Gugurnya Janji di Ujung Senja

 

Gugurnya Janji di Ujung Senja

Aldo Zakaria

 

Tahun 1939.

Desa Kramat Laut di pesisir utara Jawa adalah dunia yang bergerak pelan. Jalan tanah berdebu di musim kemarau, becek penuh lumpur di musim hujan. Pagi hari selalu diawali suara ayam jantan bersahutan, aroma nasi jagung mengepul dari dapur, dan suara gemericik sungai yang mengalir di tepi kampung.

Di bawah pohon waru tua yang condong ke arah air, seorang gadis duduk menenun tikar pandan. Kulitnya bersih kecokelatan, rambutnya tergerai dikepang sederhana. Itulah Sari—anak satu-satunya Pak Wiryo, pedagang beras yang disegani di kampung.

Dari kejauhan, terdengar derap sepatu lars tak…tak…tak… mendekat. Warga yang sedang mencuci di pinggir sungai spontan menoleh. Seorang lelaki tinggi berseragam cokelat kehijauan muncul, topi baja di lengannya, bahunya tegap. Kapten Willem van Dijk, tentara Belanda yang sering mondar-mandir ke desa untuk patroli.

Ia berhenti beberapa langkah dari Sari. “Sore… Nona Sari.”

Sari menoleh, menahan senyum sopan. “Sore, Tuan Willem. Patroli?”

“Tidak… kali ini tidak. Saya cuma… ingin lihat sungai ini lagi.” Willem melirik arus yang memantulkan cahaya sore.

“Kenapa sungai?” Sari bertanya sambil tetap menenun.

“Karena di sini… saya tidak merasa seperti tentara. Sungai ini… tenang,” ucapnya, suaranya agak ragu seakan takut mengungkap terlalu banyak.

…………..

Hari-hari berikutnya, Willem sering muncul. Kadang membawa roti gandum dari kota, kadang hanya duduk di tepi waru sambil bertanya hal-hal kecil.

“Bagaimana bilang ‘selamat pagi’ dalam bahasa Jawa?”

Maturnuwun, itu artinya apa?”

Dan Sari akan menjawab, kadang sambil terkekeh melihat lidah Willem kesulitan melafal.

Namun tak semua orang senang melihat kedekatan itu. Bisik-bisik mulai terdengar di pasar. “Anak Wiryo itu sering bicara sama tentara, lho…”

…………..

Suatu sore, Willem memberanikan diri datang ke rumah Sari. Rumah joglo itu sejuk, berlantai tanah liat padat, aroma kopi hitam masih terasa dari dapur. Pak Wiryo, lelaki berkumis tebal dan bersorban putih, memandang Willem dengan mata yang dalam.

“Jadi, Tuan Kapten mau apa datang ke rumah saya?” suara Pak Wiryo berat.

Willem menarik napas. “Saya… ingin melamar putri Bapak. Saya tahu saya orang asing… tapi saya—”

Pak Wiryo langsung memotong, “Tak mungkin aku serahkan anakku pada orang yang jadi bagian penindasan bangsa ini.”

Ruangan hening. Sari berdiri di ambang pintu, menatap tanah. Willem menunduk, lalu berkata pelan, “Kalau begitu… saya akan berubah.”

…………..

Perubahan itu tidak terjadi sehari. Willem mulai menjauh dari tugas patroli, dan diam-diam membantu warga. Ia memperbaiki atap mushola, membawa obat untuk bayi yang sakit, dan bahkan menyelundupkan informasi dari markas ke para pejuang di hutan.

Malam-malamnya diisi dengan menulis pesan sandi di kertas kecil, yang kemudian diselipkan di keranjang ikan menuju pasar. Ia tahu, kalau ketahuan, nyawanya taruhannya. Tapi tiap kali ia mengingat mata Sari, rasa takut itu berubah menjadi tekad.

…………..

Beberapa bulan kemudian, hujan turun deras di sore hari ketika Pak Wiryo memanggil Willem.

“Kalau kau benar-benar ingin hidup di sini, hidup sebagai bagian dari kami, dan melindungi anakku… aku izinkan kau menikahinya.”

Willem tersenyum—senyum lelah yang penuh rasa syukur.

Pernikahan mereka sederhana. Willem mengenakan baju lurik, blangkon menutup rambut pirangnya. Ijab kabul diucapkan dengan lidah yang kaku tapi penuh kesungguhan. Sari menunduk, pipinya memerah. Malam itu, di bawah lampu minyak, mereka berbicara lama—tentang anak-anak yang ingin mereka punya, tentang kebun kecil di belakang rumah, tentang hidup yang sederhana tanpa perang.

…………..

Namun awal 1942, berita pahit datang. Jepang mulai menyerbu wilayah Hindia Belanda. Semua mantan tentara, bahkan yang sudah mundur, dipanggil kembali. Willem tak punya pilihan.

Di serambi rumah, Sari yang tengah mengandung duduk memegangi perutnya. Willem mengikat ransel di punggung, matanya merah.

“Kalau aku tak kembali…” Willem menelan ludah, “…ajarkan anak kita mencintai tanah ini seperti aku mencintaimu.”

Air mata Sari jatuh. “Kau akan kembali. Harus kembali…”

Willem hanya tersenyum tipis, lalu mencium keningnya. “Doakan aku.”

…………..

Beberapa bulan kemudian, seorang kurir datang dari kota membawa amplop kusam. Di dalamnya hanya beberapa baris:

Kapten Willem van Dijk, gugur di medan pertempuran, 14 April 1942.

Sore itu, langit memerah pekat. Sari berdiri di tepi sungai, memegang blangkon suaminya. Angin laut menerbangkan aroma garam dan kenangan. Dalam rahimnya, bayi mereka bergerak.

Sari menutup mata, berbisik pada anak yang belum lahir, “Nak… ayahmu mati bukan sebagai penjajah, tapi sebagai pembela tanah ini. Dan kelak, kau akan tahu betapa besarnya cintanya pada kita.”

Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi