Di Balik Langit Merah
Di Balik Langit Merah
M. Naufal Zaki Safaras
Langit belum
terang benar saat suara kokok ayam menyelinap dari kejauhan, menggema di antara
bukit-bukit yang memeluk Desa Kaliduwur. Embun masih menggantung di ujung daun
pisang, dan aroma tanah basah berpadu dengan bau asap dapur yang baru menyala.
Raka, pemuda
15 tahun yang belum sepenuhnya meninggalkan tubuh kekanakannya, duduk sendirian
di bawah pohon randu tua di belakang rumah panggung mereka. Tangannya
menggenggam sehelai daun lontar yang dilipat-lipat tanpa arah. Di wajahnya,
tergambar gelisah yang jarang ditemui pada usia sepertinya.
"Masih
pagi, dan kau sudah termenung seperti orang yang kehilangan sawah," suara
lembut itu datang dari belakang.
Raka menoleh.
Ibunya, Nyai Rahayu, berdiri dengan baki berisi teh tubruk dan singkong kukus.
"Ibu
tidak tidur lagi?" tanyanya, pura-pura ceria.
"Ada yang
mengendap di hati ibu, tak bisa ditidurkan dengan selimut,” jawab ibunya pelan.
Ia duduk di samping Raka. "Apa yang kau pikirkan, Nak?"
Raka tak
langsung menjawab. Ia menatap langit yang mulai semburat oranye di timur.
"Aku
ingin bergabung dengan pasukan pejuang, Bu."
Teh di tangan
ibunya sedikit berguncang. Asap dari cangkir naik perlahan, mengaburkan
pandangan sejenak.
"Jangan
bicara main-main, Raka. Kau masih anak-anak."
"Aku
sudah cukup umur untuk membawa pesan, atau menjadi penjaga dapur mereka. Aku
tahu medan di sekitar sini lebih dari siapa pun. Aku bisa bantu mereka."
Ibunya menarik
napas dalam-dalam. "Perang bukan tempat untuk mencari jati diri. Perang
adalah tempat di mana ibu kehilangan anaknya, istri kehilangan suaminya, dan
tanah kehilangan damainya."
"Ayah
pernah bilang, laki-laki harus tahu kapan harus takut, dan kapan harus
bertindak. Aku takut, Bu. Tapi lebih takut kalau aku diam saja saat orang lain
melawan."
Nyai Rahayu
memejamkan mata, air menggenang di pelupuknya. "Kau pikir ibu tak bangga?
Kau pikir hati ibu ini tak ingin anaknya jadi bagian dari sejarah? Tapi jika
itu berarti kau pulang dalam peti, untuk apa semua itu?"
"Aku tak
minta ibu merelakan, cukup doakan."
Dan pada malam
yang sunyi, Raka pergi. Hanya selembar surat ditinggalkan di bawah sajadah
ibunya.
“Ibu, Ayah...
Jika aku tak
kembali, jangan sesali kepergianku.
Karena aku
pergi bukan untuk melawan takdir, tapi menjemputnya dengan kepala tegak.”
…………..
Di pegunungan
Menoreh, Raka diterima oleh pasukan gerilya pimpinan Pak Darsiman, mantan guru
HIS yang kini memimpin laskar rakyat. Tak ada pelatihan resmi, hanya semangat
dan keyakinan bahwa kemerdekaan tak akan diantar oleh surat, tapi ditulis
dengan darah.
Malam-malam
mereka diisi dengan peluru dan doa. Siang mereka berlindung di balik rimbun
pohon dan gubuk-gubuk kosong. Raka tak pernah mengeluh, bahkan saat tubuhnya
demam karena digigit lintah, atau saat melihat kawan satu regunya tewas terkena
ranjau.
Suatu malam,
di bawah cahaya bulan yang pucat, Pak Darsiman memanggilnya.
"Raka,
kau tahu kenapa kami tidak pernah mengirimkan pasukan terbuka?"
"Karena
musuh punya senjata lebih kuat?"
"Bukan.
Karena kita punya lebih banyak hal yang harus kita lindungi. Kita bukan hanya
bertempur, kita menjaga harapan orang-orang yang masih ingin hidup besok
pagi."
Raka menunduk.
Kata-kata itu menancap di dadanya seperti paku yang perlahan menumbuhkan akar.
…………..
Tahun berlalu.
Raka tumbuh jadi pemimpin regu, lalu komandan pasukan wilayah. Ia tak hanya
mahir dalam strategi gerilya, tapi dikenal sebagai sosok yang tak pernah
meninggalkan salat, dan setiap malam membacakan Al-Qur'an untuk pasukannya.
“Karena sebelum kita melawan Belanda,” katanya suatu kali, “kita harus
menaklukkan rasa takut sendiri.”
Namanya makin
dikenal. “Elang Muda dari Menoreh,” begitu julukan rakyat desa-desa yang
dilindunginya. Ia ikut dalam penyerangan besar di Ambarawa, dan saat Yogyakarta
direbut kembali, ia memimpin sekelompok pasukan di garis depan.
Namun, hatinya
selalu terpaut pada satu tempat: rumah, dan ibunya.
…………..
Tahun 1949.
Belanda mulai hengkang. Angin kemerdekaan mulai terasa, meski debunya masih
tersisa di jalan-jalan.
Raka pulang
dengan seragam tentara resmi Republik. Kini ia seorang perwira muda, pangkatnya
cukup tinggi untuk membuat orang-orang desa memberi hormat saat ia lewat.
Di depan rumah
panggung itu, yang sudah mulai lapuk, Nyai Rahayu duduk menenun.
Langkah kaki
Raka terhenti beberapa meter dari sana. Ia melihat ibunya—tua, lebih ringkih,
namun tetap menyimpan cahaya ketabahan di wajahnya.
"Ibu..."
Nyai Rahayu
menoleh. Untuk sesaat ia menatap pemuda itu, lalu berdiri perlahan.
"Kau...
pulang?" suaranya gemetar.
Raka menunduk.
"Anakmu pulang, Bu. Tapi bukan lagi sebagai anak yang pergi."
Ibunya
berjalan mendekat, lalu tiba-tiba memeluknya erat. Tangis yang ditahan
bertahun-tahun tumpah, tak lagi bisa disembunyikan.
"Alhamdulillah...
Alhamdulillah... Kau tidak mati, Nak..."
Raka
menggenggam tangan ibunya. "Mati mungkin lebih mudah, Bu. Tapi Allah beri
aku hidup, agar bisa kembali pada doamu."
Dari balik
pintu, sang ayah muncul. Rambutnya memutih, tubuhnya bongkok, tapi tatapannya
tetap tajam.
Ia berdiri
tegak, lalu mengangkat tangan memberi hormat. Raka membalas dengan hormat
militer.
“Sekarang aku
tahu,” ujar ayahnya, “bahwa keras kepalamu bukan kutukan. Tapi karunia, jika
diarahkan pada jalan yang benar.”
Raka menunduk,
matanya basah.
“Jika bukan
karena doa Ibu dan ajaran Ayah, aku mungkin bukan siapa-siapa hari ini.”
Di kejauhan,
matahari terbenam di balik bukit, dan langit menggantung merah—tapi bukan merah
darah seperti dahulu. Kini merah itu seperti semburat harapan, tanda bahwa
malam ini datang tanpa perang.
Dan untuk
pertama kalinya, Raka bisa tidur dalam damai, di rumahnya sendiri, di negeri
yang kini tak lagi dijajah.
…………..
"Kau
pikir ibu tak bangga? Tapi apa gunanya kebanggaan… jika yang ibu peluk hanya
baju perangmu yang dingin?"
– Nyai Rahayu, saat menahan kepergian Raka
"Aku
pergi bukan karena tak sayang Ibu, tapi justru karena terlalu cinta. Karena Ibu
terlalu berharga untuk hidup di tanah yang dirampas."
– Raka dalam suratnya sebelum pergi
"Doa itu
tak pernah hilang, Raka. Tapi tahukah kau… betapa sunyinya sajadah ibu, tiap
kali tak ada namamu di dalamnya?"
– Nyai Rahayu dalam renungan
"Kematian
bukan yang kutakuti, Bu. Yang kutakuti adalah mati dalam diam, tanpa pernah
melakukan apa-apa untuk tanah ini."
– Raka, menjelang keberangkatannya ke barisan pejuang
"Dulu aku
hanya seorang anak yang keras kepala. Tapi di hutan dan parit-parit itu, aku
belajar: ternyata kehilangan lebih tajam dari peluru."
– Raka, dalam perenungan saat memakamkan kawan seperjuangan
"Jika aku
tak pulang, jangan tanamkan namaku di batu nisan. Tapi tanamkan aku di doa-doa
ibu, agar jiwaku tetap hidup di negeri yang bebas."
– Penggalan surat Raka
"Kau
pulang, Nak… tapi tahukah kau berapa doa yang ibu kubur agar bisa melihat
wajahmu lagi?"
– Nyai Rahayu saat memeluk Raka yang kembali sebagai jenderal
"Aku
pernah berharap mati sebagai pahlawan. Tapi ternyata… yang paling sulit adalah
tetap hidup, membawa beban mereka yang tak sempat pulang."
– Raka dalam hatinya, saat malam sunyi menyapa
Selesai.
Comments