Di Antara Dentum Meriam


 Di Antara Dentum Meriam

Mauluda Husna Dziaqila

Siswi SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro 

Langit sore di lereng Gunung Wilis memerah, seakan mengisyaratkan bahwa malam nanti akan membawa duka baru. Kabut tipis turun, membungkus kebun kopi yang bergoyang pelan diterpa angin. Namun, udara tak lagi wangi; ia bercampur bau mesiu dan daun terbakar.

Di jalan setapak yang licin oleh tanah liat, Raden Wirya berjalan tergesa sambil merangkul Sulastri, istrinya yang tengah hamil sembilan bulan. Setiap langkah sang istri diiringi tarikan napas berat.

"Mas… aku… tidak kuat lagi…" suara Sulastri terputus-putus.

Wirya menatap wajah pucat itu. “Bertahanlah, Las. Sedikit lagi… kita harus menjauh dari jalan utama. Mereka akan menyisir desa sebentar lagi.”

Dari kejauhan, letusan senapan terdengar seperti petir yang tak menunggu hujan. Sesekali, bayangan serdadu Belanda terlihat di balik pepohonan—bayangan yang membuat Wirya mempererat genggamannya pada tangan Sulastri.

“Mas… kalau-kalau aku tak selamat—”

“Cukup!” potong Wirya tegas, meski matanya basah. “Kau akan selamat. Kita akan selamat. Anak kita akan lahir di bumi ini, bukan di negeri asing yang mereka kuasai.”

Mereka terus berjalan hingga mencapai kebun kopi yang sudah lama terbengkalai. Di tengah rimbun semak, berdirilah sebuah gubuk reyot peninggalan kakek Wirya. Atapnya bocor, dindingnya miring, namun cukup untuk menyembunyikan mereka dari mata musuh.

Wirya membantu istrinya duduk di atas tikar pandan yang sudah lapuk. Ia menyalakan pelita minyak kelapa, cahaya kuningnya membuat wajah Sulastri tampak lebih hangat.

“Las, tarik napas… pelan-pelan. Aku di sini…”

Sulastri mengangguk, menggenggam erat tangan Wirya. “Mas… sakitnya… seperti gunung runtuh di perutku.”

“Bertahanlah. Sebentar lagi kau akan melihat wajah anak kita.”

Malam semakin larut, dan di tengah suara jauh dentum meriam, lahirlah seorang bayi laki-laki. Tangisnya bening, memecah gulita gubuk. Sulastri tersenyum, meski peluh bercampur air mata di pipinya.

“Mas… lihat… dia mirip kau.”

Wirya mengusap lembut kepala bayi itu. “Tidak… dia mirip ibunya. Cantik… dan kuat.”

Sulastri tertawa kecil. “Kuat? Dia baru lahir.”

Wirya menggeleng. “Justru karena dia lahir di tengah perang, dia sudah membuktikan kekuatannya.”

Mereka menatap bayi itu, seakan dunia di luar gubuk tak lagi ada. Wirya membayangkan masa depan—ladang kopi yang kembali hijau, suara tawa anaknya berlari di halaman. Sulastri membayangkan hari di mana anaknya mengaji di surau kecil di ujung kampung.

Namun, dunia tak mengizinkan mimpi itu tumbuh. Tiba-tiba, suara melengking nyaring memecah udara—suara yang pernah ia dengar saat menjadi kurir pejuang.

Wirya tersentak. “Las… baringkan bayi itu! Cepat!”

Belum sempat mereka bergerak, tanah di bawah mereka bergetar. Dari jendela gubuk yang setengah roboh, terlihat kilatan api dari langit. Sebuah rudal jatuh, hanya dua langkah dari tempat mereka duduk.

Dentuman itu mengoyak malam, menghancurkan gubuk, menghancurkan bumi di bawahnya. Api, debu, dan serpihan kayu berterbangan, menelan semua suara—tangis, tawa, janji, dan doa.

Pagi harinya, kebun kopi itu sunyi. Burung-burung hinggap di batang patah, memandang puing-puing yang masih berasap tipis. Tak ada lagi suara bayi, tak ada lagi napas Sulastri, tak ada lagi tatapan penuh cinta Raden Wirya.

Dan angin gunung membawa kabar bisu: di masa perang, cinta bisa bertahan dari luka dan lapar, tapi tak mampu melawan dentum besi yang jatuh dari langit.

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi