Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Fasal Mengusap 2 Muzah
فَصْلٌ فِى الْمَسْحِ
عَلَى الْخُفَّيْنِ
FASAL:
MENGUSAP DUA MUZAH
(Fasal) Mengenai mengusap sepatu atau muzah (khuffain). |
(فَصْلٌ) فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ |
Ini adalah keringanan
yang diperbolehkan, bahkan bagi mereka yang tidak bepergian (bukan musafir).
Hadas pada kedua kaki dapat dihilangkan dengan mengusap permukaan sepatu
dengan syarat dan durasi tertentu. |
وَهُوَ
رُخْصَةٌ، وَلَوْ لِلْمُقِيمِ وَيَرْفَعُ الْحَدَثَ عَنْ الرِّجْلَيْنِ رَفْعًا
مُقَيَّدًا بِمُدَّةٍ، |
Hal ini memungkinkan
seseorang untuk melakukan shalat tanpa harus membatasi penggunaan muzah hanya
pada situasi tertentu. Mengusap pada sepatu/muzah yang bersih diizinkan, yang
berarti dapat menggantikan kewajiban membasuh kaki. |
وَيُبِيحُ
الصَّلَاةَ مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ. (وَالْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ)
الطَّاهِرَيْنِ (جَائِزٌ) أَيْ الْعُدُولُ عَنْ الْغُسْلِ إِلَى الْمَسْحِ
جَائِزٌ، وَهُوَ وَاجِبٌ إِذَا حَصَلَ (فِي الْوُضُوءِ) بَدَلًا عَنْ غَسْلِ
الرِّجْلَيْنِ، |
Walaupun tidak terdapat
hajat untuk memakainya, dan walaupun dalam wudhunya orang yang daimul hadas,
namun pengusapan ini tidak berlaku dalam mandi wajib atau sunnah dan tidak
pula dalam menghilangkan najis meskipun berupa najis ma’fu. |
وَإِنْ
لَمْ تَكُنْ حَاجَةٌ إِلَيْهِ وَلَوْ وُضُوءَ سَلِسٍ (لَا فِي غُسْلِ فَرْضٍ
أَوْ نَفْلٍ وَلَا فِي إِزَالَةِ نَجَاسَةٍ) وَلَوْ مَعْفُوًّا عَنْهَا. |
Jika pengguna muzah
junub, misalnya, atau mendapat perintah untuk mandi sunah, seperti mandi
Jumat sebagai contoh, atau kakinya berdarah dalam muzah sebagai contoh,
kemudian ia ingin melakukan pengusapan sebagai pengganti membasuh kaki maka
pengusapan tersebut tidak dibolehkan. Lafadz لم يجز dengan
dhommah kemudian sukun. |
(فَلَوْ أَجْنَبَ) مَثَلًا أَوْ طُلِبَ مِنْهُ غُسْلُ مَنْدُوبٍ
كَغُسْلِ الْجُمُعَةِ مَثَلًا أَوْ (دُمِيَتْ رِجْلُهُ) فِي الْخُفِّ مَثَلًا
فَأَرَادَ الْمَسْحَ بَدَلًا عَنْ غَسْلِ الرِّجْلِ (لَمْ يَجُزْ) بِضَمٍّ
فَسُكُونٍ |
Maka mau tidak mau dia
harus membasuh kakinya secara langsung karena mandi dan menghilangkan najis
tidak berulang seperti berulangnya wudhu, sehingga melepaskan muzah tidak
memberatkan dalam dua kondisi tersebut. |
(بَلْ لَا بُدَّ مِنْ الْغَسْلِ) لِأَنَّ الْغَسْلَ وَإِزَالَةَ
النَّجَاسَةِ لَا يَتَكَرَّرَانِ مِثْلَ تَكْرَارِ الْوُضُوءِ، فَلَا يَشُقُّ
فِيهِمَا النَّزْعُ. |
Perkataan mushonif
‘boleh’ memberi isyarat bahwa membasuh kedua kaki lebih utama disbanding
mengusap muzah. |
(وَأَشْعَر قَوْلُهُ جَائِزٌ أَنَّ غَسْلَ الرِّجْلَيْنِ
أَفْضَلُ مِنْ الْمَسْحِ). |
Pendapat yang dapat
diterima adalah, jika seseorang khawatir akan kehilangan waktu wukuf di
Arafah atau tidak dapat menyelamatkan seorang tawanan, atau waktunya sempit
dan jika dia mandi, waktunya habis, atau dia khawatir imam akan mengangkat
kepalanya dari ruku' kedua dalam shalat Jumat, atau dia wajib melakukan shalat
jenazah dan dikhawatirkan jenazah tersebut akan meledak jika dimandikan, maka
wajib baginya untuk melakukan tayammum dalam semua keadaan tersebut. |
وَالْمُعْتَمَدُ
أَنَّهُ إِنْ خَافَ فَوْتَ عَرَفَةَ أَوْ فَوْتَ إِنْقَاذِ أَسِيرٍ أَوْ ضَاقَ
الْوَقْتُ وَلَوْ اشْتَغَلَ بِالْغُسْلِ خَرَجَ الْوَقْتُ أَوْ خَشِيَ أَنْ
يَرْفَعَ الْإِمَامُ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ الثَّانِي فِي الْجُمُعَةِ، أَوْ
تَعَيَّنَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ عَلَى مَيِّتٍ خِيفَ انْفِجَارُهُ لَوْ غُسِلَ
وَجَبَ الْمَسْحُ فِي الْجَمِيعِ |
Dan memang diperbolehkan
untuk mengusap kedua muzah, bukan hanya satu, asalkan kaki yang satunya telah
dibasuh, jika itu memungkinkan dilakukan, atau dengan tayammum menggantinya
jika kaki yang satunya mengalami sakit, kecuali jika satu di antaranya hilang
karena dipotong atau hancur, dengan tiga syarat: |
(وَإِنَّمَا يَجُوزُ مَسْحُ الْخُفَّيْنِ) لَا أَحَدِهِمَا
فَقَطْ مَعَ غَسْلِ الرِّجْلِ الْأُخْرَى إِنْ كَانَتْ صَحِيحَةً، أَوْ مَعَ
التَّيَمُّمِ عَنْهَا إِنْ كَانَتْ عَلِيلَةً (إِلَّا أَنْ يَكُونَ فَاقِدَ
الْأُخْرَى) بِقَطْعٍ أَوْ بَالِيَةٍ (بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ): |
Pertama, orang yang bermaksud mengusap muzah tersebut telah
mengenakannya setelah mencapai kesucian dari hadats besar atau hadats kecil,
bahkan jika itu dilakukan melalui tayammum murni, bukan karena kurangnya air,
misalnya dia tayammum karena sakit. |
أَحَدُهَا
(أَنْ يَبْتَدِىءَ أَيْ الشَّخْصُ) الَّذِي يُرِيدُ الْمَسْحَ عَلَيْهِمَا
(لُبْسَهُمَا بَعْدَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ) مِنْ الْحَدَثَيْنِ، وَلَوْ
بِالتَّيَمُّمِ الْمَحْضِ لَا لِفَقْدِ الْمَاءِ بِأَنْ تَيَمَّمَ لِنَحْوِ
مَرَضٍ |
Jika seseorang membasuh
salah satu kakinya dan mengenakan muzah, lalu melakukan hal yang sama dengan
yang satunya, tindakan tersebut tidak memadai. Dengan kata lain, mengusap
tidak diizinkan hingga muzah yang pertama dilepaskan dari tempatnya di kaki,
kemudian dimasukkan kembali ke dalam muzah sebelum mencapai kesucian
sepenuhnya. Yang dimaksud di sini adalah bahwa mengusap saja tidak mencukupi
untuk tindakan yang akan datang. Jika tidak, wudhu seperti itu tidak akan
memadai untuk shalat atau situasi serupa. |
(فَلَوْ
غَسَلَ رِجْلًا وَأَلْبَسَهَا خُفَّهَا ثُمَّ فَعَلَ بِالْأُخْرَى لَمْ يَكْفِ)
أَيْ لَمْ يَجُزْ الْمَسْحُ حَتَّى يُنْزَعَ الْأُولَى مِنْ مَوْضِعِ الْقَدَمِ،
ثُمَّ يُدْخِلَهَا فِي الْخُفِّ لِإِدْخَالِهَا قَبْلَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ،
وَالْمُرَادُ أَنَّهُ لَا يَكْفِي بِالنِّسْبَةِ لِلْمَسْحِ فِي
الْمُسْتَقْبَلِ، وَإِلَّا فَهَذَا الْوُضُوءُ يُجْزَىءُ فِي الصَّلَاةِ
وَنَحْوِهَا |
Dan jika seseorang membasuh
kedua kakinya di bagian atas muzah, lalu memasukkannya kembali ke tempat
biasanya pada kakinya, atau ketika keduanya sudah berada di tempat biasanya,
dan kemudian melepaskannya dari kakinya hingga ke bagian atas muzah, dan
tidak ada yang terlihat dari tempat yang wajib dibasuh, lalu ia
memasangkannya kembali, maka mengusap muzah diizinkan. |
(وَلَوْ) غَسَلَهُمَا فِي سَاقِ الْخُفَّيْنِ ثُمَّ
أَدْخَلَهُمَا مَحَلَّ الْقَدَمِ، أَوْ وَهُمَا فِي مَقَرِّهِمَا ثُمَّ
نَزَعَهُمَا عَنْهُ إِلَى سَاقِ الْخُفَّيْنِ، وَلَمْ يَظْهَرْ مِنْ مَحَلِّ
الْفَرْضِ شَيْءٌ ثُمَّ أَعَادَهُمَا إِلَيْهِ جَازَ الْمَسْحُ |
Hal ini berbeda dengan
jika ia memulai mengenakannya setelah mencapai kesucian sepenuhnya, yaitu
setelah membasuh kedua kakinya, kemudian terjadi hadats sebelum salah satu
muzah dipasang kembali ke tempatnya. Dalam kasus tersebut, mengusap muzah
tidak diizinkan, mengingat hukum asalnya adalah tidak memakainya sehingga
menyebabkan hilangnya wudhu sebelum mencapai kesucian sepenuhnya. |
بِخِلَافِ
مَا لَوْ (ابْتَدَأَ لُبْسَهُمَا بَعْدَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ) أَيْ بَعْدَ
غَسْلِهِمَا (ثُمَّ أَحْدَثَ قَبْلَ وُصُولِ الرِّجْلِ) أَيْ الْأُولَى أَوْ
الثَّانِيَةِ (قَدَمَ الْخُفِّ لَمْ يَجُزْ الْمَسْحُ) نَظَرًا لِأَصْلِ عَدَمِ
اللُّبْسِ لِنَقْضِ الْوُضُوءِ قَبْلَ اسْتِقْرَارِهِ، |
Dan sah untuk mengusap
dalam masalah pertama, yang dimaksud adalah memulai dengan mengambil hukum
asalnya, yaitu memakai muzah. Mereka menyimpulkan bahwa dalam setiap masalah
penting untuk mempertimbangkan hukum asalnya. |
وَصَحَّ
الْمَسْحُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى الَّتِي هِيَ مَفْهُومُ قَوْلِهِ أَنْ
يَبْتَدِئَ اسْتِصْحَابًا لِلْأَصْلِ، وَهُوَ اللُّبْسُ فَتَلَخَّصَ أَنَّهُمْ
نَظَرُوا فِي كُلِّ مَسْأَلَةٍ لِأَصْلِهَا |
Kedua, muzah tersebut harus menjadi penutup bagi bagian
anggota yang wajib dibasuh dalam wudhu dari dua kaki dengan tumit keduanya.
Huruf 'ba' di sini (بكعبيهما) bermakna 'bersama dengan' atau 'bersama keduanya.' Jadi,
jika muzah berada di bawah kedua tumit seperti sandal, maka mengusap tidak
mencukupinya.
Yakni dua muzah yang tidak sampai menutup kedua tumit. |
(وَ) ثَانِيهِمَا (أَنْ يَكُونَا) أَيْ الْخُفَّانِ (سَاتِرَيْنِ
لِمَحَلِّ غَسْلِ الْفَرْضِ) فِي الْوُضُوءِ (مِنْ الْقَدَمَيْنِ
بِكَعْبَيْهِمَا) فَالْبَاءُ بِمَعْنَى مَعَ أَيْ مَعَهُمَا (فَلَوْ كَانَا
دُونَ الْكَعْبَيْنِ كَالْمِدَاسِ) بِكَسْرِ الْمِيمِ (لَمْ يَكْفِ الْمَسْحُ
عَلَيْهِمَا) أَيْ الْخُفَّيْنِ اللَّذَيْنِ دُونَ الْكَعْبَيْنِ |
Dan yang dimaksud dengan
'penutup' di sini, yaitu pada muzah adalah yang dapat mencegah atau
menghalangi dari air hujan dan itu adalah sesuatu yang dapat menghalangi air
hujan untuk meresap sendiri dari dekat, bahkan jika Anda menuangkan air di
atasnya, itu tidak akan merusak penutupnya setelah jangka waktu tertentu. |
(وَالْمُرَادُ بِالسَّاتِرِ هُنَا) أَيْ فِي الْخُفِّ
(الْحَائِلُ) وَهُوَ مَا يَمْنَعُ نُفُوذَ مَاءِ الصَّبِّ بِنَفْسِهِ عَنْ
قُرْبٍ لَوْ صَبَّ عَلَيْهِ، فَلَا يَضُرُّ نُفُوذُهُ بَعْدَ مُدَّةٍ، |
Sebagai contoh, jika
sesuatu itu diselimuti lilin dan lilin tersebut menghalangi air untuk
meresap, maka mengusap tidak cukup untuk itu. Dan tidak merugikan penghalang
air dari tempat-tempat seperti manik-manik tali tas atau penghias. |
وَلَوْ
كَانَ مُشَمَّعًا وَمَنَعَ الشَّمْعُ نُفُوذَ الْمَاءِ لَا يَكْفِي الْمَسْحُ
عَلَيْهِ، وَلَا يَضُرُّ نُفُوذُ الْمَاءِ مِنْ مَحَلِّ الْخَرَزِ، |
Dan yang dimaafkan
adalah masuknya air dari tempatnya disebabkan oleh kesulitan menghindarinya,
bukan karena tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, yang dianggap cukup adalah
bahan yang tembus pandang seperti kaca dan kristal, jika diperlukan untuk
kemudahan melihat jejak kaki pada kedua muzah. |
وَإِنَّمَا
عُفِيَ عَنْ وُصُولِ الْمَاءِ مِنْ مَحَلِّهِ لِعُسْرِ الِاحْتِرَازِ عَنْهُ
(لَا مَانِعُ الرُّؤْيَةِ) فَيَكْفِي الشَّفَّافُ كَالزُّجَاجِ وَالْبِلَّورِ
لَوْ فَرَضَ سُهُولَةُ تَتَابُعِ الْمَشْيِ عَلَى الْخُفَّيْنِ |
Sebagai contoh dari
pertimbangan ini adalah melihat barang yang dijual dari belakang kaca, namun
ini tidak mencukupi karena yang diinginkan adalah untuk menghindari
kerusakan, dan ini tidak terjadi dengan melihat sesuatu dari belakang kaca,
yang sering kali tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada di dalam. |
وَمِنْ
نَظَائِرِ الْمَسْأَلَةِ رُؤْيَتُهُ الْمَبِيعَ مِنْ وَرَاءِ الزُّجَاجِ، وَهِيَ
لَا تَكْفِي لِأَنَّ الْمَطْلُوبَ نَفْيُ الضَّرَرِ، وَهُوَ لَا يَحْصُلُ بِهَا
إِذْ الشَّيْءُ مِنْ وَرَاءِ الزُّجَّاجِ يُرَى غَالِبًا عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ
عَلَيْهِ . |
Dan yang dimaksud dengan
'penutup' di sini juga mencakup penutup dari sisi muzah, yaitu sisi-sisi yang
menjadi tempat masuknya kaki, bukan dari bagian atasnya, yaitu bagian tempat
masuknya kaki. |
(وَ) الْمُرَادُ بِالسَّاتِرِ أَيْضًا (أَنْ يَكُونَ السَّتْرُ
مِنْ جَوَانِبِ الْخُفَّيْنِ) أَيْ جِهَاتِهِمَا السُّنَّةُ (لَا مِنْ
أَعْلَاهُمَا) أَيْ الَّذِي هُوَ مَحَلُّ إِدْخَالِ الرِّجْلِ |
Ketiga: Kedua muzah
harus bisa digunakan untuk melangkah
bersama-sama, meskipun dengan
kesulitan sekalipun, sebagaimana dalam beberapa naskah, dan meskipun berjalan
tidak selalu terjadi. Yang dimaksud adalah di debu di mana umumnya dipakai
berjalan, seperti di daerah yang tidak terlalu sulit dan kasar. |
(وَ) ثَالِثُهَا (أَنْ يَكُونَا) أَيْ الْخُفَّانِ مَعًا (مِمَّا
يُمْكِنُ) أَيْ يَسْهُلُ وَلَوْ بِمَشَقَّةٍ (تَتَابَعُ الْمَشْيِ عَلَيْهِمَا)
أَيْ فِيهِمَا كَمَا فِي بَعْضِ النُّسَخِ، وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ الْمَشْيُ
بِالْفِعْلِ وَالْمُرَادُ الْأَرْضُ الَّتِي يَغْلِبُ الْمَشْيُ فِي مِثْلِهَا
لَا نَحْوُ شَدِيدِ الْوَعْرِ |
Hal ini dimaksudkan
untuk memastikan kemampuan seorang musafir untuk bergerak dan menjalankan
kebutuhan tanpa merasa terhambat atau kesulitan, baik untuk buang air besar
atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa harus tergantung pada
selain kedua muzah, seperti sandal. Prinsip ini berlaku bahkan jika orang
yang memakainya tidak dapat berjalan. |
(لِتَرَدُّدِ مُسَافِرٍ فِي حَوَائِجِهِ مِنْ حَطٍّ) أَيْ
نُزُولٍ (وَتِرْحَالٍ) أَيْ مَشْيٍ وَتَرَدُّدٍ فِي قَضَاءِ الْحَاجَةِ عَلَى
الِانْفِرَادِ مِنْ غَيْرِ إِعَانَةٍ بِغَيْرِ الْخُفَّيْنِ كَمِدَاسٍ لَا
الْمَشْيِ فِي قَطْعِ الْمَسَافَةِ، وَإِنْ كَانَ لَابِسُهِمَا عَاجِزًا. |
Dan pertimbangan ini
hanya berlaku untuk orang yang mukim dengan mempertimbangkan kebutuhan
perjalanan dalam satu hari satu malam. Karena kebutuhan orang yang mukim
tidak terstruktur seperti orang yang bepergian, seorang yang mukim mungkin
menghabiskan sepanjang hari menjalankan kebutuhannya, berbeda dengan seorang
musafir yang memiliki kebutuhan yang lebih terbatas. |
وَإِنَّمَا
اُعْتُبِرَ فِي الْمُقِيمِ حَاجَاتُ السَّفَرِ فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِأَنَّ
حَاجَاتِ الْمُقِيمِ لَا تَنْضَبِطُ إِذْ قَدْ يَمْكُثُ الْمُقِيمُ طُولَ
نَهَارِهِ فِي طُولِ حَاجَاتِهِ بِخِلَافِ الْمُسَافِرِ، فَإِنَّ حَوَائِجَهُ
مَضْبُوطَةٌ |
Dan diambil dari ucapan
penulis dalam kalimatnya 'dari yang memungkinkan melangkah bersama-sama',
bahwa keduanya harus kuat sehingga mencegah air hujan dan air semprotan
lainnya. |
(وَيُؤْخَذُ مِنْ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ) فِي قَوْلِهِ مِمَّا
يُمْكِنُ تَتَابُعُ الْمَشْيِ عَلَيْهِمَا (كَوْنُهُمَا قَوِيَّيْنِ بِحَيْثُ
يَمْنَعَانِ نُفُوذَ الْمَاءِ) أَيْ مَاءُ الصَّبِّ وَقْتَ الصَّبِّ إِلَى
الرِّجْلِ مِنْ غَيْرِ مَحَلِّ الْخَرَزِ لَا مَاءُ الْمَسْحِ، |
Namun, yang dimaksud
dengan pertimbangan kekuatan adalah pada awal periode, yaitu sejak saat
mengenakan muzah, bukan pada setiap usaha melangkah. Bahkan jika muzahnya
kuat untuk suatu waktu bukan saat waktu perjalanan, dan di atas waktu mukim
atau setara dengannya, maka seseorang dapat melakukan pengusapan muzah sejauh
kekuatannya. |
وَالِاعْتِبَارُ
فِي الْقُوَّةِ بِأَوَّلِ الْمُدَّةِ، وَهُوَ مِنْ الْحَدَثِ بَعْدَ اللُّبْسِ
لَا عِنْدَ كُلِّ مَسْحٍ وَلَوْ قَوِيَ الْخُفُّ عَلَى زَمَنٍ دُونَ مُدَّةِ
الْمُسَافِرِ، وَفَوْقَ مُدَّةِ الْمُقِيمِ أَوْ قَدْرِهَا، فَلَهُ الْمَسْحُ
بِقَدْرِ قُوتِهِ |
Dan juga disyaratkan
menjaga kebersihan kedua muzah. Namun, apabila terdapat najis yang diampuni
(ma'fu) pada muzah, maka sah mengusap bagian yang tidak terkena najis.
Mengalirnya air ke tempat najis tidak mengganggu kesahihan mengusap. Syarat
ini perlu dipenuhi ketika melakukan pengusapan, bukan ketika menggunakan
sandal. |
(وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا طَهَارَتُهُمَا) لَكِنْ لَوْ كَانَ عَلَى
الْخُفِّ نَجَاسَةٌ مَعْفُوٌّ عَنْهَا فَمَسَحَ مِنْهُ مَا لَا نَجَاسَةَ
عَلَيْهِ صَحَّ الْمَسْحُ، وَلَا يَضُرُّ سَيَلَانُ الْمَاءِ إلَى النَّجَاسَةِ،
وَهَذَا الشَّرْطُ مُعْتَبَرٌ عِنْدَ الْمَسْحِ لَا عِنْدَ اللُّبْسِ، |
Dengan demikian, jika
seseorang mengenakan dua muzah yang najis atau terkena najis, dan
membersihkannya sebelum melakukan pengusapan, maka pengusapan tersebut
dianggap sah. Adapun syarat-syarat lainnya dihitung pada saat memakai muzah. |
حَتَّى
لَوْ لَبِسَ خُفَّيْنِ نَجِسَيْنِ أَوْ مُتَنَجِّسَيْنِ، ثُمَّ طَهَّرَهُمَا
قَبْلَ الْمَسْحِ أَجْزَأَ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا، وَأَمَّا بَقِيَّةُ
الشُّرُوطِ، فَتُعْتَبَرُ عِنْدَ اللُّبْسِ |
Dan apabila seseorang
memakai muzah di atas muzah yang lain (berlapis), entah karena cuaca yang
sangat dingin atau karena alasan lain seperti ketebalan muzah, maka muzah
yang dikenakan di atas bisa memiliki kekuatan atau kelemahan, begitu juga
yang berada di bawahnya bisa kuat atau lemah, atau mungkin yang di atasnya
kuat sementara yang di bawahnya lemah, atau sebaliknya. Jika keduanya
ternyata lemah, maka pengusapan pada keduanya tidak sah secara mutlak. |
(وَلَوْ لَبِسَ خُفًّا فَوْقَ خُفٍّ لِشِدَّةِ الْبَرْدِ
مَثَلًا) أَيْ أَوْ لِعِلَّةٍ أَوْ لِكَثْرَةِ الْخِفَافِ عِنْدَهُ، فَإِمَّا
أَنْ يَكُونَا قَوِيَّيْنِ أَوْ ضَعِيفَيْنِ، أَوْ يَكُونَ الْأَعْلَى قَوِيًّا
وَالْأَسْفَلُ ضَعِيفًا أَوْ بِالْعَكْسِ (فَإِنْ) كَانَا ضَعِيفَيْنِ لَا
يَصِحُّ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا مُطْلَقًا |
Jika muzah yang berada
di bagian atas layak untuk diusap karena kekuatannya, sementara yang berada
di bawahnya tidak layak karena kelemahannya, maka pengusapan pada yang berada
di atasnya dianggap sah tanpa adanya perbedaan pendapat. Hal ini disamakan dengan
kasus muzah, di mana yang berada di bawahnya seperti pembalut, sehingga
seolah-olah seseorang memakai satu sandal di atas perban pada kakinya. |
وَإِنْ
(كَانَ الْأَعْلَى صَالِحًا لِلْمَسْحِ) لِكَوْنِهِ قَوِيًّا (دُونَ
الْأَسْفَلِ) لِكَوْنِهِ ضَعِيفًاً (صَحَّ الْمَسْحُ عَلَى الْأَعْلَى) بِلَا
خِلَافٍ لِأَنَّهُ الْخُفُّ وَمَا تَحْتَهُ كَاللِّفَافَةِ فَكَأَنَّهُ لَابِسٌ
خُفًّا وَاحِدًا عَلَى لِفَافَةٍ عَلَى قَدَمِهِ |
Dan jika keduanya
memiliki kekuatan atau muzah yang berada di bagian bawah lebih layak untuk
diusap karena kekuatannya, sementara yang di atasnya tidak layak karena
kelemahannya, maka mengusap bagian bawah dianggap sah. Hal ini mirip dengan
tindakan meletakkan tangan di antara keduanya dan mengusap bagian bawah dari
keduanya. |
(وَإِنْ) كَانَا قَوِيَّيْنِ أَوْ (كَانَ الْأَسْفَلُ صَالِحًا
لِلْمَسْحِ) لِكَوْنِهِ قَوِيًّا (دُونَ الْأَعْلَى) لِكَوْنِهِ ضَعِيفًا
(فَمَسَحَ الْأَسْفَلَ) كَأَنْ وَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ الْخُفَّيْنِ، وَمَسَحَ
الْأَسْفَلِ مِنْهُمَا (صَحَّ) أَيْ الْمَسْحُ عَلَيْهِ |
Atau mengusap yang
berada di bagian atas sehingga air yang basah mencapai bagian bawah, meskipun
dari tempat yang tinggi. Ini dianggap sah jika dia bermaksud hanya untuk
bagian yang di bawah atau jika dia bermaksud untuk mengusap keduanya
bersama-sama. |
(أَوْ) مَسَحَ (الْأَعْلَى فَوَصَلَ الْبَلَلُ لِلْأَسْفَلِ)
وَلَوْ مِنْ مَحَلِّ الْخَرَزِ (صَحَّ) أَيْ الْمَسْحُ (إِنْ قَصَدَ
الْأَسْفَلَ) وَحْدَهُ (أَوْ قَصَدَهُمَا) أَيْ الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ (مَعًا
، |
Namun, pengusapan tidak
dianggap sah jika dia bermaksud hanya untuk yang berada di atas tanpa
memaksudkan yang di bawah, begitu juga jika dia bermaksud hanya untuk salah
satu dari keduanya tanpa yang lain. |
لَا)
يَصِحُّ الْمَسْحُ (إِنْ قَصَدَ الْأَعْلَى فَقَطْ) دُونَ الْأَسْفَلِ وَكَذَا
إِنْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا بِعَيْنِهِ |
Dan jika seseorang
secara umum dia tidak bermaksud untuk salah satu dari keduanya, melainkan dia
bermaksud untuk mengusap dalam konteks keseluruhan, maka ini dianggap
memadai, menurut qoul ashoh. Hal ini karena dia bermaksud untuk menghapus
kewajiban wudhu dengan mengusap, dan air sudah mencapai bagian bawah. |
(وَإِنْ) أَطْلَقَ بِأَنْ (لَمْ يَقْصِدْ وَاحِدًا مِنْهُمَا)
بَلْ قَصَدَ الْمَسْحَ فِي الْجُمْلَةِ (أَجَزَأَ) أَيْ الْمَسْحُ (فِي
الْأَصَحّ)ِ لِأَنَّهُ قَصَدَ إِسْقَاطَ الْفَرْضِ بِالْمَسْحِ ، وَقَدْ وَصَلَ
الْمَاءُ إِلَى الْأَسْفَلِ |
Dan boleh mengusap muzah
bagi orang yang berada di tempat tinggalnya (muqim), meskipun dalam keadaan
maksiyat, seperti istri yang marah kepada suaminya atau budak yang kabur dari
tuannya. |
(وَيَمْسَحُ الْمُقِيمُ) وَلَوْ عَاصِيًا بِإِقَامَتِهِ
كَنَاشِزَةٍ مِنْ زَوْجِهَا وَأبِقٍ مِنْ سَيِّدِهِ، |
Artinya, setiap orang
yang berada dalam perjalanan namun tidak memenuhi syarat untuk melakukan qasr
(mengqashar shalat) selama satu hari dan satu malam, maka dia diizinkan untuk
melakukan pengusapan muzah pada anggota yang sah dengan wudhu yang sempurna selama
periode tersebut. |
أَيْ
وَكُلُّ مَنْ سَفَرُهُ لَا يُبِيحُ الْقَصْرَ (يَوْمًا وَلَيْلَةً) كَامِلَيْنِ
فَيَسْتَبِيحُ بِالْمَسْحِ مَا يَسْتَبِيحُهُ بِالْوُضُوءِ الْكَامِلِ فِي
هَذِهِ الْمُدَّةِ |
Dan orang yang sedang
dalam perjalanan, yaitu yang berhak untuk melakukan qashar boleh mengusap
muzah selama tiga hari beserta malam-malamnya yang terhubung dengannya, baik
malam sudah lebih dulu (terjadi), seperti jika melewati waktu matahari
terbenam, atau malam yang tertinggal, yaitu belum mencapai waktu fajr. Maka
malam terakhir dihitung di sini, berbeda dengan syarat pemilihan (khiyar)
tiga hari. |
(وَيَمْسَحُ الْمُسَافِرُ) سَفَرَ قَصْرٍ (ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
بِلَيَالِيِهِنَّ الْمُتَّصِلَةِ بِهَا سَوَاءٌ تَقَدَّمَتْ) أَيْ اللَّيَالِي
عَلَى الْأَيَّامِ كَأَنْ أَحْدَثَ وَقْتَ الْغُرُوبِ (أَوْ تَأَخَّرَتْ) أَيْ
اللَّيَالِي عَنْ الْأَيَّامِ كَأَنْ أَحْدَثَ وَقْتَ الْفَجْرِ ، فَتُحْسَبُ
اللَّيْلَةُ الْأَخِيرَةُ هُنَا بِخِلَافِ شَرْطِ الْخِيَارِ ثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ، |
Dan jika seseorang
mengalami hadats pada tengah malam atau siang, maka dihitung sejumlah yang
telah berlalu dari malam keempat atau hari keempat. Berdasarkan prinsip ini,
hal yang sama dapat dikatakan tentang masa tinggal (muqim), dan siapapun yang
termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, orang
yang dalam perjalanan diizinkan untuk melakukan pengusapan muzah sebagaimana
yang diizinkan dengan air yang sempurna selama periode ini. |
وَلَوْ
أَحْدَثَ أَثْنَاءَ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ اُعْتُبِرَ قَدْرُ الْمَاضِي مِنْهُ
مِنْ اللَّيْلَةِ الرَّابِعَةِ أَوْ الْيَوْمِ الرَّابِعِ، وَعَلَى قِيَاسِ
ذَلِكَ يُقَالُ فِي مُدَّةِ الْمُقِيمِ وَمَنْ أُلْحَقَ بِهِ، فَيَسْتَبِيحُ
الْمُسَافِرُ بِالْمَسْحِ مَا يَسْتَبِيحُهُ بِالْمَاءِ الْكَامِلِ فِي هَذِهِ
الْمُدَّةِ |
Dan awal masa untuk
melakukan pengusapan muzah, baik bagi yang tinggal (muqim) maupun yang dalam
perjalanan, dihitung sejak terjadinya hadats yang lebih ringan sebelum waktu
pengusapan muzah, seperti kencing, tidur, sentuhan, atau kegilaan, yang
terjadi setelah menyelesaikan pemakaian kedua muzah. |
(وَابْتِدَاءُ الْمُدَّةِ) لِلْمَسْحِ فِي حَقِّ الْمُقِيمِ
وَالْمُسَافِرِ (تُحْسَبُ مِنْ حِينِ يُحْدِثُ أَيْ مِنْ انْقِضَاءِ الْحَدَثِ)
