Gadis dari Leiden
Gadis dari Leiden
Khalila Alkyra
Zaahid
Siswi SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro
Bogor, 1939
Suara gamelan dari desa Sukasari
mengalun pelan dibawa angin pagi. Embun belum sepenuhnya surut dari rerumputan,
dan langit masih menyimpan sisa-sisa cahaya malam. Di teras belakang rumah
Residen Belanda, seorang gadis muda berdiri memandang perbukitan jauh, mengusap
lehernya yang mulai berkeringat.
Anna van der
Meer, 19 tahun, baru
dua minggu menginjakkan kaki di tanah Hindia—negeri yang selama ini hanya hidup
dalam dongeng ibunya dan catatan ilmiah ayahnya. Di tangannya ada buku puisi
Belanda kuno, terbuka tapi tak dibaca. Ada sesuatu yang lebih menarik baginya
daripada bait-bait pujangga: dunia baru yang belum ia mengerti, namun memikat
seperti misteri musim panas yang belum datang.
Hari itu ia mengenakan gaun putih
polos, rambutnya dikepang sederhana, dan wajahnya mengandung sesuatu yang belum
pernah ia kenali sebelumnya—rindu yang belum sempat tumbuh.
“Anna, siap-siap. Kita akan ke kampung
sebelah,” ujar sang ayah, Letnan Willem van der Meer, dari dalam rumah.
“Residen ingin kau melihat langsung kegiatan pengajaran pribumi. Agar kau tahu,
kita ini bukan hanya menaklukkan tanah, tapi juga mencerdaskan.”
Anna hanya tersenyum tipis. Ia tahu,
dalam kalimat itu ada kesombongan yang rapi tersembunyi. Tapi ia tidak datang
untuk mendengar pidato kolonial. Ia datang untuk mencari sesuatu yang tak
disebutkan dalam buku sejarah: makna.
…………..
Surau kecil itu berdiri di antara
pohon nangka dan bambu. Suaranya tak nyaring, tapi hangat. Di dalamnya, seorang
pemuda berjubah putih sedang duduk bersila, mengajari anak-anak mengeja
huruf-huruf Arab.
“Ini dia, guru Raka,” kata pengawal
pribumi sambil menunjuk ke arah pemuda itu.
Raka menoleh. Wajahnya tegas, alisnya
tebal, sorot matanya tenang namun dalam. Ia bangkit dengan sopan, menunduk
hormat.
“Selamat pagi, Tuan. Nona.” Suaranya
lembut, namun mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—seperti air sungai yang
terlihat tenang namun menyimpan arus kuat di bawahnya.
Anna hanya membalas dengan anggukan.
Tapi dalam hatinya, suara itu terngiang lebih lama dari yang seharusnya.
“Apa kau juga mengajar di sini setiap
hari?” tanyanya perlahan, dalam bahasa Melayu yang belum sempurna.
Raka tersenyum samar. “Ya, setiap
pagi. Anak-anak ini adalah cahaya desa.”
Anna tak tahu kenapa dadanya terasa
ringan mendengar kalimat itu. Mungkin karena ia belum pernah mendengar
kata-kata seindah itu dari lelaki mana pun di Leiden.
…………..
Tiga bulan berlalu cepat. Tropis
membakar kulit Anna, namun hatinya justru membeku ketika kabar datang dari
Belanda: sang ayah harus kembali sementara karena ketegangan di Eropa.
Di atas kapal yang menuju Rotterdam,
Anna berdiri memandangi laut. Ia menggenggam selembar kain kecil—tenun yang
diberikan oleh seorang nenek di desa tempat Raka mengajar.
“Kau titipkan salamku pada laut itu,”
katanya sebelum Anna pergi. “Karena laut tahu lebih banyak tentang rindu
daripada manusia.”
Anna menangis malam itu. Bukan karena
meninggalkan Hindia, tapi karena tak sempat mengatakan apa-apa pada Raka. Tidak
sepatah pun.
…………..
Musim gugur datang dengan dingin yang
menusuk. Namun hati Anna lebih beku. Setiap pagi ia menulis di jurnalnya,
mengingat satu demi satu percakapan yang ia dengar dari Raka.
"Aku belum pernah melihat lelaki
sepertinya, Ayah," ujarnya suatu malam saat duduk di ruang baca. "Ia
tak seperti lelaki di kota. Ia tenang, tapi... ia membuatku ingin menjadi lebih
baik."
Letnan Willem hanya mengangguk. Perang
membuatnya lelah untuk melarang.
Lalu, saat salju mulai turun,
keputusan dibuat. Mereka kembali ke Hindia. Tidak sebagai perwira kolonial,
tapi sebagai keluarga kecil yang ingin menetap di kebun teh yang sunyi.
…………..
Anna turun dari delman dengan debaran
tak tentu. Jalanan masih sama. Aroma tanah, suara ayam, bahkan sinar matahari
terasa akrab. Ia berjalan menuju surau dengan keranjang berisi teh dan buku. Di
pelataran, ia melihat Raka sedang berbicara dengan beberapa anak muda.
Ketika Raka melihatnya, waktu seolah
berhenti.
“Anna... kau kembali?”
Anna mengangguk, matanya berembun.
“Aku kembali untuk... tanah ini. Dan mungkin juga untuk seseorang.”
Raka menatapnya, lama. Tapi tidak
mengatakan apa-apa.
Hari-hari berlalu. Mereka sering
bertemu. Di bawah pohon asam, di tepi sawah, bahkan di halaman rumah Raka.
Mereka bicara tentang Islam, puisi, laut, kemerdekaan, dan rasa kehilangan.
Tidak ada cinta yang terucap, tapi dunia tahu: dua hati sedang tumbuh ke arah
yang sama.
…………..
Langit sore jingga. Burung-burung
pulang ke sarang. Raka memanggil Anna ke surau. Di sana telah berdiri seorang
gadis muda berkerudung biru muda, matanya lembut, dan tangannya membawa bingkai
kecil.
“Anna,” ucap Raka perlahan, “aku ingin
kau bertemu seseorang.”
Anna menatap gadis itu, lalu menoleh
ke Raka.
“Inilah Siti Rahmah. Tunanganku. Kami dijodohkan sejak dua
tahun lalu, tapi aku belum sempat mengenalkannya padamu... karena...”
Anna tidak bicara. Ia hanya menatap
awan, berharap ada badai. Tapi langit terlalu lembut untuk marah. Ia hanya
berkata pelan, nyaris berbisik:
“Jadi semua itu... percakapan kita,
buku-buku yang kau pinjam, cerita-cerita tentang laut... semua hanya angin
lalu?”
Raka menunduk. “Bukan. Tapi aku tidak
berhak menyentuh langit kalau aku masih terikat pada bumi.”
Siti Rahmah menatap Anna dengan penuh
empati. Ia tahu, cinta kadang datang seperti hujan di bulan kemarau: indah,
tapi bukan waktunya.
Anna tersenyum. Tulus, meski rapuh.
“Kalau begitu, biarkan aku tetap menjadi angin. Menemani kalian dari kejauhan.”
…………..
Di tepi desa, Anna tinggal sebagai
guru di sekolah anak-anak pribumi. Ia mengajar dengan sabar, menulis jurnal
tentang bunga, bahasa, dan masa lalu. Setiap pagi ia melewati surau, terkadang
melihat Siti menggendong anak kecil. Mereka saling mengangguk. Tanpa rasa iri.
Tanpa luka.
Dan Raka?
Ia tetap mengajar, tetap memimpin
dengan tenang, dan tetap diam. Ia pernah mencintai gadis Belanda, tapi memilih
untuk menepati janji.
…………..
Catatan Harian
Anna, 1950
"Aku datang untuk mencintai
seseorang, namun aku tinggal untuk mencintai tanah yang membesarkannya. Dan
itu, ternyata... adalah cinta yang lebih dalam."
Selesai.

Comments