Bayangan di Pagi Buta
Bayangan di Pagi Buta
Azka Nurfi Abdillah Pratama
Fajar baru
saja mengangkat kabut dari atas sawah ketika suara sepatu bot menghantam tanah
berulang kali di barak militer Jepang di pinggir kota. Barak itu berbau logam
dan pelumas senjata. Di serambi, berdiri seorang pria berwajah keras—Xin Liyu,
komandan yang selalu berbicara seperlunya, namun setiap katanya membawa
bayangan maut.
“Kaigi!” panggilnya singkat kepada bawahannya. Beberapa perwira muda segera
berlutut di depannya.
“Sekolah
Rakyat di kampung sebelah… saya dengar di sana ada guru yang mengajari muridnya
membaca naskah terlarang,” ucap Xin Liyu dengan nada datar. “Hari ini, kalian
serbu. Siapa pun yang melawan… korosu!.”
Sersan Ito
menunduk, “Hai! Kami akan bertindak cepat, Taishō.”
“Tidak cepat saja,” tambah Xin Liyu, “Pastikan semua
orang tahu, melawan Dai Nippon hanya berujung pada kematian.”
…………..
Sementara
itu, di sebuah rumah panggung sederhana di pinggiran kampung, Surya masih
terbaring, selimut menutupi setengah wajahnya. Burung-burung pipit sudah lama
berkicau, tapi matanya terasa berat.
Tiba-tiba
suara ibunya terdengar dari dapur, “Surya! Mataharinya sudah tinggi! Kau mau
sekolah atau tidur sampai siang?”
Surya
terlonjak. “Aduh! Jam berapa ini, Bu?”
“Sudah
lewat dari biasanya. Sarapan dulu, baru berangkat.”
Surya
melompat dari tikar, menciduk air sumur, dan mencuci muka terburu-buru. “Tidak
sempat, Bu! Nanti Pak Sastro suruh lari keliling lapangan lagi!”
Ibunya
menatap dari pintu, cemas. “Jangan buru-buru… orang-orang bilang tentara Jepang
makin sering lewat.”
“Ah, Bu.
Sekolah kita jauh dari jalan utama. Aman kok.” Surya tersenyum singkat lalu
menyambar tas anyamnya dan berlari keluar.
…………..
Jalan
setapak menuju sekolah licin setelah hujan semalam. Surya berlari sambil
membayangkan akan masuk kelas, mungkin menyalin pelajaran sejarah. Namun,
beberapa meter sebelum tikungan terakhir, ia mendengar suara asing—derap
langkah cepat, bentakan dalam bahasa Jepang, dan… letusan senapan.
Surya
berhenti. Jantungnya berdegup keras. “Apa…?”
Ia berlari
lagi, kali ini lebih cepat. Namun saat ia tiba di tikungan, napasnya tercekat.
Sekolah yang kemarin berdiri kokoh kini menjadi puing hitam. Atapnya ambruk,
dindingnya pecah, dan udara dipenuhi asap dan bau mesiu.
Di halaman,
belasan siswa dan guru berbaris dengan tangan diikat. Wajah mereka pucat,
beberapa menangis terisak. Di tanah, ada tubuh-tubuh yang tak bergerak, darah
meresap ke tanah becek.
Surya
membeku di balik batang kelapa. Ia melihat Bayu, teman sebangkunya, mencoba
melindungi seorang adik kelas yang menangis. Seorang prajurit Jepang
membentaknya, lalu menendangnya hingga jatuh.
“Bayu…”
bisik Surya lirih. Tangannya bergetar, ingin melangkah, tapi tubuhnya seakan
tertancap di tanah.
…………..
Dari jarak
itu, ia bisa melihat Xin Liyu berdiri tegak di antara pasukannya. “Cepat!
Masukkan mereka ke truk!” perintahnya.
“Baik, Taishō!” jawab Sersan Ito
sambil menyeret dua siswi yang menjerit memanggil ibu mereka.
Seorang
guru tua bersuara parau, “Kenapa kalian melakukan ini? Mereka hanya anak-anak!”
Xin Liyu
menoleh sebentar. “Anak-anak yang diajar melawan akan menjadi pemberontak di
masa depan.”
Lalu, tanpa
ragu, ia memberi isyarat. Dentuman pistol terdengar, dan guru itu jatuh diam di
tanah.
Surya
menutup mulutnya dengan tangan, menahan teriakan yang hampir pecah. Air matanya
mengalir tanpa ia sadari.
…………..
Truk-truk
berderak pergi, meninggalkan halaman sekolah yang kini sunyi, hanya tersisa
sisa api yang membakar papan hitam. Surya perlahan keluar dari
persembunyiannya. Kakinya terasa lemas. Ia berjalan melewati puing-puing,
memanggil pelan, “Bayu… Sari… Pak Sastro…”
Tak ada
jawaban. Hanya suara kayu yang retak pelan saat api mulai padam. Di bawah pohon
asam, ia melihat buku catatan lusuh miliknya—yang kemarin dipinjam Bayu.
Sampulnya robek, ada bercak merah di sudutnya.
Surya
memungutnya, memeluknya erat-erat. “Seandainya… aku tidak telat… aku pasti ikut
dibawa…” suaranya parau.
Di
kejauhan, denting lonceng barak Jepang terdengar—nyaring, dingin—seolah
menertawakan anak-anak yang kehilangan masa depan di bawah bendera matahari
terbit.
Selesai.
Comments