Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Kitab Thoharoh



كِتَابُ أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ

KITAB HUKUM-HUKUM BERSUCI

 

Maksudnya dan tata caranya. Taharah melibatkan empat komponen, yaitu air, samak, batu, dan debu, serta empat tujuan, yaitu wudhu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.

أَيْ وَكَيْفِيَّتِهَا، فَالطَّهَارَةُ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى وَسَائِطَ أَرْبَعَةٍ وَهِيَ الْمِيَاهُ وَالدَّابِغُ وَالْحَجَرُ وَالتُّرَابُ، وَعَلَى مَقَاصِدَ أَرْبَعَةٍ وَهِيَ: الْوُضُوءُ وَالْغُسْلُ وَالتَّيَمُّمُ وَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ

Secara bahasa, kata "الكتاب" (kitab) maksudnya dari segi bahasa Arab, kata ini adalah masdar, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dengan makna menggabungkan dan mengumpulkan. Athof am atas yang khusus, karena setiap penggabungan adalah pengumpulan, dan tidak sebaliknya. Hal ini dikarenakan makna "penggabungan" terkandung dalam makna "pengumpulan", sedangkan makna "pengumpulan" tidak terkandung dalam makna "penggabungan".

(وَالْكِتَابُ لُغَةً) أَيْ مِنْ جِهَةِ لُغَةِ الْعَرَبِ (مَصْدَرٌ) أَي أَمْرٌ يُحْدِثُهُ الْفَاعِلُ مُتَلَبِّسٌ (بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالْجَمْعِ) وَهُوَ عَطْفٌ عَامٌّ عَلَى خَاصٍّ، لِأَنَّ كُلَّ ضَمٍّ فِيهِ جَمْعٌ وَلَا عَكْسَ لِأَخْذِ التَّلَاصُقِ فِي مَفْهُومِ الضَّمِّ دُونَ الْجَمْعِ.

Secara terminologi (istilah), kata "الكتاب" (kitab) berarti nama untuk jenis hukum, baik sedikit maupun banyak.

وَاصْطِلَاحًا) أَيْ فِي عُرْفِ الْفُقَهَاءِ (اسْمٌ لِجِنْسٍ مِنْ الْأَحْكَامِ أَيْ قَلِيلَةً كَانَتْ أَوْ كَثِيرَةً

Adapun bab adalah pembagi untuk suatu macam hal (نوع) yang masuk di jenis itu. Maksudnya kitab serupa dengan jenis. Sebagian orang arab berkata: kitab adalah nama untuk jumlah tertentu berupa ilmu yang mengandung beberapa bab dan beberapa fashal.

(أَمَّا الْبَابُ قَاسِمٌ لِنَوْعٍ) أَيْ لِجُمْلَةٍ مِنْ الْأَلْفَاظِ شَبِيهَةٌ بِالنَّوْعِ (مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ الْجِنْسِ) أَيْ الْكِتَابِ الشَّبِيهِ الْجِنْسِ ، قَالَ بَعْضُهُمْ : الْكِتَابُ اسْمٌ لِجُمْلَةٍ مُخْتَصَّةٍ مِنْ الْعِلْمِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى أَبْوَابٍ وَفُصُولٍ ،

Bab adalah nama untuk bagian ilmu yang khusus yang mengandung beberapa Fasal. Fasal adalah nama untuk bagian ilmu yang khusus yang mengandung beberapa masalah. Buku adalah seperti kata istilah yang mencakup beberapa bab, yang masing-masing bab mencakup beberapa Fasal, dan masing-masing Fasal mencakup beberapa masalah. Bab-bab adalah jenis-jenisnya, Fasal-Fasal adalah macam-macamnya, dan masalah-masalah adalah individu-individu di dalamnya.

وَالْبَابُ اسْمٌ لِجُمْلَةٍ مُخْتَصَّةٍ مِنْ الْعِلْمِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى فُصُولٍ ، وَالْفَصْلُ اسْمٌ لِجُمْلَةٍ مُخْتَصَّةٍ مِنْ الْعِلْمِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى مَسَائِلَ ، فَالْكِتَابُ كَالْجِنْسِ الْجَامِعِ لِأَبْوَابٍ جَامِعَةٍ لِفُصُولٍ جَامِعَةٍ لِمَسَائِلَ، فَالْأَبْوَابُ أَنْوَاعُهُ وَالْفُصُولُ أَصْنَافُهُ وَالْمَسَائِلُ أَشْخَاصُهُ

Taharah, dengan huruf 'ط' difathah, secara bahasa adalah kebersihan, yaitu dari kotoran. Bahkan jika itu bersih fisik seperti lendir hidung atau bersih maknawi seperti celaan, dalam hadis dinyatakan bahwa Allah Maha Bersih, artinya Dia suci dari kekurangan dan mencintai kebersihan.

(وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الطَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ) أَيْ مِنْ الْأَقْذَارِ، وَلَوْ طَاهِرَةً كَالْمُخَاطِ حِسِّيَّةً كَانَتْ كَالْأَنْجَاسِ أَوْ مَعْنَوِيَّةً كَالْعُيُوبِ، وَفِي الْحَدِيثِ إنَّ اللَّهَ نَظِيفٌ، أَيْ مُنَزَّهٌ عَنْ النَّقَائِصِ يُحِبُّ النَّظَافَةَ

Adapun menurut syariat, yaitu menurut para ahli syariat yaitu para fuqaha, di dalam taharah (bersuci) terdapat banyak tafsir (definisi). Di antaranya (definisi) berdasarkan perbuatan adalah perkataan mereka para fuqaha: "Melakukan apa yang dengannya shalat diperbolehkan atau apa yang di dalamnya terdapat pahala semata."

(وَأَمَّا شَرْعًاً) أَيْ عِنْدَ أَهْلِ الشَّرْعِ وَهُمْ الْفُقَهَاءُ (فَفِيهَا) أَيْ الطَّهَارَةِ (تَفَاسِيرُ) أَيْ تَعَارِيفُ (كَثِيرَةٌ مِنْهَا) أَيْ مِنْ تِلْكَ التَّفَاسِيرِ بِاعْتِبَارِ الْفِعْلِ (قَوْلُهُمْ فَعَلَ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاةُ أَوْ مَا فِيهِ ثَوَابٌ مُجَرَّدٌ ،

Yang dimaksud dengan perbuatan adalah makna masdar, yaitu menyiramkan air ke wajah misalnya. Dan yang dimaksud dengan apa yang mengikutinya adalah makna yang dihasilkan oleh masdar, yaitu bersuci (atau terjadinya kesucian) dengannya.

وَالْمُرَادُ بِالْفِعْلِ الْمَعْنَى الْمَصْدَرِيُّ، وَهُوَ وَضْعُ الْمَاءِ عَلَى الْوَجْهِ مَثَلًا، وَبِمَا بَعْدَهُ الْمَعْنَى الْحَاصِلُ بِالْمَصْدَرِ، وَهُوَ التَّطَهُّرُ أَيْ حُصُولُ الطُّهْرِ بِذَلِكَ،

Dan di antara definisi berdasarkan sifat yang dihasilkan dari perbuatan adalah perkataan Qadhi Husain: "Taharah adalah hilangnya larangan yang terikat pada hadas dan kotoran" yaitu wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Dan ini adalah penjelasannya:

وَمِنْهَا بِاعْتِبَارِ الْوَصْفِ الْحَاصِلِ عَنْ الْفِعْلِ قَوْلُ الْقَاضِي حُسَيْنٍ: إِنَّ الطَّهَارَةَ زَوَالُ الْمَنْعِ الْمُتَرَتَّبِ عَلَى الْحَدَثِ وَالْخَبَثِ (أَيْ مِنْ وُضُوءٍ وَغُسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ) وَهَذَا بَيَانٌ لِمَا

Adapun طُهارة dengan huruf tho’ didhommah menunjukkan arti sisa air, maksudnya nama untuk lebihan air yang dipakai bersuci, seperti air yang tersisa di dalam semacam teko, bukan yang di dalam sumur.

(أَمَّا الطَّهَارَةُ بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ الْمَاءِ) أَيْ لِمَا فَضُلَ مِنْ مَاءِ طَهَارَتِهِ كَاَلَّذِي يَبْقَى فِي نَحْوِ الْإِبْرِيقِ لَا فِي نَحْوِ بِئْرٍ

Ketika air digunakan sebagai alat untuk bersuci, pengarang beralih menyebutkan jenis-jenis air. Maka penulis berkata; Air yaitu yang digunakan untuk tujuan penyucian, ada tujuh jenis.

