَّبْنَا إلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ، وَلَا مِمَّا نُقِلَ عَنْ أَحَدٍ
مِنْ الصَّحَابَةِ، بَلْ يَكْفِي فِي هَذِهِ الْحَالَةِ الْحَيَاءُ
وَالْمُرَاقَبَةُ وَذِكْرُ نِعْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى فِي إخْرَاجِ هَذَا
الْعَدُوِّ وَالْمُؤْذِي الَّذِي لَوْ لَمْ يَخْرُجْ لَقَتَلَ صَاحِبَهُ،
وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الذِّكْرِ وَلَوْ لَمْ يَقُلْ بِاللِّسَانِ. |
Dia tidak boleh
menghadap matahari atau bulan, dan tidak boleh membelakanginya, baik saat
matahari terbit atau terbenam, ketika sedang buang air besar atau buang air
kecil, tidak dengan dada dan punggungnya. |
(وَلَا
يَسْتَقْبِلُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهُمَا) عِنْدَ
طُلُوعِهِمَا أَوْ غُرُوبِهِمَا بِعَيْنِ بَوْلٍ وَغَائِطٍ لَا بِصَدْرِهِ
وَظَهْرِهِ |
Ini dimakruhkan baginya
dalam keadaan seperti itu, yaitu yang disebutkan dari menghadap atau
membelakangi, saat dia sedang buang hajat. Namun, kemakruhan tersebut dapat
dihindari dengan menggunakan penyekat. |
(أَيْ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ) أَيْ الْمَذْكُورُ مِنْ
الِاسْتِقْبَالِ وَالِاسْتِدْبَارِ (حَالَ قَضَاءِ حَاجَتِهِ)، وَتَنْتَفِي
الْكَرَاهَةُ بِالسَّاتِرِ، |
Namun, menurut Imam
Nawawi dalam kitab Ar Raudhoh dan syarah al-Muhazzab, beliau mengatakan bahwa
membelakangi matahari dan bulan tidaklah menjadi makruh, berbeda dengan
menghadap keduanya. Sebab, menghadap
keduanya dianggap makruh sebagai bentuk penghormatan kepada keduanya, karena
keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang bersinar. |
(لَكِنَّ
النَّوَوِيَّ فِي الرَّوْضَةِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ قَالَ إِنَّ
اسْتِدْبَارَهُمَا لَيْسَ بِمَكْرُوهٍ) أَيْ بِخِلَافِ اسْتِقْبَالِهِمَا، فَإِنَّهُ مَكْرُوهٌ تَعْظِيمًا لَهُمَا، لِأَنَّهُمَا
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ تَعَالَى الْبَاهِرَةِ، |
Menghadap keduanya
membuat sinar matahari dan bulan jatuh di wilayah kemaluan, sedangkan
membelakanginya tidak memiliki efek tersebut. Inilah pendapat yang lebih
diterima dan dipegang teguh. |
لِأَنَّ الِاسْتِقْبَالَ أَفْحَشُ لِوُقُوعِ شُعَاعِهِمَا
فِي الْفَرْجِ عِنْدَهُ دُونَ الِاسْتِدْبَارِ، وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ. |
Imam al-Ghazali berkata
dalam penjelasan al-Wasith, bahwa meninggalkan menghadap atau membelakangi
matahari dan bulan ataupun tidak keduanya adalah sama saja menurut
pendapatnya. Kitab al Wasith, al Basith dan al Wajiz adalah kitab-kitab
karangan Imam Ghozali. Artinya, meninggalkan hal tersebut adalah boleh. |
(وَقَالَ
فِي شَرْحِ الْوَسِيطِ)، فَالْوَسِيطُ وَالْبَسِيطُ وَالْوَجِيزُ
لِلْغَزَالِيِّ، (إِنَّ تَرَكَ اسْتِقْبَالِهِمَا وَاسْتِدْبَارِهِمَا)
وَعَدَمَهُ (سَوَاءٌ، أَيْ فَيَكُونُ) أَيْ تَرَكُ ذَلِكَ (مُبَاحًا. |
Imam Nawawi juga
menyatakan dalam At Tahqiq bahwa menurut pendapat yang lebih kuat dalam
penyelidikan hukum, kemakruhan terhadap menghadap keduanya tidak memiliki
dasar hukum yang kuat. Pilihan yang terbaik adalah menghalalkannya. |
وَقَالَ) أَيْ النَّوَوِيُّ (فِي التَّحْقِيقِ إِنَّ
كَرَاهَةَ اسْتِقْبَالِهِمَا لَا أَصْلَ لَهَا. فَالْمُخْتَارُ إِبَاحَتُهُ. |
Adapun ucapan mushonif
'dia tidak boleh menghadap… sampai akhirn' dianggap tidak disebutkan dalam
beberapa naskah. |
(وَقَوْلُهُ "وَلَا يَسْتَقْبِلُ إِلَى
آخِرِهِ" سَاقِطٌ فِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ). |
(Faidah):
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa jika seorang anak Adam duduk untuk
buang hajat, baik buang air kecil atau buang air besar, seorang malaikat
datang kepada mereka, berdiri di atas kepala mereka, dan berkata, "Wahai
anak Adam, lihatlah makanan yang telah kamu makan, bagaimana ia berubah dari
keadaannya karena kehadiranmu. Maka lihatlah akibatnya dan apa yang akan
menunggumu di dalam kubur”. |
فَائِدَةٌ: رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ ابْنَ آدَمَ إِذَا جَلَسَ لِيَقْضِيَ حَاجَتَهُ يَبُولُ أَوْ
يَتَغَوَّطَ جَاءَهُ مَلَكٌ، وَقَامَ عَلَى رَأْسِهِ، وَقَالَ لَهُ يَا ابْنَ
آدَمَ اُنْظُرْ إلَى اللُّقْمَةِ الَّتِي أَكَلْتَهَا، كَيْفَ تَغَيَّرَتْ عَنْ
حَالِهَا بِصُحْبَتِك، فَانْظُرْ إِلَى عَاقِبَتِك وَمَا يَثُولُ إلَيْهِ حَالُك
فِي الْقَبْرِ . |
Comments