Bambu, Peluru, dan Pengkhianatan

 


Bambu, Peluru, dan Pengkhianatan

A. Farel Azzamy

Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

 

Pagi hari di lereng Gunung Gede selalu memberi kedamaian. Kabut tipis melayang di antara pohon-pohon damar, dan angin membawa aroma tanah basah dan kayu bakar. Di jalan kecil yang melintasi desa Pasirwangi, seorang pemuda berambut hitam lurus, mengenakan baju lengan panjang dan celana kain abu-abu, menuruni jalan dengan langkah ringan.

Namanya Shong Hujou, 24 tahun, keturunan Tionghoa-Indo, lahir dan besar di Batavia. Ia bukan tentara, bukan pula pegawai pemerintah. Ia hanya seorang pengamat, penulis, pencatat dunia. Hari itu, ia berniat menjelajahi desa-desa di kaki gunung, mencari cerita rakyat dan tradisi yang masih hidup.

“Indah sekali di sini,” gumamnya sambil mengusap peluh dari kening. “Seperti tempat yang lupa pada dunia.”

Namun, saat ia baru menapakkan kaki di jembatan bambu menuju desa, seorang anak kecil berlari dengan napas tersengal-sengal.

Kakak! Tentara datang! Dari barat! Banyak!

Shong terdiam. “Tentara siapa?”

“Belanda!” jawab si anak. “Orang-orang desa semua lari ke hutan!”

Tiba-tiba suara tembakan terdengar dari kejauhan. Suara sepatu berat menghantam tanah, disusul sorak-sorai dalam bahasa asing yang dingin.

Shong mematung. Lalu ia berlari.

…………..

Di pinggir hutan bambu, puluhan pemuda berkumpul. Tak ada senapan, tak ada meriam. Hanya bambu runcing di tangan, ikat kepala merah putih, dan mata yang menyala-nyala.

“Siapa yang memimpin?” tanya Shong sambil terengah-engah.

Seorang pemuda berbadan tegap menoleh. “Aku Halim. Kami bukan tentara. Kami rakyat. Tapi kami tidak akan lari.

“Dengan bambu?” tanya Shong, tak percaya.

“Ya. Dengan bambu. Biar dunia tahu: kita tidak menyerah meski hanya dengan kayu.”

Seorang pemuda lain, Salim, menepuk bahu Shong. “Kau ikut dengan kami?”

Shong menatap langit. Suara tembakan semakin dekat. Desa pasti akan jatuh. Ia mengangguk pelan.

“Kalau ini jalannya sejarah, aku ingin melihatnya dari dekat.”

…………..

Pasukan Belanda menyerbu seperti badai. Mereka menembak tanpa peringatan, membakar rumah, memukul orang-orang tua. Beberapa dari mereka tertawa saat menendang kandang ayam dan mencuri barang dari rumah penduduk.

Vooruit! Schiet!” teriak komandan mereka. “Geen medelijden! (Tidak ada belas kasihan!)”

Barisan pemuda Indonesia, hanya berjumlah dua puluh orang, menyerbu dari balik semak. Bambu runcing menebas ke udara. Suara takbir menggetarkan ladang.

Allahu Akbar! Merdeka atau mati!”

Halim melompat lebih dulu. Ia menancapkan bambu runcing ke dada seorang serdadu yang terlalu percaya diri. Darah memercik ke tanah.

Namun satu per satu, teman-temannya tumbang. Salim terkapar, peluru menembus pahanya. Shong sendiri bersembunyi di balik pohon, mencatat dalam ingatannya setiap detik dari kegilaan itu.

Tiba-tiba, langit bergemuruh.

…………..

Dua pesawat melintas rendah di atas ladang. Lambang matahari merah menyala di sayapnya. Dari arah timur, datang puluhan prajurit berbaju hijau zaitun, helm baja, dan bayonet terhunus. Mereka tidak bicara banyak. Mereka langsung menyerang pasukan Belanda dari samping.

Banzai!” teriak seorang tentara Jepang sambil menembak beruntun.

Belanda kocar-kacir. Komandan mereka tertembak di bahu, dan sisanya menyerah dengan tangan di atas kepala. Bendera merah-putih-biru mereka diturunkan. Pasukan Jepang berdiri tegak, membawa kemenangan seperti dewa-dewa penyelamat.

Kami datang untuk membebaskan Asia dari penjajah kulit putih,” kata komandan Jepang kepada Halim dengan bahasa Melayu patah-patah. “Kalian adalah saudara kami. Kami bantu kalian.

Halim hanya menunduk, tak tahu harus percaya atau tidak.

…………..

Dua minggu setelah kemenangan itu, desa kembali hening. Namun bukan damai, melainkan kecurigaan. Tentara Jepang mulai membuat aturan: dilarang keluar malam, semua beras harus disetorkan, dan para pemuda mulai diangkut—katanya untuk “kerja bakti”, tapi mereka tidak pernah kembali.

“Romusha,” bisik seorang warga. “Kerja paksa.”

Shong duduk di bawah pohon bersama Halim.

“Katamu dulu mereka datang untuk membebaskan?” tanya Shong pelan.

Halim menggenggam bambu runcing yang kini dipakai untuk mencangkul tanah.

“Mereka hanya mengganti bendera. Tapi mata mereka tetap haus. Bukan merdeka yang mereka beri. Tapi jeruji yang berbeda bentuk.”

Shong mengangguk. Ia menulis di jurnalnya malam itu:

“Kami pikir kami menang. Ternyata, kami hanya dipindahkan dari satu kandang ke kandang lain. Tapi jiwa merdeka tidak bisa dirantai. Ia akan selalu menemukan jalannya pulang.”

…………..

Tahun-tahun setelah itu membawa lebih banyak penderitaan. Tapi juga lebih banyak kesadaran. Bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari luar, tapi hasil dari darah, keyakinan, dan keberanian rakyat sendiri.

Dan bambu runcing itu? Masih tersimpan di bawah rumah Halim. Tajam. Siap jika suatu hari harus digunakan kembali.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi