Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim: Sunah-sunah Wudhu
SUNAH-SUNAH WUDHU
Dan sunnah dalam wudhu
ada sepuluh perkara. Dalam beberapa naskah, disebutkan dengan عضر خصال, yaitu: (1) Tasmiyah, yaitu
dengan mengucapkan بسم الله. Sunnah ini tidak dapat
terwujud dengan lafadz lainnya, seperti الحمد لله. |
(وَسُنَنُهُ
أَيْ الْوُضُوءِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ. وَفِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ عَشْرُ
خِصَالٍ)، الْأُولَى (التَّسْمِيَةُ أَوَّلَهُ) أَيْ الْوُضُوءِ. (وَأَقَلُّهَا
بِسْمِ اللَّهِ). وَلَا يُحْصُلُ السُّنَّةُ بِغَيْرِهَا كَالْحَمْدِ اللَّهِ. |
Dan tasmiyah yang paling
sempurna adalah dengan mengucapkan بسم الله الرحمن الرحيم. Ini berlaku juga untuk orang yang berjunub, haid, dan nifas
ketika mereka berwudhu sebagai kesunnahan mandi, tetapi yang dimaksud di sini
adalah sebagai dzikir. |
(وَأَكْمَلُهَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ).
وَيَأْتِي بِذَلِكَ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إذَا تَوَضَّأَ كُلٌّ
مِنْهُمْ لِسُنَّةِ الْغُسْلِ، لَكِنْ يَقْصَدُ بِهِ الذِّكْرَ. |
Jika seseorang
meninggalkan tasmiyah di awal wudhu, dia bisa melakukannya di
tengah-tengahnya sebelum selesai. Dan dia menambahnya dengan lafadz اولَه واخرَه, karena
sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW, "Apabila salah satu dari kalian
makan, hendaklah dia menyebut nama Allah. Jika dia lupa menyebut nama Allah
di awal, maka hendaklah dia mengucapkannya, 'Bismillah, awalahu
waakhirohu.'" (Hadis riwayat At-Tirmidzi). Prinsip ini diqiyaskan
untuk wudhu dan ketika seseorang dengan sengaja atau lupa melakukan suatu
perbuatan. |
فَإِنَّ تَرَكَ التَّسْمِيَةَ أَوَّلَهُ أَتَى بِهَا فِي
أَثْنَائِهِ أَيْ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْهُ، وَيَزِيدُ عَلَيْهَا أَوَّلَهُ
وَآخِرَهُ، كَأَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أَوَّلُهُ
وَآخِرُهُ، لِقَوْلِهِ : «إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ
تَعَالَى. فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ
اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرُهُ»
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَيُقَاسُ بِالْأَكْلِ الْوُضُوءُ وَبِالنِّسْيَانِ
الْعَمْدُ. |
Sabda nabi اولَه واخرَه dengan
dibaca nasob sebagai dzorfiyah, taqdirnya adalah عند اوله وعند اخره. Pernyataan yang jelas dari hadis ini adalah bahwa tasmiyah
tidak bisa hasil dibaca di tengah-tengah suatu tindakan kecuali jika
ditambahkan frasa tambahan tersebut, sebagaimana pendapat yang dinuqil oleh
Al-Bujairimi dari Ar-Ramli. |
قَوْلُهُ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ بِالنَّصْبِ عَلَى
الظَّرْفِيَّةِ، وَالتَّقْدِيرُ عِنْدَ أَوَّلِهِ وَعِنْدَ آخِرِهِ. وَظَاهِرُ
هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّهُ لَا يَحْصُلُ التَّسْمِيَةُ حَيْثُ أَتَى بِهَا فِي
الْوَسَطِ إلَّا إِذَا أَتَى بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ كَمَا نَقَلَهُ
الْبُجَيْرِمِيُّ عَنْ الرَّمْلِيِّ. |
Ketika seseorang telah
selesai wudhunya, maksudnya pengerjaannya, maka dia sudah tidak bisa
melaksanakan kesunahan tasmiyah lantaran tempat kesunahan itu sudah habis. |
(فَإِنْ فَرَغَ مِنْ الْوُضُوءِ) أَيْ مِنْ أَفْعَالِهِ
(لَمْ يَأْتِ بِهَا) لِفَوَاتِ مَحَلِّهَا. |
(2) Membasuh kedua
tangan hingga siku sebelum berkumur. Ini berlaku bahkan jika
seseorang tidak baru bangun dari tidur dan yakin bahwa kedua tangannya
bersih, atau jika seseorang telah berwudhu dengan cara semprotan seperti
menggunakan teko (kendil). Kedua tangan dibasuh sebanyak tiga kali jika
terdapat keraguan tentang kesucian keduanya sebelum dimasukkan ke dalam wadah
yang berisi air yang kurang dari 2 qulah. |
(وَ) الثَّانِيَةُ (غَسْلُ الْكَفَّيْنِ إِلَى
الْكُوعَيْنِ قَبْلَ الْمَضْمَضَةِ)، وَإِنْ لَمْ يَقُمْ مِنْ النَّوْمِ وَإِنْ
تَيَقَّنَ طُهْرَهُمَا أَوْ تَوَضَّأَ مِنْ نَحْوِ إِبْرِيقٍ، (وَيَغْسِلُهُمَا)
أَيْ الْكَفَّيْنِ (ثَلَاثًا إِنْ تَرَدَّدَ فِي طُهْرِهِمَا قَبْلَ
إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ الْمُشْتَمِلَ عَلَى مَاءٍ دُونَ الْقُلَّتَيْنِ). |
Jika seseorang tidak membasuh
kedua tangannya sama sekali, atau membasuhnya kurang dari tiga kali, maka
makruh mencelupkannya sebanyak tiga kali, yakni dia tidak membasuhnya sama
sekali atau membasuhnya namun kurang dari tiga kali. |
(فَإِنْ
لَمْ يَغْسِلْهُمَا) أَوْ غَسَلَهُمَا دُونَ الثَّلَاثِ (كُرِهَ لَهُ
غَمْسُهُمَا) أَيْ ثَلَاثًا، بِأَنْ لَمْ يَغْسِلْهُمَا أَصْلًا أَوْ
غَسَلَهُمَا دُونَ الثَّلَاثِ (فِي الْإِنَاءِ)، |
Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi Muhammad SAW: “Jika salah satu dari kalian bangun dari tidurnya,
janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam wadah hingga membasuhnya
sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya dia tidak tahu di mana tangannya
bermalam." |
لِقَوْلِهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "إِذَا
اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ
حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا. فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ
يَدُهُ". |
Dan Nabi SAW
memerintahkan tiga kali membasuh tangan sebelum merendam tangan ke dalam
wadah air, meskipun tangan sudah bersih dengan satu kali cucian, karena dalam
tangan tersebut terkumpul beberapa ibadah. Salah satunya adalah membasuh
tangan karena bersangkutan dengan menduga adanya najis, dan yang lainnya
adalah membasuh tangan sebelum merendamnya untuk tujuan wudhu, karena itu
termasuk sunnah wudhu. Jika kebersihan tangan dan cucian yang ketiga
terpenuhi untuk mencari perlindungan, maka tiga kali membasuh hukumnya
disunahkan. |
وَإِنَّمَا أَمَرَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالْغَسْلِ ثَلَاثًا قَبْلَ الْغَمْسِ وَإِنْ كَانَتْ الْيَدُ
تطْهَرُ بِمَرَّةٍ لِأَنَّهُ اجْتَمَعَ عَلَى الْيَدِ عِبَادَاتٌ، إِحْدَاهَا
الْغُسْلُ مِنْ تَوَهُّمِ النَّجَاسَةِ، وَالْأُخْرَى الْغُسْلُ قَبْلَ
الْغَمْسِ لِأَجْلِ الْوُضُوءِ، فَإِنَّهُ مِنْ سُنَنِ الْوُضُوءِ، وَإِنْ
تَحَقَّقَ طَهَارَةُ يَدِهِ وَالْغَسْلَةُ الثَّالِثَةِ لِطَلَبِ الْإِيتَارِ،
فَإِنَّ تَثْلِيثَ الْغُسْلِ مُسْتَحَبٌّ، |
Dan diambil dari sabda
Nabi SAW, “karena seseorang tidak mengetahui di mana tangannya telah
bermalam” menetapkan keragu-raguan terhadap kesucian keduanya, bukan terhadap
bangun dari tidur. Jika yakin bahwa keduanya najis, maka haram baginya
mencelupkannya sebelum membasuhnya, kecuali dalam air yang banyak yang tidak
mengalir. |
وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ أَنَّ الضَّابِطَ عَلَى
التَّرَدُّدِ فِي طُهْرِهِمَا لَا عَلَى الِاسْتِيقَاظِ مِنْ النَّوْمِ، وَإِنْ
تَيَقَّنَ نَجَاسَتَهُمَا حَرُمَ عَلَيْهِ غَمْسُهُمَا قَبْلَ غَسْلِهِمَا
إِلَّا فِي مَاءٍ كَثِيرٍ غَيْرِ مُسَبَّلٍ |
Dan jika yakin akan
kesucian keduanya karena sudah membasuhnya tiga kali, maka tidak makruh
baginya untuk mencelupkannya, karena kemakruhan tidak akan hilang kecuali
dengan membasuhnya tiga kali. |
(وَإِنْ
تَيَقَّنَ طُهْرَهُمَا بِسَبَبِ غَسْلِهِمَا ثَلَاثًا لَمْ يُكْرَهْ لَهُ
غَمْسُهُمَا)، لِأَنَّهُ لَا تَزُولُ الْكَرَاهَةُ إِلَّا بِغَسْلِهِمَا
ثَلَاثًا، |
Ini karena dalam hukum
syariat, ketika aturan telah ditetapkan pada suatu kondisi tertentu, dan di
sini adalah kemakruhan terhadap pencelupan, maka orang mukallaf hanya dibebaskan
dari kewajibannya setelah memenuhi kondisi tersebut. |
لِأَنَّ الشَّارِعَ إِذَا غَيَّا حُكْمًا بِغَايَةٍ
وَهُوَ هُنَا كَرَاهَةُ الْغَمْسِ فَإِنَّمَا يَخْرُجُ الْمُكَلَّفُ مِنْ
عُهْدَتِهِ بِاسْتِيعَابِهَا |
(3) Berkumur setelah membasuh
kedua telapak tangan. Prinsip sunnah dalam
berkumur adalah dengan memasukkan air ke dalam mulut, baik dengan
menggerakkannya di dalam mulut (dengan cara menyiramkan air ke dalam mulut
dan menggerakkannya di dalam mulut) kemudian menyemprotkannya atau tidak,
yaitu dengan membiarkan air mencapai seluruh sisi mulut (tanpa gerakan). |
(وَ)
الثَّالِثَةُ (الْمَضْمَضَةُ بَعْدَ غَسْلِ الْكَفَّيْنِ. وَيَحْصُلُ أَصْلُ
السُّنَّةِ فِيهَا) أَيْ الْمَضْمَضَةِ (بِإِدْخَالِ الْمَاءِ فِي الْفَمِ،
سَوَاءٌ أَدَارَهُ) أَيْ حَرَّكَهُ (فِيهِ) أَيْ الْفَمِ عَلَى جَوَانِبِهِ
(وَمَجَّهُ أَمْ لَا)، بِأَنْ ابْتَلَعَهُ. |
Jika seseorang ingin
menyempurnakan, dia dapat memutar air di sisi mulutnya dan menunjukkannya
dengan jari telunjuk tangan kirinya, karena air akan berada di sisi kanan
saat menyatukan berkumur dan istinsyaq (menghisap air dalam hidung), kemudian
dia bisa meludahkannya (memuntahkannya). |
(فَإِنْ أَرَادَ الْأَكْمَلَ) أَدَارَهُ عَلَى جَوَانِبِ
فَمِهِ وَأَمَرَ سَبَّابَةَ يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَيْهَا، لِأَنَّ الْيَمِينَ
يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ إِذَا جَمَعَ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ
ثُمَّ مَجَّهُ. |
(4) Istinsyaq (menghisap
air dalam hidung) setelah berkumur. Berkumur didahulukan
karena kehormatan manfaat mulut, karena itu adalah tempat keseimbangan tubuh
untuk makanan dan sejenisnya, dan jiwa untuk zikir dan sejenisnya. |
(وَ) الرَّابِعَةُ
(الِاسْتِنْشَاقُ بَعْدَ الْمَضْمَضَةِ). وَقُدِّمَتْ لِشَرَفِ مَنَافِعِ
الْفَمِ، لِأَنَّهُ مَحَلُّ قِوَامِ الْبَدَنِ أَكْلًا وَنَحْوَهُ وَالرُّوحِ
ذِكْرًا وَنَحْوَهُ. |
Prinsip sunnah dalam
istinsyaq adalah dengan memasukkan air ke dalam hidung, baik dengan
menariknya sendiri ke dalam rongga hidungnya atau tidak, yaitu dengan
meletakkan air di tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh hidung dan kemudian
menyemprotkannya, atau menariknya ke dalam hidung. |
(وَيَحْصُلُ أَصْلُ السُّنَّةِ فِيهِ) أَيْ
الِاسْتِنْشَاقِ (بِإِدْخَالِ الْمَاءِ فِي الْأَنْفِ، سَوَاءٌ جَذَبَهُ
بِنَفْسِهِ إِلَى خَيَاشِيمِهِ) أَيْ أَعْلَى أَنْفِهِ وَنَثَرَهُ أَمْ لَا،
بِأَنْ جَعَلَ الْمَاءَ فِي الْمَازِنِ ثُمَّ رَمَاهُ، أَوْ جَذَبَهُ إِلَى
الْجَوْفِ. |
Jika seseorang ingin
menyempurnakan, dia dapat meninggikan air ke hidung sejauh mungkin, kemudian
menyebarkannya dengan cara mengeluarkan air yang ada di dalam hidungnya
setelah istinsyaq. Hal ini dapat dilakukan dengan menahan hidung dengan
menggunakan jari kelingking tangan kiri. |
فَإِنْ أَرَادَ الْأَكْمَلَ صَعَّدَ الْمَاءَ بِالنَّفْسِ
إِلَى أَقْصَى الْأَنْفِ ثُمَّ (نَثَرَهُ) وَاسْتَنْثَرَ بِأَنْ يُخْرِجَ بَعْدَ
الِاسْتِنْشَاقِ مَا فِي أَنْفِهِ مِنْ مَاءٍ، وَأَذَّى بِخِنْصِرِ يَدِهِ الْيُسْرَى، |
Sebuah hadits
menyatakan, “Jika kamu istinsyaq maka bersihkanlah (hidungmu).” Namun,
berlebihan dalam kedua hal ini diperintahkan selain bagi orang yang berpuasa,
maka baginya dimakruhkan karena ada ketakutan merusak puasa. |
وَالْحَدِيثُ
إذَا اسْتَنْشَقتَ فَانْثِرْ، وَالْمُبَالَغَةُ
فِيهِمَا مَطْلُوبَةٌ إلَّا فِي حَقِّ الصَّائِمِ، فَتُكْرَهُ خَشْيَةَ إفْسَادِ
الصَّوْمِ. |
Penggabungan antara
berkumur dan istinsyaq dilakukan dengan tiga cidukan. Yakni dengan berkumur
dari satu cidukan kemudian istinsyaq, dan begitu seterusnya, dan itu lebih
utama. Alternatifnya, bisa dilakukan dengan 2 cidukan, yang satu untuk
berkumur 3 kali dan satunya lagi untuk istinsyaq 3 kali juga. Atau dengan
enam cidukan, di mana digunakan untuk berkumur dan kemudian untuk istinsyaq
secara selang-seling. Atau dengan enam cidukan untuk masing-masingnya, dengan
tiga langkah berturut-turut, dan metode ini merupakan cara yang paling dhaif. |
(وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ
بِثَلَاثِ غُرَفٍ يَتَمَضْمَضُ مِنْ كُلٍّ مِنْهَا ثُمَّ يَسْتَنْشِقُ أَفْضَلُ
مِنْ الْفَصْلِ بَيْنَهُمَا)، إمَّا بِغُرْفَتَيْنِ وَاحِدُهُ لِلْمَضْمَضَةِ
ثَلَاثًا وَوَاحِدُهُ لِلِاسْتِنْشَاقِ كَذَلِكَ، أَوْ بِسِتِّ غَرَفَاتٍ
يَتَمَضْمَضُ بِوَاحِدَةٍ ثُمَّ يَسْتَنْشِقُ بِأُخْرَى وَهَكَذَا، أَوْ بِسِتِّ غَرَفَاتٍ لِكُلٍّ مِنْهُمَا
بِثَلَاثٍ مُتَوَالِيَةٍ، وَهَذِهِ أَضْعَفُ الْكَيْفِيَّاتِ. |
(5) Mengusap seluruh
kepala. Dalam beberapa versi
teks, disebutkan juga untuk merenggangkan jari-jari untuk mengusap seluruh
kepala dengan menyentuhnya. Kesunahan mengusap seluruh kepala ini untuk
menghindari perbedaan pendapat ulama yang mewajibkannya, yaitu Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat yang paling adzhar menurutnya. |
(وَ) الْخَامِسَةُ (مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ. وَفِي
بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ وَاسْتِيعَابُ الرَّأْسِ) أَيْ تَعْمِيمًا (بِالْمَسْحِ
عَلَيْهِ، فِرَارًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَهُوَ الْإِمَامُ مَالِكٌ
وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي أَظْهَرِ الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَهُ. |
Adapun mengusap sebagian
dari kepala merupakan suatu kewajiban, sebagaimana telah disebutkan dalam
fardhu wudhu. Oleh karena itu, seseorang akan mendapatkan pahala seperti
pahala melaksanakan kewajiban. Jika seseorang tidak berniat untuk melepaskan
sesuatu yang menutupi kepala seperti sorban atau yang sejenisnya, maka dia
dapat mengusap di atasnya, asalkan dia telah memenuhi tiga syarat. Yaitu: |
أَمَّا مَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ فَوَاجِبٌ كَمَا سَبَقَ)
فِي فُرُوضِ الْوُضُوءِ. فَيُثَابُ ثَوَابُ الْفَرْضِ عَلَى ذَلِكَ. (وَلَوْ
لَمْ يُرِدْ) نَزْعَ (مَا عَلَى رَأْسِهِ مِنْ عِمَامَةٍ وَنَحْوِهَا)
كَطَيْلَسَانٍ (كَمَّلَ بِالْمَسْحِ عَلَيْهَا) أَيْ عَلَى مَا عَلَى رَأْسِهِ،
وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ عَلَى ظَهْرٍ بِشُرُوطٍ ثَلَاثَةٍ، |
(a) Benda yang digunakan
untuk menutup kepala, seperti sorban atau sejenisnya, tidak boleh melampaui
batas tempat yang biasanya ditutupi oleh kepala itu sendiri. Sebagai contoh,
saat seseorang yang ihram mengenakan penutup kepala tersebut tanpa alasan
yang dibenarkan, sebagaimana dilarang baginya mengusap muzah sebagaimana
demikian. |
وَهِيَ: أَنْ لَا يَتَعَدَّى بِلُبْسِهِ مِنْ حَيْثُ
اللُّبْسُ نَفْسِهِ، كَأَنْ لَبِسَهُ مُحْرِمٌ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كَمَا
يَمْتَنِعُ عَلَيْهِ الْمَسْحُ عَلَى خُفٍّ كَذَلِكَ، |
(b) Selain itu, mengusap
sebagian kepala tidak boleh diikuti dengan mengangkat tangan setelah mengusap
sebagian dari kepala. Ini berarti bahwa pengusapan benda di kepala harus
terhubung dengan pengusapan seluruh kepala, dan tidak cukup hanya mengusap
sebagian kemudian mengusap bagian lain setelahnya dengan air baru, atau
mengusap benda itu sebelum mengusap bagian dari kepala. |
وَعَدَمُ رَفْعِ الْيَدِ بَعْدَ مَسْحِ جُزْءٍ مِنْ
الرَّأْسِ، بِأَنْ يَكُونَ مَسْحُهُ مُتَّصِلًا بِمَسْحِ الرَّأْسِ، فَلَا
يَكْفِي الْمَسْحُ عَلَيْهِ اسْتِقْلَالًا بِأَنْ يَمْسَحَهُ بِمَاءٍ جَدِيدٍ،
أَوْ يَمْسَحَهُ قَبْلَ مَسْحِ جُزْءٍ مِنْ الرَّأْسِ، |
(c) Selain itu, pada
benda tersebut juga tidak boleh ada najis yang diampuni (ma’fu) seperti darah
dari kutu. |
وَأَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ نَجَسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ
كَدَمِ الْبَرَاغِيثِ. |
(6) Mengusap seluruh
kedua telinga, Baik bagian luar (bagian
yang terlihat) menggunakan ibu jari, dan bagian dalam menggunakan bagian
dalam ujung dua jari tengah, serta bagian bawah telinga dengan ujung jari
kelingking, dengan menggunakan air yang baru, yaitu bukan air yang membasahi
kepala sebelumnya. |
(وَ) السَّادِسَةُ (مَسْحُ جَمِيعِ الْأُذُنَيْنِ) أَيْ
بَعْدَ مَسْحِ الرَّأْسِ (ظَاهِرِهِمَا) بِإِبْهَامَيْهِ، (وَبَاطِنِهِمَا)
بِبَاطِنِ أُنْمُلَتَيْ سَبَّابَتَيْهِ، وَصِمَاخَيْهِمَا بِطَرَفِ
سَبَّابَتَيْهِ، (بِمَاءٍ جَدِيدٍ) أَيْ غَيْرِ مَاءِ بَلَلِ الرَّأْسِ أَوَّلَ
مَرَّةٍ. |
Penggunaan kata
'seluruh' di sini dalam penjelasan bertujuan untuk menekankan kesempurnaan
tata cara sunnah, meskipun secara dasarnya mengusap sebagiannya saja sudah
cukup. |
وَتَقْيِيدُ الشَّارِحِ بِلَفْظِ جَمِيعٍ لِيُفِيدَ
كَمَالَ السُّنَّةِ لَا أَصْلَهَا، لِأَنَّهُ حَاصِلٌ بِالْبَعْضِ. |
Dan cara menyapu kedua
telinga sesuai dengan tata cara yang sempurna adalah dengan memasukkan ibu
jari-ibu jari ke dalam saluran telinga dan memutar mereka di atas bagian
belakang telinga, lalu mengarahkannya ke arah bagian dalam pakaian (baju).
Setelah itu, ibu jari diusapkan ke belakang telinga dan diletakkan di atas
telinga untuk meratakan air. |
(وَالسُّنَّةُ) أَيْ الْكَامِلَةُ (فِي كَيْفِيَّةِ
مَسْحِهِمَا أَنْ يُدْخِلَ مُسَبِّحَتَيْهِ) أَيْ رَأْسَهُمَا (فِي صَمَاخَيْهِ
وَيُدِيرَهُمَا عَلَى الْمَعَاطِفِ) أَيْ لَيَّاتِ
الْأُذُنِ (وَيُمِرُّ إِبْهَامَيْهِ عَلَى ظُهُورِهِمَا ثُمَّ يُلْصِقُ
كَفَّيْهِ) أَيْ رَاحَتَيْهِ، |
Dan keduanya, yaitu
saluran telinga, harus dibasahi dengan air hingga ke bagian dalamnya, sebagai
tanda untuk menunjukkan bahwa pengusapan telah mencakup seluruh bagian.
Ucapan syarih “kemudian dia menempelkan telapak tangannya.. sampai selesai”,
bukanlah bagian dari kelengkapan mengusap, tetapi ini adalah suatu sunnah
tersendiri, dan tindakan ini disebut "istidhar" (menyentuh telinga)
dan ucapan syarih "kedua telinga" terkait dengannya. |
(وَهُمَا) أَيْ وَالْحَالُ أَنَّهُمَا (مَبْلُولَتَانِ
بِالْأَفْنَيْنِ) أَيْ بِبُطُونِهِمَا (اسْتِظْهَارًا) أَيْ طَلَباً لِظُهُورِ
الْمَسْحِ لِلْكُلِّ. وَقَوْلُ الشَّارِحِ ثُمَّ يُلْصِقُ كَفَّيْهِ إِلَى
آخِرِهِ لَيْسَ مِنْ تَتِمَّةِ مَسْحِهِمَا، بَلْ هُوَ سُنَّةٌ مُسْتَقِلَّةٌ،
وَيُسَمَّى اسْتِظْهَارًا وَقَوْلُهُ بِالْأُذُنَيْنِ مُتَعَلِّقٌ بِهِ، |
Disunnahkan untuk membasuh
kedua telinga tiga kali bersamaan dengan membasuh wajah, karena dikatakan
bahwa kedua telinga termasuk bagian dari wajah. Dan mengusap keduanya
bersamaan dengan mengusap kepala tiga kali, karena keduanya termasuk bagian
dari kepala. Kemudian tiga kali secara tersendiri, karena keduanya adalah
anggota tubuh yang terpisah menurut qoul yang kuat. Dan tiga kali dengan cara
menyentuh, karena keduanya harus jelas. Maka jumlah keseluruhannya dua belas
kali. |
وَيُسَنُّ غَسْلُهُمَا ثَلَاثًا مَعَ الْوَجْهِ لِمَا
قِيلَ: إنَّهُمَا مِنْهُ، وَمَسْحُهُمَا مَعَ الرَّأْسِ ثَلَاثًاً لِمَا قِيلَ
إنَّهُمَا مِنْهُ، وَثَلَاثًا اسْتِقْلَالًا لِكَوْنِهِمَا عُضْوَيْنِ
مُسْتَقِلَّيْنِ عَلَى الرَّاجِحِ، وَثَلَاثًا اسْتِظْهَارًا، فَجُمْلَةُ مَا
فِيهِمَا اثْنَتَا عَشْرَةَ مَرَّةً. |
(7) Menggosok sela-sela
bagian yang wajib dibasuh hanya bagian yang terlihat seperti dari yang
tersembunyi, seperti jenggot yang tebal dengan bentuk segitiga, yaitu yang
berasal dari laki-laki. |
(وَ)
السَّابِعَةُ (تَخْلِيلُ) مَا يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِهِ فَقَطْ مِنْ نَحْوِ
الْعَارِضِ وَ (اللِّحْيَةِ الْكَثَّةِ بِمُثَلَّثَةٍ) أَيْ الْكَائِنَةِ (مِنْ
الرَّجُلِ. |
Adapun yang tidak cukup
dengan membasuh bagian yang terlihat saja, seperti jenggot tipis laki-laki,
jenggot wanita, dan khuntsa (orang yang tidak jelas jenis kelaminnya), yaitu
yang mutlak jika tidak melebihi batas wajah. Seperti halnya jenggot yang
tersembunyi, maka wajib menggosok sela-selanya jika air tidak sampai ke
bagian dalamnya kecuali dengan cara itu, jika tidak demikian maka hal itu
disunahkan. |
أَمَّا) مَا لَا يُكْتَفَي بِغَسْلِ ظَاهِرِهِ فَقَطْ
وَهُوَ (لِحْيَةُ الرَّجُلِ الْخَفِيفَةُ وَلِحْيَةُ الْمَرْأَةِ وَالْخُنْثَى)
أَيْ مُطْلَقًا إِنْ لَمْ تَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الْوَجْهِ، وَمِثْلُ اللِّحْيَةِ
الْعَارِضُ (فَيَجِبُ تَخْلِيلُهُمَا) إِنْ لَمْ يَصِلْ الْمَاءُ إِلَى
بَاطِنِهِمَا إِلَّا بِالتَّخْلِيلِ، وَإِلَّا فَهُوَ مَنْدُوبٌ. |
Tata cara menggosok
sela-sela yang utama adalah seseorang dapat memasukkan jari-jarinya, yaitu
jari tangan kanan, dari bagian bawah jenggot. Penyisiran ini dapat terjadi
dengan cara apa pun. Penyisiran jari tangan dan kaki dapat dilakukan oleh
pria, wanita, atau khuntsa jika air mencapai jari-jarinya tanpa menggosok
sela-selanya. |
(وَكَيْفِيَّتُهُ) الْفَاضِلَةُ (أَنْ يَدْخُلَ
الرَّجُلُ) وَغَيْرُهُ (أَصَابِعَهُ) أَيْ الْيُمْنَى (مِنْ أَسْفَلِ
اللِّحْيَةِ). وَيَحْصُلُ التَّخْلِيلُ بِأَيِّ كَيْفِيَّةٍ كَانَتْ.
(وَتَخْلِيلُ أَصَابِعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ) مِنْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ
أَوْ خُنْثَى (إِنْ وَصَلَ الْمَاءُ إِلَيْهَا) أَيْ الْأَصَابِعِ (مِنْ غَيْرِ
تَخْلِيلٍ. |
Jika air tidak bisa
sampai kecuali dengan menggosok sela-selanya, seperti jari-jari yang
terlipat, maka menyisir menjadi wajib agar air mencapai bagian yang
tertinggal. Jika tidak memungkinkan menyisirnya, yaitu tidak bisa bersentuhan
dengan air, maka menyisirnya diharamkan, dan dalam hal ini, tayammum dapat
digunakan jika ada hambatan yang sangat sulit. |
فَإِنْ لَمْ يَصِلْ إِلَّا بِهِ كَالْأَصَابِعِ
الْمُلْتَفَّةِ وَجَبَ تَخْلِيلُهَا) لِيَصِلَ الْمَاءُ إِلَى مَا اسْتَثَرَّ
مِنْهَا. (وَإِنْ لَمْ يَتَأَتَّ) أَيْ لَمْ يُمْكِنْ (تَخْلِيلُهَا
لِالْتِحَامِهَا حَرُمَ فَتْقُهَا لِلتَّخْلِيلِ)، أَيْ إِنْ لَزِمَ عَلَيْهِ
مَحْذُورٌ تَيَمَّمَ. |
Cara menggosok sela-sela
jari kedua tangan, maksudnya yang utama, adalah dengan menyelipkan (tasybik),
yaitu memasukkan satu jari ke dalam jari yang lain. Dan cara menyisir kedua
kaki, yaitu cara menggosok sela-sela jari kaki secara sempurna, digambarkan
dengan dimulai dengan menggosok sela-sela jari kelingking tangan kiri dari
bawah kaki, dimulai dengan kelingking kaki kanan, dan diakhiri dengan
kelingking kaki kiri. Dengan demikian, menyisir dilakukan dari kelingking
satu ke kelingking yang lain. |
(وَكَيْفِيَّةُ تَخْلِيلِ الْيَدَيْنِ) أَيْ الْفَاضِلَةِ
(بِالتَّشْبِيكِ)، أَيْ إِدْخَالِ الْأَصَابِعِ بَعْضِهَا فِي بَعْضٍ.
(وَالرِّجْلَيْنِ) أَيْ وَكَيْفِيَّةُ تَخْلِيلِهِمَا الْكَامِلَةُ مُصَوَّرَةٌ
(بِأَنْ يَبْدَأَ) أَيْ يَأْتِيَ بِالتَّخْلِيلِ (بِخِنْصَرِ يَدِهِ الْيُسْرَى
مِنْ أَسْفَلِ الرِّجْلِ، مُبْتَدِئًا بِخِنْصَرِ الرِّجْلِ الْيُمْنَى،
خَاتَمًا بِخِنْصَرِ) رِجْلِهِ (الْيُسْرَى). فَيَكُونُ التَّخْلِيلُ بِخِنْصَرٍ
مِنْ خِنْصَرٍ إِلَى خِنْصَرٍ. |
(8) Mendahulukan
(taqdim) tangan kanan dari kedua tangan dan kaki kanan dari kedua kaki, di
atas tangan kiri dan kaki kiri masing-masing, bahkan jika hanya untuk
mengusap muzah. Jika urutan ini terbalik
atau mensucikan keduanya, maka itu makruh, meskipun membasuhnya bersama-sama
mudah. |
(وَ) الثَّامِنَةُ (تَقْدِيمُ الْيُمْنَى مِنْ يَدَيْهِ
وَرِجْلَيْهِ عَلَى الْيُسْرَى مِنْهُمَا) وَلَوْ لِمَاسِحِ الْخُفِّ. وَلَوْ عَكَسَ التَّرْتِيبَ أَوْ طَهَّرَهُمَا كُرِهَ،
وَإِنْ سَهُلَ غَسْلُهُمَا مَعًا. |
Adapun dua anggota tubuh
yang mudah untuk dibasuh bersama-sama, seperti kedua tangan dan kedua
telinga, maka tangan kanan tidak didahulukan dari keduanya, tetapi keduanya
dibersihkan dalam satu kali cucian. Lafadz دفعة dengan
fathah huruf dal, maksudnya satu kali cucian, kecuali dalam keadaan tertentu
seperti cacat atau pemotongan yang membuat seseorang melakukan wudhu sendiri.
|
(أَمَّا الْعُضْوَانِ اللَّذَانِ يَسْهُلُ غَسْلُهُمَا
مَعًا كَالْخَدَّيْنِ) أَيْ وَالْكَفَّيْنِ وَالْأُذُنَيْنِ (فَلَا يُقَدَّمُ
الْيَمِينُ مِنْهُمَا) أَيْ الْعُضْوَيْنِ (بَلْ يُطَهِّرَانِ دَفْعَةً)،
بِفَتْحِ الدَّالِ، أَيْ مَرَّةً (وَاحِدَةً) إِلَّا مِنْ نَحْوِ أَشَلَّ
وَأَقْطَعَ يَتَوَضَّأُ بِنَفْسِهِ، |
Jika wudhu dengan
menyelam maka tangan kanan didahulukan, meskipun hanya dari sebagian kepala
atau pipi, dan jika tidak demikian maka makruh. |
وَلَمْ يَكُنْ الْوُضُوءُ بِالْغَمْسِ فَيُقَدَّمُ
الْيُمْنَى، وَلَوْ مِنْ شِقَّيْ رَأْسِهِ أَوْ مِنْ خَدَّيْهِ، وَإِلَّا
كُرِهَ. |
(9) Bersuci tiga kali
tiga kali Mushonif menyebutkan
kesunahan bersuci tiga kali bagi anggota tubuh yang dibasuh dan yang diusap,
seperti kepala, perban, dan semacam serban, kecuali pada muzah, dalam
perkataannya: "Dan yang ke 9 Bersuci tiga kali tiga kali", kedua
lafadz ثلاثا dibaca nasob menjadi hal. |
(وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ سُنِّيَّةَ تَثْلِيثِ الْعُضْوِ
الْمَغْسُولِ وَالْمَمْسُوحِ كَالرَّأْسِ وَالْجَبِيرَةِ وَنَحْوِ الْعِمَامَةِ
دُونَ الْخُفِّ (فِي قَوْلِهِ: وَ) التَّاسِعَةُ (الطَّهَارَةُ ثَلَاثًا
ثَلَاثًا)، مَنْصُوبَانِ عَلَى الْحَالِ، |
Maksudnya meskipun
seseorang sedang mengalami beser, karena pengulangan tiga kali tidak
menghalangi muwalah (terus-menerus) yang menjadi syarat bersuci bagi daimul
hadas. |
أَيْ وَلَوْ لِذِي سَلَسٍ، لِأَنَّ إِتْيَانَهُ
بِالتَّثْلِيثِ لَا يُنَافِي الْمُوَالَاةَ. |
Dan mushonif membatasi
ketentuan kesunahan mengulang 3 kali dengan thaharah karena kesepakatan
atasnya. Sedang Ibn Qasim al-'Abbadi lebih condong pada tidak disunahkannya
pengulangan selain pada thaharah. Dan dalam beberapa Salinan naskah,
menggunakan diksi (تكرار) “pengulangan”, maksudnya adalah untuk yang dibasuh dan yang
diusap. |
وَإِنَّمَا قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ بِالطَّهَارَةِ
لِلِاتِّفَاقِ عَلَيْهَا، فَقَدْ مَالَ ابْنُ قَاسِمٍ الْعَبَّادِيُّ إِلَى
عَدَمِ اسْتِحْبَابِ تَكْرَارِ غَيْرِ الطَّهَارَةِ. (وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ
وَالتَّكْرَارُ أَيْ لِلْمَغْسُولِ وَالْمَمْسُوحِ). |
Penyucian tiga kali
dapat terjadi dalam air yang mengalir dengan melewati tiga aliran, dan dalam
air yang diam dengan diaduk sebanyak tiga kali, bahkan jika dalam jumlah air
yang sedikit, asalkan tidak bermaksud bersuci, karena air tersebut hanya
dianggap isti’mal jika benar-benar digunakan, seperti tubuh yang junub yang
tenggelam dalam air sedikit. |
وَتَحْصُلُ التَّثْلِيثُ فِي الْمَاءِ الْجَارِي
بِمُرُورِ ثَلَاثِ جَرَيَاتٍ، وَفِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ بِالتَّحْرِيكِ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ وَلَوْ فِي مَاءٍ قَلِيلٍ وَإِنْ لَمْ يَنْوِ الِاغْتِرَافَ، لِأَنَّهُ
لَا يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا إِلَّا بِالْفِعْلِ كَبَدَنِ جُنُبٍ انْغَمَسَ فِي
مَاءٍ قَلِيلٍ |
(10) Terus-menerus, yang
diartikan sebagai berurutan, yaitu antara beberapa hal. Ini berarti tidak boleh
ada pemisahan yang besar antara dua anggota tubuh, melainkan anggota tubuh
yang satu menjadi bersih setelah anggota tubuh yang lain, sehingga air yang
digunakan untuk membasuh tidak sampai kering sebelum membasuh anggota tubuh
yang ingin dibasuh (dengan udara yang sedang), yaitu dengan suhu sedangnya
angin, sehingga tidak terlalu kuat atau terlalu lemah. |
(وَ) الْعَاشِرَةُ (الْمُوَالَاةُ. وَيُعَبَّرُ عَنْهَا بِالتَّتَابُعِ)
أَيْ بَيْنَ الْأَشْيَاءِ. (وَهِيَ أَنْ لَا يَحْصُلَ بَيْنَ الْعُضْوَيْنِ
تَفْرِيقٌ كَثِيرٌ بَلْ يَطْهُرُ الْعُضْوُ بَعْدَ الْعُضْوِ بِحَيْثُ لَا
يَجِفُّ الْمَغْسُولُ قَبْلَهُ) أَيْ قَبْلَ الْعُضْوِ الَّذِي يُرِيدُ غَسْلَهُ
(مَعَ اعْتِدَالِ الْهَوَاءِ) أَيْ تَوَسُّطِ الرِّيحِ، بِحَيْثُ لَا يَكُونُ
شَدِيدًا وَلَا ضَعِيفًا. |
Dan sedangnya watak,
yaitu sifat-sifat alami yang ada dalam diri seseorang. Ini terdiri dari empat
elemen: hitam, kuning, lendir, dan darah. Seseorang memiliki kombinasi dari
keempat elemen ini, tetapi salah satu di antaranya dominan. |
(وَالْمِزَاجِ) أَيْ مِزَاجُ الشَّخْصِ نَفْسِهِ، وَهُوَ
الطَّبَائِعُ الْأَرْبَعَةُ: السَّوْدَاءُ وَالصَّفْرَاءُ وَالْبَلْغَمُ
وَالدَّمُ، فَهُوَ مُشْتَمِلٌ عَلَيْهَا، لَكِنْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ وَاحِدَةٌ
مِنْهَا. |
Dan sedangnya waktu atau
musim, di mana waktu tersebut bukan waktu yang sangat panas atau sangat
dingin. Anggota yang diusap dianggap saat dibasuh, karena sesuatu yang diusap
akan cepat mengering, maka tidak dianggap kering, tetapi dianggap sudah
dibasuh. |
(وَالزَّمَانِ) بِحَيْثُ لَا يَكُونُ الزَّمَنُ زَمَنَ
شِدَّةِ الْحَرَارَةِ، وَلَا زَمَنَ شِدَّةِ الْبُرُودَةِ. وَيُقَدَّرُ
الْمَسْمُوحُ مَغْسُولًا لِأَنَّ الْمَمْسُوحَ يُسْرِعُ إِلَيْهِ الْجَفَافُ،
فَلَا يُعْتَبَرُ بَلْ يُقَدَّرُ مَغْسُولًا. |
Dan ketika dilakukan
tiga kali, maka perhitungan itu berlaku dalam pembasuhan anggota tubuh di
akhir dari setiap pembasuhan. Maka tidak dianggap perhitungan pada basuhan
pertama bersama dengan anggota tubuh yang akan dibasuh setelahnya.
Perhitungan juga berlaku antara basuhan pertama dan kedua, serta antara
basuhan kedua dan ketiga, begitu juga antara bagian-bagian dari setiap
anggota tubuh. |
(وَإِذَا ثُلَّثَ فَالِاعْتِبَارُ) فِي مُوَالَاةِ
الْأَعْضَاءِ (بِآخِرِ غَسْلَةٍ). فَلَا تُعْتَبَرُ أَوَّلُ الْغَسَلَاتِ مَعَ
الْعُضْوِ الَّذِي يُغْسَلُ بَعْدَهَا. وَتُعْتَبَرُ أَيْضًا الْمُوَالَاةُ
بَيْنَ الْغَسْلَةِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ، وَبَيْنَ الثَّانِيَةِ
وَالثَّالِثَةِ، وَكَذَا بَيْنَ أَجْزَاءِ كُلِّ عُضْوٍ وَاحِدٍ. |
Dan muwalaah
(penyambungan antara dua basuhan) hanya dianjurkan ketika seseorang dalam
keadaan tidak berwudhu karena suatu keharusan, sebagai bentuk menghindari
perbedaan dengan pendapat Imam Malik. Bagi orang yang mengalami keharusan
(seperti keadaan sulit atau terbatasnya waktu), muwalaah menjadi wajib
sebagai syarat sahnya wudhu dalam kaitannya dengan kejadian (seperti buang
air kecil atau buang air besar). |
وَإِنَّمَا تُنْدَبُ الْمُوَالَاةُ فِي غَيْرِ وُضُوءِ
صَاحِبِ الضَّرُورَةِ) فِرَارًا مِنْ خِلَافِ الْإِمَامِ مَالِكٍ. (أَمَّا هُوَ)
أَيْ صَاحِبُ الضَّرُورَةِ (فَالْمُوَالَاةُ وَاجِبَةٌ) أَيْ شَرْطٌ لِصِحَّةِ
الْوُضُوءِ (فِي حَقِّهِ) تَقْلِيلًا لِلْحَدَثِ. |
Muwalaah juga menjadi
wajib bagi orang tanpa udzur ketika waktu ibadah sudah mepet, tetapi tidak
bersifat mutlak seperti dalam syarat wudhu, sehingga jika tidak dilakukan muwalaah
pada saat itu, wudhu tetap sah meskipun ada dosa. |
وَتَجِبُ الْمُوَالَاةُ عَلَى السَّلِيمِ أَيْضًا إِذَا
ضَاقَ الْوَقْتُ، وَلَكِنْ لَيْسَتْ عَلَى سَبِيلِ الشَّرْطِيَّةِ، فَلَوْ لَمْ
يُوَالِ حِينَئِذٍ صَحَّ الْوُضُوءُ مَعَ الْإِثْمِ. |
Dan masih terdapat
sunnah-sunnah lain yang disebutkan dalam kitab yang lebih panjang
pembahasannya. Di antaranya adalah memanjangkan basuhan wajah dan basuhan
tangan serta kaki, dan meninggalkan meminta bantuan mengucurkan air tanpa
alasan. |
وَبَقِيَ لِلْوُضُوءِ سُنَنٌ أُخْرَى مَذْكُورَةٌ فِي
الْمُطَوَّلَاتِ. مِنْهَا إِطَالَةُ الْغُرَّةِ وَالتَّحْجِيلِ، وَتَرْكُ
الِاسْتِعَانَةِ بِالصَّبِّ عَلَيْهِ بِغَيْرِ عُذْرٍ. |
Yang dimaksud dengan
meninggalkan meminta bantuan adalah kemandirian dalam melakukan tindakan,
bukan hanya meninggalkan permohonan bantuan. Sehingga, bahkan jika orang lain
membantunya ketika dia diam, hukumnya seperti meminta bantuan mengucurkan
air, dan ini hukumnya khilaful aula. |
وَالْمُرَادُ بِتَرْكِ الِاسْتِعَانَةِ الِاسْتِقْلَالُ
بِالْأَفْعَالِ لَا تَرْكُ طَلَبِ الْإِعَانَةِ فَقَطْ، حَتَّى لَوْ أَعَانَهُ
غَيْرُهُ وَهُوَ سَاكِتٌ كَانَ الْحُكْمُ كَالِاسْتِعَانَةِ فِي صَبِّ الْمَاءِ،
وَهُوَ خِلَافُ الْأَوْلَى. |
Dan di antara
sunnah-sunnah wudhu adalah meletakkan wadah air oleh orang yang hendak
berwudhu di sebelah kanannya jika dia mengambil air secara menciduk
(menggunakan tangan untuk mengambil air dari wadah), dan di sebelah kirinya
jika dia menuangkan air pada tangannya seperti menggunakan gayung. |
وَمِنْهَا أَنْ يَضَعَ الْمُتَوَضِّىءُ إِنَاءَ الْمَاءِ
عَنْ يَمِينِهِ إِنْ كَانَ يَغْتَرِفُ مِنْهُ، وَعَنْ يَسَارِهِ إِنْ كَانَ
يَصُبُّ مِنْهُ عَلَى يَدَيْهِ كَالْإِبْرِيقِ. |
Dan di antaranya adalah
menyertakan niat bersamaan dengan awal sunnah-sunnah yang telah disebutkan
sebelum membasuh wajah, sehingga dia mendapatkan pahala dari sunnah-sunnah
tersebut. |
وَمِنْهَا تَقْدِيمُ النِّيَّةِ مَعَ أَوَّلِ السُّنَنِ
الْمُتَقَدِّمَةِ عَلَى غَسْلِ الْوَجْهِ لِيَحْصُلَ لَهُ ثَوَابُهَا، |
Di antara sunnah-sunnah tersebut adalah mengucapkan
niat agar lidah dapat membantu hati, dan mengucapkannya dengan cara yang
memungkinkan dia mendengarnya sendiri saja. Dan di antaranya adalah menjaga
niat sehingga dia mendengar dzikir dengan hatinya sampai akhir dari seluruh
rangkaian wudhu. |
وَمِنْهَا التَّلَفُّظُ بِالْمَنْوِيِّ لِيُعَاوِنَ
اللِّسَانَ الْقَلْبَ، وَيُسِرُّ بِهَا بِحَيْثُ
يُسْمِعُ نَفْسَهُ فَقَطْ. وَمِنْهَا اسْتِصْحَابُ النِّيَّةِ يُسْمَعُ
ذِكْرًا بِقَلْبِهِ إِلَى آخِرِ الْوُضُوءِ. |
Dan di antara sunahnya wudhu lainnya adalah memulai
membasuh wajah dari bagian atas wajah. Dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah
meninggalkan berbicara tanpa keperluan. Dan di antaranya adalah menggerakkan
cincinnya, jika air tidak mencapai bagian di bawahnya kecuali dengan gerakan
cincin, maka hal itu menjadi wajib. |
وَمِنْهَا الْبُدَاءَةُ بِأَعْلَى الْوَجْهِ. وَمِنْهَا
تَرْكُ الْكَلَامِ بِلَا حَاجَةٍ. وَمِنْهَا تَحْرِيكُ خَاتَمِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَصِلْ الْمَاءُ لِمَا تَحْتَهُ إلَّا بِهِ وَجَبَ. |
Di antara kesunahan wudhu juga adalah menjaga cipratan
air agar tidak terciprat ke mana-mana. Dan di antara sunahnya adalah
menggosok anggota tubuh dengan memperhatikan khususnya pada tumit, terutama
saat musim dingin. Dan di antaranya lagi adalah untuk menyeka area yang
membutuhkan, termasuk tempat-tempat yang mungkin terlupakan. |
وَمِنْهَا تَوَقِّي الرَّشَاشِ. وَمِنْهَا دَلْكُ
الْأَعْضَاءِ، وَيُبَالِغُ فِي الْعَقِبِ خُصُوصًا فِي الشِّتَاءِ. وَمِنْهَا
أَنْ يَتَعَهَّدَ الْمُوقَ وَاللِّحَاظَ وَكُلَّ مَا يُخَافُ إغْفَالُهُ. |
Dan di antara kesunahan pula adalah memulai dengan membasuh
jari-jari tangan dan kaki. Dan di antaranya adalah doa yang masyhur setelah
selesai wudhu. Dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah tidak menggosok
(mengeringkan) tanpa alasan. Dan di antaranya adalah meninggalkan
mengibaskan, karena itu sama dengan menghilangkan ibadah. |
وَمِنْهَا أَنْ يَبْدَأَ بِأَصَابِعِ يَدَيْهِ
وَرِجْلَيْهِ. وَمِنْهَا الدُّعَاءُ الْمَشْهُورُ عَقِبَهُ. وَمِنْهَا تَرْكُ
التَّنْشِيفِ بِلَا عُذْرٍ. وَمِنْهَا تَرْكُ النَّفْضِ لِأَنَّهُ كَالتَّبَرِّي
مِنْ الْعِبَادَةِ. |
Sedangkan yang termasuk ke dalam makruhat (tidak
disukai) dalam wudhu adalah pemborosan air, mendahulukan tangan kiri sebelum
tangan kanan, menambahkan lebih dari tiga kali (dalam pembasuhan setiap
anggota tubuh) secara pasti, dan kurang dari tiga kali, bahkan jika
ragu-ragu. Juga termasuk dalam makruhat adalah meminta bantuan kepada orang
yang tidak memerlukan bantuan untuk menyucikan anggota tubuhnya tanpa alasan.
Dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan menghirup air hidung untuk orang yang
sedang berpuasa. |
وَأَمَّا مَكْرُوهَاتُ الْوُضُوءِ فَالْإِسْرَافُ فِي
الْمَاءِ، وَتَقْدِيمُ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى، وَالزِّيَادَةُ عَلَى
الثَّلَاثِ يَقِينًا، وَالنَّقْصُ عَنْهَا وَلَوْ شَكًّا، وَالِاسْتِعَانَةُ
بِمَنْ يُطَهِّرُ أَعْضَاءَهُ بِلَا عُذْرٍ، وَالْمُبَالَغَةُ فِي الْمَضْمَضَةِ
وَالِاسْتِنْشَاقِ لِلصَّائِمِ. |
Comments