الْأَصْغَرِ السَّابِقِ بِجَمِيعِ أَفْرَادِهِ كَبَوْلٍ أَوْ نَوْمٍ أَوْ مَسٍّ
أَوْ جُنُونٍ (الْكَائِنِ بَعْدَ تَمَامِ لُبْسِ الْخُفَّيْنِ) |
Karena waktu yang
memungkinkan pengusapan muzah dimulai setelah berakhirnya periode yang
mencakup peristiwa-peristiwa tersebut setelah pemakaian kedua muzah, maka
durasinya dihitung mulai dari saat itu. |
لِأَنَّ
وَقْتَ جَوَازِ الْمَسْحِ يَدْخُلُ بِانْتِهَاءِ الزَّمَنِ الَّذِي يَحْدُثُ
فِيهِ بَعْدَ لُبْسِ الْخُفَّيْنِ فَاعْتُبِرَتْ مُدَّتُهُ مِنْهُ، |
Jika seseorang mengalami
hadats, kemudian berwudhu dan membasuh kedua kakinya pada muzah, dan kemudian
mengalami hadats lagi, maka awal masa dimulai dari hadats yang pertama. |
فَلَوْ
أَحْدَثَ فَتَوَضَّأَ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ فِي الْخُفَّيْنِ ثُمَّ أَحْدَثَ
فَابْتِدَاءُ مُدَّتِهِ مِنْ الْحَدَثِ الْأَوَّلِ، |
Jika seseorang mengalami
hadats lagi dan tidak melakukan pengusapan muzah karena meninggalkan shalat
dalam masa tersebut karena ada udzur seperti kegilaan atau sejenisnya, hingga
berakhirnya masa, maka tidak dibolehkan melakukan pengusapan muzah sampai dia
memulai pemakaian lagi dalam keadaan suci, atau jika tidak terjadi hadats,
masa itu tidak dihitung, meskipun berlangsung selama sebulan misalnya. |
وَإِذَا
أَحْدَثَ وَلَمْ يَمْسَحْ بِأَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ فِي الْمُدَّةِ لِعُذْرٍ
كَجُنُونٍ أَوْ غَيْرِهِ، حَتَّى انْقَضَتْ الْمُدَّةُ لَمْ يَجُزْ الْمَسْحُ
حَتَّى يَسْتَأْنِفَ لُبْسًا عَلَى طَهَارَةٍ، أَوْ لَمْ يُحْدِثْ لَمْ تُحْسَبْ
الْمُدَّةُ، وَلَوْ بَقِيَ شَهْرًا مَثَلًا،
|
Karena itu adalah ibadah
yang bersifat sementara, maka awal masa dihitung dari saat diizinkannya
melakukan tindakan tersebut, seperti dalam shalat. |
لِأَنَّهَا
عِبَادَةٌ مُؤَقَّتَةٌ فَكَانَ ابْتِدَاءُ وَقْتِهِ مِنْ حِينِ جَوَازِ فِعْلِهِ
كَالصَّلَاةِ. |
Dan diketahui dari yang
sudah digambarkan, bahwa masa itu tidak dihitung mulai dari awal terjadinya
hadats. Hal ini karena seringkali kejadian hadats memerlukan waktu yang lama
untuk mencapai kesucian. Dan tidak dihitung pula dari waktu melakukan pengusapan
muzah secara langsung, melainkan dari awal pemakaian, meskipun diizinkan
untuk melakukan pengusapan muzah dalam konteks wudhu yang diperbarui. |
وَعُلِمَ
مِمَّا تُصَوَّرُ أَنَّ الْمُدَّةَ (لَا) تُحْسَبُ (مِنْ ابْتِدَاءِ الْحَدَثِ)
لِأَنَّهُ رُبَّمَا يَسْتَغْرِقُ غَالِبَ الْمُدَّةِ (وَلَا مِنْ وَقْتِ
الْمَسْحِ) بِالْفِعْلِ (وَلَا مِنْ ابْتِدَاءِ اللُّبْسِ) وَإِنْ جَازَ لَهُ
الْمَسْحُ لِلْوُضُوءِ الْمُجَدَّدِ |
Dan orang yang berbuat
dosa dengan melakukan perjalanan, seolah-olah dia melakukan perjalanan untuk
tujuan tertentu seperti begal atau melakukan perjalanan untuk mengunjungi
wali, dan kemudian hatinya berubah dan dia mengambil rute yang lebih jauh,
atau orang yang ragu, yaitu yang tidak tahu ke mana dia harus pergi, keduanya
dapat melakukan pengusapan muzah seperti yang dilakukan oleh yang tinggal
(muqim), karena keduanya dianggap sama seperti orang yang melakukan
perjalanan dalam jarak yang pendek. |
(وَالْعَاصِي بِالسَّفَرِ) كَأَنْ سَافَرَ لِقَطْعِ الطَّرِيقِ
أَوْ سَافَرَ لِزِيَارَةِ وَلِيٍّ، ثُمَّ قَلَبَهُ قَطْعَ الطَّرِيقِ
(وَالْهَائِمُ) وَهُوَ الَّذِي لَا يَدْرِي أَيْنَ يَتَوَجَّهُ (يَمْسَحَانِ
مَسْحَ مُقِيمٍ) فَهُمَا مُلْحَقَانِ بِهِ كَالْمُسَافِرِ سَفَرًا قَصِيرًا |
Orang yang terus-menerus
dalam keadaan hadats (seperti orang yang mengalami inkontinensia) jika ia
memakai kaus kaki (khuff) dan kemudian ia mengalami hadats lain selain hadats
yang terus-menerus, maka sebelum ia salat dengan wudhu yang dikenakan saat
memakai muzah, ia harus melakukan: 1.
Membasuh (mengusap) anggota wudhu'. 2.
Diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang
diperbolehkan baginya jika ia tetap dalam keadaan suci dengan wudhu yang
digunakan saat memakai kaus kaki. |
(وَدَائِمُ الْحَدَثِ) كَسَلَسٍ (إذَا أَحْدَثَ بَعْدَ لُبْسِ
الْخُفَّيْنِ حَدَثًا آخَرَ غَيْرَ حَدَثِهِ الدَّائِمِ) كَانَ أَحْدَثَ حَدَثَ
اللَّمْسِ مَعَ حَدَثِ الْبَوْلِ الدَّائِمِ (قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ) أَيْ
وُضوءِ اللُّبْسِ (فَرْضًا يَمْسَحُ وَيَسْتَبِيحُ مَا كَانَ يَسْتَبِيحُهُ)
وَهُوَ مَا يَحِلُّ لَهُ (لَوْ بَقِيَ طُهْرُهُ الَّذِي لَبِسَ عَلَيْهِ
خُفَّيْهِ |
Apa yang diperbolehkan
baginya jika ia tetap dalam keadaan suci tersebut mencakup kewajiban dan
sunnah. |
وَهُوَ)
أَيْ مَا كَانَ يَسْتَبِيحُهُ لَوْ بَقِيَ طُهْرُهُ (فَرْضٌ وَنَوَافِلُ |
Jika ia shalat dengan wudhu
yang dikenakan saat memakai kaus kaki sebelum ia mengalami hadats baru, maka
ia hanya boleh melakukan shalat-shalat sunnah, tidak boleh shalat fardhu. |
فَلَوْ)
أَحْدَثَ وَقَدْ (صَلَّى بِطُهْرِهِ) وَهُوَ وُضُوءُ اللُّبْسِ (فَرْضًا قَبْلَ
أَنْ يُحْدِثَ مَسَحَ وَاسْتَبَاحَ نوَافِلَ فَقَطْ) لِأَنَّ مَسْحَهُ نَاشِيءٌ
مِنْ طُهْرِهِ الْمُقَيَّدِ لِلنَّفْلِ لَا غَيْرُ. |
Jika seseorang bermaksud
untuk shalat fardhu, maka wajib baginya untuk melepaskan muzah dan
menyempurnakan kesuciannya. Hal ini karena dia dihalangi untuk melakukan
shalat fardhu yang kedua kalinya, karena dia masih tetap mengenakan muzah
dalam keadaan hadats yang sebenarnya. Oleh karena itu, kesuciannya tidak
mengangkat hadats secara umum. |
فَإِنْ
أَرَادَ الْفَرْضَ وَجَبَ النَّزْعُ وَكَمَالُ الطُّهْرِ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ
مِنْ الْفَرْضِ الثَّانِي، فَهُوَ لَابِسٌ عَلَى حَدَثٍ حَقِيقَةً، فَإِنَّ
طُهْرَهُ لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ رَفْعًا عَامًّا، |
Adapun hadats yang
berlangsung terus-menerus, dia tidak perlu memulai kesucian baru hanya untuk
shalat sunah, dia bebas untuk shalat sunah dengan kesuciannya sebanyak yang
diinginkannya. Namun, jika dia bermaksud untuk shalat fardhu yang lain, maka
dia harus melakukan kesucian baru, karena dia hanya dapat shalat fardhu
sekali saja dengan kesuciannya tersebut. |
أَمَّا
حَدَثُهُ الدَّائِمُ فَلَا يَحْتَاجُ مَعَهُ إلَى اسْتِئْنَافِ طُهْرٍ
بِالنِّسْبَةِ لِلنَّفْلِ فَقَطْ، فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِطُهْرِهِ نَفْلًا مَا
شَاءَ أَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِفَرْضٍ آخَرَ، فَلَا بُدَّ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ
لَا يُصَلِّي بِطُهْرِهِ إِلَّا فَرْضًا وَاحِدًا فَقَطْ، |
Dan yang serupa dengan
orang yang selalu mengalami hadats, dalam masalah yang telah disebutkan
adalah orang yang bertayammum selain karena kehilangan air, misalnya tayammum
karena sakit atau luka, lalu dia mengenakan dua muzah, dan kemudian merasa
terlalu sulit, lalu dia berwudhu, dan melakukan pengusapan muzah pada kedua
kakinya. |
وَمِثْلُ
دَائِمِ الْحَدَثِ فِيمَا ذُكِرَ الْمُتَيَمِّمُ لِغَيْرِ فَقْدِ الْمَاءِ،
بِأَنْ تَيَمَّمَ لِمَرَضٍ أَوْ جُرْحٍ، ثُمَّ لَبِسَ الْخُفَّيْنِ ثُمَّ
تَجَشَّمَ الْمَشَقَّةُ، وَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ الْخُفَّيْنِ، |
Dalam hal ini, dia
diizinkan untuk menghalalkan apa yang seharusnya tidak halal baginya jika
wudhunya pemakaian muzah masih ada. Jika dia sudah sembuh dari penyakit dan
longgar dari tayammum, maka dia wajib untuk memulai kesucian baru dan membasuh
kedua kakinya. |
فَإِنَّهُ
يَسْتَبِيحُ مَا لَا يَحِلُّ لَهُ لَوْ بَقِيَ عَلَيْهِ وُضُوءُ اللُّبْسِ
وَلَوْ شُفِيَ السَّلَسُ وَالْمُتَيَمِّمُ وَجَبَ الِاسْتِئْنَافُ وَغَسْلُ
الرِّجْلَيْنِ |
Jika
seseorang yang muqim (menetap) melakukan pengusapan pada salah satu dari dua muzahnya
setelah hadats, kemudian ia melakukan perjalanan setelah pengusapan tersebut,
atau jika seorang musafir melakukan pengusapan,
lalu ia menetap kembali sebelum lewat satu hari dan satu malam, maka keduanya
(muqim dan musafir) harus menyempurnakan pengusapan sebagaimana pengusapan
orang muqim. |
(فَإِنْ مَسَحَ الشَّخْصُ) أَيْ الْمُقِيمُ بَعْدَ الْحَدَثِ
وَلَوْ أَحَدَ خُفَّيْهِ (فِي الْحَضَرِ) أَيْ الْبَلَدِ (ثُمَّ سَافَر)َ بَعْدَ
الْمَسْحِ سَفَرَ قَصْرٍ (أَوْ مَسَحَ) أَيْ الْمُسَافِرُ (فِي السَّفَرِ ثُمَّ
أَقَامَ) بَعْدَ الْمَسْحِ (قَبْلَ مُضِيِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَتَمَّ) أَيْ
كُلٌّ مِنْهُمَا (مَسْحَ مُقِيمٍ) |
Hal
ini dikarenakan keadaan muqim lebih diutamakan, karena itu adalah keadaan
asalnya. |
تَغْلِيبًا
لِلْحَضَرِ لِأَصَالَتِهِ |
Namun,
jika ia menetap kembali setelah lewat dari satu hari dan satu malam, maka apa
yang telah dilalui sebelumnya dihitung, dan jika ia menambah dari satu hari,
maka ia harus memperbaharui pengusapan. |
نَعَمْ
إِنْ أَقَامَ فِي الثَّانِي بَعْدَ مُضِيِّ أَكْثَرَ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةِ
أَجْزَاءَهُ مَا مَضَى، وَإِنْ زَادَ عَلَى يَوْمٍ |
Yang
wajib dalam mengusap muzah adalah apa yang disebut dengan mengusap,
sebagaimana mengusap kepala, yakni mengusap bagian luar muzah di bagian
atasnya. Tidak
cukup mengusap bagian dalamnya yang bersentuhan dengan kulit, juga tidak
cukup bagian belakang muzah dan samping serta tidak pula bagian bawahnya.
Sebab pengusapan di bagian-bagian itu tidak cukup sebagai langkah meringkas. |
(وَالْوَاجِبُ فِي مَسْحِ الْخُفِّ مَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ اسْمُ
الْمَسْحِ) كَمَا فِي مَسْحِ الرَّأْسِ (إِذَا كَانَ عَلَى ظَاهِرٍ) أَعْلَى
(الْخُفِّ ، وَلَا
يُجْزَىءُ الْمَسْحُ عَلَى بَاطِنِهِ) الْمُلَاقِي لِلْبَشَرَةِ (وَلَا عَلَى
عَقِبِ الْخُفِّ وَلَا عَلَى حَرْفِهِ وَلَا أَسْفَلِهِ) لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ
الِاقْتِصَارُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ |
Dan kesunnahan dalam
pengusapan muzah adalah seseorang (yang melakukan pengusapan muzah) menyentuh
bagian atas muzah yang menutupi telapak kaki, juga bagian bawah muzah, tumit,
dan ujungnya. |
(وَالسُّنَّةُ فِي مَسْحِهِ أَنْ) يَمْسَحَ أَعْلَاهُ السَّاتِرُ
لِظُهُورِ الْقَدَمِ وَأَسْفَلِهِ وَعَقِبِهِ وَحَرْفِهِ |
Caranya adalah dengan
meletakkan tangan kiri di bawah tumit dan tangan kanan di atas punggung jari
kaki, kemudian tangan kanan bergerak ke bawah sepanjang kaki orang tersebut,
mencapai kedua tumit (kaki), dan tangan kiri ke ujung jari kaki dari bawah.
Dia (yang melakukan pengusapan muzah) membuka jari-jarinya dan tidak
menyatukannya, seperti yang dijelaskan sebelumnya. |
بِأَنْ
(يَكُونَ) أَيْ مَسَحُ ذَلِكَ (خُطُوطًا بِأَنْ) يَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى
تَحْتَ الْعَقِبِ وَالْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ الْأَصَابِعِ، ثُمَّ يُمِرُّ
الْيُمْني إِلَى آخِرِ سَاقِ الشَّخْصِ وَهُوَ الْكَعْبَانِ وَالْيُسْرَى إِلَى
أَطْرَافِ الْأَصَابِعِ مِنْ تَحْت وَأَنْ (يُفْرِجَ الْمَاسِحُ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ وَلَا يَضُمَّهَا) وَهُوَ مُفَسِّرٌ لِمَا قَبْلَهُ |
Dan pengusapan pada
kedua muzah menjadi batal, artinya kebolehannya dan kesahihan shalatnya
terhenti karena tiga kemungkinan, maksudnya dengan salah satu dari hal-hal
tersebut: |
(وَيَبْطُلُ الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ) أَيْ حُكْمُهُ وَهُوَ
جَوَازُهُ وَصِحَّةُ الصَّلَاةِ بِقَطْعِ الْمُدَّةِ (بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ)
أَيْ بِوَاحِدٍ مِنْهَا: |
Pertama, dengan
melepaskannya, atau melepaskan salah satunya. Jika melepaskannya dengan
sengaja, meskipun sebab kotoran yang tidak mungkin dia dapat membersihkannya
di dalam muzah. Atau jika muzah sudah tidak layak pakai, misalnya terlihat
sebagian dari kaki atau pembalut yang menutupinya, karena diperlukan keadaan
yang memungkinkan pengusapan muzah di seluruh permukaan muzah. |
الْأَوَّلُ
(بِخَلْعِهِمَا أَوْ خَلْعِ أَحَدِهِمَا) وَلَوْ لِخُبْثٍ لَمْ يُمْكِنْهُ
غَسْلُهُ في الْخُفُّ (أَوْ) بِظُهُورِ بَعْضِ الرِّجْلِ أَوْ اللِّفَافَةِ
عَلَيْهَا بِسَبَبِ (انْخِلَاعِهِ أَوْ خُرُوجِ الْخُفِّ عَنْ صَلَاحِيَّةِ
الْمَسْحِ كَتَخَرُّقِهِ) لِأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ دَوَامِ صَلَاحِيَّتِهِ
لِلْمَسْحِ فِي جَمِيعِ الْمُدَّةِ |
Kedua, berakhirnya masa
yang ditentukan bagi orang yang tinggal dan musafir. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan bagi salah satu dari keduanya untuk melaksanakan shalat setelah
berakhirnya masa yang telah ditentukan, dengan asumsi muzah telah dilepas dan
masa wudhu belum berakhir. Meskipun dia berada dalam shalat, shalatnya batal.
Dan meskipun dia berada di dalam air dan bermaksud untuk membasuh kaki. |
(وَ) الثَّانِي (انْقِضَاءُ الْمُدَّةِ) الْمَحْدُودَةِ فِي
حَقِّ الْمُقِيمِ وَالْمُسَافِرِ، فَلَيْسَ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ
انْقِضَاءِ مُدَّتِهِ بِظَهْرِ الْمَسْحِ فِي حَالِ الْخُلْعِ وَانْقِضَاءِ
الْمُدَّةِ حَتَّى لَوْ كَانَ فِي صَلَاةٍ بَطَلَتْ، وَإِنْ كَانَ فِي مَاءٍ
وَقَصَدَ غَسْلَهُمَا |
Dalam beberapa pendapat,
masa pemakaian muzah untuk pengusapan muzah adalah satu hari satu malam bagi
orang yang tinggal, dan tiga hari tiga malam bagi musafir. |
(وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ مُدَّةُ الْمَسْحِ) أَيْ (مِنْ يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ لِمُقِيمٍ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ بِلَيَالِيِهَا لِمُسَافِرٍ.) |
Ketiga, adanya hal-hal
yang mewajibkan mandi; seperti junub, haid, nifas, atau melahirkan pada orang
yang mengenakan muzah. Lafadz للابس الخف merupakan
jer majrur yang ta’aluq pada عروض . |
(وَ) الثَّالِثُ (بِعُرُوضِ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ كَجَنَابَةٍ
أَوْ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ) أَوْ وِلَادَةٍ (لِلابِسِ الْخُفِّ) الْجَارُّ
وَالْمَجْرُورُ مُتَعَلِّقٌ بِعُرُوضٍ |
Maka dia harus
melepaskan muzahnya, lalu bersuci dan kemudian memakai kembali muzahnya.
Sehingga jika dia mandi sementara masih mengenakan muzah, maka tetap tidak
boleh melakukan pengusapan muzah selama sisa masa yang ditentukan. |
فَيُنْزَعُ
وَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يَلْبَسُ حَتَّى لَوْ اغْتَسَلَ لَابِسًا لَا يَمْسَحُ
بَقِيَّةَ الْمُدَّةِ. |
Comments