Wit Ringin Sing Ngundang
Wit Ringin Sing Ngundang
Rintik hujan mulai turun ketika dr. Arman menerima telepon itu. Suara perempuan paruh baya di ujung sana terdengar panik.
"Dokter, tolong... ada santri yang sakit parah di pesantren kami. Demamnya tinggi sekali, sudah tiga hari nggak mau makan."
Arman melirik jam dinding. Pukul sepuluh malam. Dia baru saja selesai makan malam bersama istri setelah seharian melayani pasien di klinik.
"Pesantren mana bu? Kok nggak dibawa ke puskesmas saja?"
"Pesantren Al-Barokah, Dokter. Di Dukuh Kedungsari. Jalannya rusak, susah bawa mobil. Makanya kami mohon dokter yang datang ke sini."
Arman terdiam sejenak. Kedungsari? Dia belum pernah mendengar nama desa itu, padahal sudah puluhan tahun praktik di daerah ini.
"Baik bu, saya akan ke sana. Berikan alamat jelasnya."
Sepuluh menit kemudian, Arman sudah mengendarai sepeda motornya menembus gerimis malam. Tas medis tergantung di punggungnya, senter kecil menyinari jalan yang semakin sepi. GPS di ponselnya berkedip bingung—tidak ada sinyal.
Jalan tanah berlumpur memaksa Arman melaju pelan. Kiri kanan sawah yang gelap gulita, sesekali terdengar suara kodok dan jangkrik yang nyaring. Aneh, pikirnya, koq sepi banget ya daerah ini?
Setelah hampir satu jam berkendara, Arman melihat cahaya remang-remang di kejauhan. Sebuah gapura sederhana bertuliskan "Pondok Pesantren Al-Barokah" muncul di ujung jalan setapak.
"Alhamdulillah, ketemu juga," gumamnya lega.
Arman memarkirkan motor di depan gapura dan berjalan masuk. Suasana pesantren terasa tenang, hanya terdengar suara air hujan yang menetes dari genting. Beberapa lampu minyak menerangi lorong-lorong antar bangunan.
"Assalamu'alaikum!" seru Arman.
"Wa'alaikumsalam, Dokter! Syukur alhamdulillah sampun rawuh." Seorang perempuan berusia sekitar 50-an menghampiri dengan tergesa. Wajahnya tampak lega. "Saya Bu Nyai Khodijah yang tadi telepon."
"Mana santrinya, Bu Nyai?"
"Sini Dokter, di kamar sebelah. Fatimah namanya, umur 17 tahun. Dari kemarin demam tinggi terus, kadang mengigau."
Mereka berjalan melewati teras panjang menuju sebuah kamar kecil. Di dalam, seorang gadis pucat terbaring di atas kasur sederhana. Wajahnya memerah karena demam, napasnya tersengal-sengal.
Arman langsung memeriksa. Termometer menunjukkan 39,5 derajat Celsius. Dia mendengarkan denyut jantung, memeriksa tenggorokan, meraba perut.
"Sepertinya typhus, Bu Nyai. Perlu antibiotik dan penurun panas."
"Monggo Dokter, kulo pasrahaken."
Arman mengeluarkan obat-obatan dari tasnya. Dengan sabar dia menjelaskan cara minum obat, memberikan infus, dan mengompres si gadis dengan air hangat.
"Insya Allah besok sudah lebih baik. Kalau masih demam, hubungi saya lagi."
Bu Nyai Khodijah mengangguk-angguk berterima kasih. Beberapa santri senior yang membantu juga ikut bersalaman dan mengucap syukur.
"Matur nuwun sanget, Dokter. Mugi-mugi Gusti Allah mbales kebaikan panjenengan."
"Sama-sama, Bu Nyai. Sudah kewajiban saya."
Setelah memberikan instruksi terakhir, Arman berpamitan. Bu Nyai dan para santri mengantar sampai gapura sambil terus mengucapkan terima kasih.
"Hati-hati di jalan, Dokter. Ojo kesusu, alon-alon wae."
Arman tersenyum dan melambaikan tangan. Dia berbalik untuk mengambil motornya, tapi...
Sepeda motornya tidak ada.
Yang ada hanya semak belukar lebat. Di depannya berdiri sebatang pohon beringin raksasa dengan akar gantung yang menjuntai menakutkan. Cabang-cabangnya menjulang tinggi, menutup langit malam. Angin berdesir kencang, membuat daun-daun bergemericik seperti bisikan.
Arman mundur selangkah, jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke belakang—pesantren itu lenyap. Yang tersisa hanya padang rumput liar dan semak berduri. Tidak ada gapura, tidak ada bangunan, tidak ada lampu minyak.
"Bu Nyai?" panggilnya dengan suara bergetar. "Bu Nyai Khodijah?"
Hanya angin yang menjawab.
Arman mengedarkan pandangan dengan panik. Senternya menyorot ke segala arah—tidak ada jejak kehidupan. Hanya dia, pohon beringin besar itu, dan kesunyian yang mencekam.
Tiba-tiba dia mendengar suara tawa kecil, seperti suara anak perempuan. Arman menoleh ke atas—di antara dahan beringin, dia melihat sosok putih yang bergoyang-goyang.
"Dokter... terima kasih ya..." suara itu berbisik lirih.
Bulu kuduk Arman meremang. Tangannya gemetar ketika dia merogoh saku—ponselnya mati total. Tidak ada sinyal, tidak ada cahaya.
Suara langkah kaki mulai terdengar dari berbagai arah. Tapi ketika Arman menyorotkan senter, tidak ada siapa-siapa. Hanya bayang-bayang yang bergerak-gerak di antara semak.
"Dokter jangan pergi dulu... masih ada yang sakit..."
"Dokter... tolong kami..."
Bisikan-bisikan mulai berdatangan dari segala penjuru. Arman tidak tahan lagi. Dia berlari sekencang-kencangnya, mendobrak semak belukar, tidak peduli duri yang merobek bajunya.
Tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu yang keras. Arman jatuh tersungkur—dan mendapati sepeda motornya tergeletak di tengah ilalang, seolah sudah bertahun-tahun terbengkalai di sana.
Tanpa pikir panjang, dia bangkit dan menstarter motor. Mesin langsung hidup. Arman langsung memacu kendaraannya sekencang mungkin, tidak berani menoleh ke belakang.
Sepanjang perjalanan pulang, tubuhnya menggigil hebat. Bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang merambat sampai ke tulang. Ketika sampai di rumah, istrinya terkejut melihat penampilannya—baju compang-camping, wajah pucat pasi.
"Mas, kenapa? Kok kayak habis kejar-kejaran sama setan?"
Arman tidak menjawab. Dia langsung masuk kamar mandi dan membasuh muka berkali-kali dengan air dingin. Di cermin, wajahnya sendiri tampak asing—mata melotot, bibir pucat.
Keesokan harinya, Arman mencoba mencari tahu tentang Dukuh Kedungsari dan Pesantren Al-Barokah. Dia bertanya ke berbagai orang, browsing internet, bahkan menghubungi dinas pendidikan.
Tidak ada. Tidak pernah ada desa bernama Kedungsari di daerah itu.
Seminggu kemudian, Arman memberanikan diri kembali ke lokasi itu—kali ini siang hari, bersama beberapa teman. Yang mereka temukan hanya ladang kosong dan sebuah pohon beringin tua yang sudah mati. Penduduk desa terdekat bercerita bahwa dulu memang pernah ada pesantren kecil di sana, tapi sudah lama tutup.
"Tutupnya kapan?" tanya Arman.
"Wah, sudah lama sekali, Dokter. Mungkin 20 tahun lalu. Ada wabah penyakit, banyak santri yang meninggal. Terus pesantrennya ditinggal begitu saja."
Arman terdiam. Dadanya sesak.
"Memangnya kenapa ada yang sakit waktu itu?"
"Kata orang-orang sih typhus, Dokter. Demam tinggi, banyak yang nggak tertolong karena susah akses ke dokter."
Malam itu, Arman tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan wajah Bu Nyai Khodijah yang penuh harap, para santri yang berterima kasih dengan tulus, dan terutama gadis bernama Fatimah yang terbaring lemah karena demam.
Apakah mereka masih menunggu pertolongan di sana? Apakah arwah-arwah itu masih berharap ada dokter yang datang mengobati?
Arman menggigil lagi. Dia menutup mata rapat-rapat, berharap bisa melupakan malam itu. Tapi suara bisikan lirih itu masih bergema di telinganya:
"Dokter... terima kasih ya..."
Suara yang entah berterima kasih—atau masih meminta tolong.
Catatan: Dalam bahasa Jawa, "wit ringin" berarti pohon beringin, "sampun rawuh" berarti sudah datang, "ojo kesusu, alon-alon wae" berarti jangan terburu-buru, pelan-pelan saja.
Comments