Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Perkara yang Membatalkan Wudhu
فَصْلٌ فِى نَوَاقِضِ
الوُضُوءِ
FASAL:
PEMBATAL WUDHU’
(Fasal:) Tentang Pembatal Wudhu.
maksudnya, dari waktu keluarnya saja, (yang juga dikenal sebagai penyebab
hadats) atau dengan kata lain, dengan penyebab yang mengakhiri masa
berlakunya wudhu, dan yang membatalkan atau menghapuskan wudhu, jika terjadi
(lima hal) saja: |
(فَصْلٌ: فِي نَوَاقِضِ الْوُضُوءِ) أَيْ مِنْ وَقْتِ
خُرُوجِهِ فَقَطْ (الْمُسَمَّاةِ أَيْضًا بِأَسْبَابِ الْحَدَثِ) أَيْ
بِأَسْبَابٍ تَنْتَهِي بِهَا مُدَّةُ الْوُضُوءِ. (وَاَلَّذِي يُنْقِضُ أَيْ يُبْطِلُ الْوُضُوءَ) لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ
(خَمْسَةُ أَشْيَاءَ) فَقَطْ: |
(1) Apa yang keluar, yaitu keluarnya sesuatu secara pasti, dari salah
satu dari dua jalan, yaitu keluar dari qubul atau dubur, dari seseorang yang
sedang berwudhu dan masih hidup, dengan jelas. Ini biasanya terjadi dalam
bentuk kencing atau buang air besar, entah itu berupa hal yang sering terjadi
atau jarang terjadi, yang berarti tidak sering terjadi. Ini termasuk darah,
baik itu berasal dari alat kelamin atau di luar alat kelamin sebelum
keluarnya. |
(أَحَدُهَا مَا خَرَجَ) أَيْ خُرُوجُ شَيْءٍ خَرَجَ
يَقِينًا (مِنْ أَحَدِ السَّبِيلَيْنِ) أَيْ الْقُبُلِ وَالدُّبُرُ مِنْ
مُتَوَضِيءٍ حَيٍّ وَاضِحٍ، مُعْتَادًا كَانَ الْخَارِجُ كَبَوْلٍ وَغَائِطٍ
أَوْ نَادِرًا وَهُوَ مَا لَا يَكْثُرُ وُقُوعُهُ (كَدَمٍ) وَلَوْ مِنْ
الْبَاسُورِ قَبْلَ خُرُوجِهِ (وَحَصَی) سَوَاءٌ انْعَقَدَ مِنْ النَّجَاسَةِ
أَوْ لَا، كَأَنْ ابْتَلَعَهُ ثُمَّ خَرَجَ مِنْ فَرْجِهِ، |
Baik itu berupa najis seperti contoh-contoh ini, atau suci seperti
cacing, sama saja apakah keluarnya secara sukarela atau terpaksa, disengaja
atau tidak disengaja, dalam keadaan kering atau basah, terlepas atau tidak
terlepas. Misalnya, keluar kepala cacing dan kemudian kembali. |
(نَجِسًا
كَهَذِهِ الْأَمْثِلَةِ أَوْ طَاهِرًا كَدُودٍ) سَوَاءٌ خَرَجَ طَوْعًا أَوْ
كَرْهًا، عَمْدًا أَوْ سَهْوًا، جَافًّا أَوْ رُطَبًا، انْفَصَلَ أَوْ لَا،
كَأَنْ خَرَجَ رَأْسُ الدُّودَةِ وَعَادَتْ، |
Kecuali sperma, yaitu sperma dari orang itu sendiri yang keluar darinya
untuk pertama kalinya. Yang keluar, baik dengan melihatnya atau dengan mimpi
basahnya dengan posisi duduk yang menempatkan pantatnya, maka tidak
membatalkan wudhu. Artinya, sperma dalam posisi itu tidak membatalkan wudhu
karena itu memerlukan mandi besar sebagai ganti dari wudhu. |
(إِلَّا الْمَنِيَّ) أَيْ مَنِيّ الشَّخْصِ نَفْسِهِ
الْخَارِجِ مِنْهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ، (الْخَارِجَ) بِنَظَرٍ أَوْ (بِاحْتِلَامِ
مُتَوَضٍّیء مُمْكِنٍ مَقْعَدَهُ مِنْ الْأَرْضِ فَلَا يُنْقِضُ) أَيْ
الْمَنِيُّ الْوُضُوءَ، لِأَنَّهُ يُوجِبُ الْغُسْلَ الْأَعَمَّ مِنْ
الْوُضُوءِ. |
Jika seseorang memasukkan sesuatu ke dalam duburnya, kemudian itu keluar,
maka wudhunya menjadi batal. Dikecualikan dari sperma diri sendiri, maka batal jika yang keluar adalah
sperma dari orang lain, seperti jika seseorang berhubungan badan dengannya
lewat duburnya, kemudian dia mandi dan berwudhu, lalu sperma itu keluar dari
duburnya, maka wudhunya menjadi batal. |
أَمَّا لَوْ اسْتَدْخَلَهُ ثُمَّ خَرَجَ فَإِنَّهُ
يَنْقُضُ. وَخَرَجَ بِمَنِيِّ الشَّخْصِ نَفْسِهِ منِّيُ غَيْرِهِ،
كَأَنْ جَامَعَهُ إِنْسَانٌ فِي دُبُرِهِ. فَإِذَا اغْتَسَلَ وَتَوَضَّأَ ثُمَّ
خَرَجَ ذَلِكَ الْمَنِيُّ مِنْ دُبُرِهِ نَقَضَ. |
Adapun wandu musykil, yaitu orang yang memiliki alat kelamin laki-laki
sekaligus alat kelamin perempuan (hermaphrodite). Sesungguhnya,
wudhunya batal jika sesuatu keluar dari kedua lubang kelaminnya. |
(وَالْمُشْكِلُ)
الَّذِي لَهُ آلَةُ الرِّجَالِ وَآلَةُ النِّسَاءِ (إِنَّمَا يَنْتَقِضُ
الْوُضُوءُ بِالْخَارِجِ مِنْ فَرْجَيْهِ جَمِيعًا). |
Namun, jika dia memiliki lubang tambahan yang tidak menyerupai alat
kelamin laki-laki atau perempuan, keluarnya dari lubang tambahan itu secara
mutlak membatalkan wudhu, seperti lubang yang terbuka di mana saja pada
tubuhnya atau penyumbatan di bawah pusar yang tidak berhubungan dengan
saluran kemaluan yang sebenarnya. |
أَمَّا لَوْ كَانَ لَهُ ثَقْبَةٌ لَا تُشْبِهُ آلَةَ
الرِّجَالِ وَآلَةُ النِّسَاءِ نَقضَ الْخَارِجُ مِنْهَا مُطْلَقًا،
كَالثَّقْبَةِ الْمُنْفَتِحَةِ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ مِنْ الْبَدَنِ فِي
انْسِدَادِ الْفَرْجِ الْأَصْلِيِّ خِلْقَةً أَوْ مِنْ تَحْتِ السُّرَّةِ مِنْ
الِانْسِدَادِ الْعَارِضِ. |
(2) Tidur, pastinya jika tidurnya tidak dalam keadaan memantapkan
landasannya (pantatnya). Dan dalam beberapa salinan naskah, terdapat tambahan
kata 'dari tanah'. Dan pensyarih menambahkan bahwa 'tidur dalam keadaan memantapkan
pantatnya’ terkait dengan perkataannya 'dengan tempat duduknya', dan tanah
tidak menjadi qoyid atau batasan (sebagai tempat duduk). Jadi, jika seseorang
tidur dan membuat tempat duduknya di punggung binatang, misalnya, itu tidak
membatalkan wudhunya. |
(وَالثَّانِي النَّوْمُ) يَقِينًا إِذَا كَانَ (عَلَى
غَيْرِ هَيْئَةِ الْمُتَمَكِّنِ. وَفِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ زِيَادَةٌ مِنْ
الْأَرْضِ). وَزَادَ الشَّارِحُ مُتَعَلَّقَ الْمُتَمَكِّنِ
بِقَوْلِهِ (بِمَقْعَدِهِ، وَالْأَرْضُ لَيْسَتْ بِقَيْدٍ). فَلَوْ نَامَ
وَمَكَّنَ مَقْعَدَهُ عَلَى ظَهْرِ دَابَّةٍ مَثَلًا فَلَا نَقْضَ. |
Dan keluar dari kategori duduk dengan memantapkan tempat duduknya, jika
seseorang tidur dalam keadaan duduk, tanpa bersandar, karena dia miring ke
salah satu sisi, atau dia tidur duduk dan tubuhnya sangat kurus atau sangat
gemuk sehingga terdapat celah antara bagian duduknya dan tempat duduknya,
kecuali jika celah itu ditutupi dengan sesuatu. |
(وَخَرَجَ
بِالْمُتَمَكِّنِ مَا لَوْ نَامَ قَاعِدًا غَيْرَ مُتَمَكِّنٍ) لِكَوْنِهِ
مَائِلًا عَلَى أَحَدِ شِقَّيْهِ، أَوْ نَامَ قَاعِدًا وَهُوَ هَزِيلٌ أَوْ
سَمِينٌ جِدًّا بَيْنَ بَعْضِ مَقْعَدِهِ وَمَقَرِّهِ تَجَافٍ إِلَّا اِنْ سُدَّ
التَّجَافِي بِشَيْءٍ. |
Atau dia tidur berdiri atau pada tumitnya, meskipun dia dalam keadaan
duduk, seolah-olah dia menempelkan setiap bagian dari keduanya seperti bantal
atau tiang, jika dia merasakannya, namun Sheikh Athiyah mengatakan: "Jika seseorang tidur berdiri
dengan memantapkan pantatnya, wudhunya tidak batal, jadi kesimpulannya hanya
merujuk pada yang terakhir. |
(أَوْ نَامَ قَائِمًا أَوْ عَلَى قَفَاهُ وَلَوْ
مُتَمَكِّنًا) كَأَنْ اَلْصَقَ كُلٌّ مِنْهُمَا مَقْعَدَهُ بِنَحْوِ مَخِدَّةٍ
أَوْ عَمُودٍ وَإِنْ اسْتَشْعَرَ، لَكِنْ قَالَ الشَّيْخُ عَطِيَّةُ: إِنَّ مَنْ نَامَ
قَائِمًا مُتَمَكِّنًا لَا يَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ، فَالْغَايَةُ رَاجِعَةٌ
لِلْأَخِيرِ فَقَطْ. |
Dan yang ketiga adalah hilangnya akal, yaitu ketidakmampuan membedakan,
bahkan jika dia masih dalam keadaan duduk, ini merupakan kesepakatan.
Artinya, ketidakmampuan itu bisa terjadi baik karena pingsan, kegilaan, atau
konsumsi obat-obatan tertentu. Atau akibat penyakit, sehingga dia menjadi
seperti dalam keadaan pingsan, gila, atau setengah pingsan, yaitu tanpa
adanya penyakit. |
(وَالثَّالِثُ
زَوَالُ الْعَقْلِ) أَيْ التَّمْيِيزُ وَلَوْ مُتَمَكِّنًا إِجْمَاعًا (أَيْ
الْغَلَبَةُ عَلَيْهِ بِسُكْرٍ) فَهُوَ إِمَّا مِنْ الْإِغْمَاءِ أَوْ مِنْ
الْجُنُونِ أَوْ مِنْ تَنَاوُلِ نَحْوِ دَوَاءٍ (أَوْ مَرَضٍ) بِحَيْثُ يَكُونُ
كَالْإِغْمَاءِ (أَوْ جُنُونٍ أَوْ إِغْمَاءٍ) أَيْ بِغَيْرِ الْمَرَضِ، |
Jika dia memiliki pemahaman seperti orang yang sadar, wudhunya tidak
batal menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali menurut madzhab Malikiyah
jika dia berada dalam keadaan pingsan, berbeda dengan pandangan mereka. Atau
dalam keadaan lainnya, seperti jenis-jenis tanaman yang memiliki efek
kelumpuhan. |
وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ لِوَلِيٍّ حَالَةَ الذِّكْرِ
فَيُنْتَقِضُ وُضُوءُهُ عِنْدَنَا خِلَافًا لِلْمَالِكِيَّةِ، (أَوْ غَيْرِ
ذَلِكَ)، كَأَنْوَاعِ الْمَالِيخُولْيَا. |
Al-Ghazali berkata, "Gila yang menghilangkan akal, kehilangan
kesadaran menyelimutinya, dan tidur menyembunyikannya." Juga, hilangnya
kesadaran terjadi dalam beberapa kondisi penyakit, seperti keadaan di kamar
mandi, dan terjadi juga dalam keadaan mabuk seperti gila. |
قَالَ الْغَزَالِيُّ الْجُنُونُ يُزِيلُ الْعَقْلَ
وَالْإِغْمَاءُ يَغْمُرُهُ وَالنَّوْمُ يَسْتُرُهُ اهـ . وَالْإِغْمَاءُ دَاخِلٌ
فِي الْمَرَضِ لِأَنَّهُ مِنْهُ كَمَا يَقَعُ فِي الْحَمَّامِ وَدَاخِلٌ فِي
السُّكْرِ أَيْضًا كَالْجُنُونِ. |
Jika demikian, tidak perlu menambahkan penjelasan, karena penyakit yang
menyebabkan hilangnya akal, seperti kegilaan atau kehilangan kesadaran, sudah
mencakup kondisi pingsan atau keadaan tertentu akibat alkohol, seperti
keadaan mabuk. |
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَلَا حَاجَةَ لِزِيَادَةِ
الشَّارِحِ بِقَوْلِهِ أَوْ جُنُونٍ أَوْ إِغْمَاءٍ. |
(4) Sentuhan antara seorang pria dengan kulit seorang wanita yang bukan
mahram baginya, sehingga hal ini membatalkan wudhu keduanya, baik dengan
kenikmatan atau tanpa kenikmatan, disengaja atau tidak disengaja, atau bahkan
jika pria itu tua, lemah, atau jika wanita itu sudah meninggal. Namun,
wudhunya mayit tidak batal, baik pria atau wanita, atau jika salah satu dari
keduanya adalah makhluk jin, asalkan bukan dalam bentuk manusia. |
(وَالرَّابِعُ لَمْسُ الرَّجُلِ) بِبَشَرَتِهِ
(الْمَرْأَةَ الْأَجْنَبِيَّةَ) أَيْ بَشَرَتَهَا (غَيْرَ الْمَحْرَمِ)
فَيَنْقِضُ وُضُوءُ كُلٍّ مِنْهُمَا مَعَ لَذَّةٍ أَوْ لَا، عَمْدًا أَوْ
سَهْوًا أَوْ كُرْهًا، (وَلَوْ) كَانَ الرَّجُلُ هَرَمًا أَوْ مَمْسُوحًا أَوْ
كَانَتْ الْمَرْأَةُ (مَيِّتَةً) وَلَكِنْ لَا يَنْتَقِضُ وُضُوءُ الْمَيِّتِ،
ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، أَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا جِنِّيًّا، وَلَوْ كَانَ
عَلَى غَيْرِ صُورَةِ الْآدَمِيِّ. |
Yang dimaksud dengan pria dan wanita di sini adalah laki-laki dan
perempuan yang telah mencapai batas umur baligh dan memiliki dorongan seksual
yang diketahui oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang sifat
manusia, seperti Imam Asy-Syafi'i dan Sayyidah Nafisah. Dan hasrat seksual
adalah penyebaran keinginan (syahwat) pada pria muda dan kecenderungan hati
pada wanita, serta pada pria tua yang sudah lemah. |
(وَالْمُرَادُ بِالرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ذَكَرٌ
وَأُنْثَى) يَقِينًا (بَلَغَا حَدَّ الشَّهْوَةِ) أَيْ يَقِينًا (عُرْفًا) أَيْ
عِنْدَ أَرْبَابِ الطِّبَاعِ السَّلِيمَةِ كَالْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ
وَالسَّيِّدَةِ نَفِيسَةٍ. وَالشَّهْوَةُ انْتِشَارُ الذَّكَرِ لِلشَّابِّ
وَمَيْلُ الْقَلْبِ لِلنِّسَاءِ وَلِلشَّيْخِ الْفَانِي. |
Yang dimaksud dengan "mahrom" di sini adalah orang yang
dilarang untuk menikah dengannya, secara permanen, karena suatu alasan yang
dibolehkan, seperti hubungan kekerabatan. Contohnya adalah ibu, anak
perempuan, dan saudara perempuan. Atau melalui hubungan susuan, seperti ibu
susuan dan saudara perempuan susuan. Atau melalui hubungan perkawinan,
seperti ibu dari istri dan anak perempuan dari istri. |
(وَالْمُرَادُ بِالْمَحْرَمِ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا)
أَيْ عَلَى الدَّوَامِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ (لِأجَلِ نَسَبٍ) أَيْ قَرَابَةٍ كَمَا
فِي الْأُمِّ وَالْبِنْتِ وَالْأُخْتِ، (أَوْ رَضَاعٍ) كَالْأُمِّ مِنْ
الرَّضَاعِ وَالْأُخْتِ مِنْهُ، (أَوْ مُصَاهَرَةٍ) أَيْ ارْتِبَاطٍ يشْبِه
الْقَرَابَةَ كَمَا فِي أُمِّ الزَّوْجَةِ وَابْنَتِهَا. |
Jadi, keluar dari kategori “orang yang diharamkan untuk dinikahi” adalah
orang yang tidak dilarang dinikahi. Dan keluar dari ucapan kami “secara
permanen” adalah saudara-saudara istri, bibinya dari ayahnya, dan bibinya
dari arah ibu. Karena itu, ketika ada kontak fisik dengan mereka, wudhu
menjadi batal. |
فَخَرَجَ بِقَوْلِهِ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا مَنْ لَا
يَحْرُمُ نِكَاحُهَا كَالْأَجْنَبِيَّةِ، وَبِقَوْلِنَا عَلَى الدَّوَامِ أُخْتُ
الزَّوْجَةِ وَعَمَّتُهَا وَخَالَتُهَا فَإِنَّهُنَّ يَنْقُضْنَ الْوُضُوءَ، |
Juga, keluar dari ucapan kami “dengan sebab yang diperbolehkan” anak
perempuan dari seorang wanita yang pernah diwathi syubhat dan ibunya,
keduanya dapat membatalkan wudhu meskipun hubungan perkawinan dengan keduanya
diharamkan. |
وَبِقَوْلِنَا بِسَبَبِ مُبَاحٍ بِنْتُ الْمَرْأَةِ
الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ وَأُمِّهَا، فَإِنَّهُمَا تَنْقُضَانِ الْوُضُوءَ
وَإِنْ حَرُمَ نَکاحْهُمَا. |
Pernyataan mushonif “tanpa ada penghalang” berarti wudhu tidak batal
selama ada penghalang di antara pria dan wanita yang mencegah sentuhan
langsung. Penghalang ini bisa berupa sesuatu yang tipis sekalipun, dan dapat
mencegah sentuhan fisik. |
(وَقَوْلُهُ
مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ يُخْرِجُ مَا لَوْ كَانَ هُنَاكَ) أَيْ بَيْنَ الرَّجُلِ
وَالْمَرْأَةِ (حَائِلٌ) وَلَوْ رَقِيقًا يَمْنَعُ اللَّمْسَ |
Dengan demikian, dalam situasi tersebut, wudhu tidak batal, meskipun
penghalangnya berupa kotoran pada kulit yang banyak. Jika kotoran tersebut
berasal dari air keringat, maka sentuhan dengan kotoran tersebut membatalkan
wudhu, karena itu dianggap seperti bagian tubuh. Namun, jika kotorannya adalah
debu atau zat padat lainnya, maka sentuhan dengannya tidak membatalkan wudhu. |
(فَلَا نَقْضَ حِينَئِذٍ) وَلَوْ كَثُرَ الْوَسَخُ عَلَى
الْبَشَرَةِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَرَقِ نقضَ لمْسُهُ، لِأَنَّهُ كَالْجُزْءِ
مِنْ الْبَدَنِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ غُبَارٍ فَلَا. |
(5) Yang merupakan yang terakhir dari
hal-hal yang membatalkan wudhu, adalah sentuhan tangan pada kemaluan manusia,
hingga milik bayi keguguran ketika ruh sudah sempat ditiupkan ke dalamnya,
jika tidak maka sentuhan tangan pada kemaluannya tidak membatalkan wudhu,
karena itu disebut sebagai dasar manusia. |
(وَالْخَامِسُ
وَهُوَ آخِرُ النَّوَاقِضِ مَسُّ فَرْجِ الْآدَمِيِّ) حَتَّى السِّقْطِ إِذَا
نُفِخَ فِيهِ الرُّوحُ، وَإِلَّا فَلَا يُنْقَضُ مَسُّ فَرْجِهِ، لِأَنَّهُ
إِنَّمَا يُقَالُ لَهُ أَصْلُ آدَمِيٍّ |
Memegangnya menggunakan
bagian dalam tapak tangan, bahkan jika ia tidak memiliki telapak tangan atau
memiliki tambahan selain dari yang asli, itu tidak mempengaruhi sifat asli
tersebut. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan apakah kemaluan itu dari
dirinya sendiri atau orang lain, berfungsi atau tidak, terhubung atau
terpisah, selama namanya masih disebut sebagai kemaluan, apakah manusianya
pria atau wanita, muda atau tua, hidup atau mati, dan apakah sentuhan itu
disengaja, tidak sengaja, atau terpaksa. |
(بِبَاطِنِ الْكَفِّ) وَلَوْ شَلَّاءَ أَوْ تَعَدَّدَتْ إِلَّا
زَائِدَةً لَيْسَتْ عَلَى سِمْتِ الْأَصْلِيَّةِ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ
يَكُونَ الْفَرْجُ (مِنْ نَفْسِهِ وَغَيْرِهِ) عَامِلًا أَوْ أَشَلَّ مُتَّصِلًا
أَوْ مُنْفَصِلًا مَا دَامَ اسْمُ الْفَرْجِ سَوَاءٌ كَانَ الْآدَمِيُّ (ذَكَرًا
أَوْ أُنْثَى صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا حَيًّا أَوْ مَيِّتًا)، وَسَوَاءٌ كَانَ
الْمَسُّ عَمْدًا أَوْ سَهْوًا أَوْ كُرْهًا. |
Dan lafadz الادمي tidak
disebutkan dalam beberapa versi teks, dan lafadz itu harusnya dipakai agar
mengeluarkan jenis hewan ternak. Demikian juga, dalam beberapa versi teks
tidak disebutkan, 'dan menyentuh lubang duburnya,' yaitu milik manusia itu
membatalkan wudhu menurut qoul jadid, karena itu dianggap sebagai farji dan
disamakan dengan qubul tentang apa yang keluar dari masing-masing yang
membatalkan wudhu. |
(وَلَفْظُ الْآدَمِيِّ سَاقِطٌ) أَيْ غَيْرُ مَذْكُورٍ (فِي
بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ)، وَلَا بُدَّ مِنْهُ لِتَخْرُجَ الْبَهِيمَةُ،
(وَكَذَا) فِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ أَيْضًا (قَوْلُهُ وَمَسُّ حَلْقَةِ
دُبُرِهِ أَيْ الْآدَمِيِّ يُنْقِضُ عَلَى الْقَوْلِ الْجَدِيدِ) لِأَنَّهُ
فَرْجٌ وَقِيَاسًا عَلَى الْقُبُلِ فِي كَوْنِ مَا يَخْرُجُ مِنْ كُلٍّ يُنْقِضُ
الْوُضُوءَ. |
Dan menurut qoul qodim,
menyentuh lubang dubur tidak membatalkan wudhu, karena wudhu tidak terganggu
dengan sentuhannya. Qoul jadid adalah
pendapat yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i di Mesir. Sedangkan qoul qodim
adalah pendapat yang diungkapkan Imam Syafi'i sebelum masuk Mesir. |
(وَعَلَى
الْقَدِيمِ لَا يَنْقُضُ مَسُّ الْحَلَقَةِ) لِأَنَّهُ لَا يَلْتَبِدُ
بِمَسِّهِ. وَالْجَدِيدُ مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ بِمِصْرَ. وَالْقَدِيمُ
مَا قَالَهُ قَبْلَ دُخُولِهَا. |
Yang dimaksud dengan حلقة adalah lubang dubur, yaitu tempat pertemuan keluaran,
bukan yang di belakangnya. Oleh karena itu, menyentuh bagian dalam farji
tidak membatalkan wudhu, asalkan bukan di belakangnya. Begitu pula, menyentuh
dengan bagian dalam telapak tangan beserta bagian dalam jemari. Begitu juga
uci-uci yang tetap di dalam telapak tangan. |
(وَالْمُرَادُ بِهَا) أَيْ الْحَلْقَةِ (مُلْتَقَى الْمَنْفَذِ)
أَيْ مَا يَنْضَمُّ كَفَمِ الْكِيسِ، لَا مَا وَرَاءَهُ، فَمَسُّ دَاخِلِ
الْفَرْجِ لَيْسَ نَاقِضًا، (وَبِبَاطِنِ الْكَفِّ الرَّاحَةُ مَعَ بُطُونِ
الْأَصَابِعِ). وَكَذَا سِلْعَةٌ ثَابِتَةٌ فِي بَطْنِ الْكَفِّ. |
Dan keluar dari ‘bagian
dalam telapak tangan’ memegang dengan bagian dhohirnya itu tidak membatalkan
wudhu menurut pendapat Imam Ahmad. Begitu juga pinggiran jemari, maka jika
seseorang menggosokkan kemaluannya dengan bagian ini, wudhu tidak batal. |
(وَخَرَجَ بِبَاطِنِ الْكَفِّ ظَاهِرُهُ)، فَإِنَّهُ لَا
يَنْقُضُ خِلَافًا لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ، (وَحَرْفُهُ) أَيْ الْكَفِّ، وَهُوَ
حَرْفُ الْخِنْصَرِ وَحَرْفُ السَّبَّابَةِ، وَحَرْفُ الْإِبْهَامِ (وَرُؤُوسُ
الْأَصَابِعِ)، فَإِذَا هَرَشَ الْإِنْسَانُ ذَكَرَهُ بِهَا فَلَا نَقْضَ، |
Dan 'bagian antara itu'
yaitu pada sela-sela jari. Bagian ini adalah bagian yang tersembunyi saat
beberapa jarinya saling berdekatan tanpa celah yang dapat ditembus (tanpa ada
gerakan khusus seperti menyisipkan jari ke dalam celah). Jadi, hal tersebut
tidak membatalkan wudhu karena keluar dari arah yang berbeda dengan telapak
tangan. |
(وَمَا
بَيْنَهَا) أَيْ الْأَصَابِعِ، وَهُوَ مَا يَسْتَتِرُ عِنْدَ انْضِمَامِ
بَعْضِهَا إِلَى بَعْضٍ لَا خُصُوصِ النَّقْرِ (فَلَا نَقْضَ بِذَلِكَ) أَيْ مَا
ذُكِرَ مِنْ ظَهْرِ الْكَفِّ وَحَرْفِهِ وَرُؤُوسِ الْأَصَابِعِ وَمَا بَيْنَهَا
لِخُرُوجِهَا عَنْ سِمْتِ الْكَفِّ. |
Pengertian bagian tapak
tangan yang bisa membatalkan wudhu adalah bagian tapak tangan yang tertutup
ketika meletakkan satu tapak tangan ke tapak tangan lainnya, yaitu setelah
menekannya sedikit, agar tidak menutup bagian ang tidak membatalkan yakni
bagian pinggir jemari, dan ketika meletakkan bagian dalam salah satu 2 jempol
pada bagian dalam jempol yang lain. |
وَضَابِطُ
مَا يَنْقُضُ مَا يَسْتَتِرُ عِنْدَ وَضْعِ إِحْدَى الرَّاحَتَيْنِ عَلَى
الْأُخْرَى، (أَيْ بَعْدَ التَّحَامُلِ الْيَسِيرِ) لِيَقِلَّ غَيْرُ النَّاقِضِ
مِنْ رُؤُوسِ الْأَصَابِعِ، وَعِنْدَ وَضْعِ بَاطِنِ أَحَدِ الْإِبْهَامَيْنِ
عَلَى بَاطِنِ الْآخَرِ. |
Comments