(1) Air langit, yaitu yang turun dari langit, merupakan sifat dari air ini.

(وَلَمَّا كَانَ الْمَاءُ آلَةً لِلطَّهَارَةِ اسْتَطْرَدَ الْمُصَنِّفُ) أَيْ أَجْرَى الْأَنْوَاعَ الْمِيَاهَ فَقَالَ الْمِيَاهُ الَّتِي يَجُوزُ أَيْ يَصِحُّ التَّطْهِيرُ بِهَا أَيْ بِكُلٍّ مِنْهَا (سَبْعُ مِيَاهِ مَاءِ السَّمَاءِ أَيْ النَّازِلِ مِنْهَا) بِالرَّفْعِ نَعْتٌ لِمَاءٍ

Air ini terbagi menjadi dua bagian; yang pertama Air hujan turun dari langit dunia dalam potongan-potongan besar di atas awan, kemudian bergabung menjadi air hujan. Air hujan juga turun dari mata air seperti mata air di dalam lekukan tanah, seperti mata air sungai yang kering.

(وَهُوَ) عَلَى قِسْمَيْنِ: الْأَوَّلُ (الْمَطَرُ) فَإِنَّهُ يَنْزِلُ مِنْ سَمَاءِ الدُّنْيَا قَطْعًاً كِبَارًاً عَلَى السَّحَابِ، ثُمَّ يَنْمَاعُ عَلَيْهِ، وَيَنْزِلُ مِنْ عُيُونٍ فِيهِ كَعُيُونِ الْغِرْبَالِ

Yang kedua Air embun, yaitu yang turun pada akhir malam dan menetap di tanaman dan rumput hijau. Yang menakjubkan adalah jika seseorang melubangi telur dengan jarum dan mengeluarkan isinya, lalu mengisi telur tersebut dengan air embun lalu menutup lubang dengan lilin dan meletakkannya di atas tanah, saat waktunya tiba, telur tersebut akan terbang ke udara.

وَالثَّانِي النَّدَى وَهُوَ الَّذِي يَنْزِلُ آخِرَ اللَّيْلِ وَيَقَعُ عَلَى الزَّرْعِ وَالْحَشِيشِ الْأَخْضَرِ، وَمِنْ عَجِيبِ أَمْرِهِ أَنَّهُ لَوْ خَرَقَ بَيْضَةً بِإِبْرَةٍ، وَأَخْرَجَ مَا فِيهَا ثُمَّ مُلِئَتْ بِمَاءِ النَّدَى وَغَطَّى خَرْقَهَا بِشَمْعٍ مَثَلا وَوُضِعَتْ عَلَى الْأَرْضِ، فَلَمَّا جَاءَ وَقْتُ الِاسْتِوَاءِ طَارَتْ إِلَى الْجَوِّ

(2) Air laut, yaitu air asin, dengan dibaca rofa’ menjadi na’at untuk ماء dan dengan dibaca jer menjadi na’at untuk بحر . Air laut adalah nama untuk air yang banyak atau air asin saja.

(3) Air sungai, yaitu air tawar, adalah kebalikan dari air asin.

(4) Air dari sumur, yaitu lubang berbentuk lingkaran yang turun ke dalam tanah, termasuk dalam kategori ini adalah sumur Zamzam. Tidak ada masalah menggunakan airnya, bahkan untuk menghilangkan najis, meskipun hukumnya khilaful aula.

(وَمَاءُ الْبَحْرِ أَيْ الْمِلْحِ) بِالرَّفْعِ نَعْتٌ لِمَاءٍ وَبِالْجَرِّ نَعْتٌ لِلْبَحْرِ، فَإِنَّهُ اسْمٌ لِلْمَاءِ الْكَثِيرِ أَوْ الْمِلْحِ فَقَطْ ( وَمَاءُ النَّهْرِ أَيْ الْحُلْوِ) وَهُوَ ضِدُّ الْمُرِّ، (وَمَاءُ الْبِئْرِ) وَهُوَ الثَّقْبُ الْمُسْتَدِيرُ النَّازِلُ فِي الْأَرْضِ وَمِنْهُ بِئْر زَمْزَمَ فَلَا يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُ مَائِهِ، وَلَوْ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ لَكِنَّهُ خِلَافُ الْأَوْلَى

(5) Air mata air, yaitu retakan di dalam tanah di mana air biasanya muncul ke permukaan tanah, dan air mata air ini dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: air daratan seperti yang mengalir dari suatu daerah atau gunung, air hewani yang muncul seperti air yang keluar dari bawah tanah, dan air yang memiliki ciri seperti asap yang naik dari permukaan air dalam bentuk cacing yang serupa dengan salju. Namun, ini bukan benar-benar cacing karena ia berkumpul saat dipengaruhi oleh panas, dan memiliki sifat manusiawi seperti muncul di antara jari-jari.

 وَمَاءُ (الْعَيْنِ) وَهُوَ الشَّقُّ فِي الْأَرْضِ يَنْبُعُ مِنْهُ الْمَاءُ عَلَى سَطْحِهَا غَالِبًاً، وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ أَرْضِيَّةٍ كَالتَّابِعَةِ مِنْ أَرْضٍ أَوْ جَبَلٍ وَحَيَوَانِيَّةٍ صُورَةً كَالنَّابِعَةِ مِنْ الزُّلَالِ، وَهُوَ شَيْءٌ يَنْعَقِدُ مِنْ دُخَانٍ يَرْتَفِعُ مِنْ الْمَاءِ عَلَى صُورَةِ الدُّودِ تُوجَدُ فِي نَحْوِ الثَّلْجِ، وَلَيْسَ بِدُودٍ لِأَنَّهُ يَنْمَاعُ عِنْدَ عُرُوضِ الْحَرَارَةِ لَهُ، وَإِنْسَانِيَّةٍ كَالنَّابِعَةِ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ

(6) Air salju, yaitu air yang turun dari langit dalam bentuk cair, lalu membeku di tanah karena suhu yang sangat dingin, dan biasanya hanya ditemukan di wilayah yang dingin seperti wilayah Syam.

(7) Air beku, yaitu air yang turun dari langit dalam bentuk beku seperti garam, lalu mencair di tanah, dan hal ini dapat ditemukan misalnya di Mekkah.

(وَمَاءُ الثَّلْجِ) بِفَتْحِ الثَّاءِ الْمُثَلَّثَةِ، وَهُوَ النَّازِلُ مِنْ السَّمَاءِ مَائِعًاً، ثُمَّ يُجْمَدُ عَلَى الْأَرْضِ مِنْ شِدَّةِ الْبَرْدِ، وَلَا يُوجَدُ إِلَّا فِي الْبِلَادِ الْبَارِدَةِ كَالشَّامِ (وَمَاءِ الْبَرْدِ) بِفَتْحِ الرَّاءِ وَهُوَ النَّازِلُ مِنْ السَّمَاءِ جَامِدًا كَالْمِلْحِ، ثُمَّ يَنْمَاعُ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يُوجَدُ فِي مَكَّةَ

Dan ketujuh macam air ini, yaitu sifat-sifat ini serta yang lainnya, kecuali air yang berasal dari bawah tanah seperti yang muncul di antara jari-jari, tergabung dalam ucapanmu: “Apa yang turun dari langit atau mengalir dari bawah tanah, dengan berbagai sifat seperti rasa, warna, atau keuntungan, yang merupakan asal penciptaan, yaitu asal dari keberadaan”. Namun, hal ini hanya berdasarkan pengamatan saat ini. Jika tidak, maka mencakup semua air yang turun dari langit, Allah Ta'ala berfirman: 'Tidakkah kamu perhatikan bahwa Allah telah menurunkan air dari langit, kemudian Dia menyalurkannya menjadi mata air di bumi?' (Az-Zumar, ayat 21).

(وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةَ) أَيْ وَغَيْرَهَا مَا عَدَا الْمَاءَ النَّابِعَ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِهِ (قَوْلُكَ) هِيَ (مَا نَزَلَ مِنْ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنْ الْأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِبْحٍ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ أَيْ مِنْ أَصْلِ الْوُجُودِ، وَهَذَا إِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ ظَاهِرِ الْعِيَانِ الْآنَ، وَإِلَّا فَجَمِيعُ الْمِيَاهِ نَزَلَتْ مِنْ السَّمَاءِ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنْ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الْأَرْضِ) [سُورَةُ الزُّمُرِ، الْآيَةَ: ٢١

Kemudian air, yaitu setiap jenis air yang telah disebutkan sebelumnya, dibagi menjadi empat kategori berdasarkan sifatnya. Salah satu dari kategori-kategori ini adalah air yang suci dalam dirinya sendiri, tanpa adanya atribut yang ditujukan kepada hal lain. Ini adalah air yang memurnikan yang dapat digunakan untuk menghilangkan hadats, membersihkan kotoran, atau tujuan serupa, seperti mandi sunah. Penggunaannya tidak makruh,

(ثُمَّ الْمِيَاهُ) أَيْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ الْمِيَاهِ الْمُتَقَدِّمِ ذِكْرُهَا (تَنْقَسِمُ) بِحَسَبِ وَصْفِهَا (عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا طَاهِرٌ فِي نَفْسِهِ) أَيْ لِذَاتِهِ مِنْ غَيْرِ ضَمِّ وَصْفٍ إِلَيْهِ (مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ) أَيْ مُحَصِّلُ الطَّهَارَةِ لِغَيْرِهِ مِنْ رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَةِ خَبَثٍ أَوْ نَحْوِهِمَا كَالطَّهَارَةِ الْمَنْدُوبَةِ (غَيْرُ مَكْرُوهٍ اسْتِعْمَالُهُ)

Yaitu air yang tidak terikat oleh kategori-kategori tertentu. Ini berlaku ketika seseorang memiliki pemahaman bahasa dan keadaan air tidak dibatasi oleh atribut tertentu, seperti mengatakan bahwa ini adalah air laut.

(وَهُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ عَنْ قَيْدٍ لَازِمٍ) عِنْدَ الْعَالِمِ بِحَالِهِ مِنْ أَهْلِ اللِّسَانِ بِأَنْ لَمْ يُقَيِّدْ أَصْلًا، أَنْ تَقُولَ هَذَا مَاءٌ أَوْ قُيِّدَ قَيدّا مُنْفَكًّا كَأَنْ تَقُولَ هَذَا مَاءُ الْبَحْرِ

Oleh karena itu, pengikatan air dalam beberapa konteks tertentu tidak berdampak pada hukum penggunaannya pada beberapa waktu, seperti air dari sumur dalam keadaan asalnya. Keluar dari pengikatan secara mutlaq adalah air yang diikat dengan qoyid lazim dalam seluruh waktu, sebagai contoh, pengikatan air dalam ungkapan "air semangka", Atau pengikatan sifat dalam firman Allah; 'dari air yang mengalir' (At Thariq: 6), atau kata "lâm ‘Ahdi" dalam sabda Nabi; 'Sesungguhnya air berasal dari air,' yang berarti bahwa kewajiban mandi harus dilakukan dengan air mutlak ketika keluarnya mani.

(فَلَا يَضُرُّ الْقَيْدُ الْمُنْفَكُّ) فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ (كَمَاءِ الْبِئْرِ فِي كَوْنِهِ مُطْلَقًا) وَخَرَجَ بِقَيْدِ الْإِطْلَاقِ مَا قُيِّدَ بِقَيْدٍ لَازِمٍ فِي جَمِيعِ الْأَوْقَاتِ كَالْإِضَافَةِ فِي قَوْلِهِمْ مَاءُ الْبِطِّيخِ، أَوْ الصِّفَةِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ، أَوْ لَامَ الْعَهْدِ فِي قَوْلِهِ : إنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ» أَيْ إِنَّمَا وُجُوبُ الْغَسْلِ بِالْمَاءِ الْمُطْلَقِ مِنْ خُرُوجِ الْمَنِيِّ

Kategori kedua adalah air yang suci, bersih, bermanfaat, namun penggunaannya makruh, baik menurut hukum syariah maupun dalam pengobatan, terutama untuk individu yang mungkin menderita penyakit kulit seperti kusta. Ini berlaku untuk individu hidup maupun yang telah meninggal dunia, serta untuk hewan seperti kuda.

(وَالثَّانِي طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوهٌ اسْتِعْمَالُهُ) شَرْعًا وَطِبًّا تَنْزِيهًا فِي الْبَدَنِ) أَيْ بَدَنِ مَنْ يُخْشَى عَلَيْهِ الْبَرَصُ كَالْآدَمِيِّ وَلَوْ مَيِّتًا وَالْخَيْلِ الْبَلْقِ،

Tidak ada perbedaan antara penggunaan air ini pada bagian tubuh yang terlihat dan yang tidak terlihat, seperti mengonsumsi air atau menggunakannya dalam bentuk cairan. Tidak untuk membersihkan pakaian atau lainnya seperti tanah atau hal sejenis.

وَلَا فَرْقَ بَيْنَ ظَاهِرِ الْبَدَنِ وَبَاطِنِهِ كَشُرْبٍ وَلَوْ فِي مَائِعٍ (لَا فِي الثَّوْبِ وَلَا فِي الطِّينِ وَنَحْوِهِ

Yaitu air yang terpapar sinar matahari, sehingga ada pengendapan yang terlihat di permukaan air. Ini berarti bahwa air tersebut telah dipanaskan oleh sinar matahari. Tidak ada perbedaan dalam kemakruhan penggunaan air ini berdasarkan jumlah air yang terkena matahari, apakah itu sedikit atau banyak, atau apakah air itu terkena langsung sinar matahari atau tidak. Namun, air yang terpapar secara langsung oleh sinar matahari lebih kuat dalam kemakruhan penggunaannya karena pengaruh yang lebih besar dari sinar matahari.

(وَهُوَ الْمَاءُ الْمُشَمَّسُ أَيْ الْمُسَخَّنُ بِتَأْثِيرِ الشَّمْسِ فِيهِ) أَيْ الْمَاءِ بِحَيْثُ تَنْفَصِلُ مِنْ الْإِنَاءِ زُهُومَةٌ تَظْهَرُ عَلَى وَجْهِ الْمَاءِ مَعَ كَوْنِهَا مُنْبَثَّةً فِيهِ أَيْضًاً، وَلَا فَرْقَ فِي الْكَرَاهَةِ بَيْنَ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ وَالْمُغَطَّى وَالْمَكْشُوفِ لَكِنَّ الْمَكْشُوفَ أَشَدُّ كَرَاهَةً لِشِدَّةِ تَأْثِيرِ الشَّمْسِ فِيهِ

Dan kemakruhan penggunaan air yang terkena panas, baik menurut hukum syariah maupun dalam pengobatan, terutama ketika air tersebut panas misal yang terjadi di daerah seperti Hijaz selama musim panas. Kemakruhan ini tidak berlaku untuk air yang suhu panasnya sedang, seperti di Mesir, atau air yang dingin, seperti di Syam. Oleh karena itu, di daerah-daerah tersebut tidak makruh, bahkan jika ini terjadi selama musim panas yang panas.

(وَإِنَّمَا يُكْرَهُ) ذَلِكَ الْمَاءُ (شَرْعًا) أَيْ وَطِبًّا بِقُطْرٍ) حَارٍّ) كَالْحِجَازِ فِي الصَّيْفِ لَا بِقُطْرٍ مُعْتَدِلٍ كَمِصْرَ أَوْ بَارِدٍ كَالشَّامِ، فَلَا يُكْرَهُ الْمُشَمَّسُ فِيهِمَا، وَلَوْ فِي الصَّيْفِ الصَّائِفِ

Dan air ini dalam wadah yang terbuat dari logam seperti timah atau tembaga, yang dapat menahan panas dengan baik, meskipun tidak dicetak, misalnya telaga di gunung dari besi.

(فِي إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ) أَيْ قَابِلٍ لِدَقِّ الْمُطَارَقِ عَلَيْهِ كَالرَّصَاصِ وَالنُّحَاسِ، وَإِنْ لَمْ يُطْرَقْ كَبِرْكَةٍ فِي جَبَلِ حَدِيدٍ

Kecuali dalam wadah dari dua logam mulia, yaitu emas dan perak. Tidak dianggap makruh jika air itu terpapar sinar matahari dalam wadah-wadah tersebut, karena air tidak akan berubah atau berpengaruh pada kemurnian logam-logam tersebut. Namun, haram menggunakan peralatan makan dan minum dari emas dan perak dalam kehidupan sehari-hari.

 (إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ) أَيْ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فَلَا يُكْرَهُ الْمُشَمَّسُ فِيهِمَا مِنْ حَيْثُ هُوَ (لِصَفَاءِ جَوْهَرِهُمَا) فَلَا يَنْفَصِلُ عَنْهُمَا شَيْءٌ، وَإِنْ حَرُمَ مِنْ حَيْثُ اسْتِعْمَالُ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ،

Jika wadah memiliki lapisan dari salah satu dari keduanya (emas atau perak), seperti wadah mereka sendiri, maka jika lapisan tersebut sangat tipis sehingga tidak mencegah air mengenai bahan di dalamnya dan tidak menyebabkan terlepasnya lapisan dari wadah, maka penggunaan wadah tersebut tidak dianggap makruh. Namun, jika tidak maka dimakruhkan.

وَالْإِنَاءُ الْمُمَوَّهُ بِأَحَدِهِمَا كَإِنَائِهِمَا إِنْ كَثُرَ الْمُمَوَّهُ بِهِ بِحَيْثُ يَمْنَعُ التَّمْوِيهُ انْفِصَالَ شَيْءٍ مِنْ الْإِنَاءِ فَلَا يُكْرَهُ وَإِلَّا كُرِهَ ،

Dan ketika suhu air menjadi dingin, maka kemakruhannya hilang. Meskipun jika kemudian air dipanaskan dengan api setelah menjadi dingin, maka kemakruhannya tidak kembali.

(وَإِذَا بَرُدَ) أَيْ الْمُشَمَّسِ زَالَتْ الْكَرَاهَةُ. وَإِنْ سُخِّنَ بِالنَّارِ بَعْدَ بُرُودَتِهِ فَلَا تَعُودُ الْكَرَاهَةُ

Dan Imam Nawawi memilih ketiadaan kemakruhan secara mutlak, yaitu baik ketika syarat-syarat terpenuhi atau tidak, karena kelemahan dalilnya. Ini berdasarkan perkataan Nabi SAW kepada Aisyah: “Jangan lakukan itu, wahai Humairah”, karena hadis ini dianggap lemah oleh beberapa ahli hadis. Oleh karena itu, Imam Nawawi memilih untuk menghilangkan kemakruhannya.

(وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ مُطْلَقًاً) أَيْ وُجِدَتْ الشُّرُوطُ أَوْ لَا لِضُعْفِ الدَّلِيلِ وَهُوَ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَائِشَةَ : لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ، فَإِنَّهُ ضَعِيفٌ عِنْدَ بَعْضِ الْمُحَدِّثِينَ، فَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ مِنْ أَجْلِ ضَعْفِهِ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ

Dan suhu yang sangat panas dan sangat dingin juga dianggap makruh, berbeda dari yang sedikit. Bahkan jika air dipanaskan dengan sesuatu yang najis. Hal ini berbeda dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, namun tidak ada perbedaan dalam kemakruhannya, baik itu dalam konteks bersuci atau lainnya.

(وَيُكْرَهُ أَيْضًاً شَدِيدُ السُّخُونَةِ وَالْبُرُودَةِ) بِخِلَافِ قَلِيلِهِمَا، وَلَوْ كَانَ مُسَخَّنًاً بِنَجَسٍ خِلَافًا لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ. وَلَا فَرْقَ فِي الْكَرَاهَةِ بَيْنَ الطَّهَارَةِ وَغَيْرِهَا

Dan bagian ketiga adalah yang suci dalam dirinya sendiri, sehingga penggunaannya diperbolehkan meskipun makruh, seperti untuk minum atau memasak. Bagian ini tidak membersihkan yang lain, dan terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah air sedikit yang digunakan untuk menghilangkan hadas, seperti air pertama yang digunakan dalam wudhu wajib atau mandi, atau untuk menghilangkan najis meskipun harus dibuang, seperti darah kecoa.

(وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ طَاهِرٌ فِي نَفْسِهِ) فَيَحِلُّ اسْتِعْمَالُهُ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَالشُّرْبِ وَالطَّبْخِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ لِغَيْرِهِ وَهُوَ يَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ الْأَوَّلُ (الْمَاءُ) الْقَلِيلُ (الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ) وَهُوَ مَاءُ الْمَرَّةِ الْأُولَى فِي وُضُوءٍ وَاجِبٍ أَوْ غَسْلٍ كَذَلِكَ (أَوْ إِزَالَةِ (نَجَسٍ) وَلَوْ مَعْفُوًّاً عَنْهُ كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ

Syarat untuk menghukumi suci air mustamal adalah jika air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah beratnya setelah terpisah dari tempat yang dibasuh, dibandingkan dengan keadaan air tersebut sebelum digunakan untuk membasuh, setelah memperhitungkan berapa banyak air yang meresap ke dalam benda yang terbasuh dan berapa banyak kotoran yang dikeluarkannya. Dan air harus sampai ke kotoran, dan tempat tersebut harus menjadi bersih.

وَشَرْطُ الْحُكْمِ بِطَهَارَةِ الْمُسْتَعْمَلِ فِي ذَلِكَ (إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَنْ الْمَحَلِّ الْمَغْسُولِ عَمَّا كَانَ) أَيْ عَنِ الْقَدْرِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْغُسْلِ بِهِ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ الْمَغْسُولُ مِنْ الْمَاءِ وَبَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَمُجُّهُ الْمَغْسُولُ مِنْ الْوَسَخِ، وَكَانَ الْمَاءُ وَارِدًا عَلَى النَّجَاسَةِ، وَقَدْ طَهُرَ الْمَحَلُّ

Jika air tersebut mengalami perubahan, meskipun sedikit, atau jika beratnya bertambah setelah memperhitungkan seberapa banyak air yang meresap ke dalamnya dari kotoran dan seberapa banyak air yang dikeluarkannya setelah perhitungan itu, atau jika air telah masuk terlebih dahulu dan kemudian benda yang tercemar diletakkan di dalamnya, atau jika tempat yang terkena najis tetap memiliki rasa, warna, atau bau najis, maka itu dianggap sebagai bagian dari kategori air najis yang akan dijelaskan nanti.

فَإِنْ تَغَيَّرَ ذَلِكَ الْمَاءُ وَلَوْ يَسِيرًاً أَوْ زَادَ وَزْنُهُ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَأْخُذُهُ الْمَاءُ مِنْ الْوَسَخِ وَالْمَغْسُولُ مِنْ الْمَاءِ أَوْ كَانَ الْمَاءُ مَوْرُودًا كَأَنْ وَضَعَ أَوَّلًا الْمَاءَ، ثُمَّ وُضِعَ فِيهِ الثَّوْبُ الْمُتَنَجِّسُ، أَوْ لَمْ يَطْهُرْ الْمَحَلُّ بِأَنْ بَقِيَ لِلنَّجَاسَةِ طَعْمٌ أَوْ لَوْنٌ أَوْ رِيحٌ، فَهُوَ مِنْ أَفْرَادِ الْقَسْمِ النَّجِسِ الْآتِي

Yang kedua air yang beubah rasa atau warna atau baunya, sama saja perubahannya sedikit ataupun banyak. Dari bagian ini air berubah salah satu sifatnya sebab benda suci yang larut di dalamnya seperti misk, dengan perubahan yang banyak sekiranya sampai mencegak kemutlakan nama air, yaitu dengan munculnya nama lain sebab pencmpuran itu sehingga hilang sifat kemutlakannya.

(وَ) الثَّانِي الْمَاءُ (الْمُتَغَيِّرُ) طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ سَوَاءٌ كَانَ قَلِيلًا أَمْ كَثِيرًا (أَيْ) وَمِنْ هَذَا الْقِسْمِ الْمَاءُ الْمُتَغَيِّرِ أَحَدُ أَوْصَافِهِ بِمَا أَيْ بِشَيْءٍ خَالَطَهُ مِنْ الطَّاهِرَاتِ الْمُسْتَغْنَى عَنْهَا كَمِسْكٍ (تَغَيُّرًا) كَثِيرًا بِحَيْثُ يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ يَحْدُثَ لَهُ بِسَبَبِ الْمُخَالَطَةِ اسْمٌ آخَرُ يَزُولُ بِهِ وَصْفُ الْإِطْلَاقِ

Air yang berubah hukumnya suci dalam dirinya sendiri namun tidak mensucikan pada selain benda yang mencampurinya. Adapun benda yang mencampuri air maka dihukumi suci, sebagaimana jika ingin mensucikan adonan atau lumpur kemudian air dituangkan padanya, maka air menjadi berubah meskipun perubahannya banyak sebelum sampainya air keseluruh bagian, maka air tetap bisa mensucikan seluruh bagiannya dengan sampainya air pada seluruh bagian ini. Dan meskipun perubahannya banyak karena dhorurat karena tidak sampai keseluruh bagian bendanya kecuali setelah berubah airnya.

(فَإِنَّهُ) أَيْ الْمَاءَ الْمُتَغَيِّرَ (طَاهِرٌ) أَيْ فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِ مَا خَالَطَهُ. أَمَّا لِمُخَالِطِهِ فَإِنَّهُ مُطَهَّرٌ كَمَا لَوْ أُرِيدَ تَطْهِيرُ عَجِينٍ أَوْ طِينٍ فَصُبَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ، فَتَغَيَّرَ بِهِ وَلَوْ كَثِيرًا قَبْلَ وُصُولِهِ لِلْجَمِيعِ، فَإِنَّهُ يُطَهِّرُ جَمِيعَ أَجْزَائِهِ بِوُصُولِهِ لَهَا، وَإِنْ كَانَ مُتَغَيِّرًا كَثِيرًا لِلضَّرُورَةِ، لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إِلَى جَمِيعِ أَجْزَائِهِ إِلَّا بَعْدَ تَغَيُّرِهِ

Baik perubahan airnya berupa perubahan yang terang, yakni yang bisa ditemukan oleh pengecap, perasa dan penglihatan, atau perubahannya dikira-kirakan yakni yang tidak bisa ditemukan dengan indera-indera tadi. Misalnya air tercampuri sesuatu yang sifatnya cocok dengan air tersebut dari segi rasa, warna dan baunya, misalnya air mawar yang sudah hilang baunya, maksudnya rasa dan baunya.

(حِسِّيًّا كَانَ التَّغَيُّرُ) بِأَنْ كَانَ يُدْرَكُ بِالشَّمِّ أَوْ بِالذَّوْقِ أَوْ بِالْبَصَرِ (أَوْ تَقْدِيرِيًّا) أَيْ بِأَنْ كَانَ لَا يُدْرِكُ بِذَلِكَ (كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالْمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ كُلِّهَا الَّتِي هِيَ الطَّعْمُ وَاللَّوْنُ وَالرِّبْحُ كَمَاءِ الْوَرْدِ الْمُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ) أَيْ الطَّعْمُ وَاللَّوْنُ

(Dan air yang mustamal) maka diukur sebagai yang berbeda, sedang di antara sifat-sifat tertinggi. Dan sifat terendahnya adalah rasa seperti buah delima, warnanya seperti jus, dan baunya seperti ladanum (laban jantan). Maka jika ia berpaling dari pengukuran dan menyerangnya serta menggunakannya, cukup (digunakan), karena inti perkaranya adalah ia ragu-ragu tentang perubahan yang berbahaya, dan asalnya adalah tidak adanya perubahan.

(وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ) فَيُقَدَّرُ مُخَالِفًا وَسَطًا بَيْنَ أَعْلَى الصِّفَاتِ. وَأَدْنَاهَا الطَّعْمُ طَعْمُ الرُّمَّانِ وَاللَّوْنُ لَوْنُ الْعَصِيرِ وَالرِّيحُ رِيحُ اللَّاذَنِ بِفَتْحِ الذَّالِ الْمُعْجَمَةِ وَهُوَ لَبَانُ الذَّكَرِ. فَإِذَا أَعْرَضَ عَنِ التَّقْدِيرِ وَهَجَمَ وَاسْتَعْمَلَهُ كَفَى إذْ غَايَةُ الْأَمْرِ أَنَّهُ شَاكٌّ فِي التَّغَيُّرِ الْمُضِرِّ وَالْأَصْلُ عَدَمُهُ.

Jika perubahan air tersebut tidak sampai mencegah kemutlakan nama 'air', maksudnya perubahan sebab tercampuri sesuatu yang suci dengan perubahan sedikit, atau air bercampur dengan sesuatu yang sesuai dengan sifat air, seperti air mustamal, dan diperkirakan berbeda serta tidak sampai merubahnya, maka kesucian air tidak hilang dalam kedua contoh di atas. Fiil يسلب mabni majhul sebagaimana dinuqil dari Ajhuri, sedang huruf fa’ adalah robit untuk jawab.

(فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ) أَي التَغَيَّرُ بِالْمُخَالِطِ اطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ) أَيْ الْمُخَالِطِ يَسِيرًا أَوْ اخْتَلَطَ الْمَاءُ بِمَا يُوَافِقُ الْمَاءَ فِي صِفَاتِهِ كَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ(وَقُدِّرَ مُخَالِفًا) أَيْ وَسَطًا وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يُسْلَبُ طَهُورِيَّتُهُ أَيْ فِي الصُّورَتَيْنِ. وَالْفِعْلُ مَبْنِيٌّ لِلْمَجْهُولِ كَمَا نُقِلَ عَنْ الْأُجْهُورِيِّ وَالْفَاءُ رَابِطَةٌ لِلْجَوَابِ.

Maka (ia), yaitu zat yang berubah itu, mensucikan bagi yang lain. Dan karena itu, Nabi dan Maimunah mandi dari sebuah mangkuk yang di dalamnya terdapat bekas adonan.

(فَهُوَ) أَيْ ذَلِكَ الْمُتَغَيِّرُ (مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ). وَلِذَلِكَ اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُونَةُ مِنْ قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ .اهْ.

Dan penyusun (kitab) mengecualikan dengan pernyataannya: (Air tercampur dengan yang suci yang bersanding dengannya), yaitu air, dan itu adalah sesuatu yang mungkin dipisahkan. Adapun apa yang tampak berbeda dalam pandangan mata, seperti minyak, meskipun cair, dan kayu, ini termasuk dalam benda yang menyandingi air yang tidak larut, jika tidak maka itu termasuk yang larut. Dan itu seperti urqoqus dan teh.

(وَاحْتَرَزَ ) أَيْ الْمُصَنِّفُ (بِقَوْلِهِ: خَالَطَهُ عَنْ التَّغَيُّرِ بِالطَّاهِرِ الْمُجَاوِرِ لَهُ) أَيْ الْمَاءِ، وَهُوَ مَا يُمْكِنُ فَصْلُهُ. أَمَّا مَا يَتَمَيَّزُ فِي رَأْيِ الْعَيْنِ كَدُهْنٍ، وَلَوْ مَائِعًا وَعَودٍ وَهَذَا فِي الْمُجَاوِرِ الَّذِي لَا يَتَحَلَّلُ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِلَّا فَهُوَ مِنْ الْمُخَالِطِ، وَذَلِكَ كَالْعُرْقَسُوسِ وَالشَّايِ

Maka sesungguhnya air yang berubah sebab benda suci yang bersandingan dengannya, tetap dalam kesuciannya, yaitu dalam keadaan sebagai penyuci bagi benda yang lain, (meskipun perubahannya banyak), meskipun perubahan itu terjadi pada rasa, warna, dan bau secara bersamaan. Tapi jika sampai berubah menjadi nama lain, seperti jika lemak dilarutkan di dalamnya, lalu dinamai dengan nama kaldu, maka itu membahayakan, karena timbulnya nama lain itu menunjukkan adanya pemisahan zat dari yang menyandingi, maka ia menjadi tercampur.

(فَإِنَّهُ) أَيْ الْمَاءَ الْمُتَغَيِّرَ بِالطَّاهِرِ الْمُجَاوِرِ لَهُ بَاقٍ عَلَى طَهُورِيَّتِهِ) أَيْ عَلَى كَوْنِهِ مُطَهِّرًاً لِغَيْرِهِ (وَلَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيرًاً) وَلَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ بِالطَّعْمِ وَاللَّوْنِ وَالرِّبْحِ مَعًاً، لَكِنْ إِنْ حَدَثَ لَهُ اسْمٌ آخَرُ كَأَنْ أُذِيبَ فِيهِ شَحْمٌ، فَصَارَ يُسَمَّى بِاسْمِ الْمَرَقَةِ ضَرَّ ذَلِكَ لِأَنَّ حُدُوثَ الِاسْمِ الْآخَرِ دَلِيلٌ عَلَى انْفِصَالِ عَيْنٍ مِنْ الْمُجَاوِرِ، فَصَارَ مُخَالِطًاً

Begitu juga air yang berubah sebab benda yang mencampuri yang tidak bisa dihindari, misalnya tanah, meskipun dilemparkan setelah menumbuknya, dan seperti lumut jika tidak dilemparkan.

وَكَذَا الْمُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ لَا يَسْتَغْنِي الْمَاءُ عَنْهُ كَطِينٍ وَإِنْ طُرِحَ بَعْدَ دَقِّهِ (وَطُحْلُبٍ) إِنْ لَمْ يُطْرَحْ.

Apabila lumut itu diambil kemudian dilemparkan dalam keadaan utuh lalu terpecah dengan sendirinya maka memberikan akibat fatal, sebagaimana pendapat yang dinuqil dari Ibnu Qasim al Abbadi, dan seperti benda-benda yang ada di tempat air menetap dan di aliran yang dilewatinya, artinya baik keduanya berupa benda alami maupun buatan manusia yang menyerupai alami.

فَإِنْ أُخِذَ ثُمَّ طَرَحَ صَحِيحًا ثُمَّ تَفَتَّتْ بِنَفْسِهِ ضَرَّ كَمَا نُقِلَ عَنْ ابْنِ قَاسِمٍ الْعَبَّادِيِّ (وَمَافِي مَقِرِّهِ وَمَمَرِّهِ) أَيْ سَوَاءٌ كَانَا خَلْقِيَّيْنِ أَوْ مَصْنُوعَيْنِ بِحَيْثُ يُشْبِهَانِ الْخَلْقِيَّيْنِ.

Adapun air yang berubah lantaran lamanya berdiam, maksudnya berubah sebab benda yang ada di tempat menetapnya dan yang ada di aliran yang dilewatinya sebab lamanya berdiam, hukumnya suci dan mensucikan lainnya. Hal itu sebab beratnya menjaga air dari hal itu, dan sebab tidak bercampurnya air dengan sesuatu selama berdiam lama.

وَالْمُتَغَيِّرُ بِطُولِ الْمُكْثِ فَإِنَّهُ أَيْ الْمَاءَ الْمُتَغَيِّرَ بِمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ بِطُولِ الْمُكْثِ (طَهُورٌ) أَيْ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ، وَذَلِكَ لِمَشَقَّةِ صَوْنِ الْمَاءِ عَنْ ذَلِكَ، وَلِعَدَمِ مُخَالَطَةِ الْمَاءِ بِشَيْءٍ فِي صُورَةِ طُولِ الْمُكْثِ،

Dan pendapat yang lebih kuat adalah bahwa air yang berubah dengan sesuatu itu adalah mutlak, dan dikatakan bahwa dikecualikan dari yang mutlak itu untuk memudahkan hamba-hamba Allah dalam membolehkan bersuci dengannya.

وَالرَّاجِحُ أَنَّ الْمُتَغَيِّرَ بِشَيْءٍ مُطْلَقٌ وَقِيلَ مُسْتَثْنًى مِنْ غَيْرِ الْمُطْلَقِ تَسْهِيلًا عَلَى الْعِبَادِ فِي جَوَازِ الطُهْرِ بِهِ

Dan bagian keempat adalah air najis, yaitu air yang tercemar najis. Ini terbagi menjadi dua jenis:

Pertama, air yang sedikit yang tercemar dengan najis, baik yang mengubah sifat air ataupun tidak.

(وَالْقِسْمُ الرَّابِعُ مَاء نَجِسٌ) أَيْ مُتَنَجِّسٌ (وَهُوَ قِسْمَانِ) أَيْ نَوْعَانِ: (أَحَدُهُمَا: قَلِيلٌ وَهُوَ) أَيْ الْمَاءُ الْمُتَنَجِّسُ (الَّذِي حَلَّتْ) أَيْ وَرَدَتْ (فِيهِ نَجَاسَةٌ) مُنَجِّسَةٌ (تَغَيَّرَ) الْمَاءُ الَّذِي وَرَدَتْ عَلَيْهِ النَّجَاسَةُ (أَمْ لَا،

Ini berbeda dengan pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa air tidak menjadi najis meskipun dalam jumlah yang sedikit, kecuali jika terjadi perubahan padanya, dan banyak dari pengikut mazhab Syafi'i juga memilih pendapat ini.

خِلَافًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ حَيْثُ قَالَ: لَا يَنْجُسُ الْمَاءُ وَلَوْ قَلِيلًا إِلَّا بِالتَّغَيُّرِ، وَاخْتَارَهُ كَثِيرٌ مِنْ الشَّافِعِيَّةِ

Keadaan air yang terkena najis kurang dari 2 qulah secara yaqin walaupun air dalam keadaan mengalir. Ucapan mushonif ماء dibaca panjang (mad) dan dibaca rofa. Jika najis tidak larut namun bersentuhan dengan air, dan air tersebut dalam jumlah yang sedikit, maka air juga menjadi najis. Namun, jika najis tidak larut dalam air, tetapi bau najis di tepi sungai menyebabkan perubahan dalam air, itu tidak menjadi masalah. Karena itu hanya bau yang tidak mencampur atau bersentuhan langsung dengan air.

(وَهُوَ أَيْ وَالْحَالُ أَنَّهُ) أَيْ الْمَاءَ الْوَارِدَ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ مَاءٌ دُونَ (الْقُلَّتَيْنِ أَيْ يَقِينًا وَلَوْ جَارِيًا، قَوْلُهُ مَاءٌ بِالْمَدِّ وَالرَّفْعِ، فَإِنْ لَمْ تَحِلَّ النَّجَاسَةُ فِيهِ وَلَاقَتْهُ وَهُوَ قَلِيلٌ تَنَجَّسَ أَيْضًا. وَإِنْ لَمْ تَحِلَّ فِيهِ لَكِنْ تَغَيَّرَ بِرِيحِ النَّجَاسَةِ الَّتِي عَلَى الشَّطِّ لَمْ يَضُرَّ، لِأَنَّهُ مُجَرَّدُ اسْتِرْوَاحٍ مِنْ غَيْرِ حُلُولٍ وَلَا مُلَاقَاةٍ

Dan yang dikecualikan dari najis dalam kategori ini adalah bangkai yang tidak memiliki cairan (seperti darah) dalam kondisinya yang biasa saat dibunuh atau ketika ada bagian tubuh yang terpotong darinya saat hidupnya, seperti lalat.

(وَيُسْتَثْنَى مِنْ) نَجَاسَةِ (هَذَا الْقِسْمِ الْمَيْتَةُ الَّتِي لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ) أَيْ فِي عَادَتِهَا عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا) فِي حَيَاتِهَا (كَالذُّبَابِ)

Jika ada keraguan mengenai apakah darah hewan mengalir atau tidak, maka menurut al-Ghazali, membelahnya di bawah sinar matahari pada pasir adalah diperbolehkan karena alasan kebutuhan.

فَإِنْ شَكَّ فِي السَّيَلَانِ وَعَدَمِهِ جَازَ الشَّقُّ عِنْدَ الشَّمْسِ الرَّمْلِيِّ تَبَعًا لِلْغَزَالِيِّ لِأَنَّهُ لِحَاجَةٍ ،

Namun, menurut Imam Al-Haramain, membelahnya tidak diperbolehkan karena dianggap sebagai penyiksaan, dan aturannya adalah berdasarkan prinsip bahwa darahnya dianggap tidak mengalir berdasarkan hukum asal dalam hal kesucian air, sehingga darah tersebut tidak menajiskan sebab keraguan. Hukum tidak dima’fu saat seseorang ragu dengan status bangkai hewan di atas lantaran kema’fuan merupakan rukhsos (keringanan hukum), dan rukhsoh hanya bisa diperoleh dengan keyakinan.

وَقَالَ تَبَعًا لِإِمَامِ الْحَرَمَيْنِ لَا يَجُوزُ الشَّقُّ لِأَنَّهُ تَعْذِيبٌ، وَلَهُ حُكْمُ مَا يَتَحَقَّقُ عَدَمُ سَيَلَانِ دَمِهِ عَمَلًا بِالْأَصْلِ فِي طَهَارَةِ الْمَاءِ، فَلَا تُنَجِّسُهُ بِالشَّكِّ، وَيُحْتَمَلُ عَدَمُ الْعَفْوِ لِأَنَّ الْعَفْوَ رُخْصَةٌ فَلَا يَرْجِعُ إِلَيْهَا إِلَّا بِيَقِينٍ.

Bangkai hewan tanpa darah mengalir tidak menajiskan air selama tidak dilempar kedalam air, yakni jatuh dengan sendirinya, atau memang muncul di dalam air seperti cacing dalam cuka dan keju. Selain itu hewan tersebut tidak sampai merubah air sebab mati di dalamnya. Maka apabila air sampai berubah meskipun sedikit dihukumi najis. Dan tidak bisa menjadi suci sebab hilangnya perubahan tersebut selama airnya masih sedikit.

إِنْ لَمْ تُطْرَحْ أَيْ الْمَيْتَةُ (فِيهِ) أَيْ الْمَاءِ، بِأَنْ وَقَعَتْ بِنَفْسِهَا، أَوْ كَانَتْ نَاشِئَةً فِيهِ كَدُودِ الْخَلِّ وَالْجُبْنِ، (وَلَمْ تُغَيِّرْهُ) بِمَوْتِهَا فِيهِ. فَإِنْ غَيَّرَتْهُ وَلَوْ يَسِيرًا تَنَجَّسَ. وَلَا يَطْهُرُ بِزَوَالِ تَغَيُّرِهِ مَا دَامَ قَلِيلًا.

Jika ular dilemparkan ke dalam air dan mati sebelum mencapainya, atau jika sudah mati kemudian hidup kembali sebelum mencapainya, maka dalam kedua kasus itu, air tidak menjadi najis menurut pendapat yang lebih kuat. Dan pelemparan ular ke dalam air tidak merusak air hanya dengan bau atau zat cair, bahkan jika ada dalam jumlah besar, seperti air sedikit dalam hukumnya.

فَلَوْ طُرِحَتْ فِيهِ حَيَّةٌ وَمَاتَتْ قَبْلَ وُصُولِهَا إِلَيْهِ أَوْ مَيْتَةً فَحَيَّتْ قَبْلَ وُصُولِهَا إِلَيْهِ لَمْ تَضُرَّ فِي الْحَالَيْنِ عَلَى الرَّاجِحِ، وَلَا يَضُرُّ طَرْحُهَا بِالرِّيحِ فَقَطْ وَالْمَائِعِ، وَلَوْ كَثِيرًا كَالْمَاءِ الْقَلِيلِ فِي حُكْمِهِ

Demikian pula, najis yang tidak dapat terlihat oleh mata manusia yang sehat, seperti ketika lalat mendarat di atas najis yang basah, dan seseorang tidak melihat apa yang menempel pada lalat tersebut adalah najis, atau jika seseorang melihatnya dengan penglihatan yang kuat tanpa membunuh lalat tersebut, kemudian lalat tersebut jatuh ke dalam air atau benda cair, maka keduanya, baik bangkai hewan yang tidak memiliki cairan darah mengalir dan najis yang tidak dapat terlihat oleh mata manusia yang sehat, tidak akan menajiskan air itu. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesulitan.

(وَكَذَا النَّجَاسَةُ الَّتِي لَا يُدْرِكُهَا الطَّرَفُ) أَيْ الْمُعْتَدِلُ، كَمَا إِذَا عَفَّ الذُّبَابُ عَلَى نَجَسٍ رَطْبٍ لَمْ يُشَاهَدْ مَا عَلِقَ بِهِ مِن النَّجَاسَةِ، أَوْ رَآهُ قَوِيُّ الْبَصَرِ دُونَ مَقْتُولِهِ، ثُمَّ وَقَعَ فِي مَاءٍ قَلِيلٍ أَوْ مَائِعٍ، فَكُلٌّ مِنْهُمَا أَيْ الْمَيْئَةِ الَّتِي لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ وَالنَّجَاسَةُ الَّتِي لَا يُدْرِكُهَا الطَّرَفُ لَا يُنَجِّسُ) الْمَاءَ الْقَلِيلَ وَ (الْمَائِعَ) لِمَشَقَّةِ الِاحْتِرَازِ عَنْهُمَا

Dikecualikan juga beberapa contoh yang disebutkan dalam kitab-kitab yang lebih luas penjelasannya. Maksudnya dari sisi dima’funya, bukan batasan adanya najis ma’fu itu di dalam air. Salah satu contohnya adalah kotoran hewan ternak yang dijadikan roti.

(وَيُسْتَثْنَى أَيْضًا صُوَرٌ مَذْكُورَةٌ فِي الْمَبْسُوطَاتِ) أَيْ مِنْ حَيْثُ الْعَفْوُ عَنْهَا، لَا بِقَيْدِ كَوْنِهَا فِي الْمَاءِ، مِنْهَا السِّرْجِينُ الَّذِي يُخْبَزُ بِهِ،

Makanan ini dima’fu untuk dimakan atau mencampurinya dengan cairan seperti susu, dan tidak memerlukan mencuci mulut setelah mengkonsumsinya ketika hendak mendirikan shalat, akan tetapi tidak dima’fu jika dibawa saat shalat menurut imam Romli. Al Khotib berpendapat: “Roti itu tetap dima’fu saat dibawa dalam dholat dan shalat pembawanya tidak batal.”

فَيُعْفَى عَنِ الْخُبْزِ بِأَكْلِهِ أَوْ ثَرْدِهِ بِمَائِعٍ كَلَبَنٍ، وَلَا يَجِبُ غَسْلُ الْفَمِ مِنْهُ لِنَحْوِ الصَّلَاةِ، وَلَكِنْ لَا يُعْفَى عَنْ حَمْلِهِ فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ الرَّمْلِيِّ. وَقَالَ الْخَطِيبُ : يُعْفَى عَنْهُ فِيهَا، وَلَا تَبْطُلُ صَلَاةُ حَامِلِهِ.

Dan di antara najis adalah yang tertinggal di dalam perut hewan, yang sulit dicuci dan membersihkannya. Prinsipnya adalah bahwa segala sesuatu yang sulit dihindari keberadaannya cenderung dima’fu.

وَمِنْهَا مَا يَبْقَى فِي نَحْوِ الْكَرِشِ مِمَّا يَشُقُّ غُسْلُهُ وَتَنْقِيَتَهُ، وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ أَنَّ جَمِيعَ مَا يَشُقُّ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًاً فَهُوَ مَعْفُوٌّ عَنْهُ

Dan mushonif mengisyaratkan pada jenis kedua (dari bagian keempat) dengan ucapannya; atau air yang terkena najis itu banyak, dua kulah atau lebih dari air murni, bahkan jika musta’mal, kemudian mengalami perubahan, artinya air yang banyak itu mengalami perubahan setelah najis masuk ke dalamnya, baik secara fisik atau sifatnya.

(وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي) أَيْ النَّوْعِ الثَّانِي (مِنْ الْقِسْمِ الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ أَوْ كَانَ) أَيْ الْمَاءُ الَّذِي وَرَدَتْ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ (كَثِيرًا قُلَّتَيْنِ فَأَكْثَرَ) مِنْ مَحْضِ الْمَاءِ وَلَوْ مُسْتَعْمَلًا ( فَتَغَيَّرَ) أَيْ الْمَاءُ الْكَثِيرُ عَقِبَ حُلُولِ النَّجَاسَةِ فِيهِ، حِسِّيًّا كَانَ التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيرِيًّا،

Misalnya ada benda najis yang ada di dalam air yang memiliki sifat yang sama, seperti air kencing yang sudah hilang bau, warna dan rasanya, maka perubahan itu dinyatakan lebih kuat jika warnanya mirip dengan tinta dan rasanya mirip dengan cuka, dan baunya mirip dengan bau misk.

بِأَنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ نَجِسٌ يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ، كَالْبَوْلِ الْمُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَاللَّوْنِ وَالطَّعْمِ، فَيُقَدَّرُ مُخَالِفًا أَشَدَّ بِأَنْ يُقَدَّرَ لَوْنُهُ لَوْنَ الْحِبْرِ وَطَعْمُهُ طَعْمَ الْخَلِّ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ،

Dan ketiga sifat ini diperkirakan terjadi hanya jika ada tiga sifat pada benda tersebut. Jika salah satu sifat tersebut hilang, maka hanya diterapkan pada yang berbeda dengannya saja, dan yang serupa dengan itu tetap suci, (Entah perubahan air sebab najis sedikit ataupun banyak, baik melalui kontak langsung atau campuran). Yang perlu diperhatikan di sini adalah perubahan yang sedikit dan melalui kontak saja, karena hal ini membuat masalah najis menjadi lebih sulit.

وَتُقَدَّرُ الْأَوْصَافُ الثَّلَاثَةُ إنْ كَانَ الْوَاقِعُ لَهُ أَوْصَافٌ ثَلَاثَةٌ، فَإِنْ فُقِدَتْ وَاحِدَةٌ فُرِضَ الْمُخَالِفُ الْمُنَاسِبُ لَهَا فَقَطْ وَمِثْلُهُ يَجْرِي فِي الطَّاهِرِ، (يَسِيرًا أَوْ كَثِيرًا بِمُجَاوِرٍ أَوْ مُخَالِطٍ) وَإِنَّمَا ضَرَّ هُنَا التَّغَيُّرُ الْيَسِيرُ وَبِالْمُجَاوِرِ دُونَ مَا تَقَدَّمَ الطَّاهِرُ لِغِلَظِ أَمْرِ النَّجَاسَةِ

Qullatan (القلتان) dalam konteks aslinya adalah dua wadah besar (juga disebut gurah besar). Nama ini diberikan karena orang yang besar dapat mengangkatnya dengan tangan, yaitu kira-kira sembilan setengah qirbah dari wilayah Hijaz, bukan dari wilayah Mesir.

(وَالْقُلَّتَانِ) فِي الْأَصْلِ الْجُرَّتَانِ الْعَظِيمَتَانِ، فَالْقُلَّةُ الْجُرَّةُ الْعَظِيمَةُ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ الرَّجُلَ الْعَظِيمَ يُقِلُّهَا بِيَدِهِ أَيْ يَرْفَعُهَا. وَهِيَ تِسْعُ قِرْبَتَيْنِ وَنِصْفًا مِنْ قِرَبِ الْحِجَازِ لَا مِنْ قِرَبِ مِصْرَ.

Dua qullah ini berbentuk kotak dengan panjang dan lebar sekitar setengah hasta (zira) dan kedalaman setengah hasta juga, yang kira-kira dua hasta atau sekitar dua span manusia, yang setara dengan hampir dua hasta.

وَهُمَا بِالْمِسَاحَةِ فِي الْمُرَبَّعِ ذِرَاعٌ وَرُبْعٌ طُولًا وَعَرْضًا وَعُمْقًا بِذِرَاعِ الْآدَمِيِّ، وَهُوَ شِبْرَانِ تَقْرِيبًا،

Total dari semua itu adalah 125 rubu’ (segi empat). Inilah timbangannya. Setiap seperempat hasta (dzira) setara dengan empat rithil. Di luar kotak tersebut, pengusapan dilakukan dan dihitung sesuai dengan dimensi yang disampainya. Jika dimensi tersebut mencapai dua qullah, maka itu dianggap sebagai dua qullah, jika tidak maka tidak.

وَمَجْمُوعُ ذَلِكَ مِائَةٌ وَخَمْسَةٌ وَعِشْرُونَ رُبُعًا، وَهِيَ الْمِيزَانُ، فَلِكُلِّ رُبْعِ ذِرَاعٍ أَرْبَعَةُ أَرْطَالٍ، وَفِي غَيْرِ الْمُرَبَّعِ يُمْسَحُ وَيُحْسَبُ مَا يَبْلُغُهُ أَبْعَادُهُ، فَإِنْ بَلَغَ ذَلِكَ فَقُلَّتَانِ، وَإِلَّا فَلَا،

Ulama ahli fiqih telah menentukan ukuran 2 qulah sebagai sebuah lingkaran dengan lebar, yaitu jarak antara dua dinding sumur dari semua sisi sejauh jangkauan lengan manusia, dengan kedalaman sejauh dua lengan besi, yang setara dengan satu lengan manusia ditambah seperempatnya, ada yang mengatakan setara dengan lengan manusia ditambah setengahnya, dengan berat sekitar 500 rithl (unit berat kuno).

وَقَدْ حَدَّدُوا الْمُدَوَّرَ بِأَنَّهُ ذِرَاعٌ عَرْضًا، وَهُوَ مَا بَيْنَ حَائِطَيِ الْبِئْرِ مِنْ سَائِرِ الْجَوَانِبِ بِذِرَاعِ الْآدَمِيِّ، وَذِرَاعَانِ عُمْقًا بِذِرَاعِ الْحَدِيدِ، وَهُوَ بِذِرَاعِ الْيَدِ ذِرَاعٌ وَرُبُعٌ، وَقِيلَ ذِرَاعٌ وَنِصْفٌ، وَبِالْوَزْنِ (خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ)

Lafadz رطل dengan tanda baca fathah dan kasrah, dan ini adalah penjelasan yang lebih jelas dengan takaran Baghdadi.

بِفَتْحِ الرَّاءِ وَكَسْرِهَا، وَهُوَ أَفْصَحُ (بَغْدَادِيٍّ)

Imam al-Shafi'i, semoga Allah meridhainya, mengukur qullah dengan sekitar dua setengah qirbah dari wilayah Hijaz. Sehingga dua qullah menjadi setara dengan lima qirbah, dan satu qirbah biasanya tidak melebihi seratus ritil Baghdadi.

وَقَدْ قَدَّرَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْقُلَّةَ بِقُرْبَتَيْنِ وَنِصْفٍ مِنْ قُرَبِ الْحِجَازِ فَتَكُونُ الْقُلَّتَانِ خَمْسُ قِرَبٍ وَالْوَاحِدَةُ لَا تَزِيدُ غَالِبًا عَلَى مِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيٍّ

Ini adalah pendekatan, karena penentuan al-Shafi'i adalah perkiraan, jadi tidak masalah jika kurang dari dua ritil, dan yang paling sedikit menurut qoul mu’tamad dalam hal keduanya, yaitu lima ratus ritil dengan pendekatan.

(تَقْرِيبًا) أَيْ مِنْ جِهَةِ التَّقْرِيبِ، لِأَنَّ تَقْدِيرَ الشَّافِعِيِّ أَمْرٌ تَقْرِيبِيٌّ فَلَا يَضُرُّ نَقْصُ رِطْلَيْنِ فَأَقَلُّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فِي الْأَصَحِّ فِيهِمَا أَيْ الْخَمْسِ مِائَةِ وَالتَّقْرِيبِ

Satu Ritil Baghdadi menurut al-Nawawi adalah 128 dirham dan 4/4 dirham. Namun, menurut al-Rafi'i, itu adalah 130 dirham, yang merupakan perbedaan dari pendapat yang mendasarinya.

(وَالرِّطْلِ الْبَغْدَادِيُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائَةٌ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ دِرْهَمًاً وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ) وَأَمَّا عِنْدَ الرَّافِعِيِّ فَمِائَةٌ وَثَلَاثُونَ دِرْهَمًا وَهُوَ خِلَافُ الْمُعْتَمَدِ

Dan pengarang meninggalkan pembagian kelima, dengan menjelaskan sisi sifatnya; jika tidak begitu maka air tersebut dianggap sebagai air mutlak. Yaitu air yang suci mensucikan namun haram penggunaannya, seperti wudhu dengan air yang diambil dengan paksa atau dengan air yang dialirkan untuk minum.

(وَتَرَكَ الْمُصَنِّفُ قِسْمًا خَامِسًا) مِنْ حَيْثُ التَّصْرِيحُ بِوَصْفِهِ وَإِلَّا فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْمَاءِ الْمُطْلَقِ (وَهُوَ الْمَاءُ الْمُطَهِّرُ الْحَرَامُ) أَيْ اسْتِعْمَالُهُ (كَالْوُضُوءِ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ أَوْ مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ)

Hasilnya adalah bahwa air diberlakukan dengan lima hukum: wajib menggunakannya dalam kewajiban, disunnahkan menggunakannya dalam sunnah, haram menggunakan air yang diambil dengan paksa dan air yang dialirkan untuk minum, dan makruh menggunakan air yang terpapar sinar matahari (air musyammas). Penggunaan air zamzam untuk menghilangkan najis hukumnya khilaful aula, dan menggunakan air dalam hal yang tidak diminta diperbolehkan.

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَاءَ تَعْتَرِيهِ الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ : فَيَجِبُ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْفَرْضِ، وَيُنْدَبُ اسْتِعْمَالُهُ فِي النَّدْبِ، وَيَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ الْمَغْصُوبِ وَالْمُسَبَّلِ لِلشُّرْبِ، وَيُكْرَهُ اسْتِعْمَالُ الْمُشَمَّسِ. وَأَمَّا اسْتِعْمَالُ زَمْزَمَ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ فَخِلَافُ الْأَوْلَى، وَيُبَاحُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِيمَا لَمْ يُطْلَبْ.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi