Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Fardhunya Wudhu

 


فَصْلٌ فِى فَرَائِضِ الغُسْلِ

FASAL: FARDHUNYA MANDI

 

v FARDHU MANDI

(Fasal:) Fardhu-fardhu mandi dan sunnah-sunnahnya. Fardhu-fardhunya mandi, meskipun mandi sunah, ada tiga perkara:

(فَصْلٌ) فِي فَرَائِضِ الْغُسْلِ وَسُنَنِهِ. (وَفَرَائِضُ الْغُسْلِ) وَلَوْ مَسْنُونًا (ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:

(1) Niat, atau saat memandikan orang hidup. Jika seseorang diwajibkan mandi karena beberapa hal, jika mandinya terwujud, cukuplah satu niat dari kewajiban-kewajiban tersebut. Atau mengerjakan beberapa mandi yang disunnahkan, maka juga boleh begitu.

أَحَدُهَا النِّيَّةُ) أَوْ فِي غُسْلِ الْحَيِّ. وَمَنْ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ أَغْسَالٌ فَإِنْ تَمَحَّضَتْ وَاجِبَةٌ كَفَاهُ نِيَّةُ وَاحِدٍ مِنْهَا أَوْ مَنْدُوبَةٌ فَكَذَلِكَ

Atau sebagian dari mandinya wajib dan sebagian lagi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi junub, jika dia berniat keduanya maka keduanya tercapai bersama-sama, atau hanya berniat salah satunya, maka sesuai dengan yang dia niatkan.

أَوْ بَعْضُهَا وَاجِبٌ وَبَعْضُهَا مَنْدُوبٌ كَغُسْلِ الْجُمُعَةِ وَغُسْلِ الْجَنَابَةِ فَإِنْ نَوَاهُمَا حَصَلَا مَعًا أَوْ أَحَدَهُمَا حَصَلَ مَا نَوَاهُ.

Maka orang yang junub berniat menghilangkan jinabat, atau berniat menghilangkan hadas besar, atau menghilangkan hadas saja, dan semacamnya, misalnya niat untuk memperoleh kebolehan mendirikan shalat, atau niat fardhunya mandi, atau niat melaksanakan kewajiban mandi, atau niat mandi yang diwajibkan, ataupun niat mandi wajib.

(فَيَنْوِي الْجُنُبُ رَفْعَ الْجَنَابَةِ أَوْ) رَفْعَ (الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ) أَوْ الْحَدَثِ فَقَطْ (وَنَحْوَ ذَلِكَ) كَنِيَّةِ اسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ، أَوْ فَرْضِ الْغُسْلِ، أَوْ أَدَاءِ فَرْضِ الْغُسْلِ، أَوْ الْغُسْلِ الْمَفْرُوضِ، أَوْ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ.

Dan tidak cukup hanya dengan ‘niat mandi’ saja, karena jika demikian adakalanya dilakukan hanya sebagai kebiasaan saja.

وَلَا تَكْفِي نِيَّةُ الْغُسْلِ فَقَطْ، لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ عَادَةً.

Dan wanita yang haid dan nifas berniat menghilangkan hadas haid dan nifas. Niat salah satunya sah dengan niat mengerjakan yang lain (haid saja atau nifas saja) meskipun dengan kesengajaan, karena nifas termasuk di antara nama-nama haid.

(وَتَنْوِي الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ رَفْعَ حَدَثِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ). وَيَصِحُّ نِيَّةُ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ وَلَوْ مَعَ الْعَمْدِ، لِأَنَّ اسْمَ النِّفَاسِ مِنْ أَسْمَاءِ الْحَيْضِ.

Niat mandi dilakukan membarengi awal fardhu, yaitu awal anggota badan yang dibasuh baik dari bagian atas maupun bagian bawah badan, ataupun bagian tengahnya.

(وَتَكُونُ النِّيَّةُ مَقْرُونَةً بِأَوَّلِ الْفَرْضِ، وَهُوَ أَوَّلُ) غَسْلِ (مَا يُغْسَلُ مِنْ أَعْلَى الْبَدَنِ أَوْ أَسْفَلِهِ) أَوْ وَسَطِهِ.

Niat mandi sudah mencukupi dilakukan bersamaan membasuh bagian manapun dari badan, sebab badan yang junub seluruhnya adalah satu-kesatuan, sehingga apabila seseorang berniat setelah membasuh bagian badan, maka basuhan itu wajib diulangi lantaran basuhannya tidak dihitung sebab dikerjakan sebelum niat.

فَتَكْفِي النِّيَّةُ عِنْدَ أَيِّ جُزْءٍ كَانَ لِأَنَّ بَدَنَ الْجَنْبِ كُلِّهِ كَعُضْوٍ وَاحِدٍ. (فَلَوْ نَوَى بَعْدَ غَسْلِ جُزْءٍ وَجَبَ إِعَادَتُهُ) أَيْ غَسْلِ ذَلِكَ الْجُزْءِ، لِعَدَمِ الِاعْتِدَادِ بِهِ قَبْلَ النِّيَّةِ.

(2) Menghilangkan najis apabila ada di badannya, maksudnya bagian badan yang wajib dibasuh.

Kewajiban menghilangkan najis sebelum mandi ini merupakan pendapat yang diunggulkan oleh Imam Rofi’i. sehingga, berdasarkan pendapat tersebut maka tidak cukup hanya dengan satubasuhan untuk hadas dan najis. Hal itu lantaran air menjadi musta’mal setelah dipakai menghilangkan najis, sehingga tidak bisa dipakai menghilangkan hadas.

(وَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ عَلَى) شَيْءٍ مِنْ (بَدَنِهِ أَيْ الْمُغْتَسِلِ. وَهَذَا) أَيْ وُجُوبُ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ قَبْلَ الْغُسْلِ (مَا رَجَّحَهُ الرَّافِعِيُّ. وَعَلَيْهِ فَلَا تَكْفِي غَسْلَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَاسَةِ)، لِأَنَّ الْمَاءَ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا أَوَّلًا فِي النَّجَسِ، فَلَا يُسْتَعْمَلُ فِي الْحَدَثِ،

Selain itu, alasan lainnya karena keduanya (menghilangkan hadas dan najis) merupakan dua kewajiban yang berbeda jenisnya, sehingga keduanya tidak bisa saling masuk (dikerjakan sekali kerjaan).

وَلِأَنَّهُمَا وَاجِبَانِ مُخْتَلِفَا الْجِنْسِ، فَلَا يَتَدَاخَلَانِ.

Sedang Imam Nawawi mengunggulkan pendapat kecukupan satu kali basuhan untuk menghilangkan hadas dan najis, sehingga air bisa menghilangkan keduanya secara bersamaan. Sebab wajibnya menghilangkan hadas dan najis adalah membasuh anggota badan, dan hal itu sudah terlaksana. Contohnya seperti seorang perempuan yang mandi untuk jinabat dan haid.

(وَرَجَّحَ النَّوَوِيُّ الِاكْتِفَاءَ بِغَسْلَةٍ وَاحِدَةٍ عَنْهُمَا)، فَيَرْفَعُهُمَا الْمَاءُ مَعًا، لِأَنَّ وَاجِبَهُمَا غَسْلُ الْعُضْوِ، وَقَدْ وُجِدَ كَمَا لَوْ اغْتَسَلَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ جَنَابَةٍ وَحَيْضٍ.

Yang dimaksud dengan basuhan pertama dalam pensucian najis hukmiyah adalah basuhan pertama dari tiga basuhan yang diperintahkan, dalam pensucian najis ainiyah adalah basuhan yang menghilangkan wujud najisnya, dan dalam pensucian najis mugholadzoh adalah basuhan ketujuh bersamaan dengan tartib dalam salah satunya.

وَالْمُرَادُ بِغَسْلَةٍ وَاحِدَةٍ فِي الْحُكْمِيَّةِ الْغَسْلَةُ الْأُولَى مِنْ الثَّلَاثَةِ الْمَطْلُوبَةِ، وَفِي الْعَيْنِيَّةِ مُزِيلَةُ الْعَيْنِ، وَفِي الْمُغَلَّظَةِ الْغَسْلَةُ السَّابِعَةُ مَعَ التَّتْرِيبِ فِي إِحْدَاهَا،

 

Dan niat tidak dihitung kecuali saat basuhan itu, karena basuhan-basuhan itulah yang menghilangkan najis dan hadas.

وَلَا يُعْتَدُّ بِالنِّيَّةِ إِلَّا حِينَئِذٍ لِأَنَّهَا هِيَ الَّتِي تَزُولُ بِهَا النَّجَاسَةُ وَيَرْتَفِعُ بِهَا الْحَدَثُ،

Sehingga, apabila seseorang menyelam kedalam sungai tanpa ada debunya sebanyak 1000 kali misalnya maka hadasnya tetap tidak hilang.  Dari sinilah dibuat sebuah ilghoz (tebakan): “Orang junub menyelam kedalam air yang suci mensucikan 1000 kali dengan niat menghilangkan hadas dan di badannya tidak ada pencegah yang Nampak, tetapi dia tidak bisa suci.”

فَلَوْ انْغَمَسَ بِدُونِ تَتْرِيبٍ فِي نَهَرٍ أَلْفَ مَرَّةٍ مَثَلًا لَمْ يَرْتَفِعْ حَدَثُهُ، وَبِهِ يُلْغَزُ فَيُقَالُ جُنُبٌ انْغَمَسَ فِي مَاءٍ طَهُورٍ أَلْفَ مَرَّةٍ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْجَنَابَةِ وَلَيْسَ بِبَدَنِهِ مَانِعٌ حِسِّيٌّ وَلَمْ يَطْهُرْ

Perbedaan antara Imam Nawawi dan Imam Rofi’i tempatnya adalah apabila najisnya hukmiyah, atau najis ainiyah dan air basuhan pertamanya bisa menghilangkan wujud najisnya, dan air sampai pada tempat najis tanpa sampai air berubah.

(وَمَحَلُّهُ) أَيْ الْخِلَافِ بَيْنَ الشَّيْخَيْنِ (مَا إِذَا كَانَتْ النَّجَاسَةُ حُكْمِيَّةً)، أَوْ عَيْنِيَّةً وَكَانَ مَاءُ الْغَسْلَةِ الْوَاحِدَةِ يُزِيلُهَا وَيَصِلُ إِلَى الْمَحَلِّ مِنْ غَيْرِ تَغَيُّرِ الْمَاءِ،

Yang dimaksud dengan najis hukmiyah adalah najis yang tidak ada rasa, warna, bau maupun bentuk fisik. Dan yang dimaksud najis ainiyah adalah najis yang memenuhi beberapa sifat tadi.

وَالْمُرَادُ بِالْحُكْمِيَّةِ مَا لَيْسَ لَهَا طَعْمٌ وَلَا لَوْنٌ وَلَا رِيحٌ وَلَا جَرَمٌ، وَبِالْعَيْنِيَّةِ مَا لَهَا شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ.

Adapun najis ainiyah, dan najisnya tidak hilang dengan satu basuhan maka hadasnya masih tetap pada tempat najisnya, sedang hadas pada tempat selainnya hilang, maka wajib dua kali basuhan untuk hadas dan untuk najis menurut Imam Nawawi dan Imam Rofi’i.

(أَمَّا إِذَا كَانَتْ النَّجَاسَةُ عَيْنِيَّةً) وَلَمْ تَزُلْ بِغَسْلَةٍ بَقِيَ الْحَدَثُ عَلَى مَحَلِّ النَّجَاسَةِ وَارْتَفَعَ عَمَّا عَدَاهُ فَحِينَئِذٍ (وَجَبَ غَسْلَتَانِ) لِلْحَدَثِ وَالنَّجَاسَةِ (عِنْدَهُمَا) أَيْ النَّوَوِيِّ وَالرَّافِعِيِّ.

Dari keterangan yang sudah disebutkan, bisa diketahui bahwa sah menanggung perkataan mushonif pada qoul mu’tamad menurut Imam Nawawi, dan makna perkataan mushonif adalah menghilangkan najis beserta badan walau dengan satu basuhan, maka tidak disyaratkan mendahulukan menghilangkan najis dulu.

وَعُلِمَ مِمَّا ذُكِرَ أَنَّهُ يَصِحُّ حَمْلُ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ عِنْدَ النَّوَوِيِّ، وَيَكُونُ مَعْنَاهُ وَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ مَعَ الْبَدَنِ وَلَوْ بِغَسْلَةٍ وَاحِدَةٍ، فَلَا يُشْتَرَطُ تَقَدُّمُ إِزَالَتِهَا.

(3) Menyampaikan air pada seluruh bagian rambut, baik bagian luar maupun dalam, meskipun jenggot yang tebal selain rambut yang tumbuh di mata dan hidung meskipun panjang karena rambut yang itu termasuk bagian dalam (tidak wajib dibasuh), meskipun wajib membasuhnya jika ada najisnya.

(وَإِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى جَمِيعِ) أَجْزَاءِ (الشَّعْرِ) ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَلَوْ لِحْيَةً كَثِيفَةً مَا عَدَا النَّابِتَ فِي عَيْنٍ وَأَنْفٍ وَإِنْ طَالَ لِأَنَّهُ مِنْ الْبَاطِنِ، وَإِنْ كَانَ يَجِبُ غَسْلُهُ مِنْ النَّجَاسَةِ لِغِلَظِهَا،

Jika rambut dicabut, maka tidak wajib membasuhnya, tetapi wajib membasuh tempat tumbuhnya. Dan juga, membasuh seluruh bagian yang tampak dari kulit manusia, termasuk kuku dan bagian di bawahnya.

وَلَوْ نَتَفَ شَعْرَهُ لَمْ يَغْسِلْهَا وَجَبَ غَسْلُ مَحَلِّهَا، (وَ) اِلَى جَمِيْعِ أَجْزَاءِ ظَاهِرِ (الْبَشَرَةِ) حَتَّى الْأَظْفَارِ وَمَا تَحْتَهَا،

Dalam beberapa Salinan naskah, lafadz جميع diganti dengan اصول, sehingga jika dia membasuh akar rambutnya tanpa membasuh ujungnya, janabatnya masih tetap ada di sana dan hilang dari akarnya.

Tidak ada perbedaan antara rambut di kepala dan yang lainnya, dan antara rambut yang tipis dan yang tebal, karena keterbatasan kesulitan di sini disebabkan oleh tidak adanya pengulangan setiap hari.

(وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ بَدَلُ جَمِيعٍ أُصُولٍ)، فَلَوْ غَسَلَ أُصُولَ شَعْرِهِ دُونَ أَطْرَافِهِ بَقِيَتْ الْجَنَابَةُ فِيهَا وَارْتَفَعَتْ عَنْ أُصُولِهَا.

وَلَا فَرْقَ بَيْنَ شَعْرِ الرَّأْسِ وَغَيْرِهِ وَلَا بَيْنَ الْخَفِيفِ مِنْهُ أَيْ الشَّعْرِ (وَالْكَثِيفِ) لِقِلَّةِ الْمَشَقَّةِ هُنَا لِعَدَمِ تَكَرُّرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ.

Dan rambut yang teranyam, artinya yang terjalin, jika air tidak sampai ke bagian dalamnya kecuali dengan merusaknya maka wajib dirusak (dilepas). Berbeda dengan apa yang terikat secara alami. Meskipun pemiliknya sembrono dengan tidak merawatnya dengan minyak atau sejenisnya karena tidak berhati-hati.

(وَالشَّعْرُ الْمَضْفُورُ) أَيْ الْمَنْسُوج (إِنْ لَمْ يَصِلْ الْمَاءُ إِلَى بَاطِنِهِ إِلَّا بِالنَّقْضِ وَجَبَ نَقْضُهُ)، بِخِلَافِ مَا انْعَقَدَ بِنَفْسِهِ وَإِنْ كَثُرَ وَإِنْ قَصَّرَ صَاحِبُهُ بِأَنْ لَمْ يَتَعَهَّدْهُ بِدُهْنٍ وَنَحْوِهِ لِعَدَمِ تَكْلِيفِهِ،

Adapun yang terikat sebab perbuatan pemiliknya maka tidak ada ma’fu sama sekali, meskipun ikatannya sedikit sebab sembrono dalam melakukannya. Begitu pula keterangan yang dinuqil dari Ibnu Hajar, Ibnu Qasim, dan Asy-Syibrāmulusy.

أَمَّا مَا انْعَقَدَ بِفِعْلِهِ فَلَا يُعْفَى عَنْهُ أَصْلًا، وَإِنْ قَلَّ لِتَعَدِّيهِ بِفِعْلِهِ. كَذَا نُقِلَ عَنْ ابْنِ حَجَرٍ وَابْنِ قَاسِمٍ وَالشِّبْرَامُلُسِيِّ.

Yang dimaksud dengan "al-basyarah" adalah bagian luar dari kulit yang terlihat. Jika seseorang membuat sesuatu seperti jarum atau hidung dari emas, maka wajib baginya untuk membasuhnya jika dia mengalami hadas kecil atau besar, dan juga jika ada najis yang tidak dimaafkan yang menempel padanya. Hal ini karena kewajiban membasuh bagian yang terlihat dari jari dan hidung dengan menyentuhnya secara langsung.

(وَالْمُرَادُ بِالْبَشَرَةِ ظَاهِرُ الْجِلْدِ) وَلَوْ اتَّخَذَ أُنْمُلَةً أَوْ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ مَثَلًا، وَجَبَ عَلَيْهِ غَسْلُهُ مِنْ حَدَثٍ أَصْغَرَ أَوْ أَكْبَرَ، وَمِنْ نَجَاسَةٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهَا إِنْ الْتَحَمَ، لِأَنَّهُ وَجَبَ عَلَيْهِ غَسْلُ مَا ظَهَرَ مِنْ الْأُصْبُعِ وَالْأَنْفِ بِالْقَطْعِ،

Jika seseorang memiliki alasan yang sah dalam membuatnya, maka jarum dan hidung tersebut dianggap seperti bagian tubuh yang sebenarnya, dan membasuhnya menjadi wajib, tetapi tidak membatalkan wudhu dengan sentuhan tersebut.

وَقَدْ تَعَذَّرَ لِلْعُذْرِ ، فَصَارَتْ الْأُنْمُلَةُ وَالْأَنْفُ كَالْأَصْلِيَّيْنِ فِي وُجُوبِ غَسْلِهِمَا، لَا فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ بِاللَّمْسِ .

Yang wajib dibasuh adalah bagian yang terlihat dari kedua belah telinga dan bagian yang terpotong oleh pisau, hanya jika terpotong dari hidung yang sudah gruwung, maksudnya terpotong.

(وَيَجِبُ غَسْلُ مَا ظَهَرَ مِنْ صِمَاخَيْ أُذُنَيْهِ وَ) مَا ظَهَرَ بِالْقَطْعِ مِمَّا بَاشَرَتْهُ السِّكِّينُ فَقَطْ (مِنْ أَنْفٍ مَجْدُوعٍ) أَيْ مَقْطُوعٍ

Berbeda jika bagian dalamnya sudah terbuka sebelum hidung terpotong, maka tidak wajib dibasuh. Meskipun bagian dalam tersebut muncul setelah sesuatu yang menutupinya terpotong. Juga wajib membasuh dan tempat-tempat kerutan. Iya benar begitu, namun haram menyobek anggota badan yang menempel rapat.

بِخِلَافِ الْبَاطِنِ الَّذِي كَانَ مُنْفَتِحًا قَبْلَ الْقَطْعِ، فَلَا يَجِبُ غَسْلُهُ، وَإِنْ ظَهَرَ بَعْدَ قَطْعِ مَا كَانَ سَاتَرَهُ . (وَمِنْ شُقُوقِ بَدَنٍ) وَسَائِرِ مَعَاطِفِ الْبَدَنِ وَمَحَلُّ الْتَّوَائِهِ نَعَمْ يَحْرُمُ فَتْقُ الْمُلْتَحِمِ

Wajib mengalirkan air ke bagian di bawah khitanan karena itu termasuk bagian yang harus dibersihkan. Jika seseorang menghilangkan bagian tersebut, hal tersebut tidak menjamin kebersihan, dan bagian yang ada di bawahnya dianggap seperti bagian yang terlihat, sehingga wajib untuk membersihkannya.

(وَيَجِبُ إِيصَالُ الْمَاءِ إِلَى مَا تَحْتَ الْقُلْفَةِ من الْأَقْلَفِ) لِأَنَّهَا مِنْ مُسْتَحَقَّةِ الْإزَالَةِ . وَلِهَذَا لَوْ أَزَالَهَا إِنْسَانٌ لَمْ يَضْمَنْهَا، فَمَا تَحْتَهَا كَالظَّاهِرِ لِوُجُوبِ إِزَالَتِهَا،

Oleh karena itu, saat berada dalam keadaan junub, wajib untuk membasuh bagian dalam khitanan. Jika ada mani yang terperangkap di dalamnya, dan seseorang mandi, kemudian mani tersebut keluar, tidak perlu mengulang mandi.

وَلِهَذَا يَجِبُ غَسْلُ بَاطِنِهَا فِي الْجَنَابَةِ، وَلَوْ انْحَبَسَ فِيهَا مَنِيٌّ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ خَرَجَ مَا انْحَبَسَ فِيهَا لَمْ يَجِبْ إِعَادَةُ الْغُسْلِ

Menurut al-Qaffal dan pendapat yang benar (sohih) adalah bahwa shalat seseorang yang memiliki khitanan yang tertutup tidak sah, dan shalatnya juga tidak sah jika dia menjadi imam.

قَالَ الْقَفَّالُ وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْأَقْلَفَ لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ، وَلَا إِمَامَتُهُ

Akan tetapi, pendapat yang diizinkan oleh al-Qadi Syurayh dan al-Ruyani adalah bahwa shalatnya dan sejenisnya tetap sah meskipun khitanannya tertutup, dengan tetapnya kulup, meskipun disebutkan bahwa shalat dalam keadaan ini makruh, meskipun sah, karena adanya urine yang terjebak di dalam kulup seperti yang disebutkan dalam Fath al-Jawab oleh asy-Syihab ar-Ramli.

وَجَوَّزَ الْقَاضِي شُرَيْحٌ وَالرُّويَانِيُّ لَهُ الصَّلَاةُ وَنَحْوُهَا مَعَ بَقَاءِ غُرْلَتِهِ وَقَالَ: قُدْوَتُنَا بِهِ فِي الصَّلَاةِ مَكْرُوهَةٌ مَعَ صِحَّتِهَا لِانْحِبَاسِ الْبَوْلِ فِي قَلْفَتِهِ كَذَا فِي فَتْحِ الْجَوَابِ لِلشِّهَابِ الرَّمْلِيِّ

Bagian yang terlihat dari kemaluan wanita, bahkan jika dia seorang perawan, ketika dia duduk untuk memenuhi kebutuhan alaminya, harus dibasuh. Hal ini karena bagian tersebut terlihat dalam beberapa keadaan, dan ini mirip dengan bagian antara jari-jari tangan yang terlihat jelas. Oleh karena itu, membasuhnya wajib sepanjang waktu, seperti membasuh bagian antara jari-jari tangan.

(وَإِلَى مَا يَبْدُو مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ) وَلَوْ بِكْرًا (عِنْدَ قُعُودِهَا) عَلَى قَدَمَيْهَا (لِقَضَاءِ حَاجَتِهَا) لِأَنَّهُ يَظْهَرُ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ فَهُوَ شَبِيهٌ بِمَا بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَهُوَ مِنْ الظَّاهِرِ فَوَجَبَ غَسْلُهُ دَائِمًاً كَمَا بَيْنَ الْأَصَابِعِ

Salah satu bagian yang wajib dibasuh adalah "al-masraba," yaitu anggota badan tempat pertemuan atau pintu keluar dari air keluar (dari farji). Bagian ini harus diregangkan sedikit agar air dapat mencapainya. Hal ini karena bagian tersebut terlihat saat buang hajat, sehingga dianggap sebagai bagian yang terlihat dari tubuh, meskipun dalam beberapa keadaan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses membersihkan tubuh saat berada dalam keadaan junub karena kenyamanan dalam membasuh yang terhambat oleh kondisi tubuh yang kotor.

(وَمِمَّا يَجِبُ غَسْلُهُ الْمَسْرَبَةُ) وَهِيَ مُلْتَقَى الْمَنْفَذِ فَيَسْتَرْخِي قَلِيلًا لِيَصِلَ الْمَاءُ إِلَى ذَلِكَ (لِأَنَّهَا تَظْهَرُ فِي وَقْتِ قَضَاءِ الْحَاجَةِ فَتَصِيرُ مِنْ ظَاهِرِ الْبَدَنِ) وَلَوْ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ، وَذَلِكَ لِحُلُولِ الْحَدَثِ لِكُلِّ الْمَشَقَّةِ لِنُدْرَةِ الْغُسْلِ

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi